Dia tertabrak mobil dan kehilangan banyak darah....
Tria tidak pernah menyangka akan berputus asa hanya karena sebuah kalimat. Gumpalan penyakit dalam dada ingin dimuntahkan dalam bentuk makian dan cacian. Baginya, itu adalah sebuah penyiksaan tidak langsung!
Sudah hampir setengah tahun ia menunggu kepastian dari Author yang entah menghilang ke mana, meninggalkan misteri tentang pemeran utama yang begitu sengsara.
Tak ada keadilan dalam cerita itu—tokoh utamanya disiksa sedemikian rupa hingga tangis menjadi santapan sehari-hari.
"Author sengklek! Kalau nggak bisa buat cerita sampai habis, jangan buat cerita! Buat penasaran aja!"
Tria memerhatikan deretan bab yang berjumlah sepuluh. Di awal cerita, sang Author sempat menuliskan catatan bahwa kisah ini akan terdiri dari sekitar lima puluh bagian, dan—katanya—akan selesai dalam waktu yang cepat.
Rupanya, pemberi harapan palsu bisa datang dari mana saja. Tria menyesal telah menemukan cerita bergenre romansa itu. Benar-benar memuakkan!
Tria sangat tertarik dengan tokoh utama yang bernama Estria. Selain nama mereka yang hampir mirip, hobi mereka pun sama—sama-sama gemar bermain piano. Pendeskripsian wajahnya bahkan bisa dibilang copy-paste.
Estria memiliki wajah mungil. Ia cukup tinggi. Matanya bulat dan tampak polos, hidung kecil, serta bibir ranum. Semua yang ada seolah bisa diklaim sebagai milik Tria. Bahkan tahi lalat di bawah alis pun tak luput!
Hei, Author! Nggak mau balik? Lama amat hibernasinya!
Tria gatal untuk menyindir lagi. Pesan itu dikirim di kolom komentar, di mana semua orang bisa membacanya.
Bukannya ingin menjatuhkan, tapi ini sudah kelewat batas, sudah melewati kesabaran seorang pembaca. Memang, sih, jadi seorang penulis membutuhkan waktu agar karya yang dihasilkan semeriah kembang api. Tria pengertian, kok!
Namun, Author yang tak bertanggung jawab itu rasanya seperti meminta untuk disantet!
Lelah mengeluarkan setetes api, Tria mulai merasa mengantuk. Tubuhnya juga pegal-pegal setelah latihan melawan tiga orang sekaligus. Ia sudah bergabung dengan Karate sejak masih kecil, dan kini tinggal selangkah lagi menuju sabuk hitam. Deretan piala di sudut ruangan bisa jadi alasan untuk berbangga.
Karate dan piano adalah dua hal yang tak terpisahkan dari hidup Tria.
Sebelum benar-benar terlelap, sebuah notifikasi membuatnya tersadar kembali. Seseorang telah membalas komentarnya.
Untuk semua pembaca, aku selaku pihak keluarga meminta maaf atas ketidaknyamanan kalian. Aku tidak sempat memberitahu karena masih cukup terguncang setelah apa yang kakakku alami. Maaf karena cerita ini tidak akan pernah berlanjut karena kakakku sudah lama meninggal karena kecelakaan. Aku harap kalian dapat mengerti....
"Hah? Ini bercanda, kan?"
Tria mengulang bacaannya sampai tiga kali. Balasan dari pembaca lain justru makin memperkeruh suasana. Mereka menyuarakan duka cita paling mendalam, diikuti dengan emotikon sedih.
Setelah merasa paling disakiti, kini Tria merasa menjadi manusia paling jahat di dunia. Ia mencaci tanpa tahu kebenarannya. Ia lupa bahwa seorang penulis juga adalah manusia—yang bisa saja mengalami kematian. Betapa bodohnya!
Tria membenamkan wajah di atas tempat tidur. Hidupnya seakan diterjang batu bara Yang menyala-nyala.
"Jadi... selama ini aku marah-marah sama orang yang udah wafat? Gila!"
Semalaman Tria overthinking, beberapa kali mencubit dirinya sendiri sebagai hukuman atas kebodohannya. Ia tak bisa tidur sebagaimana mestinya. Barulah saat jarum jam menunjukkan pukul dua pagi, ia berhasil masuk ke alam mimpi. Itu pun, masalah baru kembali muncul.
Gelap dan sepi. Sejauh mata memandang, tak ada satu pun makhluk hidup yang tampak. Suara paling keras hanyalah deru napasnya sendiri. Untuk melangkah ke depan dibutuhkan keberanian besar, dan untuk tetap tinggal dibutuhkan mental yang kuat.
Sebelum sempat berpikir lebih jernih, cahaya putih dari ujung sana perlahan mendekat. Rambut sosok itu tergerai panjang, tangannya terulur seakan meminta pertolongan. Raut wajah bernuansa kelam membuat tubuh Tria merinding.
Sosok itu membuat Tria terhenti bernapas. Ia seolah sedang bercermin. Ia melihat dirinya sendiri—dalam balutan gaun putih, meneteskan air mata.
“Tolong aku...”
Uluran tangan itu menyentuh kulit wajahnya. Tria tak bisa berkedip. Kepalanya mulai terasa pusing. Ia butuh kejelasan atas apa yang sedang terjadi. Bagaimana bisa ia berada dalam ruang seluas ini, namun hanya kegelapan yang menyelimuti?
"Tolong aku, jangan biarkan aku mati...."
"Ka-kamu siapa?" Tria menatap lekat, agak kaku menggerakkan mulut. "Dan juga... aku di mana?"
"Tolong aku...."
Kedua pipi dielus lembut. Sosok itu kian bercahaya, menyilaukan mata. Tria ingin berlari—ketakutan mulai menjalari seluruh tubuh. Aliran darahnya bergetar, jantung berdetak tak karuan, pembuluh darah terasa membengkak. Ia kesulitan bernapas, dadanya sesak seolah dihimpit beban tak kasat mata.
“Tolong aku....”
Tria mengerang kesakitan. Jiwa dan raganya terasa tercerabut, ditarik paksa ke arah yang tak diketahui.
Lalu, suara dengan frekuensi tinggi memekakkan telinga. Cahaya menyapu cepat, melahap kegelapan. Tria tak lagi bisa melihat, tak bisa mendengar. Ia terseret masuk ke dalam sebuah lubang kecil yang sempit dan tak berujung.
Perjalanan dimulai!
Perjalanan dimulai!
Perjalanan dimulai!
Suara peringatan bernuansa merah menyala muncul tepat di atas kepala. Beberapa tulisan bermunculan secara acak, mengelilingi tubuhnya. Semuanya mengarah pada satu hal: sebuah perjalanan akan segera dimulai—dan pusat dari semuanya adalah seorang perempuan bernama Tria.
...***...
"Dokter! Pasien sudah siuman!"
Suara-suara kecil mulai mengusik pendengaran. Tria melenguh pelan, lalu perlahan membuka mata lebih lebar. Seluruh tubuhnya terasa remuk, tak bisa digerakkan, seolah semua tenaga telah menghilang begitu saja.
Seorang dokter berdiri di sampingnya, memeriksanya dengan saksama. Ia mengecek detak jantung di dada dan denyut Nadi di pergelangan tangan. Wajahnya tampak lega, seolah menantikan momen ini sejak lama.
"Akhirnya kau bangun, sayang...."
Tria bingung. Ia mencoba memfokuskan penglihatannya yang perlahan mulai membaik. Di sekelilingnya, ada dua orang perawat, seorang dokter, seorang perempuan berkepala tiga—namun tetap terlihat cantik—dan seorang laki-laki berperawakan tinggi.
"Ibu sangat menghawatirkan mu." Amoura memeluk Tria sayang, air mata haru melukis pipinya.
Dua perawat membantu Tria untuk duduk. Dengan lemah, ia menatap satu per satu wajah yang tampak asing. Ia bahkan tidak tahu sedang berada di mana. Semua begitu berbeda... begitu ganjil... namun nyata.
"Kalian siapa?" Tria bertanya sangsi. Menatap orang secara bergantian. "Aku juga di mana?"
"Dokter, apa yang terjadi dengan menantu saya?" Amoura bertanya panik.
Tria terusik dengan kata menantu. Sejak kapan dia menikah?
Dokter menghela napas. "Pasien mengalami kecelakaan yang parah, ingatannya memburuk."
Amoura menggenggam tangan Tria, air matanya semakin meluncur deras. "Estria, kau tidak mengingat ibumu ini?"
Tria mengedipkan mata lebih cepat, mencoba mengamati wajah-wajah di sekelilingnya. Ditanya seribu kali pun, Ia tetap takkan tahu siapa mereka.
"Maaf, nama aku bukan Estria, tapi Tria," ucapnya pelan namun pasti.
"Apa yang kau katakan? Namamu adalah Estria, bukan Tria," sahut perempuan berkepala tiga itu dengan nada heran.
Tria spontan menarik tangannya, lalu mundur hingga membentur kepala ranjang. Matanya menelisik sekeliling, siapa tahu ada kamera pengintai tersembunyi. Dalam pikirannya, ini bisa jadi konten jebakan. Cukup lumrah di kalangan Youtuber, bukan?
Namun, kejanggalan lain terasa makin nyata. Mereka berbicara dengan bahasa yang terlalu formal. Terlalu baku. Tidak cocok dengan dunia yang dikenalnya. Kepalanya makin berat.
"Kalian siapa, sih?!" bentaknya, judes dan tanpa filter.
Wajah Amoura menggelap. Nada suara Tria seperti hantaman keras di dada. Ia pun melangkah mundur, menarik pria tinggi yang sejak tadi berdiri di belakangnya. "Walaupun kau tidak mengingat ibu, tapi kau pasti mengingat Arga, kan? Kau pasti mengingat dia."
Pandangan Arga menusuk. Tatapannya dingin, terlalu dingin untuk seorang pasien yang baru siuman. Seolah kehadirannya justru membawa tekanan baru.
"Aku nggak tahu." Tria memijit kecil pelipisnya. Dia menambahkan kalimat dengan suara yang tegas. "Aku sama sekali nggak tahu kalian siapa!"
"Estria...." Amoura berucap lembut, menatap nanar.
"Nama aku bukan Estria!" Tria lama-lama kesal. "Jangan paksa aku buat ngenal kalian! Jangan paksa aku juga kalau nama aku Estria! Kalian ini dari tim apa?! Kalian ini pasti mau nge-prank aku, kan? Ngaku nggak?!"
"Ada apa denganmu?" Arga menggenggam tangan Tria. Suaranya sedingin kutub utara. "Cara bicaramu aneh, sama sekali bukan kau. Apakah karena kecelakaan itu?"
Tria bangkit dan hendak pergi. Orang-orang di sekitarnya terasa mencurigakan. Pemaksaan yang dilontarkan pada dirinya membangkitkan kejengkelan yang tak tertahankan. Tria merasa lebih baik pulang atau melapor ke polisi. Mungkin saja ia memang diculik.
"Estria!"
Seruan bernada tegas itu menghentikan langkahnya. Tria langsung siap siaga, waspada akan kekerasan yang mungkin datang kapan saja.
"Jangan dekat-dekat!"
"Kau mau ke mana? Kau baru saja bangun, istirahatlah lebih banyak dan jangan membuat orang lain cemas...!" Arga menekan kalimat di akhir.
"Masalahnya kalian semua ini aneh! Berhenti panggil aku Estria atau aku nggak akan segan nelpon polisi!"
Amoura menatap dokter. "Dok, apakah wajar dia bertingkah seperti itu? Kenapa dia bersikeras sekali? Siapa itu Tria?"
"Estria...!" Arga menekankan suaranya lebih dalam. Sorot matanya menyiratkan ancaman, seakan ingin menguliti.
Dari sini, Tria mulai merasakan ada yang aneh. Beberapa potongan ingatannya mulai menyatu. Hal terakhir yang ia ingat adalah bertemu seseorang yang sangat mirip dengannya—meminta tolong dengan panik, lalu semuanya berubah dalam sekejap.
"Ka-kalian ada cermin?" Tria mulai gemetar, tak bisa menyembunyikan rasa takut yang merasuki tubuhnya.
Salah satu perawat memberikan apa yang Tria minta. Dia bercermin untuk memastikan sesuatu. Dan apa yang terjadi? Tidak ada perubahan. Wajah yang ada di sana masih sama, tahi lalat di bawah alis tidak berpindah.
"Estria, jangan membuat ibu takut...," ucap Amoura.
"Es... tria...." Tria menggumam pelan, alisnya berkerut, menajam.
Nama itu... sangat familiar. Bukankah itu nama tokoh utama yang sangat ia gemari? Pemeran utama yang selalu disiksa oleh suaminya? Berselingkuh tanpa tahu malu?
Tria menggeleng beberapa kali, kebingungannya semakin mendalam. "Apa namaku Estria Zevallo? Istri dari Arga Zevallo?"
Arga tercekat, tampaknya terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulut Tria. "Kau ingat? Kau mengingatku?"
"Kau Arga Zevallo? Suamiku?" Tria memandangi pria itu dari atas hingga bawah, mencoba mencari tanda-tanda kejujuran dalam dirinya. Semua yang ada pada Arga adalah keindahan yang luar biasa, bagaikan dewa. Arga sangat tampan, bahkan mungkin terlalu tampan untuk seorang pria yang pantas disebut suami.
Namun, daripada mengagumi sosoknya, Tria merasa seperti ingin melayangkan tonjokan paling keras. Bagaimana mungkin dia bisa disebut seorang suami, tetapi memperlakukan istrinya begitu kejam?
"Bajingan!!!" Tria mengutuk, tubuhnya bergetar karena amarah. Dia siap melepaskan bogeman, tetapi sesuatu yang tak terduga terjadi pada tubuhnya. "Sakit!!!"
Sakit menjalari seluruh tubuhnya, seperti tulang-tulangnya diremas. Peringatan muncul di depan matanya, tulisan yang semakin jelas.
Isi penuh karakter Estria!
1. Lemah lembut
2. Penurut
3. Berhati baik
Tria merasa terjepit. Ia harus berperilaku seperti Estria yang asli, tidak boleh bertindak gegabah jika tidak ingin mendapat siksaan. Setidaknya ia harus mengisi tabung karakter hingga penuh agar diberi kebebasan sedikit lebih banyak untuk bertindak.
"Sial!"
...----------------...
Harus Tria akui, dunia yang ia tempati sekarang jauh lebih baik dan mengesankan—dalam urusan perduitan. Dia memang sudah menduga kekayaan keluarga Zevallo dari buku yang pernah dibacanya, tapi melihatnya secara langsung bisa membuat mata membulat dan mulut menganga.
Rumah bak istana itu nyaris membuat air mata haru tumpah, Tria harus menahan gejolak di dadanya agar tidak meraung. Rumah macam apa yang terbentang di hadapannya? Itu tidak bisa disebut rumah! Pekarangannya saja bisa menampung sebuah hotel!
Oke, mungkin itu sedikit berlebihan.
Bangunan megah bercat putih gading itu berdiri angkuh dengan tiang-tiang tinggi bergaya klasik yang membuatnya tampak seperti istana dalam film. Jendelanya besar berlapis kaca, dan balkon-balkonnya dihiasi tanaman rambat yang terawat. Air mancur berdiri di tengah halaman depan, memancarkan air jernih di atas patung kuda bersayap. Jalan masuknya pun dilapisi batu alam halus yang mengilap seperti cermin.
Sebenarnya, rumah tersebut bukanlah rumah utama. Tapi karena keluarga Zevallo lebih sering menghabiskan waktu di sana karena tuntutan pekerjaan, akhirnya rumah itu diberikan kepada Arga sebagai pemilik tetap.
“Selamat datang Nyonya Estria….”
Puluhan maid membungkuk secara bersamaan, senyum terlukis indah menyambut kepulangan si cantik. Tria nyaris terjengkang karena canggung. Dia bahkan sungkan untuk melangkah lebih dalam—barang-barang mewah yang berkilauan hampir menyilaukan matanya. Kristal, marmer, ornamen berlapis emas... ini bukan rumah, ini pameran kemewahan.
Arga dan Amoura menuntun langkah Tria. Mertua melakukannya dengan senang hati, sedangkan si suami... ya, itu cerita lain. Beberapa kali Tria mendengar embusan napas jengkel di sisi kirinya. Suara yang sangat familiar. Sudah seperti soundtrack pribadi: dengusan ala Arga.
Tria tidak akan heran jika Arga bersikap ogah-ogahan. Makhluk yang paling dibenci dan ingin disingkirkan olehnya adalah istrinya sendiri. Dan setelah kepulangan Amoura, Tria tahu, suaminya itu akan kembali bertingkah semena-mena.
“Sayang, istirahatlah di kamar, jika kau membutuhkan sesuatu kau bisa memanggil Arga.” Amoura melirik anaknya sekilas.
“I-iya, Bu.” Tria berucap sangsi. Sebaiknya Arga tidak direkomendasikan untuk menolongnya.
“Ibu akan menginap di–”
“Bu, bukannya ada proyek yang akan dikerjakan? Ibu tidak perlu sampai menginap dan meninggalkan tanggung jawab.” Arga berdeham. “Aku bisa menjaga Estria.”
Tria bergidik, rasa was-was mulai merayap. Sebuah firasat buruk menyelinap, seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres—sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
Dalam cerita asli, Estria seringkali dikurung di tempat gelap selama berjam-jam, sengaja ditumbuhkan trauma mendalam. Itu adalah cara Arga untuk membuat Estria merasa tidak betah di rumah, hingga akhirnya memilih bercerai. Arga, meskipun memiliki niat buruk, tak bisa melakukannya lebih dulu—Amoura tak akan pernah setuju dengan yang namanya perceraian.
Sayangnya, Estria yang dulu bukanlah Estria yang sekarang. Tria bukan wanita penakut yang bisa ditakut-takuti. Dia sudah terbiasa dengan kegelapan, dan mentalnya kini jauh lebih kuat. Satu-satunya masalahnya adalah, Tria tidak suka direndahkan, dan ia sangat mungkin membalas perlakuan jahat itu. Namun, karena tabung karakter yang masih belum penuh, ia tahu dirinya harus lebih sabar menghadapi segala perlakuan buruk yang mungkin datang.
“Estria, kau tidak apa-apa, kan?” Amoura menggenggam tangan Tria. Perlakuannya benar-benar seperti ibu kandung.
“I-iya, Bu.”
“Kalau begitu Ibu akan pergi setelah ini. Ayahmu juga pasti sibuk melakukannya sendiri.”
Estria adalah anak tunggal. Ibunya meninggal saat ia baru memasuki bangku menengah pertama. Andara—ayah Estria—banting tulang demi memperbaiki perekonomian hidup mereka, dan ia berhasil merintis usaha yang sedikit demi sedikit mulai berkembang.
Namun, beberapa tahun kemudian, Andara menghadapi masalah besar. Bisnis yang ia rintis hampir mencapai titik nol, dan dalam keputusasaan itu, Amoura datang sebagai penyelamat. Namun, kedatangan Amoura tidak hanya sebagai penyelamat, tetapi juga sebagai cikal bakal perjodohan yang tak terelakkan.
Pernikahan antara Estria dan Arga tidak akan pernah terjadi tanpa campur tangan Amoura. Wanita itu sangat keras kepala, dan Andara tak punya pilihan lain selain menurut, karena Amoura mengancam akan menarik semua bantuan yang sudah diberikan dan menjadikannya sebagai hutang yang mustahil dilunasi.
Terdengar kejam? Memang, tapi itu adalah satu-satunya cara agar permintaan Amoura terkabul. Amoura jatuh hati kepada Estria, terlalu mendamba sosok anak perempuan yang seolah hilang dari hidupnya.
Namun, seperti yang bisa ditebak, pernikahan tanpa landasan cinta itu membawa bencana. Diam-diam, Arga masih menjalin hubungan dengan kekasihnya, menyembunyikan semua itu dari Amoura. Dan Estria? Ia menjadi bahan siksaan dalam rumah tangga itu, terhitung tak penting bagi Arga. Tidak peduli jika hatinya tergores, yang jelas Arga menaruh kebencian, bukan cinta.
"Ibu pergi dulu."
Setelah kepergian Amoura, sifat dingin Arga muncul seketika.
“Aku tidak akan mengurus mu, lakukan semuanya sendiri,” katanya datar, kemudian naik ke lantai atas tanpa peduli.
Tria hanya bisa terdiam, merasa seperti orang bodoh. Beberapa pasang mata menatapnya tanpa rasa iba. Tidak ada yang berani mendekat, seolah dia adalah virus yang akan menyebarkan penyakit.
Jadi, aku harus gimana, nih? Harus ngapain, nih?
Dengan tekad yang tak pasti, Tria memberanikan diri untuk naik ke lantai atas. Setahunya, kamar Estria bersebelahan dengan kamar Arga. Pasutri itu memang tidak sekamar, katanya Arga jijik, dan kemarahannya bisa meledak kapan saja.
Tiba-tiba, tanda panah muncul di lantai, seolah memberi petunjuk. Tria mengikutinya sampai di depan sebuah kamar. Itu adalah kamar Estria.
Kamarnya berwarna biru langit yang lembut, sebagian besar dindingnya putih. Suasana di dalamnya terasa nyaman dan menenangkan, seolah berbicara tentang kedamaian yang jarang didapatkan di rumah ini. Estria tampaknya tak suka kemewahan, terlihat dari kesederhanaannya. Barang-barang di dalam kamar ini sangat sedikit, namun setiap sudutnya terasa penuh arti.
Tria terkesan, terutama dengan sebuah piano yang terletak di sudut ruang. Begitu melihatnya, Tria mendadak merasakan rindu yang mendalam pada rumahnya, pada kenyamanan yang tak pernah ia rasakan lagi.
Tria sendiri tidak memiliki siapa-siapa. Ibunya meninggal saat melahirkannya, dan ayahnya pergi begitu saja. Sejak kecil, ia dibesarkan oleh neneknya yang merupakan pahlawan sejatinya. Namun, pahlawan itu juga pergi, meninggal saat Tria berusia tujuh belas tahun.
Meskipun ayahnya pergi begitu saja, dia tak pernah melupakan kewajibannya untuk memberi nafkah. Tria bisa bersekolah hingga duduk di bangku kuliah karena kiriman uang dari ayahnya. Bahkan saat menulis skripsi, ia tahu ayahnya adalah alasan ia bisa bertahan.
“Tunggu! Aku kan lagi nyusun skripsi!!!”
Tria panik. Wajahnya memucat. Serasa hidupnya diambang kehancuran.
“Gimana dong ini? Caranya balik ke dunia asli gimana?! Mana udah setengah jadi lagi! Aku nggak mau nunda-nunda waktu!!!”
Seolah jeritannya tembus langit, papan pengumuman segera muncul.
Misi : Bujuk Arga untuk memberikan perusahaan atas nama Estria.
Selama misi tidak dilakukan, selamanya akan terkurung dan akan mendapat sanksi karena tidak bermain secara profesional.
“Misinya gila banget! Nggak tahu, ya, kalau Arga itu benci banget sama Estria?! Gimana mau ngasih perusahaannya?! Mikir dong!”
Tria memukul papan informasi sekuat tenaga, namun kali ini tak ada jawaban hingga pada akhirnya papan tersebut menghilang. Selanjutnya, muncul pengumuman untuk mengisi tabung karakter.
“Nggak! Aku nggak mau di sini! Aku mau pulang!!!”
Isi penuh karakter Estria!
Isi penuh karakter Estria!
Isi penuh karakter Estria!
Tria menutup telinganya, berusaha mengabaikan suara itu. Ia mencoba mencari pintu menuju dunianya yang asli, tetapi tidak ada yang membantunya. Hampir setiap sudut ruang dijelajahi, namun semuanya tampak seperti tembok tanpa jalan keluar.
Tiba-tiba, suara seseorang terdengar dari luar.
“Nyonya muda, tolong buka pintunya....”
Tria secepat kilat mengubah ekspersi wajahnya. Mau tidak mau, ia harus berlagak seperti Estria.
“Ada apa?” Tria menjawab lembut.
“Tuan Fahrez datang untuk menemui Nyonya.”
Tria merasa dadanya berdebar. Tidak perlu dijelaskan lagi siapa itu Fahrez Gananda. Laki-laki berwajah tampan nan ramah, dengan tinggi setara Arga. Sikapnya yang penuh pesona mampu menarik ribuan wanita dalam sekali pandang. Fahrez bisa dikatakan sempurna, tak hanya dari fisiknya, tetapi juga latar belakang keluarganya yang mendukung—bukan dari kelas rendahan.
Fahrez dan Estria adalah teman semasa SMP. Saking dekatnya, mereka mendirikan sebuah klub musik bersama, melatih anak-anak bermain piano. Mereka sering memenangkan kompetisi dan selalu menjadi bahan perbincangan publik.
Mereka adalah superstar. Mereka bermain dari hati. Mereka sangat serasi.
“Tuan Fahrez ada di ruang tamu.”
Tria menarik napas panjang dan memantapkan hati. Berusaha tetap terlihat biasa-biasa saja, meski di dalam hati ia masih galau merana karena tugas skripsinya yang belum selesai.
Di ruang tamu, Fahrez duduk sopan sambil menikmati segelas minuman. Tria sempat terpana. Manik mata Fahrez berwarna kecokelatan, berkilau di bawah cahaya lampu. Hidungnya yang mancung tampak sempurna, bibirnya berbentuk hati, membuatnya tampak begitu mempesona. Dia adalah dewa nomor dua setelah Arga.
“Estria.” Fahrez bangkit cepat, senyumnya mengembang.
Tanpa diduga, Fahrez langsung memeluknya dengan erat, membungkus seluruh tubuh Tria dalam pelukan yang begitu hangat dan penuh keakraban.
Aduh! Nggak bisa napas!
“Aku dengar kau sedikit mengalami masalah mengenai ingatanmu, apa kau mengingatku?”
Tria tahu siapa laki-laki di depannya. Cerita dalam novel sudah memberi petunjuk, meskipun masih ada tanda tanya yang menggelayuti benaknya.
“A-aku tidak tahu.” Tria terpaksa berbohong.
“Aku Fahrez, teman kecilmu. Kita sering menghabiskan waktu bersama.”
“Oh….” Tria meremas tangan, agak gugup.
Fahrez tampak kecewa, sorot matanya yang penuh harapan menyiratkan kesedihan yang mendalam. Meskipun pelukannya sudah dilepaskan, tatapannya tetap menahan Tria dalam Cengkeraman. Ia tak mengalihkan pandangannya sama sekali.
“Jadi... bagaimana?”
Tria berkedip polos. “Apanya yang bagaimana?”
“Kau pasti tidak ingat, jadi aku akan menjelaskannya. Kita memiliki beberapa murid, dan mereka menanyakan keberadaan mu. Kita melatih orang-orang yang ingin belajar bermain piano.”
Seketika, alis Tria bertautan. Memang, ia sangat menyukai piano, tapi ia merasa tak layak untuk melatih orang lain. Kemampuannya masih jauh di bawah rata-rata. Ia pun masih membutuhkan bimbingan, bukan menjadi pembimbing.
“Hm… aku… sepertinya tidak bisa.” Tria menunduk dalam. “Aku tidak ingat apa-apa. Semuanya hilang.”
“Jadi kau akan berhenti?”
“Mungkin begitu.”
“Estria, bermain piano adalah kesukaanmu. Kau sudah berusaha keras sampai ke titik ini. Tolong, jangan berhenti.”
“Ta-tapi… aku sama sekali tidak ingat. Aku mungkin butuh waktu untuk mempelajarinya kembali.” Tria memandang nanar.
Fahrez tidak berputus asa, dia meraih tangan Tria dan menggenggamnya kuat. “Kalau begitu aku akan mengajarimu sampai kau bisa. Ini hanya masalah waktu, pelan-pelan kau akan mengingatnya kembali.”
Tanpa sadar Tria berekspresi masam. “Kau yakin?”
“Aku yakin,” ucap Fahrez mantap. “Semua orang menunggumu.”
Tria merasa berat. Tak ada yang bisa menenangkan hatinya di saat seperti ini. Keberadaan dirinya seakan terperangkap di antara dua dunia. Ia berusaha melepaskan diri, namun misi yang diberikan padanya terus menghantuinya. Tidak mungkin ia bisa membagi fokusnya dua kali.
“Apa kau sudah selesai?” suara Arga terdengar tiba-tiba, memecah suasana yang mulai canggung.
Pertanyaan itu langsung mengarah pada Fahrez. Dalam sekejap, atmosfer di ruangan itu berubah menjadi tegang. Tria bisa merasakan ada hawa hitam yang melingkupi dirinya. Tidak bisa disangkal bahwa ada permusuhan antara Arga dan Fahrez, meski permusuhan itu tidak tampak secara langsung.
“Aku sebenarnya masih ingin mengobrol dengan Estria,” kata Fahrez, masih menggenggam tangan Tria dengan erat.
“Ini sudah malam, Estria harus beristirahat.” Arga tak menoleh sedikit pun ke arah Fahrez, kesombongannya sudah mendarah daging.
“Apa kau yakin dia akan beristirahat?” Fahrez menatap tajam, seolah menantang.
“Apa maksudmu?” Arga mulai mengeraskan suara.
Fahrez memberanikan diri. “Jangan kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan kepada Estria.”
“Itu bukan urusanmu,” jawab Arga dengan dingin, namun ada tanda ketegangan di matanya.
“Urusan Estria adalah urusanku juga,” balas Fahrez, suaranya semakin tajam.
Arga dan Fahrez saling bertatap mata. Tria menelan ludah, merasa harus segera memisahkan keduanya. Jika tidak, bisa jadi semuanya akan berubah menjadi kekacauan. Dengan cepat, ia berkata, “Fahrez, kita akan bicara lain kali. Kau pulanglah dulu.”
Hanya satu kali permohonan dari Tria, Fahrez akhirnya melepas genggamannya. Ia mengusap lembut pucuk kepala Tria, memberikan senyum yang penuh arti. “Hubungi aku jika ada sesuatu, Estria. Aku selalu ada untukmu.”
Dengan langkah pelan, Fahrez keluar dari ruangan, meninggalkan Tria dan Arga dalam keheningan yang berat.
Tria diam, pikirannya penuh dengan banyak pertanyaan. Sebelum menikah, Estria tak pernah merasa apa-apa terhadap Arga. Ia bahkan sempat menolak perjodohan itu. Namun siapa sangka, Estria akhirnya mengungkapkan cinta dan bersedia menerima perlakuan kasar demi membuktikan kasih sayangnya? Mengapa Estria bisa begitu naif?
Dan yang lebih buruk lagi, sekarang Tria harus berpura-pura mencintai Arga. Sungguh sebuah kesialan yang luar biasa.
......................
Jika ditanya mengenai perasaan, maka ada satu jawaban pasti untuk Tria. Jauh sebelum ia terlempar ke dalam cerita mengerikan ini, dia sudah membenci karakter Arga, apa pun alasannya.
Laki-laki itu memang tampan. Bahkan terlalu tampan. Hanya orang dengan standar rendah yang akan memalingkan wajah. Ditatap dari segi mana pun—tinggi semampai, sorot mata tajam, garis rahang tegas, dan postur yang nyaris sempurna—aura mendominasinya selalu memikat. Bahkan bangun pagi tanpa membersihkan diri pun, kharismanya tidak akan berkurang sedikit pun. Seakan dunia memang tidak adil karena menciptakan manusia seelok itu.
Arga Zevallo adalah definisi sempurna dari karakter impian setiap wanita, mirip dengan tokoh utama dalam buku-buku roman klasik yang memenuhi rak-rak toko buku. Kaya, berkuasa, disegani banyak orang. Setiap langkahnya seperti orkestra yang membuat siapa pun bertekuk lutut—entah karena kagum, takut, atau sekadar tak sanggup menahan pesona.
Kelebihannya terlalu banyak untuk dihitung, seperti air yang tumpah dan mengalir ke segala arah. Tak bisa dikumpulkan, tak bisa dibendung. Ia membasahi segala sisi kehidupannya dan menciptakan genangan ketakjuban di mana-mana.
Namun, di balik semua itu, keburukan terpampang jelas di depan mata Estria. Tanpa kedok. Tanpa usaha untuk ditutupi. Istri sah diperlakukan seperti mainan tak bermutu, layaknya boneka porselen cantik yang hanya layak dipajang, bukan untuk disayangi.
Dan di sanalah kebencian Tria tumbuh subur. Ia mewakili setiap luka yang dirasakan Estria, menyerap amarah yang bertahun-tahun tak bersuara. Sekarang, saat dia menjadi Tria dalam tubuh Estria, semua itu terasa nyata. Terlalu nyata.
“Turun.”
Jengkel. Tria harus menobatkan Arga sebagai makhluk paling tidak berperasaan yang pernah ia temui. Dia melebihi iblis—kalau iblis bisa tertawa, mereka pun mungkin akan merasa tersaingi olehnya.
“Apa?” Tria menatap dengan sorot tak percaya, suara nyaris tercekat.
Tanpa menjawab, Arga membuka sendiri pintu mobil dari luar. Gerakannya tenang, terlalu tenang untuk laki-laki yang baru saja menghancurkan logika sopan santun manusia. “Turun.”
“Ta-tapi ini belum sampai….”
“Bukan urusanku.”
“Tapi—”
“Aku bilang turun.”
Nada suaranya tidak meninggi, tidak menggertak, namun terdengar seperti perintah mutlak yang tak bisa dibantah. Ada tekanan di sana. Dingin, menusuk, dan jelas tak memberi ruang untuk negosiasi.
Tria terdiam, menahan napas beberapa detik, mengepalkan tangan kanan di pangkuannya. Tubuhnya bergetar. Bukan karena takut, tapi karena muak. Ingin sekali ia menampar laki-laki itu, atau setidaknya melempar sepatu ke wajah tampannya yang menyebalkan.
Padahal niat awalnya sederhana. Dia hendak ke klub musik sore ini. Sudah ada janji dengan Fahrez untuk latihan piano. Arga, dengan senyum simpul dan nada manisnya, menawarkan diri untuk mengantar. Dan bodohnya Tria—yang semestinya tahu lebih baik—malah menerima tawaran itu dengan setengah lega.
Ternyata benar. Kebaikan dari seorang Arga tak pernah gratis. Tak pernah tulus. Dan terutama, tidak pernah berlaku untuknya.
“Apa yang kau tunggu? Turun!”
“Arga… aku tidak tahu jalan.” Tria mencoba bertahan. Wajahnya dipenuhi kesedihan, namun dalam hati, ia ingin menggigit lelaki itu sampai berdarah.
Arga mencengkeram tangannya kasar, menarik paksa. “Bukan urusanku, kan? Memangnya kau siapa?”
“Kau benar-benar akan menurunkanku di sini?”
“Kenapa tidak?”
Kenapa tidak?! Ucapan itu seperti peluru yang menghantam dada. Tidak salah lagi, Arga butuh ke psikiater. Segera.
“Arga, aku baru saja sembuh. Aku tidak mungkin–”
“Hei!” Arga menghentakkan tangannya. “Tempat yang kau duduki itu milik Lyana, bukan milikmu. Tidak usah berpura-pura di depanku. Kau itu sangat licik!”
Tria nyaris ingin kayang di tempat. Licik? Dari sisi mana? Cermin pun pasti akan menolak memantulkan tuduhan itu. Estria bahkan terlalu polos, hampir menyentuh titik dungu.
“Pergilah!”
Kesabaran Tria akhirnya mencapai batas akhir. Gerakannya spontan, naluri yang mengambil alih: Plak! Telapak tangannya mendarat tepat di wajah Arga.
Detik berikutnya, rasa sakit langsung menjalari tubuhnya. Perutnya seakan diremas dari dalam, kepalanya berdenyut tak karuan. Tria menggigil, napas memburu tak teratur.
“Kau menamparku?!” Arga ternganga. Mata membulat seperti tidak percaya. Tapi tak ada rasa kasihan.
“Sakit…!!!” Tria jatuh terduduk, tangan kanan meraih kerah kemeja Arga, memohon bantuan. “Tolong aku….”
Namun apa yang dia dapat?
Senyum. Senyum menyebalkan dari lelaki tak berhati itu.
“Itu karma karena kau menamparku,” katanya ringan, seperti sedang membalas lelucon.
Biadab. Itu satu-satunya kata yang menggambarkan laki-laki ini dengan sempurna.
Tanpa menoleh, Arga berbalik. Langkahnya tenang. Deru mesin mobil saat melaju seperti ejekan yang mengiris telinga. Tria memukul tanah, matanya panas, dadanya sesak.
Kini ia tahu, seperti inilah rasanya diinjak-injak. Dipermalukan.
“Lihat aja, Arga! Setelah tabung karakter terisi penuh, aku akan ngebunuh kamu!!!”
Sekali lagi, rasa sakit mendera. Gelombang kedua jauh lebih menyakitkan. Dan seperti menabur garam di luka, papan pengumuman muncul—berkedip-kedip seolah mengejek.
Isi penuh karakter Estria!!!
Isi penuh karakter Estria!!!
Isi penuh karakter Estria!!!
“Bacot! Nggak lihat, ya? Meranin Estria itu susah banget! Nggak ada peran yang lebih mudah gitu?”
Isi penuh karakter Estria!!!
Kepala Tria seperti akan meledak. Ini bukan lagi sekadar akting. Ini penyiksaan dalam format cerita. Ini kejahatan dunia maya yang nyata!
“Author!!!” Tria meraung. “Kenapa harus mati, sih? Lihat nih, aku yang jadi korban! Kalau mau bikin cerita yang logis napa!”
Ia meringkuk di pinggir jalan, menundukkan kepala dengan wajah memerah penuh bara. Napasnya terengah. Ponselnya tertinggal di mobil, uang tak ia bawa, dan arah pulang? Mustahil. Jauh. Bahkan untuk lanjut ke klub musik pun ia tak tahu rutenya.
Saat harapannya menipis, suara familiar memanggil.
“Estria?”
Tria mendongak cepat. Matanya membulat, bibirnya bergetar pelan. Haru menyeruak seperti hujan setelah kemarau.
“Fahrez…,” desahnya penuh rasa lega.
“Apa yang kau lakukan di sini? Apa ini ulah Arga?”
Tria mengangguk cepat. “Dia menurunkan ku di sini.”
“Dia masih belum berubah.” Suara Fahrez terdengar dingin namun penuh perhatian. Ia membelai pipi Tria lembut, sorot matanya khawatir. “Aku tadinya ingin ke rumahmu, perasaanku tidak enak sejak tadi.”
“Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan ku.”
“Tidak usah sungkan, kita adalah teman.”
Jika Tria bisa bertemu Estria asli, ia akan menyeret perempuan itu ke depan cermin, menatap matanya dalam-dalam, lalu mungkin menampar pelan sampai seluruh sistem saraf tersambung dengan benar.
Lihat, Estria! Laki-laki yang sepatutnya kau pilih itu Fahrez! Bukan si Psikopat Arga!
“Kalau begitu kita berangkat bersama.” Fahrez melepas helm dan memberikannya kepada Tria. Dia hanya membawa satu.
“Kau sangat baik.”
Farez tertawa. “Setelah kau lupa ingatan, entah mengapa kau lebih manis. Kau seperti terlahir kembali. Jarang sekali kau memujiku.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“Apakah dulunya aku buruk?”
“Siapa yang bilang? Kau baik di mata orang yang tepat, meskipun kau melakukan kesalahan.”
Tria tidak berkata apa-apa lagi. Diamnya bukan karena tidak punya suara, tapi karena terbius. Fahrez benar-benar mumpuni dalam membuat perempuan larut dalam suasana. Laki-laki seperti dia bukan sekadar langka, tapi hampir punah. Orang yang mendapatkannya pasti beruntung lahir dan batin. Kalau hidup terasa kurang, Fahrez bisa jadi pelengkap. Kalau luka menganga, dia datang seperti balsem herbal paling mujarab.
Selain itu, dia seolah jelmaan dewa kasih sayang. Tatapannya lembut, bukan sekadar menatap tapi menenangkan. Sentuhannya juga mendarat di tempat yang tepat, tidak berlebihan, tidak juga garing.
Kemarin, Tria mendapatkan belaian kepala—klasik tapi mematikan bagi kaum hawa. Rata-rata perempuan akan langsung melunak jika diperlakukan seperti itu. Hari ini, sentuhan lembut di pipi jadi bukti nyata: Fahrez tahu caranya menyayangi.
Dan di sisi lain, ada Arga. Ah, ya, Arga. Si kutukan berjalan. Kalau dibandingkan, mereka seperti bumi dan neraka.
Akhirnya, mereka berdua sampai di tujuan. Klub musik itu bernama Putih Miracle. Nama yang terdengar absurd, tapi punya makna sentimental. Estria yang mengusulkannya, sesuai isi novel yang Tria baca di bab sembilan.
Alasannya? Estria ingin sebuah keajaiban datang padanya.
Entah keajaiban seperti apa yang dimaksud—Tria tidak tahu. Tapi dia curiga. Mungkin si pemeran utama sudah punya firasat kalau dirinya akan meninggal di bab sepuluh dan tidak akan pernah bangkit lagi.
Kenapa? Karena Author-nya meninggal.
Memikirkan itu saja membuat kepala Tria cenat-cenut. Seluruh cerita yang kini ia jalani mungkin akan berubah haluan. Tergantung bagaimana dia menyikapinya. Atau… bisa jadi semua tindakannya sudah diprogram sejak awal. Seolah dia hanya bidak kecil di papan cerita yang dikendalikan oleh tangan tak kasatmata.
Kalau begitu, siapa sebenarnya yang gila? Tria? Estria? Atau Author?
“Kita biasanya melatih pada hari minggu, jadi klubnya sepi.” Fahrez duduk di bangku piano. “Aku ingin kau terbiasa dengan tempat ini dulu, setelah itu aku akan memperkenalkan kembali anak didik kita.”
“Berapa anggota yang kita punya?”
“Lima belas. Sebagian sudah dikeluarkan karena keterbatasan tenaga kerja. Hanya kau dan aku yang jadi pelatihnya, itulah mengapa aku sangat berharap kau tidak berhenti."
Klub musik didirikan sebagai kerja sampingan, setidaknya mereka bisa menyebarkan ilmu sekaligus bersenang-senang. Itulah mengapa keduanya tidak merekrut pelatih lain.
“Tapi, Fahrez… aku yang sekarang tidak bisa melakukan apa-apa.”
Fahrez menepuk sisi kanan, bermaksud menyuruh Tria duduk. “Aku akan mengajarimu.”
Tria memandangi deretan hitam dan putih. Sudah beberapa hari jemarinya tidak menari di tuts piano. Dia terlalu sibuk dengan tugas kuliah.
“Aku ingat beberapa.” Tria agak ragu. “Tapi mungkin tidak akan sebagus dulu.”
“Tidak apa-apa, cobalah dulu. Kau pasti bisa.”
Klub musik itu sangat sepi. Tak ada percakapan, hanya keheningan yang menggema. Kesunyian terasa menempel di dinding, menggantung di langit-langit. Fahrez menatap lekat bagaimana Tria mengembuskan napas. Dia tahu, perlu keberanian untuk memulai sesuatu di tempat yang baru. Dan itulah yang tengah Tria rasakan.
Yah… kok agak deg-degan, ya? Jariku tremor.
Belum ada permulaan, tapi kedua tangan sudah siaga di atas tuts. Namun, belum juga menekan. Seolah ada monster yang akan muncul begitu melodi pertama terdengar.
Alih-alih memainkan lagu, ingatan Tria justru melompat ke masa kecilnya. Saat ia mulai belajar piano di usia sepuluh tahun.
Orang pertama yang mengajarinya adalah sang nenek. Tria belajar tekun, bahkan sampai kepalanya berdenyut karena terlalu fokus. Lagu pertama yang berhasil ia kuasai adalah River Flows in You. Saat itu, ia merasa seperti superstar.
“Kenapa?” Fahrez menyentuh pundak Tria.
“Tidak apa-apa.”
“Apa aku terlalu memaksamu?”
“Bukan, bukan seperti itu.”
“Kita tidak perlu tergesa-gesa, Estria….”
Tak ingin membuat Fahrez kecewa—meskipun dia yakin Fahrez bukan tipe yang akan kecewa dengan hal sesederhana ini—Tria akhirnya memutuskan untuk bermain. Tangannya agak bergetar, terkesan terburu-buru, tapi perlahan ia mulai menikmati permainannya.
Di antara semua alat musik, piano selalu menjadi pusat perhatiannya. Ada sesuatu yang magis. Setiap kali jemarinya menari di atas tuts, hatinya ikut berdansa. Damai.
Fahrez terdiam. Tatapannya terpaku pada wajah bulat yang bercahaya lembut, seolah menyerap energi dari melodi. Ia seakan tidak percaya, ada sesuatu yang menggelitik hatinya.
“Kau merubah gayamu?” tanyanya tiba-tiba.
Spontan Tria berhenti. Dia menoleh ragu. “Hm?”
“Caramu bermaian sedikit berbeda. Saat kau bermain dulu, kau akan terlihat bernafsu dan lagu yang kau bawa lebih banyak bertempo cepat. Kau sendiri yang mengatakan bahwa kau kurang suka lagu yang slow.”
“Apakah buruk?”
“Tidak.” Fahrez terkekeh. “Aku sebenarnya sangat menyukainya, kau menjiwai apa yang kau mainkan. Seolah ragamu menyatu di dalamnya.”
Tria tersenyum simpul. Akhirnya, ada lagi yang memujinya. Bukan basa-basi. Pujian yang terasa tulus dan menyentuh.
“Kau terlihat lebih baik sekarang.”
“Terima kasih, Fahrez.”
Fahrez bergeser sedikit. “Aku ingin bertanya satu hal, setelah pulang dari rumah sakit, apa Arga masih menyakitimu?”
“Kau tahu?” Tria pura-pura bodoh.
“Hm….” Fahrez memalingkan wajah, terbatuk kecil. “Sejak kau menikah dengannya, kau seringkali memberitahuku.”
Tria mengangguk. Estria dan Fahrez adalah teman. Bukan sembarang teman. Segala hal yang terjadi—termasuk luka—seolah wajib diketahui Fahrez.
Pikirannya melayang ke bab-bab awal. Saat Estria dikurung di gudang. Ia menelepon Fahrez, minta ditemani sepanjang malam. Sambungan itu berlangsung hingga pagi. Kesetiaan Fahrez memang pantas diacungi jempol.
“Estria,” suara Fahrez tenang, namun mengandung sesuatu yang dalam. “Lakukanlah seperti dulu. Tidak perlu menutupi apa pun dariku. Aku akan melindungimu.”
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!