Lelaki itu menaruh tas nya sembarang, merebahkan tubuhnya di kasur empuk yang berada di kamar yang sangat besar. Kamar milik Putra Tunggal keluarga Aksanta—keluarga yang masuk top-3, pengusaha paling kaya di Indonesia.
Wisnu Putra Aksanta, itu namanya. Nama yang membuat lelaki yang berumur 20 tahun itu menjadi sangat angkuh. Menjadi putra tunggal keluarga Aksanta, membuat Wisnu selalu semena-mena terhadap orang yang dibawahnya. Dia tidak memiliki sopan santun, selalu kasar pada orang-orang yang ia rasa menganggu dirinya, dan kesombongan yang ia punya sudah menembus langit, tak bisa ditandingi.
Meskipun angkuh dan kasar, Wisnu memiliki wajah yang sangat tampan, kulitnya yang putih, wajahnya yang bersih, mata coklatnya, hidup mancung dan bibir merah yang dimiliki oleh Wisnu selalu berhasil memikat para gadis jatuh cinta padanya. Sungguh, tidak ada satupun gadis yang bisa menolak pesona dari Putra Tunggal keluarga Aksanta ini.
Walaupun memikat banyak hati gadis, tapi sampai sekarang Wisnu tak pernah terlibat dalam hal yang menyangkut tentang asmara. Bisa dibilang, dia jomblo dari lahir. Bukan para gadis yang tidak ingin bersamanya tetapi Wisnu terlalu pemilih untuk sekedar mengencani gadis saja. Itulah yang membuat dia tidak memiliki pasangan sampai sekarang, karena belum ada satu gadis pun yang bisa membuat Wisnu jatuh hati.
"Sayang, makan siang dulu!" Wisnu berdecak sebal. Bahkan disaat ia baru saja merebahkan tubuhnya selalu saja ada panggilan. Dengan terpaksa Wisnu bangkit dan berjalan menuju meja makan.
Meja makan yang sudah dipenuhi dengan berbagai jenis makanan enak dan kursi yang sudah diduduki oleh kakek, nenek serta ibunya Wisnu. Namun Wisnu tidak melihat tanda-tanda kehadiran ayahnya di sini, biasanya ayahnya selalu pulang untuk makan siang bersama.
"Papa mana?" tanya Wisnu duduk di kursinya.
"Masih di jalan, sebentar lagi papa kamu pulang," jawab ibunya. Wisnu hanya mengangguk singkat lalu mulai memakan makanan yang sudah dihidangkan.
"Maaf telat." Seorang pria yang memakai setelan jas, sedikit berlari untuk sampai kemeja makan yang sudah diisi oleh anggota keluarga. Dia duduk di tempatnya, lalu seorang wanita disebelahnya yang merupakan istrinya mengambil makanan untuk dimakan oleh si pria.
"Kok lama?" tanya Wisnu sama sekali tak memandang ke ayahnya.
"Ngurus masalah kamu di kampus." Wisnu hanya mengedikkan bahunya acuh, ia tidak peduli pada masalah kampus.
"Wisnu, udah berapa kali papa bilang sama kamu, jangan lagi berbuat ulah di kampus. Bikin malu keluarga kamu ini."
"Jadi aku bikin malu keluarga?" Wisnu menatap mata ayahnya tajam. "Denger ya Pa, masalah kampus dan masalah aku itu urusan aku sendiri. Papa sama yang lain nggak usah ikut campur!"
"Papa juga nggak ingin ikut campur Wis, tapi papa dipanggil sama pihak kampus kamu, nggak mungkin kan papa nggak memenuhi panggilan itu."
Wisnu memutar bola matanya malas sembari berdecak kesal. "Pengadu banget sih tu kampus," gumamnya.
"Wis, papa pengin ini terakhir ya, kamu buat papa dipanggil sama pihak kampus."
"Iya, iya," balas Wisnu acuh. "Aku dah siap." Wisnu berdiri, melenggang pergi dari sana menyisakan makanan yang tidak ia habisi.
Lelaki yang menggunakan kaos hitam itu, kembali merebahkan dirinya di kamar. Memijit ujung pelipisnya. Tanpa membuka matanya, tangan Wisnu bergerak untuk meraih ponselnya yang berada di sisi kanan kasur.
Ia membuka matanya, mengetikkan beberapa kata.
Babu tuan muda Wisnu 🙇
Arfin, Gilang, Baim, Anda
Anda:
Nanti malam ke bar
Arfin:
Siap tuan muda
Baim:
Gue oke-oke aja, asal ada traktiran lah,
bokek biasa😅
Anda:
Bokek mulu hidup lo
Baim:
Hehe
Gilang:
Bar? Gass
Arfin:
Giliran bar aja semangat amat lo
Baim:
Ada 2 hal yang buat Gilang semangat, pertama cewek, kedua bar
Gilang:
💯 buat Baim
Anda:
Jangan ada yang telat jam 8 udah sampai
Gilang:
Siap
Baim:
Siap
Arfin:
Siap
Wisnu mematikan layar ponselnya, melempar ponsel itu asal. Kembali memejamkan matanya sampai ia terbang ke alam mimpi.
...****************...
Malam itu tiba, Wisnu keluar dari rumahnya, tanpa berpamitan kepada siapapun lelaki itu langsung membawa mobil Lamborghini miliknya pergi dari rumah yang bak istana. Sepanjang perjalanan Wisnu mengisap rokok sambil menyetir, melaju dengan kecepatan tinggi tak peduli dengan nyawa sendiri.
Dalam waktu singkat, Wisnu tiba di bar. Bar yang sudah diisi oleh banyak manusia termasuk teman-temannya.
"Tuan muda!" seru seorang laki-laki. Wisnu menengok ke sumber suara dan segera menghampiri mereka bertiga.
Teman-teman Wisnu ada banyak, tapi untuk sohib Wisnu hanya 3 orang, Baim, Gilang dan Arfin.
"Bang minumannya empat." Ini Gilang Andrata, teman Wisnu yang sudah bersamanya sejak lelaki itu duduk dibangku sekolah dasar. Laki-laki dengan cengiran khas dan kepribadiannya yang extrovert membuat Gilang digemari banyak orang. Dan itu hal yang membuat Wisnu tertarik untuk berteman dengannya.
"Kenapa tiba-tiba pengin ke bar, Tuan muda?" Yang ini, namanya Baim Surya, laki-laki yang dikenal Wisnu saat ia masuk ke jenjang sekolah menengah pertama. Baim tak jauh beda dengan Gilang, karena dia dan Gilang memiliki kepribadian yang sama maka dari itu Baim bisa cepat akrab dengan Gilang, dan karena dia akrab dengan Gilang otomatis membuat Baim dekat juga dengan Wisnu. Bisa dibilang ini sebuah pencapaian besar di hidup Baim, menjadi sohib Putra Tunggal keluarga Aksanta.
"Nggak ada, lagi pengin aja. Gue gabut di rumah," jawab Wisnu.
Alkohol yang sudah berada di depan mereka, langsung membuat para lelaki ini meminumnya. Memang, alkohol itu tidak baik untuk kesehatan, tapi percayalah itu membuat candu banyak orang.
"Cantik." Laki-laki yang sudah agak sempoyongan berdiri dari duduknya, menghampiri gadis yang menggunakan dress ketat berwarna oranye.
"Hai sayang." Wisnu, Baim dan Gilang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah teman mereka yang satu ini. Iya, Arfin Fano Alyas, putra bungsu keluarga Alyas. Satu-satunya teman Wisnu yang bisa dibilang sama-sama berasal dari keluarga konglomerat dan sama-sama suka melanggar aturan keluarga. Arfin terkenal dengan sikap playboy nya, dengan setiap kedipan dan gombalan maut yang selalu ia berikan kepada para cewek-cewek yang menurutnya cantik. Meskipun Arfin ini playboy dan suka gonta-ganti pacar setiap bulannya, tak ada satupun gadis yang bisa menjauhinya. Sebab, Arfin yang tampan dan royal berhasil membuat gadis manapun jatuh cinta padanya.
Kehidupan seorang Wisnu Putra Aksanta, bisa dibilang sangat jauh dari kebaikan. Pergi ke club, bar, mabuk, pembuat onar, angkuh, dingin, dan cuek, dan Wisnu juga bukan sosok yang pintar. Sebenarnya Wisnu ini sudah mendekati kategori beban keluarga, jika saja dia bukan Putra Tunggal keluarga Aksanta bisa dipastikan namanya akan dicoret dari KK.
Sejauh ini belum ada satu orangpun yang bisa mengubah sikap Wisnu menjadi lebih baik lagi, termasuk kedua orang tuanya sendiri. Apakah Wisnu perlu dipertemukan dengan gadis yang baik agar dia menjadi baik juga?
Entahlah, do'akan saja yang terbaik untuk anak ini.
Wisnu Putra Aksanta
Gilang Andrata
Baim Surya
Arfin Fano Alyas
Gadis yang memakai kaos berwarna putih dan celana jeans hitam, berjongkok di kolong meja tempat para gadis sedang meminum alkohol mereka. Gadis itu berusaha melihat celah untuk keluar dari tempat yang menurutnya mengerikan.
Dengan lututnya yang menjadi tumpuan, gadis itu merangkak perlahan untuk keluar dari sana. Perlahan tapi pasti, akhirnya ia bisa keluar dari kolong meja yang diatasnya banyak minuman keras dan juga rokok.
Gadis itu melihat para perempuan yang sepertinya sebayanya dengan gaya perempuan nakal yang sangat tidak mencerminkan kebaikan menurutnya.
"Lo siapa? Kok bisa tiba-tiba di sini?" tanya seorang perempuan yang memakai tank top hitam dan celana pendek hitam.
"Maaf ya, nggak sengaja." Gadis itu langsung berlari untuk keluar dari bar yang sangat ramai dihuni oleh manusia. Keramaian itu membuatnya tak sengaja tertabrak atau menabrak tubuh orang yang berada di sana.
Gadis itu segera meminta maaf dan buru-buru untuk keluar dari bar. Namun lagi-lagi ia harus menabrak tubuh seorang laki-laki yang sedang berbincang-bincang dengan para wanita berpakaian ketat.
"Santai dong!" bentak Arfin, karena tabrakan dari gadis itu menumpahkan minuman ke pakaiannya.
"Maaf, maaf," ucap gadis itu ketakutan.
"Lo siapa? Kayaknya tempat ini bukan tempat lo." Arfin memandang dengan intens perempuan di depannya ini. Pakaian yang tertutup dan wajah yang polos, sangat tidak cocok untuk berada di tempat yang banyak hal buruk seperti ini.
"Gue kesasar ke sini, sorry ya," tuturnya.
Arfin menautkan alisnya, sedikit tersenyum. Gadis di hadapannya ini cantik juga, cocok menjadi target Arfin yang berikutnya. Apalagi dia tipikal cewek polos sangat mudah untuk ditaklukkan oleh Arfin.
"What's your name, Babe?" Arfin mengulurkan tangannya. Gadis itu tersentak saat Arfin mulai mendekatinya, walaupun ragu dia tetap membalas uluran tangan Arfin.
"Eleena."
"Nama lengkap lo, biar gue tau lo setara sama gue atau enggak." Arfin memang angkuh sama seperti Wisnu jadi tak heran dia bisa dengan mudah berteman dengan anak itu.
"Eleena Safira Dirgantara," jawabnya.
"Arfin Fano Alyas. Lo bisa panggil gue Arfin." Arfin mendekat, "Bisa juga panggil gue sayang," bisiknya.
Eleena terpaku mendengar bisikan Arfin, baru kali ini ia bertemu dengan lelaki gila seperti ini.
"Oh gitu, senang ketemu sama lo." Eleena tersenyum canggung, matanya melihat-lihat sekitar sampai akhirnya mata gadis itu menemukan pintu keluar.
"Gue udah dipanggil sama nyokap gue, so gue pergi dulu, Arfin. Bye." Eleena melambaikan tangannya, lalu segera berlari untuk keluar dari sana.
Arfin tersenyum lebar melihat cara berlari Eleena. Sepertinya pesona gadis itu sudah menarik hati Arfin.
"She's beautiful. I like her," gumamnya yang ternyata didengar oleh gadis yang duduk di sebelahnya.
"Apa lo udah nggak suka lagi sama gue, Ar."
"No, kalian tetap teman gue, tapi untuk kali ini, gue mau ngejer dia dulu."
Arfin menyalakan ponselnya. Mencari nama gadis yang baru ia temui di media sosial, lebih tepatnya di Instagram. Jari-jari Arfin bergerak, menggeser foto demi foto yang terpampang di feed Instagram milik Eleena.
"Gue dapet." Arfin berdiri, berjalan untuk kembali kepada teman-temannya.
"Guys, gue punya info!" seru Arfin, mengalihkan perhatian mereka bertiga.
"Gue ketemu sama cewek yang cakep banget, di bar tadi. Dan istimewanya dia cewek polos, cocok sama gue," ujar lelaki itu.
Perkataan Arfin tak mendapat respon dari ketiga laki-laki ini. Mereka sudah bosan mendengar cerita Arfin yang hanya berpusat pada perempuan saja.
"Dia cantik, dan hebatnya lagi kita sekasta."
Oke, untuk ucapannya yang ini berhasil menarik perhatian Gilang.
"Tumben banget, biasanya lo ketemu sama cewek-cewek nakal. Bisa-bisanya lo ketemu sama cewek sekasta di bar," ujar Gilang bersemangat. Bukan hanya Gilang, Baim juga tertarik ternyata.
"Namanya?" tanya Baim.
"Eleena Safira Dirgantara. Putri tunggal keluarga Dirgantara. Dia cewek cantik, berprestasi dan circle dia isinya orang-orang keren. Hidupnya sangat positif vibes, dan yang bikin keren dia satu kampus sama kita."
"Woah!"
Baim dan Gilang dibuat sangat terkejut dengan informasi singkat tentang Eleena. Gilang tahu betul bagaimana keluarga Dirgantara itu. Keluarga Dirgantara posisinya sama seperti keluarga Aksanta, bahkan kedua keluarga ini lumayan bersaing dalam dunia perbisnisan.
"Cocok buat lo tuh Wis." Baim menepuk-nepuk pundak Wisnu agar lelaki itu sedikit tertarik dengan berita ini. Tetapi yang namanya Wisnu tetap tak akan berubah, dia tidak tertarik dengan perempuan apalagi perempuan polos. Wisnu suka perempuan yang menantang, perempuan yang sulit untuk ia dapatkan, maka Wisnu akan mengejarnya.
...****************...
Mobil mewah berwarna putih itu sampai di pekarangan rumah besar. Gerbang dibuka, dan segera Eleena memarkirkan mobilnya. Gadis itu keluar dengan sedikit terburu-buru, ini sudah lewat dari jam pulang biasanya.
"Habis sudah riwayat gue sekarang." Dan benar, begitu Eleena masuk ke dalam rumahnya, sosok pria dan wanita paruh baya sudah lebih dulu menyambut Eleena dengan tatapan tajam.
"Kenapa baru pulang?" Pertanyaan dari pria yang merupakan ayahnya Eleena membuat bulu kuduk Eleena berdiri. Dia ketakutan, pasti akan dimarahi.
"Maaf yah, tadi macet soalnya." Sungguh jantungnya berdegup kencang saat mengatakan itu. Pertama kali dalam hidup Eleena ia berbohong pada ayahnya. Tapi kalau tidak bohong dia malah akan semakin dimarahi.
"Lain kali kalau mau pulang malam, bilang sama ayah sama bunda." Wanita paruh baya itu menghampiri Eleena, mengelus pundak putrinya.
"Ayah sama bunda cemas di rumah. Karena baru kali ini kamu pulang telat nggak ngabarin El, ditelpon nggak dijawab, di chat tapi nggak dibales, ayah sama bunda takut kamu kenapa-napa." Terlihat ada rautan emosi di wajahnya, namun aura kecemasan lebih terpampang nyata.
"Maaf ayah, maaf bunda," sesal Eleena.
"Iya nggak papa, tapi lain kali jangan gitu lagi ya, Nak." Eleena mengangguk. "Sekarang kamu ganti baju, terus tidur ya, besok kamu harus ke kampus."
Eleena dengan perasaan bersalahnya, masuk ke dalam kamar. Mencharge handphonenya yang sudah kehabisan baterai. Dia duduk di ujung kasur, meminum air yang ada di atas nakas sebelah kasurnya.
"Kok bisa tadi gue akal-akalan ke bar sih njir. Mana malu banget tadi ketemu sama banyak orang, syukur aja ayah sama bunda nggak tau. Coba kalau mereka tau, habis gue sekarang."
Eleena berdiri, melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Ia harus membersihkan badan sebelum tidur malam ini. Bau alkohol menempel di bajunya, bau yang paling tidak disukai oleh Eleena.
Sedangkan ibunya Eleena, baru saja hendak memejamkan matanya, tapi suara dering ponsel menghentikannya.
"Angkat dulu teleponnya," suruh pria itu.
Wanita yang kini memakai piyama berwarna merah mengambil ponselnya, mengangkat telepon yang ternyata dari ibunya.
"Halo Ma," sapanya.
"Sin, sebentar lagi ulang tahun Eleena yang ke-20 tahun. Mama nggak mau kamu ngundang mantan kamu," jelas wanita diseberang sana.
"Iya ma, Sinta tau kok."
"Sin, hubungan kamu sama mereka udah berakhir. Jangan pernah deketin mereka lagi dan jauhin Eleena dari mereka juga. Paham!"
"Iya."
"Buang jauh-jauh ingatan kamu terhadap mantan kamu itu."
"Ma, mama udah bilang hal ini sama aku selama 20 tahun, mama nggak capek? Sinta yang denger aja capek loh," omelnya.
"Ini biar kamu selalu ingat Sin. Mereka itu berbahaya, ingat apa yang dulu udah dilakuin sama mereka ke kamu." Sinta menghembuskan napasnya pasrah, setiap dia mendapat telepon dari mamanya selalu saja tentang hal yang sama tak ada yang berubah.
"Jauhin keluarga Aksanta sayang, kalau kamu mau selamat." Mata Sinta terbelalak, selama 20 tahun, baru kali ini ia mendengar ibunya menyebut nama itu lagi.
Sudah 20 tahun Sinta menjauhi nama itu, dan kali ini dengan sangat mudah nama itu keluar dari mulut ibunya.
"Nggak mungkin aku bakal ketemu lagi sama dia."
............
...
Eleena Safira Dirgantara
Mobil Lamborghini itu keluar dari pekarangan rumah besar. Wisnu yang sedang menyetir sembari mendengar lagu yang berjudul Car's Outside by James Arthur. Setelah sarapan dan berbincang-bincang sedikit dengan keluarganya Wisnu memutuskan untuk langsung berangkat menuju kampus. Biasanya kampus tempat yang sangat dihindari oleh Wisnu, tapi untuk saat ini entah apa yang membuat lelaki itu ingin buru-buru sampai ke kampus.
Mobil Wisnu berhenti tepat di sebelah mobil Lamborghini yang berwarna putih. Wisnu menghela napas berat, ia paling tidak suka dengan lampu merah, itu menghambat jalannya. Wisnu yang terus mengomel di dalam mobilnya sangat berbanding terbalik dengan Eleena yang tetap tenang di manapun ia berada. Sekedar informasi, Mobil mereka berdua bersebelahan, tapi mereka tidak sadar.
Saat lampu berubah hijau, Wisnu langsung menancap gasnya pergi dari sana, sedangkan Eleena tetap mengendarai mobil pada kecepatan yang ditentukan, tidak terlalu lambat dan tidak terlalu cepat, sedang-sedang saja. Eleena penyuka hidup damai, ia tidak suka kalau harus ada keributan disekelilingnya.
"Gue cape banget di jalan." Wisnu memarkirkan mobilnya di parkiran kampus. Keluar dari mobil mewahnya, melepas kacamata hitam yang ia pakai dan itu berhasil memikat perhatian banyak orang di sana. Terutama para gadis, mata mereka tertuju pada Wisnu yang terlihat sangat tampan dan keren.
Namun lelaki itu tidak peduli dengan semua tatapan yang mengarah padanya, ia berjalan santai sambil matanya sesekali mencari keberadaan teman-temannya. Tetapi dering ponsel miliknya mengalihkan perhatian Wisnu.
Lelaki itu berdecak saat melihat siapa yang meneleponnya. Dengan sangat berat hati Wisnu menjawab panggilan masuk itu.
"Halo pa." Telepon dari ayahnya sangat membuat Wisnu muak.
"Jangan buat masalah di kampus Wisnu. Papa nggak mau harus datang ke kampus kamu lagi."
"Iya, iya," balas Wisnu malas.
"Kam—"
Tut.
Wisnu mematikan teleponnya secara sepihak, bahkan ketika papanya belum menyelesaikan perkataannya. Papa Wisnu hanya bisa menghela napas saja melihat tingkah anaknya yang satu ini. Mau bagaimana lagi memang begitu tabiat Wisnu, tidak bisa diperbaiki.
Wisnu yang angkuh dan keras kepala mungkin karena ia adalah cerminan dari ayahnya, Alrama Aksanta.
Mata Rama terfokus pada layar laptop yang menyala. Setiap hari pekerjaannya hanya datang ke kantor dan mengurus urusan perusahaan. Ingin rasanya ia beristirahat tapi Rama bahkan tidak bisa mengharapkan apapun dari anak semata wayangnya itu. Jika saja ia punya anak lagi, Rama sudah memastikan bahwa Wisnu tak ia anggap sebagai anak. Anak yang hanya menyusahkan dan selalu membuat malu nama keluarga, tapi yang diherankan banyak juga orang yang menyukai anak berandalnya itu. Hanya karena Wisnu tampan, banyak orang yang menyukainya padahal dia sudah membuat banyak kesalahan. Memang, goodlooking itu kunci dari segalanya.
Dari sekian banyak masalah yang dibuat Wisnu, Rama bangga ada satu hal baik yang menurun darinya pada anaknya. Yaitu ketampanan, ia memang tampan jadi tidak heran kalau anaknya juga tampan.
Tok tok
"Masuk."
Seorang pria berkemeja hitam, masuk ke ruangan Rama. Memberi hormat dan meminta izin pada atasannya untuk menyampaikan sesuatu.
"Pak, ada yang ingin menemui bapak," ucapnya.
"Siapa?"
"Tuan Arjuna Dirgantara, Pak." Aktivitas Rama yang sebelumnya terfokus pada laptonya, kini teralihkan. Telinganya lumayan sensitif ketika mendengar nama itu.
"Suruh masuk."
"Baik Pak." Pria itu menunduk, lalu keluar untuk menyuruh orang yang dimaksud untuk masuk ke dalam ruangan Rama.
"Selamat pagi pak Alrama Aksanta." Mata Rama langsung tertuju pada orang yang menyebut namanya, dia tersenyum, berdiri dari duduknya, menghampiri orang itu.
"Selamat pagi juga, selamat datang di perusahaan saya," sambut Rama dengan ramah. "Silahkan duduk." Orang itu mengangguk dan duduk di kursi bersama Rama yang duduk di sebelahnya.
"Ada hal apa yang membuat anda ingin menemui saya tuan Arjuna Dirgantara?" tanya Rama.
"Sebenarnya, hanya hal sepele, saya ingin mendengar langsung jawaban dari anda tentang kesepakatan kerjasama yang beberapa minggu lalu sudah kami kirimkan."
Raut wajah Rama seketika berubah. Dari sekian banyak topik, lelaki itu paling tidak menyukai topik ini.
"Maaf, tapi kami sudah sangat jelas mengirimkan jawaban kami. Bahwa saya tidak menerima kesepakatan kerjasama kalian." Rama sangat lantang mengatakan itu. "Sekarang, saya rasa anda bisa keluar dari sini." Rama berdiri, matanya tertuju pada pintu ruangan itu.
Arjuna yang merasa terhina oleh perlakuan Rama, menghampiri Rama yang kini telah duduk di kursi kerjanya.
"Tuan Alrama Aksanta, saya pikir anda telah melakukan kesalahan besar. Masalah keluarga anda seharusnya tidak menjadi halangan kesepakatan kerjasama kita," jelas Arjuna menatap Rama tajam.
"Itu kesalahan anda sendiri, kenapa anda memilih berhubungan dengan keluarga Agustama." Arjuna yang harga dirinya telah dijatuhkan oleh Rama, pergi keluar dari ruangan Rama. Dengan perasaan penuh amarah, pria paruh baya itu memasuki mobilnya.
"Sangat tidak profesional. Masalah mereka tidak pernah berakhir juga," geramnya, mengepalkan tangan. "Jalan pak." Mobil Arjuna melaju pergi dari kantor Rama. Rama melihat mobil Arjuna yang telah pergi dari kantornya melalui kaca di ruangannya.
"Seandainya saja dirimu tidak berhubungan dengan Sinta, semuanya akan baik-baik saja, Juna."
...****...
Eleena berdiri dari duduknya, mengambil ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas.
"Guys, gue pergi ya, nanti pulangnya telat," izin Eleena, melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB.
"Hati-hati ya lo, El!" Eleena mengangguk, lalu berjalan keluar dari cafe tempatnya berkumpul, bercerita, berbagi pengalaman, makan, berbagi pelajaran dan sedikit berfoto bersama teman-temannya.
Eleena, memeriksa kembali bagaimana kondisi riasannya di spion mobil, dan satu kata, kacau. Eleena menghela napas berat, ia terpaksa harus kembali ke dalam untuk masuk ke toilet.
"Mending gue pulang lama daripada harus jelek ke mana-mana," gumam gadis itu. Eleena melangkahkan kakinya masuk kembali ke dalam cafe, yang syukurnya tidak disadari oleh teman-teman Eleena, kalau mereka sadar mungkin sekarang dia akan malu.
Eleena masuk ke dalam toilet, mengeluarkan bedak, dan perlengkapan makeup dari dalam tas. Sambil sesekali melirik ke arah jam tangan, Eleena buru-buru untuk melakukan touch up.
"Selesai." Bisa dibilang ini salah satu kekuatan super Eleena, dia bisa ber-touch up dalam kurun waktu kurang dari 5 menit, mengesankan. Karena kebiasaan orang tua Eleena yang selalu menyuruh gadis itu untuk melakukan segala hal dengan cepat tanpa lambat, membuat Eleena menjadi orang yang cekatan.
Eleena kembali memasukkan barang-barang makeup nya kembali ke dalam tas. Gadis itu sedikit merapikan bajunya ya timbul kerutan. Menata sedikit rambutnya di cermin, dan langsung keluar dari sana.
Eleena masih berjalan menuju tempat ia memarkirkan mobilnya, di tengah perjalanan Eleena tidak sengaja berpapasan dengan Wisnu. Wisnu yang menatap lurus ke depan tanpa menghiraukan orang yang ada di sekelilingnya. Eleena yang berbaik hati, memberi lelaki itu senyuman tapi jangankan membalas, Wisnu bahkan tak melihat gadis itu sedetikpun.
Eleena terkejut, baru kali ini ada lelaki yang tidak membalas senyumannya. Bukan apa-apa, tapi kan kalau ada senyuman orang lain minimal harus dibalas bukan langsung pergi begitu saja.
"Sombong banget sih jadi orang. Awas aja gue ketemu lagi sama dia, nggak bakal gue senyumin, lihat aja," gerutu Eleena masuk ke dalam mobil. Eleena melajukan mobilnya keluar dari daerah cafe, masih dengan perasaan jengkel karena Wisnu tak membalas senyumannya.
Kita tidak ada yang pernah tahu bagaimana cara takdir berjalan. Jadi nantikan saja dengan penuh kesabaran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!