NovelToon NovelToon

Dear, My First Love

Bab 1

Jakarta, 2023

Mobil yang dinaiki Aerin berhenti tepat didepan sebuah rumah sakit besar kota itu.

Jewis hospital,

salah satu rumah sakit besar milik pribadi, tentu saja milik keluarga terpandang dengan kekayaan yang tidak bisa dihitung sebanyak apa jumlahnya. Semua peralatan medis di rumah sakit tersebut sangat lengkap dan mereka mempekerjakan tim-tim medis berbakat lulusan luar negeri. Para dokter yang lulus dari dalam negeri hanya sedikit, kebanyakan pun hanyalah staf biasa. Bukan dokter ahli.

Aerin ingat salah satu teman dokternya pernah cerita kalau pemilik rumah sakit mereka ini punya jaringan kerja sama yang besar dengan luar negeri. Gadis itu tidak bisa membayangkan betapa kayanya keluarga Jewis itu. Bahkan menurut Aerin harta orangtuanya mungkin tidak bisa dibandingkan dengan sih pemilik rumah sakit tersebut. Padahal keluarganya pun termasuk salah satu keluarga kaya.

"Kenapa wajahmu kusut begitu?"

Tanya Andrea, salah satu teman sekaligus rekan kerja Aerin di rumah sakit besar itu. Ia menatap Aerin dengan raut wajah aneh. Aerin yang biasanya selalu menampilkan ekspresi ceria tersebut hari ini tampak kusut dan agak pucat.

"Kau belum sarapan?" tanya Andrea lagi terus memandangi Aerin.

Aerin mengangguk pelan.

"Aku akan pergi memesan omelet dikantin." gadis itu berbalik pergi namun Andrea buru-buru menahannya.

Aerin mengernyitkan mata.

"Jangan terlalu lama. Ada perintah semua dokter harus ada di aula pertemuan pagi ini."

"Kenapa?" tanya Aerin.

Setahunya, kalau pertemuan begitu akan ada banyak sekali yang dibahas. Dan Aerin merasa malas mengikuti pertemuan-pertemuan seperti itu. Ia lebih senang bersantai.

"Aku mendengar putra pemilik rumah sakit akan bergabung jadi salah dokter pimpinan di sini." ucap Andrea menjelaskan, seketika itu juga raut malas Aerin langsung berubah. Ia jadi tertarik.

"Oh ya?" serunya antusias. Tentu saja dia ingin lihat seperti apa anak dari orang hebat pendiri rumah sakit mereka ini. Dia penasaran.

"Kau tidak jadi ke kantin?" Andrea balas bertanya, bingung karena Aerin kini berjalan mengikutinya. Padahal tadi gadis itu bilang mau ke kantin dulu. Aerin tersenyum mengangkat bahu.

"Pertemuan pagi ini lebih penting dari sarapan. Aku bisa sarapan sehabis melihat wajah putra pemilik rumah sakit." ujarnya dengan senyum cerah. Andrea terkekeh.

"Jangan terlalu senang dulu, menurutku dia tidak terlalu keren." ucapnya.

"Kenapa?" Aerin menatap wanita itu dengan mata hitamnya yang cerah.

"Kau lihat ayahnya? Bukankah direktur kita tidak ada tampan-tampannya sama sekali? Anaknya mungkin sama saja." sahut Andrea menampilkan ekspresi tidak tertarik. Aerin hanya mengangkat bahu acuh tak acuh. Meski begitu ia tetap merasa penasaran.

Keduanya terus berjalan dan berhenti di aula pertemuan. Sebelum masuk, kedua wanita itu saling berpandangan dengan ekspresi takjub sambil menatap ke dalam aula yang sudah di penuhi dengan para dokter dari berbagai kalangan. Banyak dokter-dokter besar yang hadir. Ada juga para staf lain selain dokter dan perawat yang duduk pada tempat yang sudah disiapkan secara khusus untuk mereka.

Bahkan tempat duduk dokter umum, dokter spesialis dan yang lain sudah diatur tempatnya masing-masing. Aerin dan Andrea bergabung dengan teman-teman mereka yang lain dibagian tengah, tempat para dokter umum berkumpul.

Tak lama kemudian direktur utama rumah sakit itu naik ke podium. Banyak sekali yang dia bicarakan sampai-sampai Aerin merasa mengantuk, padahal ia datang ke sini mau melihat dokter baru yang katanya akan bergabung hari ini. Tapi mana? Sampai sekarang belum ada tanda-tanda ...

Aerin hampir saja masuk ke alam mimpinya kalau saja Andrea tidak menyikutnya. Beberapa dokter lain meliriknya aneh, sedang Aerin hanya tersenyum malu merasa tidak enak dan kembali duduk tegak. Entah sudah sampai dimana pembicaraan pak tua di dep ...

Pandangan Aerin berhenti pada seseorang yang tiba-tiba naik ke atas panggung aula. Ia lalu melirik ke dokter-dokter muda, perawat dan staf perempuan yang mulai berbisik-bisik. Lelaki yang maju didepan sana sangat tampan di mata mereka, lebih cocok menjadi aktor. Semua mata menatapnya terkesima termasuk. Aerin ikut fokus menatap ke depan sana.

Sosok itu berdiri seperti magnet yang kuat, memukau dengan segala pesona yang dimilikinya dalam balutan jas putih itu. Tubuhnya tinggi menjulang, dan wajahnya memancarkan keangkuhan yang sempurna. Andrea disampingnya bahkan tidak bisa berkata apa-apa. Mulutnya terbuka menatap lelaki didepan sana dengan tampang memuja.

Padahal Andrea adalah perempuan yang jarang sekali akan memuja pria tampan selain pacarnya, biasanya ia sangat cuek. Artinya lelaki didepan sana lebih dari hanya sekedar tampan. Andrea mengakui lelaki itu punya aura sangat kuat yang bisa menarik perhatian banyak orang, terutama perempuan. Bagi Andrea, lelaki seperti itu sangat jarang ada.

Aerin sendiri jelas kenal siapa lelaki itu. Sampai sekarang ia tidak pernah lupa. Bahkan sosok itu terus muncul dalam mimpinya akhir-akhir ini.

Lelaki yang dulu disukainya. Yah, Anson adalah sahabat kakaknya yang lebih tua dua tahun darinya itu, yang dulu selalu ia kejar dengan tidak tahu malunya, dan kini berdiri tegak di depan sana dengan wajah dingin sempurnanya yang memancarkan keangkuhan.

Aerin tampak linglung. Kejadian dulu kembali terngiang-ngiang di kepalanya. Apalagi ketika Anson bersikap kasar sampai mengutuknya hanya karena kesalahan kecil yang dia lakukan. Tidak, itu mungkin kesalahan fatal menurut lelaki itu.

Kutukan Anson selalu muncul dalam mimpinya, yang ternyata benar-benar mengubah hidupnya. Ia tidak membenci Anson yang sekarang. Hanya saja ...

"Aerin ada apa, kau sakit?" bisik Andrea pelan. Ia menyadari gadis itu tampak terganggu entah karena hal apa.

Aerin menggeleng.

"Mungkin tubuhku sedikit lemah karena belum sarapan." bisik Aerin. Mereka kembali menatap lurus ke depan. Direktur kembali bicara.

"Perkenalkan, ini adalah dokter Anson Jewish, juga merupakan anak tunggal saya. Mulai hari ini dia akan bergabung di rumah sakit ini sebagai salah satu dokter kepala di bangsal VVIP."

Terdengar tepukan tangan meriah ketika kepala rumah sakit selesai bicara dan Anson menunduk hormat dari depan. Tentu saja lelaki itu tidak bisa melihat keberadaan Aerin dari tempatnya berdiri. Terlalu banyak orang dengan seragam yang sama. Semuanya terlihat sama di matanya.

_____________

Setelah pertemuan itu berakhir, banyak dokter yang datang berbondong-bondong memberi salam sekalian memperkenalkan diri kepada Anson. Lelaki itu hanya menyapa singkat, tidak begitu tertarik. Ia tahu mereka ingin mendekatinya karena statusnya. Kebanyakan orang begitu kan? Selalu berusaha mendekati sosok yang bisa menguntungkan mereka.

"Kau yakin akan bekerja dengan ayahmu?" Anson menoleh pada lelaki seumurannya dengan rambut kecoklatan dan agak sedikit ke bule-bulean itu. Namanya Logan, dokter spesialis anak sekaligus sahabat Anson dari SMA.

Anson mengangkat bahu tak peduli. Lagipula ia tidak bisa terus melarikan diri. Suatu hari ia benar-benar harus menggantikan ayahnya mengurus rumah sakit ini.

"Kalau saja aku bisa menolak," gumamnya. Logan menertawainya. Pandangannya berpindah ke Andrea dan Aerin yang baru keluar aula. Mereka adalah orang terakhir yang keluar dari aula, Logan bisa memastikan. Detik itu juga pandangan Anson dan Aerin bertemu.

Deg ... Deg ...

Bab 2

"Andrea!"

Panggil Logan. Ia bersuara ketika mendapati seorang gadis yang sangat dikenalnya berdiri di ujung sana. Aerin ikut menoleh ke pintu keluar aula.

Logan dan Andrea cukup dekat, tapi tidak dengan Aerin. Lelaki itu sudah hampir enam bulan ini selalu berselisih dengan perempuan itu, hubungan mereka sangat tegang. Bisa dibilang bermusuhan. Lebih tepatnya Logan yang memusuhi Aerin, semenjak Aerin memutuskan hubungan dengan sepupunya sepihak. Tanpa alasan. Itulah penyebabnya kenapa Logan marah. Apa salah sepupunya coba? Sudah baik, punya segalanya, mencintai gadis itu dengan tulus, tapi malah dibuang begitu saja.

Aerin meringis pelan. Kenapa Anson harus berdiri didepan aula sih. Dia kan jadi canggung sekarang. Pandangan keduanya bertemu. Lelaki itu menatap Aerin tajam, ngeri rasanya melihat tatapan tajam Anson.

Apa dia mengingatku?

Aerin bergumam dalam hati. Ia bertambah canggung melihat Anson yang terus menatapnya dingin. Tapi dengan berani ia mencoba menyapa.

"H ... Hai," sapanya ramah.

Aerin berusaha bersikap biasa saja supaya tidak terlihat canggung. Anson tak bergeming, terus menatapnya dingin dan Aerin bisa merasakan aura kebencian dalam mata hitam besar milik lelaki itu.

Di sebelah pria itu ada Logan yang mencibir. Sok akrab, batinnya terus menatap Aerin tidak suka.

"Kau pikir bisa sembarangan begitu menyapa atasanmu?" sentaknya. Andrea langsung memberi Logan kode dengan mata seperti mengatakan jangan macam-macam, tapi Logan tidak peduli. Ia selalu tidak suka melihat Aerin.

Aerin memutar bola matanya malas. Entah sampai kapan Logan akan membencinya. Andrea lalu menatap Anson dan membungkuk hormat.

"Saya harus memanggil anda apa? dokter Anson, atau?" Anson balas menatap wanita itu datar.

"Terserah kau saja." balasnya tidak peduli lalu kembali melirik Aerin sebentar dan berlalu pergi begitu saja. Mood-nya seketika berubah mengetahui wanita itu bekerja di rumah sakit keluarganya. Logan mengikuti pria itu dari belakang.

Selepas kedua lelaki itu pergi, Andrea memukul pelan lengan Aerin.

"Kau ini, kenapa menyapanya begitu? Memangnya dia temanmu?" omel dokter cantik itu.

Aerin terkekeh. Tidak mungkin juga kan dia cerita kalau ia sudah kenal Anson dari dulu, Andrea tidak akan percaya. Orang yang saling mengenal dari kecil tidak mungkin akan bersikap dingin dan cuek begitu.

Mereka lalu kembali ke ruangan para dokter umum. Di sana hampir semua teman-teman mereka tidak berhenti-berhenti bergosip tentang Anson. Aerin sampai-sampai merasa tertarik untuk ikut mendengar juga. Ia tidak pernah tahu apa yang dilakukan Anson selama tiga belas tahun ini.

Sejak kejadian dulu, lelaki itu tidak pernah terlihat lagi. Kata teman-temannya dia pindah ke luar negeri. Biasanya ia akan mendengar kabar Anson dari sang kakak. Tapi, semenjak kakaknya meninggal ia tidak pernah lagi mendengar nama pria itu.

"Umurnya dua puluh sembilan tahun." cerita Dina, yang lain mendengar dengan antusias.

"Dokter Anson itu lulusan universitas kedokteran terbaik di Amerika. Ia terkenal jenius. Salah satu temanku yang kuliah di kampus yang sama dengannya yang bilang padaku." Dina terus menjelaskan dan yang lain terkagum-kagum.

"Bagaimana dengan pacar?" timpal Nela. Iya yakin dokter setampan Anson pasti punya pacar yang cantik.

Dina menggeleng.

"Kata temanku, dokter Anson tidak pernah dekat dengan perempuan, ia hanya berteman dengan buku. Bahkan temannya di Amerika hanya bisa dihitung dengan jari. Ia buka tipe laki-laki yang suka bergaul, sikapnya selalu dingin pada banyak orang. Padahal katanya banyak yang suka berteman dengannya."

Aerin balik ke kursinya. Entah punya pacar atau lajang, ia juga tidak ada hubungannya dengan Anson. Meski dia mungkin masih menyukai pria itu, tidak akan ada kemungkinan bagi mereka berdua untuk bersama. Lebih baik jangan peduli saja.

                                 ***

Anson memasuki apartemen mewah miliknya yang terletak di pusat Kota. Ia memijit pelipisnya sambil meringis kesal. Ia benci harus bertemu lagi dengan perempuan itu. Ia masih ingat jelas tiga belas tahun lalu bagaimana Aerin membuatnya sangat marah dengan merusak barang-barang berharga pemberian almarhumah mamanya. Bahkan tidak minta maaf sama sekali padanya.

Dulu Anson tidak pernah menyukai Aerin karena gadis itu terus-terusan mengejarnya dengan tidak tahu malu. Aerin juga sangat nakal dulu, suka berbuat semaunya dan sering membully teman-teman sebayanya. Itulah alasan utama Anson tidak menyukai gadis itu. 

Sejak kejadian gadis itu merusak barang berharga pemberian mamanya, dengan emosi Anson menyumpahi Aerin. Besoknya pria itu bilang mau pindah sekolah pada papanya. Setelah lulus SMA, ia meneruskan pendidikannya di Amerika.

Anson akui ia pernah beberapa kali memikirkan Aerin selama tiga belas tahun ini, tapi dia lebih senang tidak bertemu dengan Aerin lagi. Hanya saja, entah sial atau apa mereka kembali di pertemukan kemarin. Gadis itu juga bekerja di rumah sakit keluarganya. Aerin bahkan tersenyum kepadanya dengan tampang tidak berdosa. Seolah-olah di antara keduanya tidak pernah ada yang terjadi.

Lelaki itu mendengus keras lalu membanting dirinya ke kasur. Hari-hari kedepannya akan lebih panjang. Ia mungkin akan sering bertemu dengan gadis itu.

Tiba-tiba terbersit dalam benaknya, apa Aerin masih menyukainya? Anson kemudian tersadar dan cepat-cepat membuang pikirannya jauh-jauh. Astaga, kenapa dia malah berpikir seperti itu.

_______________

Paginya Anson sudah berada di rumah sakit. Walau itu adalah rumah sakit milik keluarganya, ia masih belum terbiasa dan belum begitu mengenal lingkungan gedung besar itu. Pria itu memutuskan ke ruangan Logan untuk meminta lelaki itu menemaninya berkeliling.

Logan sedang bicara dengan seorang perawat wanita ketika dia masuk ke ruangan lelaki itu yang kebetulan pintunya terbuka. Saking seriusnya bicara, mereka bahkan tidak menyadari kedatangannya. Anson masuk saja dan menunggu dikursi dalam ruangan itu. Ia bisa mendengar pembicaraan mereka.

Anson merasa tertarik ketika nama Aerin ikut-ikutan masuk dalam pembicaraan mereka.

"Apa katamu, bukankah sudah berkali-kali saya peringatkan? Jangan pernah kasih ijin dokter Aerin memberi makanan sembarangan pada Safa!" sentak Logan marah. Sang perawat menunduk takut.

"Ta ... Tapi saya takut dimarahi dok," sahut sih perawat.

"Takut?" Logan memicingkan mata menatap tajam sang perawat.

"Kau lebih takut pada dokter malas itu dibanding saya, atasanmu langsung?" sentaknya lagi. Logan tidak mengerti bagaimana dengan jalan pikiran perawat ini.

"Katakan, dia menyuap-mu kan?" perawat itu menggeleng cepat.

"Tidak dok." Logan terus menatap wajah siu perawat mencari kebohongan.

"Jangan coba-coba menipuku. Aku sudah lihat kau mengambil sesuatu dari tangannya tadi." sih perawat berubah pucat pasih.

"S ...saya,"

Logan tersenyum miring.

"Keluarlah. Lain kali kalau kau kedapatan berbohong lagi akan ku pastikan surat pemecatan-mu keluar saat itu juga." ancamnya kemudian. Perawat itu mengangguk takut dan berbalik pergi.

Setelah kepergian perawat tadi, Anson berdiri dari kursinya melangkah ke dekat meja kerja Logan sambil bersedekap dada.

"Sepertinya kau sangat tidak menyukai dokter bernama Aerin itu." Logan mendongak, cukup terkejut dengan keberadaan lelaki itu.

"Sejak kapan kau di sini?" tanyanya heran.

"Sejak kau bentak-bentak perawat tadi." sahut Anson. Logan menghela nafas lelah. Anson duduk berhadapan dengannya.

"Aku memang tidak menyukai wanita itu." ungkapnya membicarakan Aerin. Anson mendengar dengan serius.  

"Wanita itu suka berbuat seenaknya. Ia selalu ikut campur dengan salah satu pasienku. Aku juga punya masalah pribadi dengannya."

Anson mengernyitkan mata,

"Masalah pribadi?" ia terus menatap Logan ingin tahu.

"Wanita itu mencampakkan sepupuku dan berselingkuh dengan lelaki lain. Dia bahkan tidak pernah minta maaf atau mengaku salah. Sepupuku sangat menyukainya jadi tidak mau putus, akhirnya memaafkannya. Tapi malah di campakkan oleh gadis sialan itu, huh!

Bab 3

Emosi Logan selalu tidak stabil ketika menyebut nama Aerin.

"Wanita rendahan. Sok laku, ia tidak tahu apa kalau dibelakangnya banyak sekali orang yang mencemoohnya, huh!" umpat Logan mendengus keras.

Kening Anson berkerut. Ia heran kata-kata kasar itu bisa keluar dari mulut Logan. Jadi ada yang lebih membenci Aerin daripada dirinya?

"Dan kau, kenapa kau jadi tertarik membahas perempuan?" tanya Logan. Saking emosinya memikirkan Aerin, ia jadi lupa kalau ini pertama kalinya Anson bertanya tentang yang namanya wanita.

"Jangan bilang kau tertarik pada kecantikan palsu wanita itu?" dahi Anson berkerut samar.

"Palsu?" ulangnya. Ia melihat Logan mengangguk. Anson tidak mengerti apa arti kecantikan palsu yang di maksud Logan.

"Banyak dokter perempuan yang bergosip kalau wajah cantiknya itu hasil operasi. Katanya dulu valak bahkan lebih enak dilihat darinya."

Anson terbahak.

Ternyata banyak sekali orang yang membencimu.

Sebagai seseorang yang sudah mengenal Aerin dari lama, Anson jelas tahu kalau wanita itu memang cantik alami. Foto masa kecilnya pun masih ada sampai sekarang di rumahnya. Anson ingat Kyle, kakak Aerin pernah memberikan foto kecil  gadis itu padanya. Ia bahkan heran kenapa ia belum membuang foto itu sampai sekarang.

Aerin sudah cantik alami dari kecil, hanya hatinya saja yang mungkin tidak secantik wajahnya. Oh ya, sepertinya kutukannya dulu pada gadis itu pun tidak berhasil. Aerin tampak bahagia-bahagia saja bahkan gampang sekali mencampakkan orang yang menyukainya, seperti cerita Logan.

"Sudahlah, jangan membicarakan perempuan tidak penting itu lagi. Katakan kenapa kau kesini?" ujar Logan mengalihkan pembicaraan.

"Aku ingin kau menemaniku berkeliling. Aku belum begitu kenal lingkungan di sini." jawab Anson menatap lelaki itu. Logan melirik jam tangannya sebentar lalu bangkit dari kursi.

"Ayo. Waktu kosong ku hanya satu jam." ujarnya. Anson ikut berdiri.

Setelah berkeliling, Anson cukup takjub karena merasa ayahnya tidak tanggung-tanggung memberikan fasilitas terbaik pada rumah sakit ini. Bagaimana tidak? Rumah sakit ini memiliki enam belas kamar mewah yang dilengkapi elevator pribadi dan layanan valet untuk pasien VVIP. Bahkan, rumah sakit ini juga menawarkan fasilitas kolam renang, spa, dan gym untuk keluarga pasien.

Anson terkesan, ayahnya benar-benar pandai menggunakan uang. Taman rumah sakit juga terlihat begitu indah dan nyaman. Rumah sakit ini memang memanjakan para pasiennya, terutama mereka yang punya uang tentu saja.

Disela-sela menikmati pemandangan taman yang indah, Anson memandangi Logan yang berjalan melewatinya dengan langkah cepat. Ia juga melihat Aerin berdiri di tengah taman sedang bercanda bersama seorang bocah kecil dikursi roda. Anson ikut mendekat ke mereka.

Sedang Aerin merasa terkejut bukan main karena tiba-tiba buah di tangannya melayang ke udara. Saat ia cepat-cepat mau mengambil buah itu sebelum benar-benar jatuh ke lantai, badannya terhuyung hingga membuatnya hampir jatuh juga.

Aerin merasa ada yang menarik pinggangnya, menahannya supaya tidak terjatuh. Ia menaikkan wajah menatap orang yang sedang memeganginya sekarang dan tertegun sesaat, menyadari siapa orang itu.

Anson ...

Ya ampun, kenapa kejadian memalukan seperti ini harus terjadi sih. Apalagi ia tidak kuat dengan tatapan dingin Anson. Kecanggungan yang hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, mungkin?

Aerin berdeham pelan dan melepaskan tangan Anson yang masih setia di pinggangnya. Pandangannya beralih ke Logan. Lelaki itu memberi perintah pada perawat didekat situ membawa Safa balik ke kamar pasien. Logan kemudian menatap Aerin nyalang.

"Berapa kali harus ku ingatkan, kau tidak mengerti bahasa manusia?!"

Aerin menatap lelaki itu jengah.

"Kenapa kau semarah itu? Aku hanya memberinya buah, dan aku pikir tidak apa-apa, tidak seperti aku memberinya racun. Kau saja yang terlalu berlebihan." balasnya.

Aerin tahu Logan hanya mau mencari-cari kesalahannya saja. Logan tersenyum sinis.

"Safa adalah pasienku, aku berhak melarang kamu melakukan apa pun yang kau inginkan terhadapnya. Jam makannya sudah diatur, ingat itu!" lelaki itu memberi peringatan dengan nada tajamnya kemudian pergi dari situ mengikuti perawat yang membawa Safa, ia terlalu malas berhadapan dengan Aerin.

Aerin berdecak kesal menatap kepergian lelaki sombong yang sok berkuasa itu. Padahal sudah hampir enam bulan dirinya dan Dean, sepupu Logan putus namun lelaki itu masih saja dendam. Ia heran bagaimana Dean mempengaruhi Logan sampai pria itu sangat membencinya seperti ini. Ketika hendak berbalik pergi, mata Aerin Kembali berpapasan dengan Anson.

Ternyata pria itu belum pergi. Dia masih disini? Aerin sama sekali tidak menyadari kalau Anson masih berdiri di dekatnya. Kalau berdua saja begini, ia merasa lebih canggung lagi. Gadis itu menampilkan senyum cerah andalannya.

"Kau masih di sini?" tanyanya berusaha terlihat sebiasa mungkin. Lupakan masa lalu, hadapi masa sekarang. Mereka sama-sama sudah dewasa bukan. Lelaki itu selalu menatapnya dingin dan tak bersahabat. Dari dulu sudah begitu, jadi tidak ada yang berbeda menurut Aerin. Ia sudah biasa.

Anson bersedekap menatap Aerin.

"Jadi, berapa banyak pria yang sudah kau campakkan selama ini?" nadanya datar. Aerin mengernyit bingung. Ia berusaha memahami perkataan Anson. Ah, mungkin Logan sudah cerita. Atau Anson mendengar gosip dari para dokter dan perawat yang tidak punya kerjaan itu.

Di rumah sakit ini, nama baik Aerin memang sudah tercoreng. Ia tahu mereka selalu bergosip tentang dirinya yang begitu gampangan dan selalu gonta-ganti pacar. Entah darimana cerita itu beredar dan jadi ramai dikalangan para staf rumah sakit.

Padahal seumur hidupnya, ia hanya punya satu pacar dan hanya pacaran satu kali dengan Dean. Masalah mencampakkan atau tidak, Dean sendiri yang tahu kenapa mereka putus waktu itu. Aerin tidak mau membahasnya, sudah lewat dan hanya akan membuatnya sakit hati.

"Ternyata kau tidak pernah berubah, bahkan lebih buruk dari dirimu yang dulu." gumam Anson lagi dengan tatapan merendahkan.

Aerin menahannya. Ia sudah kebal dengan perkataan menyakitkan pria itu. Entah kalimat apalagi yang akan dilontarkannya setelah ini, biarkan saja lelaki itu menghinanya semaunya. Ia terlalu lelah untuk berdebat seperti dulu. Dirinya yang dulu dengan sekarang berbeda.

"Sepertinya kau bahagia sekali dengan hidupmu sekarang. Tiba-tiba aku merasa menyesal kenapa kutukan ku dulu tidak benar-benar terjadi." tambah Anson lagi sinis.

Jleb.

Napas Aerin tercekat. Perkataan itu membuat hatinya terasa pedih. Ia  tersenyum menatap Anson dan berusaha terlihat baik-baik saja.

"Jadi kau masih ingat kejadian dulu? Kau masih membenciku? Ayolah Anson, dulu itu kita masih terlalu muda. Jangan menyimpannya dalam hati. Lagipula, kau juga memecahkan barang mahal yang aku berikan padamu dulu, jadi kita sudah impas bukan?"

kata-kata Aerin meluncur begitu saja dari mulutnya. Ia sampai tidak sadar malah mengungkit kejadian dulu lagi.

Anson menggertakkan gigi dengan tangan terkepal kuat, menatap Aerin lekat-lekat.

"Katakan sekali lagi," gumam lelaki itu dengan nada rendah. Tatapannya yang tajam menusuk membuat Aerin langsung ciut. Ia menahan napasnya ketika Anson mencondongkan badan ke wajahnya.

"Jangan pernah samakan barang berhargaku dengan benda tidak berguna milikmu itu." pria itu melanjutkan ucapannya dengan sangat dingin kemudian berbalik pergi.

Kali ini Aerin mengembuskan napas lega. Ia merutuki dirinya sendiri karena tanpa sengaja malah memancing kemarahan lelaki itu lagi. Siapa suruh lelaki itu mengingatkan kutukan mengerikan itu.

Aerin lalu tertawa kecut, Anson saja yang tidak tahu kalau kutukannya dulu seperti mimpi buruk baginya, karena semua itu betul-betul terjadi di hidupnya. Aerin saja yang pandai menutupinya.

Dia lebih memilih digosipkan sebagai perempuan gampangan yang suka gonta-ganti pacar dan mencampakkan mereka daripada di pandang dengan wajah kasihan oleh mereka. Ia tidak ingin orang lain mengasihani hidupnya. Ia tidak suka itu. Berpura-pura tidak punya harga diri jauh lebih bisa diterimanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!