NovelToon NovelToon

Istri Buta Tuan Muda

BAB 01 - Kalila

Cantik, mandiri dengan masa depan yang begitu cerah. Siapa yang tidak mengenal putri Dirgantara Avgian, bidadari kecil keluarga Wijaya yang kini menjelma menjadi seorang wanita dewasa yang penuh pesona, Shiraz Kalila Hisyam.

Sejak kecil menjadi primadona, bahkan setelah pernikahan di depan mata masih begitu banyak pria yang nekad mendekat hingga Juanda, calon suaminya kerap sakit kepala.

Bagaimana tidak, wanita itu sangat sempurna di mata banyak pria. Tidak hanya kaya, tapi kecantikan yang terpancar dari dalam dirinya benar-benar menjadi daya tarik tersendiri.

"Ck, kenapa harus hujan sekarang ... Juan bisa marah jika aku sampai terlambat."

Bibir ranumnya menggerutu kesal, lagi dan lagi dia harus berhadapan dengan cuaca yang kerap semena-mena beberapa hari terakhir. Kalila tampak ragu, dia menatap pergelangan tangan dan kembali membuang napas kasar lantaran dia sudah benar-benar terlambat.

Jika harus menunggu hujan reda, kemungkinan besar Juan akan kecewa. Demi Tuhan dia benci sekali hari ini, tidak ada satupun yang berpihak. Setelah sang papa merampas surat izin mengemudinya, sore ini dia kembali dibuat kesal lantaran sang kakak menurunkannya di halte bus padahal tujuan Kalila ada di depan sana.

"Ini semua karena Kama!! Awas saja nanti, habis kau dicincang papa," umpatnya mulai melangkah ke depan sana.

Lalu lalang kendaraan tidak terlalu ramai, karena itu dia menyebrang tanpa menunggu lampu merah lebih dahulu. Dalam keadaan kesal dan khawatir sang kekasih berpikir macam-macam, Kalila tidak memerhatikan kiri-kanan.

Tanpa terduga, dalam sekejab Kalila merasakan sesuatu menghantam tubuhnya hingga terpental beberapa meter dari posisi awal. Rintik hujan menjadi saksi kala dirinya mendadak lemah bahkan bangkit saja tidak kuasa, semua berputar hebat dan pandangannya mulai mengabur bersamaan dengan seorang pria yang merengkuh tubuhnya.

"Nona, kau dengar aku? Hei ... astaga, apa yang kulakukan? Kumohon bertahanlah."

.

.

Hanya suara itu yang sempat Kalila dengar, dia tidak lagi menyadari apa yang terjadi setelahnya. Semua tiba-tiba gelap, Kalila seakan berada di sebuah ruang hampa dalam waktu yang lama tanpa dia ketahui dimana akhirnya. Dia mencoba mengerjap pelan, sesuai dengan apa yang dokter katakan.

"Bagaimana, Dok?"

Suara itu, suara papanya dan Kalila yakin betul dia tidak salah. Syukurlah, dalam mimpi ini dia tidak sendirian. Senyum itu terbit bersamaan dengan isak tangis yang juga dia kenali hingga senyum Kalila luntur seketika.

"Mama?" gumam Kalila pelan, dia masih berusaha menyimpulkan dimana dia berada sekarang.

"Pak Gian, kita perlu bicara."

Semakin lama, Kalila semakin menyadari jika ada yang aneh dengan dirinya. Dia tidak sedang berada di dunia mimpi, semua amat nyata dan dia dapat merasakan bagaimana sang papa mengecup wajahnya pelan sebelum berlalu pergi.

"Ma ... mama dimana?" Suaranya terdengar bergetar, tangan Kalila mulai meraba hingga jemari yang terasa dingin itu berhasil dia gapai.

"Mama di sini, Nak," jawab sang mama tanpa bisa Kalila tatap wajahnya, semua memang hanya gelap dan perlahan dia mengerti apa yang kini terjadi.

Terlebih lagi, isak tangis dari wanita tangguh yang kini tengah memeluknya. Kalila sudah dewasa, dia tidak perlu bertanya ada apa dengan dirinya. Satu hal yang Kalila tahu, dunianya kini hancur dan dia kehilangan sesutatu yang paling berharga dalam hidupnya, mata.

Ya, sudah pasti Kalila mengalami kebutaan dan dia tidak dapat menolak fakta itu. Hendak bagaimama dia sekarang? Marah? Pada siapa dia hendak marah, yang bisa Kalila lakukan hanya menangis dan meraung dalam gulita.

"Ini semua salahku, seharusnya aku mengantarmu waktu itu."

Raungan Kalila kian menjadi kala Kama, saudara kembarnya merengkuh Kalila begitu erat. Tangisan keduanya sepilu itu, andai saja Kalila bisa melihat, mungkin dia akan terbahak lantaran mata saudaranya yang kini sudah membengkak.

"Kama, kau benar-benar menghancurkan duniaku!!"

"Maaf, Kalila!! Andai aku tahu, maka kau tidak kuizinkan menemui laki-laki itu sama sekali."

Baru beberapa menit, tubuh Kalila kembali lemas usai berontak dalam pelukan Kama. Mungkin benar dia marah, semua itu terjadi memang gara-gara Kama yang mengantar Kalila tidak sesuai dengan tujuannya.

"Ma?"

"Lepaskan, Kama, serahkan pada dokter dan kau keluarlah," tutur wanita cantik yang masih tampak muda meski kedua anaknya sudah dewasa.

"Mama marah padaku juga?" tanya Kama menatap sendu manik indah sang mama, sudah jelas wanita itu terpukul dengan tragedi yang menimpa putrinya.

"Tidak, hanya saja Mama tidak ingin Kalila seperti itu lagi."

Terpaksa, Kama keluar dengan perasaan bersalah. Bisa dipastikan tidak hanya dunia Kalila yang berubah, tapi juga dunianya. Tidak akan ada perang dunia di rumah utama, tidak ada juga Kalila yang kerap mengganggu kesenanganya.

Tidak akan ada, dan semua adalah salah dirinya. Namun, ketika keluar dari ruang rawat dan menangkap sosok pria dengan tatapan datar di depannya, Kama menyadari jika semua ini bukan murni kesalahannya.

"Mau apa kau masih di sini?"

"Saya hanya menjalankan tugas dari tuan Yudha, beliau meminta saya mengawasi nona Kalila," jawab pria itu santai dan hanya dianggap lelucon oleh Kama.

"Sampaikan pada tuanmu, adikku buta ... jika memang berniat baik, kenapa bukan dia saja yang mengawasi Kalila?" Kama bertanya dengan sorot tajam seraya megepalkan tangannya.

.

.

Shanghai, China.

"Dia buta, Tuan, kecelakaan hari itu membuatnya tidak bisa melihat dan_"

"Terima kasih, Jack, sampaikan permintaan maafku pada keluarganya ... lusa aku pulang, kau tetaplah disana."

Kejadian itu terjadi beberapa waktu lalu, tapi dunianya kacau hingga detik ini. Hanya karena terpaksa, bukan tidak ingin menjaga di sana, tapi memang pekerjaan memaksa Yudha untuk terbang ke tempat ini. Dia bukan lari, tapi memang hanya bisa memantau lewat asisten pribadi. Namun, percayalah pikiran Yudha seakan penuh dengan pertanyaan terkait keadaan wanita yang telah dia hancurkan dunianya, Kalila.

Nama itu masih begitu lekat, bahkan liontin dengan nama Kalila yang dia dapatkan pasca kecelakaan itu selalu berada dalam genggaman. Baru saja menjalani hidup normal usai berhasil melupakan sang kekasih, kini kepala Yudha kembali dibuat sakit oleh seorang wanita yang belum dia kenal dengan jelas bagaimana dirinya.

Bahkan bicara saja tidak pernah, tapi sialnya Yudha sudah dibuat seolah terikat untuk bertanggung jawab seumur hidup. Terlebih lagi, kala dia mengetahui jika pria bernama Juanda yang merupakan calon suami Kalila memutuskan hubungan secara sepihak di hadapan keluarga Kalila kala wanita itu masih terpejam.

"Dasar badjingan!! Semudah itu kau meninggalkan seorang wanita?"

Sejak tadi Yudha terdiam, hingga pada akhirnya amarah itu membuncah jua. Dia menatap pantulan wajahnya di cermin, sungguh menyedihkan sekali wajahnya. Seolah berkaca dari masa lalu, Yudha bisa merasakan bagaimana hancurnya dunia Kalila saat ini.

Dia mulai mengambil ancang-ancang, niatnya untuk menghantam cermin itu dengan bogem mentah sudah sangat matang. Namun, hal itu dia urungkan kala ponselnya berdering seketika.

"Papa?"

.

.

- To Be Continued -

Hai, kembali lagi bersamaku dengan karya baru di bulan Juli ... semoga tetap menghibur dan melekat di hati para pembaca sekalian❣️

Jangan lupa dimasukin Favorit ❣️

BAB 02 - Aku Punya Pilihan Sendiri

"Hallo, Pa," sapa Yudha berusaha tetap lembut walau kepalanya sedang runyam.

"Ah hallo, Yudha ... syukurlah kau cepat mengangkat telepon papa." Meski sang papa belum mengatakan dengan jelas apa maksud dan tujuan menghubunginya, tapi suara yang terdengar di sana sudah cukup untuk Yudha menarik kesimpulannya.

"Aku sudah selesai, ada apa, Pa?" Sedikit basa-basi, meski Yudha sudah bisa menerka apa pembahasan papanya sebentar lagi.

"Kapan kau pulang? Kau tahu om Dimas sudah bertanya pada papa kapan kau siapnya? Jangan terlalu banyak berpikir, kasihan Soraya."

Yudha menggigit bibir bawahnya, setelah mendengar ucapan sang papa dia baru menyadari jika dia sudah membuat kesalahan besar. Bukan hanya soal Kalila, tapi juga Soraya. Wanita cantik yang kala itu datang dan bersedia dipersunting dalam waktu dekat, bodohnya Yudha yang sudah putus asa dan merasa tidak akan mampu jatuh cinta lagi asal iya-iya saja tanpa berpikir panjang ke depannya.

"Yud? Kau dengar papa?" tanya Papa Atma di seberang sana, terdengar jelas jika pria itu tampak khawatir pada putranya.

"Batalkan saja, Pa ... aku belum mau menikah," ucap Yudha pelan, penuh kehati-hatian karena khawatir telinganya akan sakit setelah ini.

"Kau gila? Kenapa baru sekarang jika memang tidak mau!!" Papa Atma terdengar panik, dia memelankan suara bahkan terdengar sedikit berbisik.

"Maaf, Pa."

Yudha tahu dia salah, besar kemungkinan papanya kecewa kali ini. Bagaimana tidak, beberapa bulan lalu Yudha mengiyakan keinginan papanya dan dengan tegas menjawab jika dia bersedia untuk menikah dengan putri konglomerat dari kota Surabaya, Soraya Anandita.

Namun, detik ini semudah pula dia membatalkan sesuatu yang sudah pernah diumumkan. Ya, tahap hubungan mereka hampir melangkah ke pertunangan, hanya menunggu Yudha siap saja sebenarnya.

"Kau pikir semudah itu? Apa yang akan papa katakan pada mereka nanti, Yudha?" tanya Papa Atma begitu pelan, tidak lagi terdengar berisik karena mungkin dia sudah menepi dari gerombolan orang-orang di sekitarnya.

"Papa katakan saja jika aku tidak bisa, selebihnya biar menjadi tanggung jawabku, Pa."

Tidak ada jawaban segera, hanya helaan napas kasar dari sang papa yang terdengar di sana. Yudha tidak menduga jika hari ini dia akan memilih mengakhiri rencana perjodohannya. Entah apa yang Yudha pikirkan, agaknya lidah Yudha begitu lancang akhir-akhir ini.

"Berikan satu alasan yang lebih masuk akal ... jika memang ada papa akan pertimbangkan," tegas sang papa kemudian, meski terdengar menakutkan, tapi yang pasti kali ini Yudha memiliki celah untuk lepas dari perjodohan kuno semacam itu.

"Mentalku belum siap menikah, Pa," ucapnya ragu dan sedikit bergetar, terlalu kentara dan jelas jika Yudha berada di persimpangan dilema saat ini.

"Jika hanya itu, papa tidak bisa kabulkan permintaanmu. Alasan itu terlalu klise, kau sudah dewasa!! Keponakanmu sudah hampir satu tahun. Perasaan itu memang biasa hadir beberapa saat sebelum menikah, tapi ketika sudah kau jalani maka semua perlahan akan tertata, percaya pada papa."

Panjang lebar sang papa bicara, Yudha hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Sejak awal dia juga paham sebenarnya, begitu banyak contoh yang sudah dia jadikan kacamata, pernikahan terkadang tidak butuh cinta dan mental akan tetap siap dengan sendirinya.

"Tenangkan dirimu, papa tidak tahu apa yang kau lihat sampai mendadak berubah pikiran begini ... kau sudah punya Soraya, jadi fokus saja dengan rencana perni_"

"A-aku punya pilihan sendiri, Pa!!" Yudha memejamkan mata, sejak tadi dia menimbang ucapan sang papa dan pada akhirnya mengambil keputusan.

"Hah? Bisa kau ulangi, Yudha? Punya apa?" tanya Papa Atma dengan nada yang kini terdengar berbeda.

"Aku sudah punya calon istri ... pilihanku sudah mantap, aku tidak mencintai Soraya. Lagi pula mana mungkin aku bisa menjadi suami yang baik untuknya jika di hatiku ada wanita lain, Pa," papar Yudha begitu tertata, sebuah kebohongan yang dia lakukan tanpa sengaja dan agaknya akan berkepanjangan nantinya.

"Calon istri?"

"Hm, dia sedang di rumah sakit ... aku akan membawanya pada papa setelah dia sembuh nanti," jawab Yudha seraya memejamkan mata.

Dia paham jika ucapan kali ini adalah keputusan yang akan dia ambil dan harus dijalani seumur hidup. Sama sekali tidak masalah jika memang harus demikian, tiba-tiba saja dia terpikirkan wajah cantik berlumur darah yang berakhir di pangkuannya sore itu.

Yudha tidak mengerti perasaan apa yang ada dalam dirinya. Antara kasihan dan merasa bersalah, tapi yang jelas hancurnya impian Kalila membuat Yudha tidak yakin bisa menjalani hidup bahagia ke depannya. Padahal, belum tentu juga Kalila menerimanya.

"Papa mungkin kecewa, tapi kali ini kumohon izinkan aku menentukan kebahagiaanku sendiri." Yudha berucap seolah benar-benar tengah berada di jalan yang tepat, matanya yang tajam kini terus memandangi liontin berukirkan nama seorang wanita yang dia pilih sebagai takdirnya.

"Iya, setelah ini papa akan bicara pada om Dimas." Setelah cukup lama terdiam, Papa Atma mengutarakan kalimat yang berhasil membuat jiwa Yudha mendadak tenang.

Tidak ada drama pertikaian keluarga, tidak ada juga kemarahan besar-besaran walau tahu tindakannya kali ini teramat fatal. Yudha menghela napas berat usai membicarakan hal yang luar biasa penting, bahkan dapat dikatakan sebagai langkah awal dalam hidupnya.

.

.

Sebagaimana pengakuannya, Yudha memiliki pilihan sendiri. Dua hari berlalu, dia benar-benar kembali ke tanah air. Jika biasanya tujuan utama Yudha adalah Semarang, kali ini berbeda.

Kembali ke Jakarta dengan kisah yang sama sekali tidak dia duga. Langkah kakinya membawa Yudha ke sebuah rumah sakit terbesar di ibu kota, sejak tadi dia berdiri menatap seorang gadis yang termenung dalam diam dengan manik indah tapi seolah kehilangan dunianya.

"Sudah dua hari putriku begitu ... Juan tidak berpikir sedikitpun tentang perasaannya." Yudha tersentak mendengar pengakuan pria gagah yang dia ketahui sebagai ayah dari Kalila.

Rasa bersalah itu semakin berkuasa, Yudha mengatur napas sebelum kemudian mengekor di belakang punggung pria itu. Lidahnya sudah gatal sejak tadi, Yudha ingin bicara serius pada orangtua dari wanita itu.

"Pak Gian bisa kita bicara?"

"Bisa, katakan saja," ucap pria itu menatap datar Yudha yang sempat dia tampar beberapa minggu lalu, hanya kemarahan sesaat karena memang tengah gelap mata.

"Saya tahu ini sedikit lancang, tanpa bermaksud menyakiti hati Anda ... izinkan saya bertanggung jawab penuh atas hidup Kalila," ucap Yudha tegas, tanpa ragu dan sedikitpun tidak takut andai wajahnya kembali menjadi sasaran telapak tangan pria di hadapannya.

"Bertanggung jawab penuh? Maksudmu bagaimana?" tanya pria itu mengerutkan dahi, ucapan Yudha sungguh membuatnya bingung seketika.

"Izinkan saya menikahi putri Anda, secara baik-baik dan saya akan menerima Kalila bagaimanapun keadaannya," tutur Yudha begitu tertata, sontak ucapannya membuat pria itu tercengang bahkan hampir tidak percaya.

"Tunggu!!"

.

.

- To Be Continued -

BAB 03 - Aku Tidak Sempurna

"Tunggu!!"

Sosok ketiga tiba-tiba hadir dalam pembicaraan mereka. Pria dengan sorot tajam layaknya elang itu seolah tengah melayangkan tatapan permusuhan pada Yudha. Sejak awal memang sudah perang dingin, bahkan pertama kali Yudha muncul di hadapan keluarga korban Kama tidak dapat menahan kemarahan dalam benaknya.

"Lucu sekali, atas dasar apa kau menikahi adikku? Kasihan? Atau karena khawatir kasus ini masuk ke ranah hukum?" tuduh Kama terang-terangan yang membuat Yudha tersenyum tipis.

Sekalipun memang benar atas dasar kasihan, tapi jujur sama sekali Yudha tidak takut andai harus melibatkan pihak berwajib. Hanya saja, di hadapan keluarga Kalila mana mungkin dia mengakui alasan yang sebenarnya.

"Sama sekali tidak," jawab Yudha tetap terlihat tenang, padahal hatinya berdegub tak karu-karuan kala berhadapan dengan pria itu.

"lalu apa?"

"Niatku baik, aku hanya ingin menjadikannya istriku, apa salah?" Bagi Yudha menghadapi seseorang berwatak keras seperti Kama bukan hal baru, bahkan hampir semua yang dia kenal persis sama seperti pria yang kini ada di hadapannya.

"Kau pikir aku percaya niat baikmu? Kau bahkan bisa lebih keji dari kelihatannya."

"Maksudmu?" tanya Yudha mengerutkan dahi.

"Entah siapa kau sebenarnya, aku juga tidak tahu apa tujuanmu ... bisa jadi menghancurkan Kalila adalah tujuanmu sejak lama, kenapa? Apa kau termasuk salah-satu dari jajaran pria sakit hati yang mengharapkan adikku?"

Di mata Kama saat ini semua terasa salah, rekaman cctv memperlihatkan betapa cepatnya mobil yang menghantam tubuh sang adik membuat dia benar-benar marah setiap kali menatap wajah Yudha.

"Kau pasti sudah merencanakan ini matang-matang, menghancurkan hidupnya lalu datang sebagai dewa penolong yang kemudian membunuh Kalila secara perlahan, benar begitu?"

Yudha terhenyak mendengar ucapan Kama, tidak dapat disalahkan sebenarnya, mungkin pikiran buruk semacam itu muncul jika berada di posisi sama. Terlebih lagi, mereka sebelumnya tidak saling mengenal dan Yudha menabrak Kalila dengan kecepatan tinggi di saat jalanan sepi hingga membuat siapapun berpikir jika hal itu memang sebuah kesengajaan.

"Kama hentikan, biar papa yang bicara," ucap Papa Dirga menenangkan putranya.

"Aku juga berhak memu_"

"Sini kau!!" Papa Gian menarik putranya sedikit menjauh dari Yudha. Jika dia biarkan, besar kemungkinan berakhir pertengkaran nantinya.

"Dengarkan papa, saat ini yang Kalila ratapi bukan hanya kebutaan ... tapi dia merasa terbuang karena tidak sempurna, Yudha datang baik-baik dan papa yakin dia tidak seburuk yang kau kira," jelas pria itu menatap lekat manik tajam putranya.

"Pa? Dia pelakunya!!"

"Papa tahu!! Tapi kau tahu bagaimana hancurnya Kalila saat ini, Kama?"

Tanpa dijelaskan Papa Gian juga tahu jika Yudha pelakunya, tapi melihat putrinya hidup segan mati tak mau pasca Juan mengakhiri hubungan membuatnya merasa penawaran Yudha adalah salah-satu jalan keluar paling tepat.

"Pa, masih banyak cara yang bisa kita upayakan! Kita hanya perlu menunggu mencari donor kornea mata untuk Kalila, kenapa harus memberikannya pada pria itu?" Kama menatap tak suka pada Yudha yang tetap setia menunggu mereka bicara di dekat sana.

"Kama, kita perlu waktu dan hal itu tidak mudah."

"Kalau papa mau cepat, donorkan saja kornea mataku ... toh aku juga penyebab Kalila buta, 'kan? Biarkan aku yang bertanggung jawab, tidak perlu melibatkan pria itu!! Kalila belum tentu mau," tegas Kama begitu mantap, sudah tentu hal itu tidak akan dia setujui sama sekali.

"Papa tahu kau sangat menyayangi Kalila, tapi tidak begini caranya. Jika kau berpikir Kalila belum tentu mau menerima Yudha, lalau bagaimana dengan rencanamu? Apa kau yakin Kalila mau? Papa rasa tidak," ucap Papa Gian meninggalkan Kama dan kembali menghampiri Yudha, sontak hal itu membuat Kama mengusap wajahnya kasar seraya memukul angin.

Entah apa yang dia rasakan, tapi yang jelas Kama takut jika Kalila akan lebih sakit lagi setelahnya. Bagaimana tidak dia berpikir semacam itu, Juan saja yang menjalin hubungan sejak dua tahun terakhir semudah itu membuang adiknya.

Lantas, bagaimana dengan Yudha? Pria asing yang tiba-tiba datang atas dasar tanggung jawab setelah mengacaukan kehidupan Kalila. Andai memang berakhir baik tidak masalah, tapi yang Kama takutkan Yudha hanya berdalih demi membersihkan namanya sebagai seorang pemimpin perusahaan.

.

.

Hingga akhir Kama belum memberikan restu, dia berusaha mencari cara lain untuk mengembalikan dunia Kalila tanpa harus melibatkan Yudha. Namun, sebesar apapun tekad Kama percuma kala sang papa mengambil keputusan dan mengabulkan permintaan Yudha.

Lebih sulit lagi, Kalila tidak berontak dan pasrah saja dengan jalan takdir yang dia terima. Mungkin demi menjaga nama baik papanya, atau karena telanjur sakit hati pada Juan hingga membuatnya mati rasa Kama tidak tahu juga.

Sepanjang pernikahan berlangsung, hanya wajah Kama yang terlihat murung dan memandangi adiknya dari kejauhan. Kama khawatir pernikahan ini adalah awal dari sebuah bencana untuk Kalila.

"Senyum, Kalila ... buktikan jika memang kau bahagia dengan cara semacam ini," batin Kama berteriak, sakit sekali rasanya melihat bagaimana Kalila yang bersanding dengan wajah sendu di depan sana.

Lain halnya dengan Kama yang berpikir bahwa pernikahan ini adalah awal bencana, Kalila justru sebaliknya. Dia bahagia, sungguh. Bagaimana tidak? Pernikahan impian yang dia cita-citakan sejak lama tidak gagal sepenuhnya, bahkan dipercepat dari rencana awal.

Kendati demikian, Kalila harus menerima jika yang duduk di sisinya bukanlah Juan, dan hal itu sama sekali bukan masalah karena Kalila tahu dia dibuang dan artinya tidak perlu mengemis.

Meski sudah sebahagia itu, Kalila masih bingung tentang Yudha yang tiba-tiba hadir dan tegas mengatakan jika menginginkannya pasca kecelakaan. Bahkan, setelah pesta berakhir dan mereka kembali ke rumah utama, Kalila masih menyimpan sejuta pertanyaan di benaknya.

"Apa kami pernah bertemu sebelumnya? Tapi seingatku tidak," gumam Kalila dalam kesendirian, entah dimana Yudha sekarang, tapi yang jelas sejak satu jam lalu dia meminta diantar ke kamar karena terlalu lelah.

Tanpa dia sadari sejak tadi Yudha memandanginya dari kejauhan, Kalila yang duduk di hadapan cermin membuat batinnya teriris. Perlahan pria itu mendekat, mengambil alih kapas yang ada di tangan Kalila.

"Kenapa tidak bilang kalau mau dibersihkan?" tanya Yudha lembut seraya membersihkan sisa makeup di wajah istrinya.

"Tadi sudah dibantuin sama bibi, tapi sepertinya kurang bersih," jawab Kalila sedikit gugup, dia tidak bisa menatap pria di hadapannya, tapi suara dan aroma parfum Yudha selalu berhasil membuat jantungnya berdegub tak karu-karuan.

"Sedikit, apa tidak lebih baik mandi saja?" tanya Yudha tanpa mengalihkan pandangannya.

Kalila menggeleng cepat, mendengar kata mandi matanya membulat sempurna. Hendak bagaimana dia setelah ini? Apa mungkin Yudha akan menggantikan mamanya selama satu bulan terakhir? Jika iya, alangkah malunya.

"Kenapa? Sudah jam lima, bukankah sudah waktunya kamu mandi?"

"Nanti saja, aku bisa mandi sendiri." Yudha tersenyum simpul mendengar ucapan sang istri yang kini menyilangkan tangan di dadanya, padahal sama sekali Yudha tidak mengatakan jika dia akan turun tangan.

"Kamu pasti tidak lupa janjiku setelah kita menikah bukan?"

"Jan-janji apa?" tanya Kalila menggigit bibir, sejak tadi kagum kenapa kini mendadak sedikit menakutkan, pikirnya.

"Aku yang akan menjagamu, Kalila ... dalam hal kecil sekalipun," tekan Yudha sungguh-sungguh seraya menatap lekat manik indah Kalila.

Kalila tersenyum getir, sejak lama pertanyaan itu tengiang dalam benaknya, kini Yudha justru memancing hasrat Kalila untuk bertanya. "Aku tidak sempurna, apa yang kamu harapkan dari wanita buta sepertiku?"

.

.

- To Be Continued -

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!