NovelToon NovelToon

Mentari Yang Hilang

Club' Malam

Sore itu, kota Jakarta seperti sebuah kanvas yang dicat dengan warna-warna hangat. Langit jingga memudar, perlahan menenggelamkan matahari di balik gedung-gedung pencakar langit. Namun, bagi Ardani Hartanto Kusumo, kehangatan itu bukan hanya dari langit. Kehangatan itu berasal dari sebuah surel yang baru saja ia terima.

Langkahnya mantap saat memasuki rumah. Bibirnya tak berhenti melengkung membentuk senyum. Di ruang tamu yang luas, ia melihat Herman dan Rida, kedua orang tuanya, sedang berbincang sambil menikmati teh.

“Pa, Ma! Tebak siapa yang dapat kabar baik hari ini!” seru Dani, tak bisa menyembunyikan euforianya. Ia melangkah cepat, duduk di sofa di antara orang tuanya, lalu memeluk Rida dengan erat.

“Pelan-pelan, Dani, kamu kenapa? Wajahmu berseri sekali,” tanya Rida sambil mengusap lembut kepala putranya.

Dani merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah surat yang sudah ia cetak. “Promosi, Ma! Perusahaan kita untung besar lagi!”

Herman yang semula terlihat tenang, langsung terkejut melihat amplop di tangan putranya. “Serius kamu?”

“Iya, Pa! Ini, Papa baca sendiri,” jawab Dani sambil menyodorkan surat itu.

Herman membaca isinya dengan seksama. Matanya melebar saat menyadari bahwa Dani telah berhasil mempromosikan perusahaan mereka hingga menarik investor besar. “Papa bangga sama kamu, Nak,” ucap Herman sambil menepuk punggung putranya.

“Terima kasih, Pa,” jawab Dani, lalu melirik arloji di pergelangan tangannya. “Oh, ya, aku ke kamar dulu, ya. Mau mandi, gerah banget.”

“Tentu. Nanti Mama siapkan makanan kesukaanmu,” jawab Rida.

“Asyik! Makasih, Ma!” Dani segera naik ke kamarnya.

Kamar di lantai dua itu bernuansa alam, dengan foto-foto pegunungan dan pantai yang ia pajang di dinding. Setelah membersihkan diri, ia merebahkan diri di tempat tidur dan membaca buku. Tak lama kemudian, telepon kamarnya berdering.

“Halo?”

“Bro! Nathan, nih! Apa kabar?” Suara di seberang sana terdengar penuh semangat.

“Wah, Bro! Sehat, kok. Ada apa, nih, tumben nelpon?”

“Malam ini ke klub, yuk! Kumpul-kumpul bareng yang lain,” ajak Nathan.

Dani menghela napas. “Ah, males, ah. Besok gue ada meeting pagi.”

“Ayolah, sekali ini aja! Lu sibuk terus, makanya kita jarang ketemu. Sekalian merayakan keberhasilan lu, Bro!”

“Ya sudah, deh,” jawab Dani pasrah. “Tungguin, ya. Aku ganti baju dulu.”

“Oke, Bro! gue tunggu di sini!”

Setelah menutup telepon, Dani segera berganti pakaian. Ia memadukan kemeja yang lengannya digulung hingga siku dengan celana bahan berwarna hitam.

“Ma, Pa, aku pergi dulu, ya!” seru Dani saat menuruni tangga.

Rida menatap putranya yang sudah rapi. “Mau ke mana kamu jam segini?”

“Ke rumah teman, Ma. Duluan, ya!” Dani langsung berlari keluar tanpa menunggu jawaban.

“Eh, makan dulu!” seru Rida.

“Nanti aja, Ma!” jawab Dani dari halaman depan.

Rida hanya bisa menggelengkan kepalanya. Herman menghampiri dan memeluknya dari belakang. “Sudahlah, Ma. Biarkan saja,” ucapnya menenangkan. Namun, raut wajah Rida masih menunjukkan kegelisahan. Ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa.

***

Dentuman musik yang memekakkan telinga menyambut Dani saat ia memasuki klub. Lampu-lampu sorot berwarna-warni menari di seluruh ruangan, menciptakan suasana yang riuh. Dani terus melangkah, menolak godaan dari beberapa perempuan yang mencoba mengajaknya minum.

Ia akhirnya menemukan Nathan dan yang lain di salah satu sofa. “Oi!” sapa Dani.

“Wah, Pak Bos datang!” ledek salah satu dari mereka.

“Sehat lu, Bro?” tanya yang lain.

“Sehat,” jawab Dani sambil duduk di samping Nathan.

Mereka mulai mengobrol, berbagi cerita tentang bisnis. Dani memperhatikan gelas-gelas di atas meja yang mulai terisi alkohol. Ia dan Nathan memilih untuk tidak minum.

“Dan, lusa ada rencana, enggak?” tanya Nathan.

“Emang kenapa?”

“Kita udah lama enggak hunting. gue punya tempat bagus.”

Dani terdiam sejenak. “Gimana, ya… nanti deh, gue pikirin.”

“Ah, elah! Ayolah, Bro! Ini hobi kita!”

Dani menghela napas. “Ya sudah, gue ikut. Tapi enggak janji, ya.”

“Siap, Pak Bos! Pokoknya harus jadi!”

Obrolan mereka terhenti saat seorang teman mengajak mereka berjoget. “Ayo, joget, biar seru!”

Dani, yang awalnya enggan, akhirnya ikut terbawa suasana. Gemerlap lampu dan musik yang menghentak membuat ia ikut bersemangat.

“Wuhuuu! Seru!”

Setelah hampir tiga jam di klub, Dani melirik jam. Pukul 12 malam. “Bro, gue balik dulu, ya,” pamitnya.

“Ah, lu. Besok juga enggak apa-apa kali,” ujar salah satu temannya.

“Enggak bisa. Besok ada urusan. Nathan, gue balik!”

“Hati-hati ya,” jawab Nathan sambil melambaikan tangan.

Dani segera bergegas keluar, meninggalkan keramaian di belakangnya. Ia merasa aman untuk pulang sendirian karena tidak minum alkohol.

***

Rida tak bisa tidur. Pikirannya melayang, mengkhawatirkan putranya. Ruang tamu yang hening terasa mencekam. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Di matanya, Dani tetaplah anak kecil yang perlu ia lindungi, meskipun suaminya berulang kali mengatakan bahwa putranya sudah dewasa. Tiba-tiba, suara deru mobil menghentikan kegelisahannya. Rida segera berdiri dan menuju pintu. Benar saja, Dani masuk dengan penampilan yang sama seperti saat ia pergi.

“Ma? Belum tidur?” tanya Dani.

Rida menghela napas lega. “Mama cemas sama kamu, Sayang.”

Dani terkekeh. “Ma, aku udah gede, loh. Jangan gini lagi, ya.”

“Bagi Mama, kamu tetap anak kecil. Sudah makan?”

“Sudah, kok. Aku ke kamar, ya. Besok ada meeting,” ucap Dani sambil berbalik badan.

“Tunggu, Dan,” panggil Rida. Langkah Dani terhenti. “Ada yang mau Mama bicarakan sama kamu. Besok setelah meeting, temui Mama sama Papa, ya.”

“Emang ada apa, Ma?”

“Nanti juga kamu tahu. Sekarang istirahat saja,” jawab Rida, menyembunyikan nada serius yang entah kenapa membuat Dani sedikit merinding.

“Ya sudah, aku naik, ya, Ma.”

“Iya. Istirahat yang nyenyak, ya.”

rencana perjodohan

Suara kicauan burung dan kokok ayam bersahutan, mengumumkan datangnya pagi yang cerah. Perlahan, dunia kembali hidup, orang-orang mulai bersiap memulai hari mereka. Sama halnya dengan Dani. Ia membuka mata, merasakan sisa-sisa kantuk dari tidur nyenyak semalam. Hari ini adalah hari yang sangat penting; ia akan melakukan presentasi promosi yang bisa membawa keuntungan besar bagi perusahaannya.

Tanpa membuang waktu, ia bergegas ke kamar mandi. Dua puluh menit kemudian, ia keluar dengan setelan formal yang rapi, membuatnya tampak semakin tampan dan berkarisma. "Sudah jam setengah tujuh," gumamnya, melirik jam di dinding. Dani menuruni tangga dan menemukan kedua orang tuanya sudah berada di meja makan, sibuk menyiapkan sarapan.

"Pagi, Ma, Pa," sapanya.

"Pagi. Sudah siap, Dan?" tanya Rida.

"Siap dong, hehe. Hari ini penting banget buatku."

"Materi presentasinya sudah kamu kuasai semua?" tanya Herman.

"Sudah, Pa. Papa tenang aja, semuanya beres," jawab Dani, penuh percaya diri.

"Sudah-sudah, ayo sarapan dulu. Dani makan yang banyak, ya," timpal Rida.

Mereka pun terdiam, menikmati sarapan pagi. Roti panggang dengan selai menjadi menu pilihan, karena Dani tidak terbiasa makan berat di pagi hari.

"Oh, iya, Dan," Herman membuka pembicaraan. "Nanti setelah meeting selesai, kamu ke Kafe XXX, ya. Papa sama Mama ada di sana."

"Mau membicarakan yang kemarin itu, ya, Ma?" tanya Dani.

"Iya, Sayang. Jangan lupa datang, ya," jawab Rida.

Dani hanya mengangguk, mulutnya sibuk mengunyah.

"Aku sudah selesai. Ma, Pa, aku ke kantor dulu," pamitnya, beranjak dari kursi dan mengambil tas kerjanya.

"Hati-hati," pesan Rida.

Setelah Dani pergi, keheningan melingkupi Herman dan Rida. Wajah Herman tampak gelisah.

"Ma, apa Mama yakin mau menjodohkan Dani dengan anaknya Pak Trisna dan Bu Henny? Kalau Dani menolak gimana?" tanyanya.

"Ah, Papa. Mama yang lebih tahu Dani. Di umurnya sekarang, dia sudah cocok untuk berumah tangga. Lagipula, anaknya Bu Henny itu cantik, sarjana, dan seorang perawat. Gimana Mama enggak mau dia jadi menantu? Idaman Mama banget," jawab Rida, mantap.

Herman hanya bisa menghela napas. Ia tahu istrinya keras kepala. Jika Rida sudah bertekad, sulit untuk membantah.

"Ya sudah, terserah Mama saja. Tapi, kalau Dani menolak, jangan dipaksa, Ma," pinta Herman.

"Pasti Dani enggak akan menolak, Pa. Percaya deh sama Mama."

***

Di ruang meeting, Dani sedang menjelaskan dengan serius tentang strategi yang akan mereka lakukan untuk mencapai keberhasilan proyek. Penjelasannya yang jelas dan rinci membuat para klien terkesan.

"Nah, begitu, Bapak-bapak. Saya sudah menjelaskan semuanya. Bagaimana pendapat Bapak-bapak sekalian?" tanya Dani.

"Bagus, Pak. Saya rasa ini cocok untuk diterapkan tahun ini."

"Seperti biasa, Pak Dani memang hebat," puji yang lain.

"Hehe. Ini berkat kerja sama tim dan Bapak-bapak sekalian. Baiklah, untuk selanjutnya kita bicarakan lain waktu. Sampai di sini dulu."

Semua orang mulai membereskan barang-barang mereka.

"Kami permisi, Pak Dani."

"Iya, silakan."

Setelah mereka pergi, Dani menoleh ke arah Angga, sekretaris pribadinya.

"Jadwal hari ini masih padat, Ga?"

"Lumayan, Bos. Sebentar lagi Anda harus meeting lagi dengan beberapa orang."

"Huft... Ya sudah, ayo."

***

Sementara itu, di Kafe revoria, sebuah keluarga sudah menunggu dengan sabar. Mereka adalah keluarga Trisna, yang terdiri dari Pak Trisna, Bu Henny, dan anak perempuan mereka. Rida dan Henny adalah sahabat sejak sekolah. Mereka pernah berjanji akan menjodohkan anak-anak mereka jika terlahir berlainan jenis. Kini, janji itu akan segera terlaksana.

"Ma... Masih lama enggak, sih? Aku bosan nunggu terus," keluh Ramilly Auliani Putri, anak semata wayang mereka, sambil memajukan bibirnya.

"Sabar, Milly. Sebentar lagi mereka sampai," jawab Henny.

"Huft... Capek, deh."

Milly (24) baru saja lulus sebagai perawat dan bekerja di sebuah rumah sakit swasta terkenal. Penampilannya cukup modis, jauh dari kesan perawat pada umumnya. Ia terkenal manja, egois, dan sombong karena selalu dimanja kedua orang tuanya.

Tak lama kemudian, Rida dan Herman datang. Rida segera melihat sahabatnya di salah satu sudut kafe.

"Henny!" panggil Rida dari pintu masuk.

Henny menoleh, matanya berbinar. "Eh, Ridaaa!"

Keduanya berpelukan erat. Trisna dan Herman hanya bersalaman.

"Ya ampun, sudah lama enggak ketemu," ucap Henny.

"Hehe, maaf ya, tadi macet soalnya."

"Enggak apa-apa. Eh, kenalkan, ini Milly, anakku satu-satunya," Henny memperkenalkan putrinya.

"Halo, Om, Tante," sapa Milly.

Rida terkejut melihat Milly. Ia sangat cantik dan modis. Rida langsung memeluk calon menantunya itu.

"Ya ampun, Milly. Kamu sudah besar, ya. Tambah cantik, hehe. Sudah kerja?"

"Sudah, Tante, di rumah sakit swasta di jalan ZX."

Rida terkejut. "Rumah sakit yang besar itu?"

"Iya, Tante," jawab Milly sambil tersenyum manis.

"Tuh, kan, Pa. Mama enggak salah pilih menantu," bisik Rida pada Herman.

"Kalian, duduklah. Enggak baik berdiri terus," kata Trisna.

"Eh, iya. Terima kasih."

Mereka pun duduk.

"Ngomong-ngomong, anakmu mana? Enggak berangkat bareng kalian? Siapa namanya? Dani, ya?" tanya Henny.

"Iya, Dani ada urusan di kantor, jadi agak telat datang ke sini."

"Wah... Jadi pemimpin perusahaan memang berat, ya, hehe. Sudah lama enggak ketemu Dani, pasti dia tampan, kan?"

"Sudah tentu dong. Pokoknya serasi, deh, kalau bersanding dengan Milly," jawab Rida sambil tertawa kecil.

"Milly nanti kalau ketemu Dani pasti langsung jatuh cinta."

"Hahahaha...."

Sembari menunggu Dani, mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol dan bernostalgia.

***

"Sudah selesai semua?" tanya Dani kepada Angga.

"Sudah, Bos."

"Ga, kamu beresin semuanya, ya. Saya harus buru-buru pulang, ada urusan di rumah."

"Oh, iya, Bos, siap."

Dani yang sibuk bekerja, teringat pesan kedua orang tuanya. Ia melihat jam, sudah pukul tiga sore. Ia baru saja menyelesaikan rapatnya.

"Gue harus cepat," gumamnya.

Dengan langkah cepat, ia melajukan mobilnya ke Kafe revoria. Setelah menempuh perjalanan 15 menit, ia pun tiba. Ia segera memarkirkan mobilnya di tempat khusus. Dani keluar dari mobil dengan setelan kerja yang masih melekat di tubuhnya. Ia hanya mengenakan kemeja tanpa dasi, dengan lengan yang digulung hingga siku. Dari kejauhan, ia melihat kedua orang tuanya sedang mengobrol dengan sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Ia pun menghampiri mereka.

"Maaf, Ma, Pa, Dani telat..."

pertemuan kedua belah pihak

"Maaf, Ma, Pa, Dani telat," sapa Dani, memecah percakapan yang tengah berlangsung.

Semua mata tertuju padanya. Rida, sang ibu, segera memperkenalkan Dani kepada keluarga Trisna. "Dani, kenalkan ini Tante Henny dan Om Trisna... dan ini Milly."

Dani mengangguk sopan. "Halo semuanya, salam kenal."

Milly, yang tadinya enggan dengan perjodohan ini, langsung terpana. Sesuai perkataan ibunya, Dani memang tampan. Ia kaya, berkarisma, dan macho. Milly tak bisa mengalihkan pandangannya.

"Milly? Milly!" panggil Henny, ibunya.

"Eh, iya, Ma?"

Henny tersenyum jahil. "Kenapa kamu melihat Dani begitu?"

Milly tersipu malu karena ketahuan. "Eum... enggak, kok. Biasa aja," jawabnya gugup.

"Dani, ternyata dugaan Tante benar. Kamu sangat tampan, Sayang," puji Henny.

"Terima kasih, Tante," balas Dani.

"Kamu duduk di dekat Milly, ya," pinta Rida.

"Iya, Ma."

Dani menarik kursi dan duduk di hadapan Milly. Ia menatap Milly sejenak dan tersenyum. Milly semakin gugup. Ia mengalihkan pandangannya, takut ketahuan mengagumi Dani.

"Nah, Dani," Rida memulai, "kamu sudah tahu maksud dari pertemuan ini?"

"Belum, Tante. Memangnya kenapa?"

"Dulu, Mama dan Tante Henny punya impian. Jika anak kami berbeda jenis kelamin, kami akan menjodohkan mereka. Sekarang, Mama dan Tante sepakat untuk menjodohkan kamu dengan Milly."

Dani terkejut. Ia menatap Rida dengan tatapan tidak percaya. "Tapi kenapa harus aku?"

"Dani, dengarkan Mama. Usiamu sudah cukup untuk menikah. Mama ingin punya menantu. Dan Mama memilih Milly sebagai calon istrimu. Mama rasa, hanya dia yang pantas mendampingimu."

"Tapi kenapa mendadak sekali, Ma? Apa Mama tidak memikirkanku? Aku tidak ingin menikah secepat ini," protes Dani.

Keluarga Trisna terdiam melihat perdebatan itu. Rida berusaha meyakinkan putranya. "Dani, Mama lebih tahu dirimu daripada dirimu sendiri. Mama hanya ingin kamu punya pendamping hidup. Apa salahnya menikah cepat? Kamu sudah mapan dan kaya, apalagi yang kamu cari?"

Dani terdiam, mencerna perkataan Rida.

"Dani, Mama mohon padamu. Terima perjodohan ini. Setidaknya kamu mau berkenalan dengan Milly dulu," desak Rida.

Lagi-lagi Dani terdiam. Ia bingung. Ia tidak memiliki perasaan apa pun pada Milly. Ia juga tidak ingin menikah secepat ini.

"Tapi, Ma..."

"Sudahlah, Dani. Tidak apa-apa jika kita undur acaranya. Tapi setidaknya kamu mau berkenalan dengan Milly," bujuk Rida.

Dani menghela napas pasrah. Ia mengangguk. "Baiklah, aku akan berkenalan dengan Milly."

Semua orang di sana merasa lega dan senang. Milly tersenyum lebar.

"Terima kasih, Sayang," ujar Rida kepada Dani. "Kalian berdua bisa mengobrol di tempat terpisah."

"Baik, Tante," jawab Milly.

Dani dan Milly pun pindah ke meja lain.

"Tuh, kan, mereka cocok sekali," bisik Rida.

"Iya, hehe."

***

Milly merasa sangat gugup. Ia berusaha mencairkan suasana. "Eum... Dani, apa kamu serius menerima perjodohan kita?"

"Menurutmu bagaimana?" tanya Dani balik.

"Kalau menurutku, sih, kita terima aja. Soalnya ini menyangkut keluarga kita juga. Lagipula, Mama kamu dan Mama sangat bahagia. Setidaknya buat mereka senang," ujar Milly.

Dani terdiam sejenak. "Kamu memang benar," jawabnya pelan.

Milly tersenyum lebar. Dalam hati, ia membayangkan kehidupan yang mewah bersama Dani. "Bagus. Sepertinya dia bakal menerima perjodohan ini. Aaa, aku enggak sabar pengin nikah sama Dani yang ganteng dan kaya ini. Aku bisa foya-foya pakai uangnya."

Setelah mengobrol beberapa menit, mereka kembali ke meja keluarga.

"Bagaimana? Milly, kamu suka sama anak Tante?" tanya Rida.

"S-suka, Tan. Dani baik dan ramah," jawab Milly.

"Baguslah. Eh, sudah sore. Henny, pokoknya kita bakal jadi besan, aaa, senang sekali."

"Iya, Rida. Aku juga senang Dani dan Milly ternyata saling menyukai."

"Kalau begitu, pertemuan kita sampai di sini dulu, ya. Nanti kita bikin pertemuan lagi di rumahku," usul Rida.

"Boleh, boleh. Nanti kamu hubungi aku saja, ya," jawab Henny.

Hari semakin sore, mereka pun berpamitan. Dani pulang terpisah dengan kedua orang tuanya, karena membawa mobil sendiri.

***

Mobil tengah melaju kencang membelah jalanan kota di gelapnya malam, dai dalamnya terdapat Rida terus bercerita dengan gembira tentang perjodohan itu. Herman hanya diam mendengarkan.

"Mama senang akhirnya Dani mau menerima Milly, Pa," ucap Rida.

"Ma, apa Mama tidak lihat ekspresi Dani tadi? Dia sangat tertekan. Kenapa Mama harus memaksanya?" Herman akhirnya angkat bicara.

Senyum Rida sirna. "Apa-apaan sih kamu? Dani itu bahagia, tahu! Aku ibunya, aku tahu bagaimana Dani. Lagipula, Mama enggak memaksa. Dia sendiri yang mau menerima Milly."

Herman memilih diam. Ia tahu, berdebat dengan Rida tidak akan mengubah apa pun.

Di kamar, Dani merasa sangat lelah. Ia merebahkan diri di kasur. Perasaan pusing menghinggapinya. Kenapa ia harus menerima perjodohan yang tidak ia inginkan? Meskipun sudah dewasa, ia ingin memilih pasangannya sendiri dan tidak ingin menikah dalam waktu dekat.

"Aahhh, pusing..."

"Kenapa harus begini, sih? Mama juga memaksa sekali."

Ia memijat kepalanya. Pikirannya kalut. Tak lama kemudian, telepon kamarnya berdering. Ia malas mengangkatnya, tetapi telepon itu terus berbunyi. Dengan kesal, ia bangkit dan mengangkatnya.

"Halo! Siapa?!" ketusnya.

"Weh, ini gue Nathan. Kenapa lu ketus banget?"

Dani menghela napas. "Pusing gue. Ada apa lu telepon?"

"Lu lupa, ya? Gimana ajakan gue kemarin? Mau ikut gue berburu di hutan XXX? Ayolah, temani gue."

"Tadinya gue enggak mau. Tapi, gue pusing di sini, jadi gue ikut," jawab Dani.

"Serius lu?"

"Iyaaa..."

"Ya sudah. Besok siang kita berangkat, ya."

"Oke."

Sambungan terputus. Dani meletakkan gagang telepon dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menenangkan pikirannya yang kacau.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!