NovelToon NovelToon

Pernikahan Tak Terduga (Sang Pewaris)

Awal Pertemuan

Musuh bisnis membuat seluruh keluarga Harsa tidak tenang, hingga terjadinya pembunuhan berencana yang melibatkan sang pewaris hampir kehilangan nyawanya. Joshua Cristian Harsa, pria 27 tahun yang menjadi umpan dari musuh bisnis sang ayah yang bergelut dalam sebuah perusahaan Harsa Karya Furniture. Tragedi itu membuat Joshua terjatuh ke dalam derasnya arus sungai setelah ia berhasil melompat dari dalam mobilnya.

Suara tembakan pistol semakin mendebar dari atas jembatan tempat ia terjatuh. Para mafia bersenjata itu dengan segera mencari keberadaan dari Joshua agar bisa memastikan bahwa Joshua benar-benar telah tiada.

Mereka semua kembali mengerahkan senjata api ke dalam arus sungai, namun tak ada tanda-tanda kebangkitan dari Joshua. Hingga mereka berinisiatif bahwa sang pewaris telah pergi untuk selamanya.

Ternyata, Joshua hanyut terbawa arus sungai. Derasnya air yang membuatnya sedikit kesulitan untuk berenang, dan terlebih terdapat sebuah luka tembakan di kakinya. Semakin merasakan pusing, dan arus sungai yang perlahan-lahan mulai membuatnya lemah. Namun, Joshua tak ingin mati konyol di tempat.

Joshua berusaha tetap menyelamatkan diri, tapi tiba-tiba saja sebuah batang kayu tertabrak ke tubuhnya dengan sangat kuat. Sontak membuat Joshua hampir kehilangan keseimbangan. Penglihatannya mulai pelan-pelan kabur, namun ia tak sengaja melihat seseorang berjalan di tepian sungai.

"To-tolong aku, tolong ... Selamatkan aku." Suaranya mulai semakin melemas, dan tetap mencoba untuk berusaha melambaikan tangan. Akan tetapi, arus sungai yang semakin deras justru membuatnya kembali terhanyut, dan tak sadarkan diri.

Ketika saat bersamaan, seorang wanita cantik yang tengah melampiaskan kesedihannya dengan berjalan sepanjang sungai dengan kedua pipi yang dibasahi oleh derasnya air mata akibat putus cinta. Emily Earl Poppy, wanita berumur 25 tahun yang baru saja ditinggalkan oleh sang kekasih demi pergi bersama dengan wanita lain.

Emily menangis dan menjerit-jerit dengan keras, namun tidak sengaja pandangannya tertuju kearah seorang pria yang sedang melambai-lambai tangan seperti sedang meminta bantuan.

Ia yang sudah mahir berenang dengan cepat berusaha untuk menolong pria itu. Arus sungai yang kuat mampu ia lalui dengan berkat sebuah batang kayu besar yang ia gunakan agar dapat berpegangan.

"Hey! Bertahanlah!" Emily terus berusaha, namun sepertinya pria tersebut tak dapat mendengar suaranya.

Dengan mengeluarkan seluruh kekuatannya, Emily berhasil menolong pria tersebut ke tepian sungai, meskipun ia sudah ngos-ngosan akibat menarik tubuh pria yang terlihat kekar.

"Tuan, bangun ... Ya ampun, dia sepertinya sedang terluka parah." Emily melihat kearah kaki pria tersebut yang sedang terluka. Namun, ia tetap berusaha membangunkan agar air yang sudah masuk ke dalam bisa ke luar.

Berusaha dengan sekuat tenaga mencoba memberikan nafas buatan dengan tangannya, namun sial tenaganya tidak mempan. Alhasil, Emily pun memutuskan untuk memberikan nafas buatan dengan mulutnya. Meskipun berusaha untuk tidak berpikir macam-macam apalagi di saat menatap wajah pria itu yang sangat tampan.

Rasanya benar-benar tidak dapat Emily bayangkan ketika harus memberikan nafas buatan kepada seorang pria yang dapat membuatnya tergoda, namun Emily berusaha tetap fokus demi keselamatan pria tersebut.

Terasa begitu manis, dan Emily berharap ia tidak terbawa perasaan dengan bantuan singkatnya. Joshua mulai tersentak dan mengeluarkan air dari mulutnya, tapi seketika ia pun kembali tak sadarkan diri.

"Yah ... kok pingsan lagi? Tapi, sepertinya aku harus cepat-cepat meminta bantuan agar bisa membawa pria ini ke rumahku." Emily bergegas cepat dengan berlari hingga beberapa orang datang untuk membantu membawakan Joshua.

Pertemuan singkat dan tak terduga mampu membuat Joshua merasa senang dengan keberadaannya di sini. Terlebih terasa semakin nyaman ketika berada di sebuah desa, dan tak membuatnya merasakan takut ketika harus dikejar-kejar oleh musuh besar keluarganya.

Keadaan Joshua yang sudah mulai membaik, dan ia sangat merindukan keluarganya. Namun, Joshua kebingungan dengan kepulangannya yang mungkin saja akan kembali membuatnya berada di dalam ancaman. Meskipun begitu, ia tak ingin membuat keluarganya berpikir jika ia telah tiada.

Di tengah kegundahan hatinya, tiba-tiba Paman Hussein—pamannya Emily datang mendekat sembari bertanya. "Nak, sebenarnya siapa keluargamu? Lalu kenapa kamu sampai terbawa arus sungai dengan luka tembakan pistol seperti ini?"

"Aku berasal dari keluarga Harsa, Paman. Jujur saja hari ini adalah penobatan aku untuk menjadi seorang pewaris di keluargaku, dan lebih tepatnya menjadi CEO sekaligus pemimpin untuk menggantikan posisi ayahku. Tapi kemudian, saat aku pulang banyak orang-orang dengan berpakaian hitam mencegah bahkan ingin menghabisi nyawaku. Tetapi, aku tahu kalau mereka adalah musuh besar bisnis keluargaku," sahut Joshua dengan sesekali melirik kearah Emily yang sedang membuatkan minuman, dan tidak berada jauh.

"Oh, jadi sekarang saya mengerti. Ternyata kamu adalah pewaris dari keluarga Harsa pemilik dari perusahaan besar Harsa Karya itu kan? Pantas saja dan tidak diragukan lagi. Apalagi sewaktu melihatmu yang cukup mirip dengan ayahmu. Ya sudah nanti saya akan membantumu untuk dapat kembali," sahut Paman Hussein.

"Terima kasih banyak, Paman Hussein. Jujur kalau tidak ada kalian mungkin aku tidak akan lagi bisa merasakan udara segar seperti ini. Tapi, ngomong-ngomong siapa nama anakmu?" Joshua memang belum saling mengenal, dan terlebih karena ia baru sadar. Walaupun sempat merasakan sentuhan tikus dari setiap pengobatan yang dilakukan oleh Emily.

"Dia?" Paman Hussein menunjuk kearah keponakannya. "Dia sebenarnya bukan anakku, tetapi keponakanku. Hanya saja saya sudah mengganggap dia selayaknya anak sendiri karena sejak kecil dia sudah dibesarkan di sini. Ya sudah kalian belum saling kenal, jadi kenalan saja, dan saya tinggal sebentar pergi ke warung depan ya."

Mendengar hal itu membuat Joshua tersenyum ketika melihat Paman Hussein yang sepertinya paham dengan maksudnya. Emily pun berjalan mendekat sembari membawa dua gelas minuman.

"Loh, pamanku pergi ke mana?" tanya Emily.

"Katanya ke warung dekat, tapi sebaiknya duduklah di sini dan temani aku. Oh ya, kebetulan kita belum saling mengenal, padahal kamu sudah banyak membantu dan merawat ku di sini. Kenalkan namaku, Joshua Cristian Harsa."

"Namaku Emily Earl Poppy, kamu bisa memanggilku dengan Emily ataupun Poppy."

"Namamu cantik sekali, tapi ngomong-ngomong kamu bekerja atau bagaimana, Emily?" tanya Joshua yang semakin ingin mengenal lebih jauh sosok dari wanita itu.

"Um, maafkan aku, tapi aku tidak bisa berlama-lama berbicara denganmu. Kalau begitu aku pergi dulu, Joshua."

Entah karena apa, dan membuat Joshua sangat bingung di saat wanita itu berlari masuk ke dalam kamarnya. Sangat ingin berjalan menemui Emily, tetapi kakinya masih terasa kesakitan hingga tidak dapat bergerak bebas.

Namun ia berharap malam nanti bisa kembali mengajak Emily berbicara lebih banyak agar dapat mengetahui seluk-beluk dari keluarga Emily. Tanpa ia ketahui malam itu Emily dan keluarga memutuskan untuk segera pergi meninggalkannya seorang diri dengan bantuan Paman Hussein yang tidak lupa untuk memberitahukan kabar tentang keberadaan dari Joshua.

Dua Tahun Kemudian

Dua tahun berselang, kehidupan Emily masih berlanjut menyedihkan, namun ia berusaha tetap bekerja keras. Setelah perpindahannya, hidupnya sedikit berubah lebih baik sampai ia bisa melanjutkan pendidikan yang tertunda meski harus melalui banyak rintangan. Menjadi sebagai seorang mahasiswi memang sangatlah menyenangkan, tapi kisah kelam dalam usaha kerja kerasnya justru membuat ia dipandang sebelah mata bagaikan seoggok sampah yang tak berharga. Hingga sebutan 'kupu-kupu malam' selalu menghiasi hari-harinya.

Hanya memiliki seorang teman yang juga ia temui di bar, sebab Emily bekerja paruh waktu di bar untuk bisa memenuhi semua kebutuhannya. Tak banyak yang mengetahui kisah hidupnya, namun ia berusaha untuk mengeraskan telinganya agar tidak perlu mendengar semua hinaan yang selalu saja ia terima.

Seperti biasa, Emily melayani banyak tamu yang datang dengan memberikan pesanan yang tamu inginkan. Namun saat itu, seorang pria tiba-tiba saja datang dan memegang bahunya. Sontak membuat Emily terkejut karena selama ia bekerja tak ada yang berani menggodanya apalagi sampai menyentuhnya.

"Berikan aku sebotol wine sekarang," pinta pria tersebut.

"Baik, Tuan. Di tunggu sebentar ya," sahut Emily sembari ia menoleh ke belakang.

Sungguh tidak pernah Emily bayangkan di saat menatap wajah pria itu. Ia teringat dengan pertemuan dua tahun silam. Sontak membuat Emily terdiam sambil batinnya berkata. "Bukankah dia pria yang sudah aku tolong? Ya ampun ... Kenapa aku bisa bertemu dengannya sekarang? Jangan-jangan dia adalah jodohku."

Diamnya Emily justru membuat Joshua kebingungan, dan ditambah Joshua sempat tidak mengenali Emily karena wanita itu terlihat berbeda. Dengan pakaian yang lebih terbuka dan bekerja di tempat yang tidak Joshua sukai.

"Hey, kenapa kamu menatapku seperti itu?" Joshua kebingungan, dan membalas tatapan dari Emily. Ia berusaha mengingat walaupun wajahnya Emily yang terlihat lebih berbeda. Alhasil, Joshua pun menyadari bahwa dia adalah wanita yang telah menyelamatkan hidupnya.

"Ah, a-aku tidak menatapmu, Tuan. Kalau begitu aku harus kembali bekerja." Emily begitu gugup, dan bahkan dalam sekejap jantungnya terasa berdebar-debar. Ia tidak tahu kenapa saat ini hatinya tak berhenti berdetak. Sampai-sampai ia juga mengabaikan panggilan ketika kedatangan temannya.

"Ya ampun, bestie ... Sejak tadi aku sudah memanggilmu. Pesanan sedang datang bertubi-tubi, ayo cepat kita selesaikan agar bisa lebih cepat pulang." Pria lemah gemulai itu berusaha mencubit pipinya Emily dengan bersikap gemas. Nama panggilannya Santi—alias Satria.

"Oh ya? Maaf, San. Aku tidak mendengarnya," sahut Emily yang masih berusaha melirik kearah Joshua yang sedang duduk sendirian di ujung bar.

Lirikan Emily tak sengaja ditatap oleh Joshua. Pria itu kembali mengingat di saat wanita itu memberikan perhatian lebih ketika ia sedang terluka. Membuat hati Joshua mulai kembali tertarik dengan Emily, namun ia tak ingin mendekati wanita itu dengan terburu-buru.

"Aku harus mencari latar belakang dari wanita ini," gumamnya dengan perlahan sembari membuka ponselnya untuk menghubungi seseorang.

Panggilan pun terjawab. "Hallo, Han. Bisa kamu datang ke sini sebentar? Tempat bar yang biasanya kamu tempati."

"Oh, tentu saja, Tuan. Lima belas menit lagi saya akan sampai," sahut Han Hansel dengan bekerja secara profesional. Ia adalah orang kepercayaan dari Joshua dan sekaligus tangan kanan dalam segala urusan.

"Aku tunggu."

Tak berapa lama, Han pun datang tepat di saat waktu yang ia tentukan.

"Ada masalah apa, Tuan Muda? Padahal tadi Tuan mengatakan kalau ingin menikmati malam dengan kesendirian."

"Aku ada pekerjaan baru untukmu. Bisakah kamu mencari tahu dengan keberadaan dari wanita itu?" tanya Joshua sembari menunjuk kearah Emily yang sedang menaruh pesanan di meja pelanggan.

"Maksudnya Emily, Tuan Muda? Aku pernah mendengar namanya dari beberapa temanku di kampus dengannya. Tapi, kenapa tiba-tiba Tuan bisa tertarik dengan wanita seperti itu? Jika aku tidak salah dia selalu dikaitkan dengan wanita tidak benar," sahut Han.

"Oh ya?" Joshua terheran.

"Benar, Tuan Muda. Banyak orang yang mengatakan jika dia terlahir dari keluarga yang tidak jelas, dan bahkan ia tidak tahu siapa kedua orangtuanya. Sejak kecil dia selalu dirawat oleh pihak keluarga pamannya. Namun, ada rumoh berkata bahwa sebenarnya dia hanyalah anak yang tidak sengaja ditemukan. Terlebih dengan pekerjaannya seperti ini yang mengundang banyak mata pria hidung belang," lanjut Han dengan penjelasannya.

Sontak membuat Joshua terdiam di saat mendengar semua itu. Ia benar-benar tidak habis pikir bahwa ternyata Emily bukanlah wanita yang seharusnya ia idam-idamkan. Semua perkataan Han selalu saja Joshua percayai, meskipun belum ada kebenaran atas ucapan dari pria itu.

"Baiklah kalau begitu bayarkan pesanan ku, dan kita segera pulang."

"Baik, Tuan Muda."

Melihat kepergian Joshua secara tiba-tiba justru membuat Emily kebingungan, dan ditambah pria itu juga tidak menghabiskan pesanannya. Begitupun dengan pria lemah gemulai yang ikut terheran ketika melihat Emily banyak diam.

"Ya ampun, perasaan sejak tadi kamu terus menatap kearah pria tampan itu. Kamu menyukainya ya?"

"Apa? Jelas saja tidak. Sudahlah ayo lanjutkan kerja." Emily segera beranjak pergi.

Setelah pertemuan singkat mereka, membuat Emily terus-menerus memikirkan tentang Joshua. Entah mengapa ia sangat ingin untuk bertemu lagi dengan pria itu, namun ia tidak tahu bagaimana caranya.

Melanjutkan rutinitasnya sebagai mahasiswi di siang hari, dan saat itu telah keluarnya pengumuman untuk melakukan magang sebagai syarat akhir sebelum ia lulus nanti.

Tak ada yang mengajak Emily untuk ikut magang bersama dengan teman-teman yang lain, ia hanya menatap kearah papan tulis yang terlihat kosong, dan seperti itulah kekosongan yang sedang ia rasakan di dalam hatinya yang selalu saja tidak memiliki teman perempuan.

Pria lemah gemulai yang tiba-tiba datang dengan membawa dua lembar kertas sebelum menuju ke tempat magang. Memberikan kertas tersebut kepada Emily sembari ia berkata. "Nih aku udah bawa khusus buat kamu, dan yang lebih serunya lagi ini tuh perusahaan terkenal. Aku harap kita bisa masuk ke dalam sana lebih dulu sebelum teman-teman yang lain tahu."

"Oh ya? Apa nama perusahaannya, San? Apa tidak sebaiknya kita ikut magang di tempat yang sama seperti mereka saja?" Emily merasa bingung akan kemampuan yang ia miliki.

Membuat Santi menepuk jidatnya sendiri ketika mendengar sahutan dari Emily yang tidak ada semangatnya sama sekali.

"Ayolah, Em. Kamu itu memiliki bakat, dan nilai mu lebih tinggi dari kita semua. Yah meskipun tidak akan ada yang mau berteman denganmu selain aku yang cantik ini. Sudahlah kamu ikuti saja aku, dan nama perusahaannya adalah Harsa Karya Furniture, ini keren sekali tahu."

"Harsa Karya Furniture? Apa kamu yakin kita akan masuk ke dalam perusahaan besar itu dan terkenal dengan ceo-nya yang super galak?" Emily semakin terlihat ragu.

Pertemuan Di Kamar Mandi

"Hei, itu masih rumor belum kebenarannya, kan? Lagipula jangan berpikir terlalu buruk dulu karena semua ini masih belum terbukti. Yang terpenting kita jangan membuat kesalahan, Em," sahut Santi.

"Baiklah terserah dirimu saja." Emily hanya bisa mengikuti dengan setiap ajakan dari temennya.

Setelah mendapatkan tawaran masuk untuk bisa melakukan pelatihan kerja dengan baik ke dalam perusahaan tersebut, dan hari ini pertama bagi Emily. Berdiri di depan gedung yang menjulang tinggi, begitupun dengan Santi.

"Em, kamu tahu tidak? Aku bagaikan seekor cacing yang tidak berharga," ucap Santi yang terus memandangi ketinggian gedung itu.

"Aku rasa kita salah tempat," sahut Emily dengan pelan, dan ikut-ikutan menatap seperti orang bodoh.

"Bahkan aku sedang menghitung berapa langkah kaki yang harus aku tuju agar bisa sampai di puncak itu?"

"Sepertinya kamu butuh untuk memeriksa pikirkan mu," sahut Emily dengan perlahan, dan bergegas masuk meninggalkan Santi yang masih berdiri.

Tersadar, dan segera mengejar temannya. Mereka memasuki lobby utama yang terlihat begitu luas, dan bagaikan mimpi besar ketika sekarang bisa menginjakkan kaki di dalam perusahaan ini.

"Em, sekarang kita harus ke mana?"

"Apa sebaiknya kita pulang saja, San? Tiba-tiba lutut ku terasa kaku." Emily mulai terlihat gugup.

Padahal Santi hanya sedang bergurau, dan ia dengan sengaja memupuk bahunya Emily dengan kuat. "Ayolah ikut denganku seperti ini."

Memperlihatkan lenggokkan yang begitu lentur, dan lagi-lagi kebodohan temannya membuat Emily tersenyum. Mereka segera menuju kearah resepsionis untuk bisa bertanya ke mana mereka akan diarahkan.

"Permisi, bisakah kamu tahu di ruangan mana kami bekerja? Kami datang sesuai dengan perintah untuk melakukan pelatihan kerja di sini," tanya Emily.

"Oh, yang mau magang ya? Nih bisa langsung di baca dan segera cari mandiri ruangan tersebut," ucap wanita resepsionis tersebut dengan tatapannya yang datar sembari menyerah selembar kertas kecil kepada Emily.

"Baiklah dan terima kasih." Mengambil kertas kecil tersebut, namun batinnya Emily berkata. "Sombong sekali dia."

Sama-sama kebingungan hingga membuat Emily menggaruk kan kepalanya yang tidak terasa gatal sembari melirik kearah Santi. "Aku rasa pilihan untuk magang di sini sangatlah tidak cocok, San."

"Sudahlah ini tidak terlalu lama, hanya tiga bulan."

"Hei, kau pikir tiga bulan itu seperti tiga hari? Ya ampun, lama-lama aku bisa gila."

Mengeluh tak ada artinya, dan membuat mereka berdua mencari ruangan yang akan mereka gunakan nantinya, namun tiba-tiba saja Emily merasa perutnya seperti terlilit hingga ia bergumam. "Aduh, bisa-bisanya di sini."

"Oh ya, San. Kamu tunggu sebentar di sini ya. Aku mau pergi buang air dulu, udah enggak tahan nih!"

"Lah, emangnya tahu tempatnya?"

"Enggak sih, tapi ya udahlah nanti aku coba cari."

Dengan bergegas Emily berlari ke segala arah tanpa dengan tetap melihat petunjuk agar bisa menemukan kamar mandi. Rasanya seperti sudah diujung tanduk, dan sungguh membuat tak tertahankan lagi.

Membuat Emily merasa kesulitan ketika harus mencari kamar mandi di dalam perusahaan yang besar. Ia bahkan tak peduli ketika orang-orang sedang menatap aneh kearahnya. Hingga akhirnya Emily menemukan kamar mandi, namun ia tidak begitu memperhatikan dengan jelas kamar mandi yang akan ia masuki. Padahal, kamar mandi tersebut adalah khusus untuk CEO dari perusahaan tersebut.

Dengan begitu percaya dirinya, ia masuk tanpa menyadari bahwa di tempat yang sama sedang ada seorang pria yang sedang membuang air kecil. Hingga Emily menoleh ke belakang, dan sialnya ia menatap kearah burung yang sedang menggantung.

Sontak membuat Emily terkejut hingga matanya melotot sempurna, bahkan ia berusaha berteriak keras. "Argh!" Tapi, dalam sekejap mulutnya ditutup erat oleh tangan pria itu.

"Uu-le-lepaskan mulutku." Emily berusaha berontak hingga suaranya tidak begitu jelas terdengar.

Namun, pria itu tidak ingin melepaskannya, dan justru ia berusaha menutupi celananya terlebih dahulu.

"Kau?!" Sama-sama terkejut hingga membuat Joshua melepaskan tangannya dengan cepat.

"Beraninya kamu masuk ke dalam kamar mandi khusus milikku?" tanya Joshua yang begitu tidak menyangka di saat melihat wanita itu lagi.

"Aku? Ah sudahlah nanti saja masalah itu." Emily segera berlari menutup pintu kamar mandi agar ia bisa membuang air besar. Sedangkan Joshua memilih untuk segera ke luar dari tempat itu karena ia tidak ingin ada yang melihat kejadian tersebut. Tentu saja akan membuat nama baiknya tercoreng jika ada yang tahu kejadian bodoh itu.

Hari baiknya Joshua kini telah berakhir di saat ia melihat wanita itu lagi, namun ia kebingungan kenapa bisa wanita itu berada di perusahannya. Segera menghubungi Alona Fransiska—sekretarisnya.

"Alona, tolong kamu cari tahu sebentar tentang kejanggalan di pihak resepsionis karena baru-baru saja aku bertemu dengan orang asing, dan segera berikan laporan padaku," perintah Joshua.

"Baik, Tuan Muda Joshua."

Tak butuh waktu lama, Alona telah mendapatkan tentang identitas dari dua orang yang masuk untuk melakukan pelatihan kerja.

"Ya sudah segera minta untuk menemui saya sekarang juga," perintah Joshua.

"Siap, Tuan Muda."

Berbeda dengan Emily yang kembali kearah tempat berdirinya Santi, namun saat itu temannya sudah tidak lagi berada di tempat.

"Tuh kan, baru juga sebentar ditinggal udah menghilang," gumamnya dengan kesal.

Kembali membuat Emily merasa kebingungan dengan menghilangnya sang teman. Ia benar-benar tidak tahu harus pergi kearah mana, dan di tambah petunjuk arah juga tidak berada di tangannya. Namun tiba-tiba saja, seorang wanita cantik, dan berpakaian menarik datang mendekati.

Alona berjalan mendekat sembari menatap penampilan Emily dari atas hingga ke bawah. Tatapan Alona begitu tajam ketika melihat Emily.

"Oh, jadi wanita ini yang sedang dicari oleh Tuan Muda Joshua. Buruk sekali penampilannya," batinnya Alona.

"Hey, kamu. Sekarang ikut saya," perintah Alona sembari dengan menunjuk.

Segera di jawab anggukan oleh Emily, meskipun ia merasa bahwa wanita itu terlihat sangat angkuh.

Tiba di sebuah ruangan yang bertuliskan CEO.

"Masuklah, Tuan Muda sedang menunggumu," kata Alona.

"Baik, Bu."

"Bu? Hey! Aku bukan ibumu," cetus Alona dengan tatapannya yang tajam.

"E-eh, maaf aku tidak bermaksud demikian." Emily menundukkan kepalanya karena merasa tidak nyaman.

Lagi-lagi ia harus mendapatkan masalah di hari pertamanya, dan berusaha untuk tetap tenang apalagi saat masuk ke dalam sebuah ruangan pemilik dari perusahaan. Tentu saja ia sangat gugup sekali. Menarik nafasnya dengan perlahan sembari mengetuk pintu.

"Masuklah." Terdengar suara dari balik ruangan.

"Terima kasih, Pak," ucap Alona yang hanya berusaha untuk tidak menatap wajah dari CEO tersebut, namun ia berusaha menunduk.

"Pak? Kamu pikir aku bapakmu? Lalu kenapa wajahmu ditekuk seperti itu? Tidak bisa melihat ya?!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!