NovelToon NovelToon

Kurir Arwah Penasaran

Ferdian

Bunyi peluit panjang dari petugas pengatur lalu lintas kereta terdengar nyaring. Ferdian melepas tuas rem dengan lega. Kereta berhenti tepat di jalur seharusnya. Ia melambaikan tangan pada beberapa penumpang yang turun sebagai ucapan terimakasih tentu saja dengan senyum mengembang di bibirnya.

Ferdian turun dari lokomotif dan masuk ke ruangan khusus para masinis. Mengisi data dan melaporkan kendala yang ia alami selama membawa rangkaian panjang kereta Pasundan dari stasiun Tasikmalaya ke stasiun Gubeng.

"Kereta besok pagi siap berangkat jam 08.10 mas!" ujar salah satu petugas pengatur lalu lintas pada Ferdian.

"Ok, thanks!"

Ferdian berpamitan setelah mengambil segelas kopi dari mesin pembuat kopi otomatis. Ia melangkah keluar dan mengambil ponsel di sakunya. Beberapa panggilan masuk dari istrinya Mia terabaikan. Ferdian menghela nafas panjang, ia melihat ke kanan dan kiri sebelum akhirnya memutuskan menghubungi sang Istri.

"Ya mah, ada apa? Papah baru sampai di Gubeng."

"Papah baru sampai ya? Maaf mamah bingung tadi nggak tahu mesti hubungi siapa?"

Ferdian memijat kepalanya yang pusing. Dari ucapan istrinya ia sudah bisa menebak apa yang ingin disampaikan.

"Tagihan lagi?"

"Ehm, iya pah. Mamah bingung harus cari pinjaman kemana lagi!" suara sang istri tercekat karena menahan tangis.

Ferdian menghela nafas panjang, untuk kesekian kalinya ia dibuat pusing tujuh keliling. Tagihan pinjaman onlinenya membengkak, dari sepuluh juta menjadi empat puluh lima juta. Angka yang sangat fantastis bagi dirinya yang hanya seorang pegawai BUMN. 

Ia dan istrinya terpaksa meminjam uang ke salah satu aplikasi pinjaman online, karena kebutuhan mendesak. Kala itu putra semata wayang mereka Agung, harus segera dioperasi. Damar hanya memiliki waktu terbatas, meminjam ke koperasi dan saudara jelas tak mungkin dilakukan dan prosesnya sangat panjang.

Akhirnya mereka memutuskan untuk meminjam sejumlah uang melalui aplikasi yang sering sekali muncul di layar ponsel. Hanya dalam hitungan jam sejumlah uang telah berpindah ke rekening Ferdian. Agung memang bisa diselamatkan tapi tidak dengan keuangan Ferdian.

Bulan demi bulan berjalan, Ferdian mengalami kesulitan ekonomi. Ia mulai menunggak pembayaran dan buntutnya tagihan membengkak hingga berkali kali lipat. Belum lagi tekanan dari pesan, telepon, dan intimidasi para debt collector yang tanpa aturan datang menagih.

Ingin rasanya Ferdian berteriak dan memaki dirinya yang bodoh, tapi apa daya ini semua kesalahannya yang tak berpikir jernih. 

Mia terus menangis membuat hati Ferdian teriris. "Sudahlah mah, nanti papah coba ajukan lagi pinjaman ke kantor. Kalo nggak bisa juga ya terpaksa kita jual rumah." ucapnya tak kalah sedih.

Rumah yang dimaksud Ferdian adalah rumah peninggalan kedua orang tuanya. Rumah yang seharusnya dibagi dengan tiga saudara yang lain. Hingga saat ini Ferdian masih menempati rumah itu. Tak ada pilihan lain untuk menjual rumah itu jika memang hanya itu opsi terbaik. Urusan dengan dua saudara lainnya akan dipikir belakangan.

Setelah beberapa saat mendengarkan keluhan sang istri dan menguatkan hatinya Ferdian pun mengakhiri panggilannya. Surabaya diguyur hujan deras dan Ferdian masih berdiri termangu di pinggiran peron. Kereta yang dibawanya adalah kereta terakhir yang memasuki stasiun Gubeng.

Ia menikmati kopinya, membiarkan aroma kafein menyusup ke dalam tiap sel otaknya. Menyegarkan pikirannya yang buntu. Sungguh ia dalam posisi yang sangat bingung dan tak tahu harus bagaimana. 

Mia, istrinya terus menangis ketakutan. Ia malu karena mendapat protes dari tetangga dan kerabat. Mereka mendapat teror serupa Mia, dari lembaga pinjaman online.

"Mas Ferdi, kok belum pulang? Mau bareng sama saya? Kebetulan payung besar ini bisa buat berdua." Seorang petugas OTC (pembersihan sampah kereta) yang dikenal Ferdian menawarkan bantuan.

"Eh mas Pras, maturnuwun. Kebetulan saya lagi bingung gimana caranya ke mess."

Ferdian dan Prasetyo akhirnya berjalan bersama hingga tiba di mess karyawan. "Mas Ferdi butuh apa lagi nanti saya bantu buat nggak keluar mess lagi."

"Wah nggak perlu mas makasih, nanti gampang saya cari sendiri aja. Saya ngantuk, pengen tidur."

Pras mengangguk dan berpamitan meninggalkan Ferdian yang masih termangu menikmati hening malam. Jam sudah menunjukkan pukul satu dinihari, tubuhnya lelah, matanya perih karena seharian menatap trek lurus jalur kereta Ia kembali menghela nafas, dan masuk ke dalam. Berharap dirinya bisa segera memeluk malam dalam ketenangan mimpi.

Alarm ponsel Ferdian berbunyi nyaring, ia hanya melirik sedikit sambil membuat simpul dasi. Membiarkannya berbunyi sampai ia selesai merapikan dasi hitamnya. Ferdian menatap kembali ponselnya yang masih menyala. Foto dirinya dan Mia serta Agung membuatnya kembali menghela nafas.

Semalaman Ferdian tidak kunjung lelap dalam tidurnya. Bayangan istrinya yang menangis, Agung yang terbaring sakit dan juga hardikan preman penagih hutang yang tak punya rasa iba membuatnya sulit memejamkan mata dengan tenang. Hingga ia putuskan untuk mandi saat adzan subuh berkumandang. Melaksanakan kewajibannya sebagai muslim dengan dua rakaat.

Entah apa yang salah dalam hidup Ferdian hingga dirinya harus terjatuh dalam belitan hutang. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari asisten masinis yang mengingatkan jam keberangkatan kereta. Ia pun bergegas keluar kamar dan setengah berlari menuju stasiun.

"Mas Ferdi, saya kira belum bangun." Asisten masinis yang sudah dua tahun mendampinginya menyapa dengan senyum ramah.

"Nggak dong, udah siap semua?"

"Monggo di cek lagi mas, saya takut ada yang kelupaan." Sang asisten mendampingi Ferdian untuk mengecek ulang. Memeriksa rangkaian gerbong bersama teknisi mesin lain sebelum akhirnya menyatakan siap.

"Oke semua beres," 

Ferdian kembali mengisi dokumen perjalanan sebelum berangkat. Tak lupa mematikan ponselnya, Ferdian tak ingin konsentrasinya terganggu selama perjalanan. 

Suara peluit panjang kembali terdengar, Ferdian kembali melakukan kereta kembali ke stasiun Bandung. Jika tak ada aral melintang kereta akan tiba tepat jam 23.30 di Bandung.

*

*

*

Tiba di stasiun Tasikmalaya, Ferdian memutuskan untuk menyalakan ponselnya. Hatinya mendadak tak karuan, perasaannya mengatakan sesuatu terjadi pada Mia, istrinya. Ferdian sengaja masuk ke kamar mandi agar tak terganggu dengan bisingnya suara mesin. 

Matanya menatap nanar foto yang dikirim kepadanya, Mia babak belur dihajar para penagih hutang. Berkali-kali panggilan tak terjawab masuk ke dalam ponselnya saat dalam perjalanan. Hati Ferdian remuk melihat sang istri yang terkulai lemas di bangsal rumah sakit. 

Ferdian memberanikan diri untuk menghubungi keluarganya tapi tak ada satupun yang menjawab. 

"Brengsek!" ia menghantam dinding keramik dengan keras, darah merembes dari lukanya.

"Mas Ferdi, Mas Ferdi di dalam? Kita berangkat sepuluh menit lagi!" teriak Dimas dari luar.

Ferdian mengusap air matanya, "Ya, sebentar lagi aku keluar!"

Hati suami mana yang tak hancur saat melihat orang yang dicintai terluka. Mia mengirim pesan padanya.

[Aku baik-baik saja mas, jangan khawatir. Agung juga baik. Lekas pulang.]

"Tunggu aku Mia, sebentar lagi aku datang." gumamnya lirih sambil mengusap air mata.

Ferdian kembali ke ruangan mesin dengan tangan berbalut kain, Dimas yang melihat luka itu pun terkejut.

"Lho mas, tangannya kenapa?"

"Jatuh tadi. Ehm, kamu bisa ambil alih nggak Di? Tangan aku sakit."

"Oh ya mas bisa kok, mas Ferdi duduk aja dulu."

Dengan cekatan Dimas mengambil alih kemudi sementara Ferdian duduk di belakangnya. Tangannya sibuk mengetikkan pesan pada beberapa kenalan dan saudara dekatnya. Ia perlu bantuan, setidaknya untuk membayar hutang pokok.

Detik, menit, jam berlalu tak ada satupun dari nomor yang dihubungi membalas pesannya. Mereka hanya membaca tanpa membalas. Ferdian frustasi dan tak tahu harus berbuat apa. Begitu sesak dadanya hingga tak mampu lagi menahan bulir bening di matanya. Dimas yang sedari awal sudah menduga jika Ferdian memiliki masalah akhirnya membuka suara.

"Ada yang bisa saya bantu mas?"

Ferdian menggelengkan kepala. Mana mungkin ia membuka permasalahan keuangan pada rekannya. Meski ia tahu kasak kusuk dibelakangnya sudah mulai beredar. Beberapa rekan kerja Ferdian juga mendapatkan teror tak sopan dari para penagih hutang, dan ia tak bisa berbuat banyak untuk menutup mulut-mulut jahil yang menggunjingkan dirinya.

Kemunculan Kereta Hantu

Kereta Pasundan tiba tepat sesuai jadwal. Hujan turun dengan derasnya. Ferdian menatap keluar jendela dari ruangan khusus masinis beristirahat.

"Nggak pulang mas?" tanya Dimas pada Ferdian yang masih belum merubah posisinya sedari turun dari lokomotif.

Ferdian menggeleng dan menghela nafas berat. Membuka bungkus rokok yang baru saja ia beli di kantin stasiun. Dimas memperhatikan wajah lelah Ferdian dan caranya mempermainkan sebatang rokok yang tak kunjung dinyalakan.

"Mas bisa cerita kalau mas mau, saya siap dengerin kok."

Ferdian menatap Dimas sejenak, lalu berkata lirih. "Nggak ada yang bisa bantu saya, Di! Masalah saya ... sangat rumit."

Ferdian menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam. "Mia masuk rumah sakit, harta benda habis, dikejar penagih hutang yang luar biasa galak ngelebihin bos kita, apalagi yang lebih buruk dari itu, Di?"

Dimas menarik kursi di dekat Ferdian, "Manusia hidup selalu ada ujian mas, sabar terus berdoa dan ikhlas."

Ferdian tersenyum sinis, "Ya, kamu bener terus berdoa tapi … sama siapa? Aku sudah lelah sama hidup Di, doaku nggak pernah didengar Tuhan. Nggak nyampe mungkin!"

"Astaghfirullah, jangan pernah berpikir begitu mas Ferdi. Nggak ada doa yang tidak didengar Allah meskipun doa jelek sekalipun. Semuanya tembus ke langit ketujuh, apalagi kalo mas Ferdi berdoa dengan ikhlas dan sungguh-sungguh memohon bantuanNya!"

"Ya, ya … itu kan cuma katanya pak ustad nyatanya saya sudah berdoa berbulan bulan tapi tak pernah ada jawaban Di, yang ada ujian saya semakin berat dan rumit! Saya … udah nggak percaya Tuhan!"

Tiba-tiba saja suara petir menggelegar begitu besar membuat Dimas tersentak kaget, "Waduh kan, Gusti Allah sampe marah langsung! Kalo ngomong itu dijaga mas, malaikat pasti nyatet semua lho belum lagi kalo ada setan lewat, bisa bahaya!"

Ferdian tersenyum sinis ia menatap keluar jendela sambil menghisap dalam-dalam rokoknya. Pikirannya sudah buntu, hatinya beku dan otaknya tak lagi bisa berpikir jernih. Kilatan petir dan bunyi yang menggelar bahkan tak lagi ditakutinya. Suara peringatan alam yang jelas memberikan pertanda, tak lagi bisa mengusik hati nuraninya.

"Mas Ferdi butuh berapa biar saya bantu carikan pinjaman?"

"Nggak perlu, kamu juga butuh buat istri kamu yang mau lahiran kan? Saya masih bisa mengatasi semuanya sendiri!"

Ferdian menjawab tanpa menatap Dimas. Asistennya itu hanya menghela nafas panjang, usia mereka memang berpaut tiga tahun dan Ferdian malah lebih muda darinya tapi urusan rumah tangga Dimas masih nol besar. Ia baru enam bulan menikah dan istrinya hamil tiga bulan dengan kondisi yang bisa dibilang lemah karena berkali kali harus keluar masuk rumah sakit.

"Yakin mas, saya ikhlas kok bantuin mas?" tanyanya sekali lagi memastikan.

"Iya, sudah sana pulang saja. Sudah larut istri kamu pasti khawatir!" Ferdian mengusir halus Dimas.

Lelaki berkulit eksotis dengan wajah yang lumayan tampan itu akhirnya mengalah. Ia beranjak pergi meninggalkan Ferdian yang masih terpaku menatap derasnya hujan.

"Mas nggak ke rumah sakit? Nengok mbak Mia?" Dimas bertanya sekali lagi sebelum ia pergi.

"Nggak, besok pagi aja sekalian! Sudah sana pulang! Saya mau sendirian!" Ferdian memejamkan mata dengan kaki yang menyilang di atas meja.

Dimas menyerah, ia memilih pergi membiarkan Ferdian berpikir dan menenangkan diri.

Benarkah itu? Mungkin saja tapi sayangnya tidak, Ferdian semakin diliputi rasa gelisah tak karuan. Rintik hujan yang bagi sebagian orang bisa menenangkan bagi Ferdian bagai siksaan yang menyakiti telinganya.

"Aaaargh! Brengsek!"

Ferdian memukul meja dengan keras, ia lalu berdiri dan keluar ruangan. Hujan semakin deras disertai angin dan petir yang menggelegar. Ferdian mengacak rambut dengan frustasi. Ia berjalan di sepanjang jalan rel, tak peduli dengan cipratan air hujan yang mengenai tubuhnya.

Untuk sesaat ia berdiri ditepian rel, berpikir jauh ke depan. "Seandainya aku mati pun Mia dan Agung tetap harus bayar hutang," ujarnya lirih menatap ke sisi timur rel.

Sempat terlintas di pikirannya untuk mengakhiri hidup dengan cepat, tapi ia urung melakukannya. Tak ada yang menjamin hutang lunas setelah kematiannya. Ferdian kembali menghela nafas berat.

Lampu sorot sangat terang tiba-tiba saja terlihat dari kejauhan. Suara sinyal tanda perpindahan jalur juga terdengar nyaring. Ferdian mengernyit, ia melirik jam dinding besar tepat di depannya.

"Jam satu, nggak ada jadwal kereta jam segini? Terakhir masuk ya Pasundan yang aku bawa, terus itu apa? Orang iseng?"

Lampu itu terlihat semakin mendekat diikuti sirine kencang. Kereta dengan tiga belas gerbong menembus derasnya hujan dengan cepat. Ferdian mengusap wajahnya kasar, ia heran karena tak ada tanda-tanda kereta akan berhenti dan kecepatannya pun diluar batas ketentuan saat memasuki stasiun.

"Gila, siapa masinisnya? Bisa gawat kalau kereta itu nggak berhenti sampai batas pemberhentian!'

Ferdian berlari menuju ruangan pengatur lalu lintas yang kosong, dengan cepat meraih peluit dan bendera untuk memberi sinyal pada masinis kereta yang kini menuju ke arahnya. Berkali kali dia melambaikan bendera dan meniup peluit tapi tak ada respon.

Ferdian bergidik ngeri membayangkan yang terjadi, ia pun kembali berusaha menghentikan laju kereta dengan memberi sinyal berhenti.

"Sial! Masinisnya buta apa gimana sih!"

Kereta terus melaju, hembusan angin dari tumbukan pergerakan cepat badan kereta bahkan terasa sampai di tempatnya berdiri, Ferdian menutup mata dengan lengannya karena cahaya silau lampu sorot yang terasa lebih terang berkali lipat.

Suara deru mesin terdengar keras dan kasar, menderit dan bergesek dengan bantalan baja rel, memekakkan telinga. Ferdian nyaris terjatuh saat angin kencang yang datang bersamaan dengan kereta menerpa tubuhnya. Ferdian yang masih menutup mata bisa merasakan jika kereta itu berhenti sempurna dari energi panas yang juga terasa menyapa kulitnya.

Ia lantas membuka mata dan terbelalak, sebuah kereta api kuno dengan mesin uap ala jaman Belanda berhenti di hadapannya.

"What the hell! Apa ini lelucon?!"

Seumur hidup ia baru kali ini melihat kereta api kuno yang masih bisa berjalan dengan kecepatan luar biasa. Ferdian hanya melihat kereta kuno ada di museum perkeretaapian. Dengan hati berdebar Ferdian mendekati kereta itu, kabut tipis menyelimuti peron. Tak ada tanda tanda penumpang ataupun masinis yang terlihat.

"Aku kebanyakan pikiran sepertinya, sampai berhalusinasi ada kereta api kuno disini."

Ferdian kembali melangkah dan menyentuh gerbong terdekat. Gerbong aneh dengan cat silver yang unik, terlihat mewah tapi juga sedikit kuno. Ia ingin memastikan jika kereta itu ada dan nyata.

"Astaga, ini beneran lho." Ia mengetuk ngetuk dinding besi gerbong, "Nyata!"

Tiba-tiba saja pintu gerbong yang diketuknya terbuka. Kabut tipis kembali muncul bersamaan dengan sesorang lelaki yang mengenakan pakaian jas rapi berwarna hitam lengkap dengan topi fedoranya.

"Selamat malam tuan," sapanya ramah pada Ferdian.

Lelaki itu berdiri dihadapan Ferdian, tingginya sekitar 185 centimeter, berwajah khas Eropa, memiliki jambang dan kumis tipis menawan dengan rambut keperakan.

"Perkenalkan namaku, Thomas. Sang Penjaga Kegelapan."

"A-apa?" Ferdian menatap tak percaya pada lelaki yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik.

"Kereta ini, dari stasiun mana? Saya nggak pernah melihat kereta ini sebelumnya," tanyanya ragu dan sedikit takut.

Aura kuat yang menekan keberanian Ferdian begitu terasa. Bulu kuduknya meremang saat senyum Thomas mengembang indah bak busur panah.

"Stasiun? Hhm, kereta ini tidak memiliki asal dan stasiun pemberhentian pasti, tapi kereta ini akan berhenti di satu tempat. Terowongan Kematian."

Kurir Kematian

Ferdian menatap tak percaya pada lelaki berkulit putih bersih dan berambut perak itu. Ia juga tak mempercayai pendengarannya, Terowongan Kematian. Seumur hidup Ferdian tak pernah mendengar istilah itu. Jalur kereta api dalam terowongan memang ada, tapi tak sekalipun ia mendengar istilah Terowongan Kematian.

"Apa anda bercanda? Terowongan Kematian? Saya belum pernah mendengar terowongan seperti itu tapi kalau terowongan hantu … ehm, maksud saya terowongan yang dipenuhi makhluk halus memang ada beberapa." Ferdian menatap intens lelaki berambut perak itu.

Thomas balas menatapnya dengan senyuman misterius, ia tahu Ferdian tidak akan percaya padanya. "Mari kita berjalan jalan sebentar."

Thomas dan Ferdian berjalan bersama dengan perlahan. "Tuan Ferdian, anda lihat ini! Ini adalah kereta milik kami Para Penjaga. Tiga belas gerbong ini dibuat khusus untuk para penumpangnya yang juga spesial. Kami harus membawa mereka menuju tempat pemberhentian terakhir."

"Terowongan Kematian?"

"Betul, anda mungkin tidak percaya dan menganggap itu mustahil tapi yang anda lihat adalah nyata."

Thomas dan Ferdian berhenti di satu titik tepat diantara ketiga belas gerbong unik yang terlihat kosong. Ferdian memperhatikan satu demi satu gerbong lalu bertanya heran.

"Sebanyak ini, lampu menyala dan kosong?" Tanyanya sambil melirik ke arah Thomas.

Thomas terkekeh, wajahnya terlihat tampan setara dengan lelaki berusia tiga puluh lima tahun. "Kosong? Itu karena anda belum melihat sepenuhnya dengan baik."

Ferdian memperhatikan keseluruhan rangkaian gerbong, benar-benar tak ada satupun penumpang disana. Ia bingung dan belum sempat ia bertanya pada Thomas, lelaki Eropa itu sudah memberinya pertanyaan yang cukup mengejutkan.

"Apa kau berniat bekerja padaku tuan?"

"Hah, bekerja denganmu?"

Thomas tersenyum, "Saya menawarkan bantuan untuk anda. Saya tahu anda sedang dalam kesulitan saat ini. Saya bisa membantu anda, tuan Ferdian."

"Darimana anda tahu nama saya, kita bahkan belum berkenalan?"

Thomas melepas topi fedora nya, merapikan sedikit pinggiran topi yang sama sekali tak bercela lalu memandang Ferdian.

"Saya tahu segalanya tentang anda, tuan. Mia dan Agung, dua orang yang sangat tuan sayangi bukan?"

"Dari mana anda tahu jika mereka adalah orang-orang yang saya sayangi?"

Thomas tergelak mendengar Ferdian bicara, "Saya mengetahui semua yang ada dalam pikiran anda dan apa yang menjadi takdir anda."

Ferdian terbelalak, "Si-siapa sebenarnya anda?" Ia bertanya dengan ketakutan, kakinya mundur satu langkah.

"Bukankah dari awal saya sudah mengatakan bahwa saya adalah Sang Penjaga? Tugas saya adalah mencari seorang kurir yang mengantarkan roh menuju Terowongan Kematian."

Ketakutan semakin menyergap Ferdian, ia kembali mundur beberapa langkah. Thomas mengenakan lagi topi fedora nya, ia tersenyum lebar pada masinis muda yang kini pucat pasi.

"Saya datang karena doa, karena harapan, dan karena keputusasaan anda tuan!"

"A-apa?"

"Jika anda bersedia menerima tawaran saya, semua masalah akan selesai dalam semalam."

"Semua masalah? Semalam?" Ferdian tergagap ia tak percaya dengan apa yang dikatakan Thomas barusan.

"Iya, semua masalah keuangan, kondisi anda yang tidak baik, dan bahkan saya bisa membuat anda kaya raya. Tak ada lagi yang bisa meremehkan anda, Mia, dan tentu saja Agung."

Ferdian terpaku di tempatnya, tawaran menggiurkan didepan mata. Antara percaya dan tidak percaya.

"Apa Anda serius?"

"Tentu saja saya serius saya bahkan ingin membuktikannya pada anda sekarang." Thomas tersenyum, ia kembali melanjutkan perkataannya. "Mari ikuti saya."

Salah satu tangan Thomas mempersilahkan Ferdian untuk mengikutinya dengan sopan. Ferdian awalnya ragu tapi kemudian ia pun melangkahkan kaki mengikuti lelaki misterius berambut keperakan itu. Thomas melirik ke arah Ferdian yang masih sangsi padanya dan kembali tersenyum.

"Tenanglah Tuan, anda akan baik-baik saja, bahkan akan merasa jauh lebih baik dari yang Anda rasakan sekarang."

Thoma menepuk bahu Ferdian berusaha meyakinkan masinis muda itu. Tujuh langkah dari mereka berdiri, keanehan terjadi. Ferdian memasuki ruang dimensi yang berbeda, ia berpindah tempat dari peron stasiun ke sebuah ruangan khusus perawatan di rumah sakit.

Ferdian terkejut bukan kepalang, ia mendapati Mia tergolek tak berdaya dengan wajah babak belur dan juga Agung yang sedang tertidur pulas di samping ranjang.

"Mia!"

Ferdian berjalan dengan tergesa menghampiri istrinya yang sedang tertidur. Ia ingin menyentuh istrinya memeluk dan membelainya dengan penuh kasih sayang tapi, sesuatu yang aneh terjadi. Ferdian tidak bisa memeluk istrinya bahkan menyentuh pun tak bisa. Tangan Ferdian bagaikan menyentuh ruang hampa. Ada tabir yang menghalangi mereka.

Hal yang sama juga terjadi saat ia berusaha menyentuh Agung, putranya. Tangannya tak bisa menggapai, menyentuh, ataupun memeluk Agung. Putra yang sangat dia rindukan selama ini. Anak lelaki yang sangat dia banggakan, anak yang jiwanya terselamatkan dari kematian.

"Apa yang terjadi? Kenapa aku tidak bisa menyentuhnya?"

Ferdian terus berusaha menyentuh keduanya tapi usahanya tak juga berhasil. Ia pun jatuh bersimpuh di lantai, menangis sejadinya. Emosi yang sedari tadi tertahan akhirnya meluap. Thomas menatap lelaki yang malang itu dengan senyum yang tak bisa diartikan.

"Kenapa aku tidak bisa menyentuh mereka?" Ferdian menoleh kepada Thomas dan bertanya dengan penuh amarah.

"Karena kita ada di dimensi waktu dan tempat yang berbeda dengan mereka."

"Apa maksudmu?"

"Kita ada di dimensi alam gaib sementara Mereka ada di dimensi manusia, dua dimensi yang tidak bisa saling bersentuhan dengan sengaja."

Thomas mendekati Agung menatap putra Ferdian dengan wajah iba tangannya mengusap lembut rambut Agung, anak lelaki itu tertidur pulas setelah seharian lelah menemani dan menjaga ibunya.

"Alam gaib? Tapi kenapa kau bisa menyentuh putraku?"

"Itu karena aku adalah Sang Penjaga yang memiliki kunci untuk menembus batas dimensi antara alam gaib dan dunia manusia."

Ferdian menatap Thomas, tak percaya dengan penjelasan lelaki keturunan Eropa itu. Ia berdiri dan mengusap matanya yang basah. Menatap sejenak wajah Mia yang masih tertidur dengan selang infus tertancap di tangan kirinya.

"Kau bisa membantuku? Sungguh?"

Thomas mengangguk, "Dalam semalam semuanya akan selesai."

"Termasuk semua hutang ku?"

"Ya, tentu saja. Kau juga bisa memberikan mereka apa yang diinginkan. Rumah sendiri, uang, perhiasan, pendidikan layak bagi putramu, semuanya bisa kau dapatkan."

Ferdian terdiam sejenak, berpikir dan menatap bergantian ke arah Mia dan Agung. "Apa kau bisa menjamin kehidupan kami berubah?"

Thomas mengangguk mantap. "Kau tertarik?"

"Ya, aku terima tawaran itu. Tapi aku ingin melihat buktinya terlebih dahulu, sebelum aku bekerja padamu."

"Baiklah, kita kembali ke tempat semula." Thomas menjentikkan jarinya dan mereka kembali berada di peron stasiun.

"Apa pekerjaanku?"

"Seperti yang sudah kukatakan, menjadi kurir, menjembatani yang hidup dan mati, membalaskan dendam, dan mengakhirinya dengan mengantarkan jiwa tersesat ini pada terowongan kematian. Tempat terakhir dimana jiwa-jiwa sesat ini menuju peristirahatan terakhir yang semestinya."

Ferdian menatap ke tiga belas gerbong kosong di depannya sejenak lalu menatap Thomas. "Baiklah, aku setuju."

Thomas tersenyum lebar, menatap Ferdian dan mengeluarkan gulungan kertas coklat muda dari dalam jasnya.

"Bubuhkan tanda persetujuan mu disini."

Ferdian membacanya sejenak, kontrak kerjasama. Sesekali ia melirik ke arah Thomas, usai membaca Ferdian langsung mengambil pulpen di saku bajunya.

"Tidak dengan pena biasa, tuan Ferdian."

Thomas kembali mengeluarkan pena berbulu panjang dari balik jasnya lagi. Ia meraih ibu jari Ferdian, "Ini akan sedikit sakit."

Thomas menancapkan ujung pena yang tajam pada ibu jari Ferdian. Mata pena itu menghisap darah Ferdian membuat bulu putih panjang menjadi merah, semerah darah.

"Bubuhkan tanda tanganmu dengan ini."

Tanpa banyak bertanya lagi, Ferdian menggunakan pena bulu itu untuk menandatangani kontrak. Keajaiban terjadi, goresan darah Ferdian meresap ke dalam kertas menimbulkan sinar terang yang memancar seiring dengan menghilangnya darah ke dalam kertas.

Bulu panjang itu kembali memutih, dan cahaya pun meredup. Ferdian terbelalak tak percaya, apa yang terjadi di depannya seperti sebuah adegan perjanjian darah dalam film sihir terpopuler.

Thomas meraih kertas perjanjian, memeriksanya sejenak sebelum menggulungnya kembali.

"Kontrak diterima, aku akan menjemputmu disini besok malam. Sebaiknya kau bersiap, Ferdian. Mulai malam ini, kau adalah Sang Kurir Kematian."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!