Di bawah terik matahari yang membakar padang pasir, Aleafar berlari dengan napas tersengal. Debu beterbangan di sekelilingnya, bercampur dengan keringat yang mengalir dari dahinya. Tubuhnya penuh luka, darah mengalir dari sudut bibirnya, namun ia tidak peduli. Satu-satunya yang ada dalam pikirannya adalah Sugra.
Adiknya telah dibawa pergi.
Hanya beberapa jam yang lalu, tiga prajurit istana mendatangi rumahnya, menuntut pembayaran hutang yang belum ia lunasi. Aleafar telah berusaha menjelaskan, bersumpah akan melunasi dalam beberapa hari lagi. Namun, bagi mereka, kata-kata tak lebih dari sekadar angin gurun yang berlalu tanpa arti. Pukulan pertama mendarat di wajahnya, disusul tendangan ke perutnya. Ia jatuh, tetapi tak bisa melawan.
Lalu, ia mendengar bisikan itu.
Salah satu prajurit mendekat ke temannya dan berbisik dengan suara pelan, tetapi cukup jelas untuk didengar Aleafar.
"Bawa saja gadis itu ke istana... Raja pasti akan menyukainya."
Darah Aleafar mendidih. Ia tahu maksud mereka. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit dengan sisa tenaganya dan menyerang. Tinju pertamanya mendarat di rahang seorang prajurit, membuatnya terhuyung. Namun, ia kalah jumlah. Dua prajurit lain segera membalas, memiting tangannya dan menghajarnya tanpa ampun.
Sugra menjerit, memohon agar mereka berhenti. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tawa dingin dari para prajurit. Salah satu dari mereka menariknya dengan kasar.
Aleafar tak berdaya. Dengan pandangan kabur dan tubuh yang tak mampu lagi bergerak, ia hanya bisa melihat adiknya diseret pergi.
"SUGRA!"
Suara Aleafar menggema di antara angin yang berhembus. Tapi adiknya terus menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik debu yang diterbangkan kuda-kuda prajurit.
Hari telah berganti malam ketika Aleafar kembali sadar. Ia berbaring di tanah, tubuhnya nyaris tak bisa bergerak, tetapi hatinya dipenuhi amarah. Ia akan menyelamatkan adiknya. Tidak peduli seberapa besar risikonya.
Langit malam menyaksikan seorang pemuda yang telah kehilangan segalanya.
Dan di sinilah takdir mulai bergerak.
Bab 1: Bayangan dalam Tidur
Langkah kaki Aleafar semakin cepat saat ia menyelinap melewati koridor istana yang gelap. Bayangan obor yang menyala di dinding menciptakan siluet menakutkan, tetapi ia tak peduli. Sugra ada di dalam, dan ia akan membawanya kembali.
Saat ia hampir mencapai pintu besar yang dijaga dua prajurit, sesuatu di dalam dirinya berbisik—bukan suara hatinya, tetapi suara lain.
"Kau tidak akan berhasil... Kau akan mati di sini..."
Aleafar mengabaikannya. Ia melompat ke atas, mencengkeram salah satu prajurit, menariknya ke dalam kegelapan. Jeritan singkat terdengar sebelum tubuh itu terjatuh ke tanah. Prajurit lain baru menyadari ada penyusup, tetapi Aleafar lebih cepat. Dengan satu pukulan telak ke tengkuknya, prajurit itu tumbang.
Ia menarik napas dalam-dalam. Sekarang atau tidak sama sekali.
Tangan Aleafar mendorong pintu itu perlahan...
Begitu ia masuk, raja itu menoleh dengan ekspresi terkejut. Sugra berdiri di tengah ruangan, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar ketakutan.
Aleafar mengepalkan tinjunya, tatapannya tajam menusuk ke arah lelaki yang duduk di singgasananya. Darahnya mendidih.
Namun, sebelum ia sempat bergerak, BRAK!
Pintu di belakangnya didobrak dengan keras. Prajurit-prajurit kerajaan menyerbu masuk dengan pedang terhunus. Aleafar mundur, matanya mencari jalan keluar. Ia kalah jumlah.
Hanya ada satu pilihan.
Jendela.
Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke sana dan melompat keluar. Angin malam menyambut tubuhnya saat ia jatuh berguling di halaman berbatu. Suara teriakan dan langkah kaki prajurit mengejarnya.
Ia berlari sekuat tenaga, menyusuri jalanan sempit di luar istana. Tapi ia tahu, ia tak bisa lari selamanya.
Dari kejauhan, suara roda kereta kuda terdengar, semakin mendekat. Mereka mengejarnya.
Aleafar tersandung, jatuh ke tanah. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar. Putus asa.
"Dewa... siapapun... selamatkan aku..."
Tiba-tiba, angin bertiup kencang.
Bayangan hitam muncul di depannya.
Sosok misterius melayang di udara, mengenakan jubah gelap dan topeng putih tanpa ekspresi.
Aleafar menatapnya dengan mata membelalak. "Siapa kau?"
Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangan ke arah Aleafar.
Dan kemudian—
Api melahap segalanya.
Langit berubah merah menyala. Kerajaan di belakangnya runtuh dalam kobaran api. Suara jeritan menggema di udara.
Sosok berjubah itu kini berdiri di hadapannya.
Suaranya terdengar dalam dan mengancam:
"Aku akan membunuhmu."
Aleafar tak bisa bergerak.
Sosok itu mengulangi, kali ini dengan suara lebih keras, lebih menggema:
"Aku akan membunuhmu."
Ryan terbangun dengan napas memburu. Matanya terbuka lebar, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
"Sial... mimpi itu lagi..." gumamnya, sambil memegangi kepalanya yang berdenyut.
Ia duduk di tepi ranjang, mencoba mengatur napasnya. Ini bukan pertama kalinya ia mengalami mimpi itu. Sudah berkali-kali ia melihat pemuda misterius yang disebut Aleafar, dan setiap kali, mimpi itu terasa semakin nyata.
Ryan mengusap wajahnya, lalu menoleh ke meja kecil di samping tempat tidur. Tangannya meraba-raba, mencari obat sakit kepalanya. Namun, setelah beberapa saat mencari, ia sadar—stok obatnya habis.
"Kenapa harus sekarang?" keluhnya, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 02:08 dini hari.
Mau tak mau, ia harus keluar membeli obat. Dengan malas, ia meraih hoodie yang tergantung di kursi, mengenakannya, lalu melangkah keluar dari apartemennya menuju apotek terdekat.
---
Langit malam terasa lebih gelap dari biasanya. Jalanan sepi, hanya ada lampu jalan yang berkedip redup. Ryan berjalan dengan tangan di saku, mencoba mengabaikan rasa tak nyaman yang menyelimutinya.
Di kejauhan, ia melihat dua pria berdiri di dekat gang gelap. Salah satu dari mereka menatap Ryan dengan tajam, seolah mengamatinya.
"Preman?" pikir Ryan, mempercepat langkahnya.
Saat ia hampir melewati mereka, pria yang lebih besar sedikit bergerak, seakan ingin menghalangi jalannya. Tapi Ryan pura-pura tidak melihat dan terus berjalan cepat menuju apotek.
Begitu sampai, ia menghela napas lega. "Syukurlah, mereka tidak menggangguku."
Saat hendak masuk, tiba-tiba seorang gadis berlari terburu-buru dan hampir menabraknya.
"Maaf!" katanya, terlihat gelisah.
Ryan hanya mengangkat alis, tidak terlalu peduli. Ia masuk ke apotek dan langsung mengambil obat yang dibutuhkannya.
Saat membayar di kasir, wanita penjaga apotek tersenyum padanya. "Obatmu habis lagi?" tanyanya ramah.
Ryan hanya mengangguk singkat. "Iya."
Setelah selesai, ia keluar dan melihat gadis tadi masih di dalam mobilnya, tampak ragu untuk pergi.
"Ada apa dengannya? Dia seperti mengkhawatirkan sesuatu," gumam Ryan dalam hati.
Namun, ia tak ingin ikut campur. Ia berbalik dan mulai berjalan pulang.
Tapi, saat melewati gang tempat dua pria tadi berdiri, Ryan memperlambat langkah. Mereka masih di sana, tampak menunggu seseorang.
"Tunggu... apa mereka sedang mengincar gadis tadi?" pikirnya.
Ia menggelengkan kepala. "Bukan urusanku."
Namun, tak lama setelah itu, mobil gadis tadi melaju melewatinya, menuju ke arah gang itu. Ryan memperhatikan dengan cermat. Benar saja—mobil itu berhenti tepat di tempat dua pria tadi menunggu.
"Apa benar mereka mengincarnya?"
Saat Ryan masih berpikir, tiba-tiba terdengar suara jeritan dari arah mobil.
"Kumohon, tolong aku!"
Ryan terdiam.
Ia ingin mengabaikannya. Masalah seperti ini bukan urusannya. Namun, saat ia berbalik untuk pergi, salah satu pria itu menyadari keberadaannya.
"Bos, ada saksi!"
"Kejar dia!"
Ryan mengumpat dalam hati. "Sial..."
Salah satu pria mulai mengejarnya. Ryan tahu ia harus segera kabur, tapi sebelum itu, ia berbalik dengan cepat langsung menghentikan pria itu dengan kakinya berada di leher pria itu
"Aku tidak ingin terlibat dalam masalahmu," katanya dengan tatapan tajam.
Pria itu tampak ragu. Ia tidak menyangka Ryan bisa melawan.
Di kejauhan, pria satunya yang lebih besar melihat kejadian itu dan mengerutkan kening. "Mana anak itu?" tanyanya pada bawahannya yang baru saja dihajar Ryan.
"Aku biarkan dia pergi, bos," jawabnya polos.
"APA?!" si bos langsung kesal. "Kenapa kau biarkan dia kabur, bodoh?!"
Si bawahan menggaruk kepala. "Jadi begini, bos..."
---
Sementara itu, Ryan terus berjalan menjauh, menghela napas lega.
"Hahaha... untung orang itu bodoh, membiarkanku pergi begitu saja," katanya sambil tertawa.
Namun, tawanya berhenti ketika terdengar jeritan gadis tadi.
"Sial!" Ia menoleh ke arah suara itu.
Batin Ryan berperang. Ia bisa saja pergi dan tidak terlibat lebih jauh. Tapi... jika ia pergi sekarang, bisa saja gadis itu mengalami sesuatu yang buruk.
Ia menggeram pelan. "Brengsek..."
Lalu, tanpa berpikir panjang, ia berlari kembali ke tempat kejadian.
---
Di tempat kejadian, gadis itu sudah didorong ke tanah. Si bos mengeluarkan pisau dan menempelkannya di leher gadis itu.
"Diam! Atau kau tak ingin pisau ini melukaimu?" ancamnya.
Gadis itu gemetar, matanya berkaca-kaca. Si bawahan terkekeh pelan. "Bos, gadis ini cantik. Kenapa kita tidak—"
Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Ryan datang dari belakang dan menendang si bos hingga terpental.
Si bawahan terkejut. "Kau lagi?!"
Ryan menghela napas, sedikit lelah karena berlari. "Inginnya begitu..."
Si bawahan marah dan menyerang Ryan, tetapi Ryan dengan gesit menghindari serangannya dan membalas dengan tendangan keras hingga pria itu jatuh ke tanah. Si bos bangkit dan mencoba menyerang Ryan dari belakang, tetapi Ryan menangkap gerakannya, menahan serangannya, lalu menghajarnya dengan pukulan bertubi-tubi.
Si bos terhuyung mundur, wajahnya penuh luka. "Brengsek..."
Si bawahan buru-buru membantu bosnya berdiri. "Ayo kita pergi!"
Mereka pun kabur dalam keadaan babak belur.
Ryan mengambil barangnya yang terjatuh di jalan, lalu bersiap pergi, tetapi gadis itu memanggilnya.
"Terima kasih," katanya dengan senyum lega.
Ryan hanya diam, lalu berbalik dan berjalan pergi.
"Hati-hati di jalan!" gadis itu berseru sambil melambaikan tangan.
Ryan berhenti sejenak, lalu menoleh dengan tatapan tajam.
"Seharusnya yang hati-hati itu kamu. Dan jangan libatkan aku dalam hal yang merepotkan lagi."
Ia pun pergi, meninggalkan gadis itu yang masih tersenyum di belakangnya.
Keesokan Harinya Sepulang Sekolah
Ryan berjalan sambil mengambil ponselnya dari saku. Ia mengirim pesan kepada Galang, kakaknya:
[Mungkin aku akan pulang tengah malam. Aku ingin mengerjakan event game-ku.]
Setelah mengirim pesan, ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku dan melangkah menuju warnet.
Waktu berlalu begitu cepat. Ryan yang terlalu asyik bermain game akhirnya tidak sengaja melihat jam di layar komputer.
"Hah... sudah jam setengah dua belas lewat!" serunya kaget.
"Sebaiknya aku segera pulang sebelum Galang memarahiku."
Tanpa membuang waktu, Ryan langsung keluar dari game, mematikan waktu billing, lalu bergegas meninggalkan warnet.
Di tengah perjalanan, tepat di sebuah jalanan sunyi, tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak memanggilnya.
"Hei, bocah!"
Ryan spontan menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya ia melihat mereka lagi—para preman yang kemarin sempat ia hajar. Kali ini jumlah mereka lebih banyak, beberapa di antaranya bahkan membawa senjata tajam dan pemukul bisbol.
"Apa kau yakin bocah ini yang menghajarmu semalam?" salah satu dari mereka bertanya, memastikan bahwa Ryan adalah orang yang membuat temannya babak belur.
"Iya! Bocah itu yang membuatku begini!" jawab pria yang wajahnya masih penuh lebam akibat pertarungan semalam.
Mendengar itu, pemimpin kelompok preman tersebut memberi isyarat tangan kepada anak buahnya.
"Baiklah kalau begitu, beri bocah ini pelajaran!" perintahnya tegas.
Seketika mereka semua berlari menyerang Ryan.
Di Tempat Lain
Sementara itu, seorang gadis tengah berdiri di dekat jendela kamarnya, menatap bintang-bintang di langit malam. Dalam pikirannya, ia masih memikirkan kejadian kemarin.
"Siapa dia, orang yang menolongku?" batinnya, membayangkan kembali sosok Ryan.
"Kuharap aku bisa bertemu dengannya lagi."
Gadis itu menghela napas pelan.
"Aku bahkan belum tahu namanya..."
Namun tiba-tiba, lamunannya buyar ketika terdengar suara teriakan dari kejauhan.
"Siapa yang berteriak tengah malam begini?" gumamnya, terkejut.
Seketika, firasat buruk menyelimuti pikirannya.
"Jangan-jangan..."
Pikiran gadis itu langsung tertuju pada Ryan. Tanpa berpikir panjang, ia berlari menuju sumber suara, hatinya dipenuhi kecemasan.
"Kalau benar dia, berarti dia dalam masalah!"
Ia berlari secepat mungkin, berharap dugaannya salah. Namun, begitu tiba di lokasi, ia melihat sesuatu yang mengejutkan.
Ryan telah menghabisi dua belas orang preman seorang diri!
Gadis itu berdiri di kejauhan, takjub melihat Ryan masih berdiri tegak tanpa luka serius. Tapi saat Ryan hendak mengambil tasnya yang tergeletak di tanah, tiba-tiba salah satu preman yang belum pingsan bangkit diam-diam. Preman itu mengambil pisau di dekatnya dan menyerang Ryan dari belakang!
"Awas!!!" gadis itu berteriak memperingatkan.
Ryan tersadar tepat waktu. Ia berbalik dan menahan serangan preman itu dengan tangannya, lalu melancarkan serangan balik hingga lawannya terhempas jauh.
"Sial, aku lengah..." Ryan mendecak kesal.
Setelah memastikan semua preman tak berdaya, Ryan kembali mengambil tasnya dan berjalan pergi. Saat melewati gadis itu, ia hanya meliriknya sekilas.
Gadis itu berniat menyapanya, tetapi ragu. Namun, saat matanya melihat tangan kanan Ryan yang terluka dan berdarah, tanpa sadar ia segera menghampiri Ryan.
"Tunggu!"
Ryan menoleh, terkejut saat gadis itu menggenggam tangannya dan menatap lukanya dengan penuh kekhawatiran.
Saat itulah Ryan memperhatikan wajah gadis itu lebih dekat.
Dan untuk pertama kalinya—hatinya berdebar.
"Siapa dia?"
"Apa aku mengenalnya?"
"Maaf, kamu siapa?" Ryan akhirnya bertanya.
Gadis itu menatapnya serius.
"Sebelum lukamu semakin parah, lebih baik kita obati dulu."
"Terima kasih, tapi itu tidak perlu," Ryan menolak halus.
Namun gadis itu tidak menyerah.
"Tidak apa-apa! Ayo ke rumahku, aku akan mengobatimu."
"Tapi..."
Ryan hendak menolak lagi, tetapi gadis itu sudah menarik tangannya.
"Tidak ada tapi-tapian! Ikut aku saja!"
Ryan tidak punya pilihan selain mengikuti gadis itu.
Di Rumah Gadis Itu
Begitu tiba di depan rumahnya, Ryan tertegun.
"Apa benar ini rumahnya...?"
Rumah besar dan mewah berdiri megah di hadapannya. Gadis itu menyadari Ryan yang melamun dan menegurnya.
"Kenapa diam? Ayo masuk!" katanya sambil menarik tangan Ryan masuk ke dalam halaman.
Saat melewati pagar, Ryan melihat seorang satpam yang tertidur pulas di pos jaga.
"Apa dia satpam di sini?" pikirnya.
"Kamu mengatakan sesuatu?" tanya gadis itu.
"Ah, tidak..." Ryan menggeleng cepat.
Begitu masuk ke dalam rumah, Ryan makin terkejut melihat kemewahannya.
"Wuah... baru kali ini aku masuk rumah semewah ini."
Tanpa sadar, ia mulai mengkhayal.
"Kalau aku bisa berpacaran dengannya, pasti aku bisa hidup mewah..."
Namun, ia segera menggelengkan kepala.
"Astaga, apa yang kupikirkan ini? Fokus, Ryan! Kau ke sini cuma untuk diobati!"
Gadis itu menyuruhnya duduk.
"Tunggu sebentar, aku akan mengambil kotak obat."
Ryan menurut. Saat gadis itu pergi, ia kembali melirik isi rumah itu dengan kagum.
Tak lama kemudian, gadis itu kembali membawa kotak obat dan air hangat.
"Maaf membuatmu menunggu."
"Ah, tidak apa-apa." Ryan tersenyum.
Gadis itu tersipu malu melihat senyum Ryan. Ia berusaha tetap fokus dan menaruh perlengkapannya di meja.
"Coba ulurkan tanganmu, aku ingin melihat lukamu."
Ryan mengulurkan tangannya. Namun, saat gadis itu mencoba menggulung lengan bajunya, Ryan tiba-tiba meringis kesakitan.
"Aww..."
Gadis itu panik.
"Maaf!" katanya cemas.
Saat itu, mereka saling menatap. Sejenak, suasana menjadi canggung. Keduanya segera membuang muka, salah tingkah.
"H-haa... aku akan membersihkan darahnya dulu," ujar gadis itu, tersipu malu.
"A-ah, iya!" Ryan ikut panik.
Namun, ketika gadis itu hendak membersihkan luka Ryan, matanya membelalak.
"Lho...?!"
Luka di tangan Ryan sudah menutup, seolah tidak pernah ada.
"Apa... apa yang terjadi?!" Gadis itu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kenapa lukamu bisa sembuh begitu saja?!"
Ryan hanya tersenyum kecil.
"Aku sudah bilang, tidak perlu diobati, kan?"
Gadis itu masih kebingungan, tetapi Ryan sudah bangkit berdiri.
"Terima kasih sudah mau mengobatiku. Aku pamit pulang."
Saat Ryan hendak membuka pintu, gadis itu memanggilnya.
"Tunggu!"
"Hm?"
"Nama kamu siapa?"
Ryan terdiam sejenak, lalu tersenyum.
"Namaku Ryan."
"Aku Putri Amelia Sari. Panggil saja Putri," katanya tersenyum manis.
Hati Ryan berdebar hebat melihat senyuman itu.
Setelah mereka bertukar kontak, Ryan akhirnya pamit.
Keesokan harinya, saat Ryan berjalan menuju sekolah, ia bertemu dengan sosok yang ada dalam mimpinya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?!
Di tengah perjalanan menuju sekolah, Ryan tiba-tiba membeku di tempatnya. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin, tidak bisa bergerak atau berpikir jernih. Sosok yang sebelumnya hanya ia lihat dalam mimpi kini berdiri nyata di hadapannya.
Sementara itu, di rumahnya, Putri berdiri di depan pagar, berharap bisa melihat Ryan melewati jalan itu.
"Apa dia akan lewat di sini?" pikirnya penuh harap.
"Aku ingin sekali berangkat ke sekolah bersamanya."
Tiba-tiba, suara ayahnya dari belakang mengejutkannya.
"Hayo, anak ayah sedang menunggu siapa?" godanya dengan senyum penuh arti.
Putri, yang kaget karena ketahuan, langsung panik dan berusaha mencari alasan.
"Eh, tidak kok, ayah!" jawabnya gugup.
"Aduh, ketahuan..."
"Lalu, kenapa berdiri di sini?" tanya sang ayah penasaran.
"Aku... hanya cari angin saja, hehe." Putri mencoba menghindar.
Ayahnya hanya tersenyum, lalu mengajaknya masuk mobil.
"Kalau begitu, ayo kita berangkat."
Di dalam mobil, Putri terus melihat ponselnya, tampak sedikit gelisah. Ayahnya yang menyadari hal itu pun bertanya.
"Kamu tidak apa-apa, anak ayah yang manis?"
Putri kaget mendengar pertanyaan itu.
"Tidak apa-apa, kok, Ayah."
"Benarkah?" Ayahnya melirik sekilas. "Atau kamu sedang menunggu pesan dari seorang pria?" godanya lagi.
Putri langsung tersipu malu.
"Ih, Ayah! Enggak, kok!"
Ayahnya tertawa.
"Haha, soalnya kamu anak ayah satu-satunya yang paling cantik."
Putri semakin salah tingkah.
"Ayah, sudah cukup godain aku!"
Ryan dan Sosok Misterius
Di sisi lain, Ryan masih terpaku, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Apa ini kebetulan? Atau ini masih mimpi?" pikirnya.
"Bagaimana bisa sosok dalam mimpi muncul di dunia nyata?"
Ia mencoba menenangkan diri. Jika sosok itu memang datang untuk membunuhnya, maka ia akan melawannya.
"Siapa kamu?" tanya Ryan dengan suara mantap.
"Apa kau datang untuk membunuhku?"
Sosok misterius itu mengangkat kepalanya. Mata kanannya memancarkan cahaya merah menyala. Ryan semakin ketakutan, tetapi berusaha tetap berdiri tegap.
Tiba-tiba, sosok itu berbicara.
"Carilah jati dirimu."
Ryan terkejut.
"Apa maksudmu?"
Namun, sosok itu tetap diam.
"Kalau kau tahu sesuatu tentangku, cepat katakan!" seru Ryan, kini mulai emosi.
Sosok itu tetap tenang.
"Cari tahu sendiri siapa dirimu sebenarnya."
Ryan tidak bisa menahan amarahnya lagi. Ia mengepalkan tangan, lalu berlari ke arah sosok misterius itu, siap menghajarnya.
"Jangan bercanda denganku!"
Ia melompat dan melayangkan pukulan, tetapi... serangannya menembus tubuh sosok itu!
"Apa?!" Ryan terkejut.
Ia langsung berbalik dan mencoba menendang, tetapi tetap sama—serangannya hanya melewati tubuh sosok tersebut.
Menyadari hal itu, Ryan melompat mundur untuk menjaga jarak.
"Seranganku bukan meleset, tapi tubuhnya seperti bayangan..." pikirnya.
Sosok itu kemudian berkata dengan suara tenang,
"Tenangkan dirimu dan lihatlah sekelilingmu."
Ryan menoleh dan melihat orang-orang di sekitar memperhatikannya dengan tatapan aneh, berbisik-bisik seakan ia orang gila.
Merasa tidak ingin membuat keributan lebih lanjut, Ryan memilih melanjutkan perjalanannya dan mengabaikan sosok itu.
Namun, saat ia berjalan, sosok misterius itu tiba-tiba muncul di belakangnya dan berbisik pelan,
"Segera temukan jati dirimu."
Seketika, tubuh sosok itu berubah menjadi debu dan menghilang.
Ryan berhenti berjalan. Ia menundukkan kepala, mencoba memahami arti dari kata-kata sosok itu.
Pesan dari Putri
Saat jam sekolah usai, Ryan masih memikirkan bisikan sosok misterius tadi. Namun, pikirannya teralihkan ketika ponselnya tiba-tiba bergetar.
Sebuah pesan masuk.
[Hai, ini aku, Putri.]
Ryan langsung terkejut. Jantungnya berdebar.
"Apa yang harus kubalas?" pikirnya panik.
"Haruskah aku tanya bagaimana kabarnya? Atau harinya?"
Karena terlalu lama berpikir, ia akhirnya mengetik...
[Iya.]
Begitu melihat pesannya terkirim, Ryan langsung panik.
"Astaga! Kenapa aku cuma balas begitu saja?!"
Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.
[Nanti malam, apa kamu sibuk?]
Ryan membaca pesan itu dan bertanya-tanya.
"Nanti malam? Hmm, kurasa aku tidak ada rencana..."
Lalu ia mengetik balasan.
[Tidak.]
Begitu pesan terkirim, Ryan langsung menyesal lagi.
"Astaga! Aku membalasnya pendek lagi!"
Tapi tak lama, sebuah pesan baru masuk.
[Kalau begitu, apa kita bisa bertemu di Café Reborn malam nanti?]
Ryan membeku. Matanya membesar, dan wajahnya seketika berseri-seri.
"Ini... ini kencan?! Aku... aku dapat kencan!"
Namun, saking gembiranya, ia kembali membalas dengan singkat.
[Iya.]
Lalu...
"TIDAAAK!!!"
Ryan langsung menepuk dahinya.
"Kenapa aku balas begitu lagi?! Huhuhu, aku ingin mati saja..."
Sementara itu, Putri tersenyum kecil saat membaca balasan Ryan.
Persiapan Kencan
Ketika malam tiba, Ryan terbangun karena alarm ponselnya berbunyi. Ia melihat jam dan langsung panik.
"SIAL! Aku ketiduran!"
Ia berlari menuju kamar mandi, tetapi...
"Kak, cepat keluar! Aku buru-buru!" Ryan menggedor pintu.
Dari dalam terdengar suara kakaknya.
"Ugh... Sabar! Aku lagi berperang ini!"
"Cepat, kak! Aku enggak ada waktu!"
"Sabar dikit lagi... UGHHH..."
Setelah beberapa menit, akhirnya pintu terbuka. Namun, sebelum kakaknya keluar sepenuhnya, Ryan langsung menariknya keluar hingga terhempas, lalu masuk ke kamar mandi.
"Woi! Santai aja napa?!" seru kakaknya kesal.
Setelah selesai mandi, Ryan mulai memilih pakaian.
"Aduh, pakai baju apa ya?"
Satu per satu ia coba pilih, tapi tidak ada yang terasa cocok. Ia sampai jongkok di lantai, depresi.
Melihat adiknya bingung, kakaknya mendekat dan tersenyum.
"Kenapa kamu tidak jadi dirimu sendiri saja?"
Mendengar itu, Ryan tersadar. Ia mengambil sweater hoodie kesayangannya, lalu berangkat.
Sementara itu, Putri sudah siap dan berpamitan kepada ayahnya.
"Ayah, aku pergi dulu."
Sang ayah melipat korannya dan tersenyum.
"Wah, anak ayah cantik sekali malam ini."
Putri tersipu malu.
"Ih, ayah! Kebiasaan deh!"
Sang ayah tertawa.
"Hati-hati, dan jangan pulang terlalu malam."
"Iya, ayah!"
Di tengah perjalanan, Ryan tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
"Akhirnya aku bisa kencan juga!"
Namun, langkahnya terhenti.
Di depan sana, sosok misterius itu muncul lagi.
APA YANG AKAN TERJADI SELANJUTNYA?!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!