NovelToon NovelToon

Perfect Wedding

Prolog

BAB 1

Pukul 01.34 Dini Hari

Deburan ombak menghantam karang, mengisi kesunyian di tepian pantai. Di sana, seorang gadis duduk diam dengan kaki terjulur, membiarkan dinginnya pasir menyelinap di antara jemarinya. Mata hitam pekatnya menatap laut luas tanpa ekspresi, seakan mencari sesuatu di balik gelapnya malam.

Kenanga Pricilia Cesia. Seorang dosen di salah satu kampus ternama di Paris. Malam ini, ia sendirian, terperangkap dalam keheningan yang justru terasa bising di kepalanya. Tiga jam lalu, ia telah mengambil keputusan yang kini menyesakkan dadanya.

Janin di dalam perutnya telah tiada.

Ia tidak ingin ini terjadi. Jika saja lelaki brengsek itu mau bertanggung jawab, jika saja ia tidak dihadapkan pada pilihan yang menyakitkan. Tapi dunia tidak pernah berpihak padanya. Masyarakat akan menilainya, mencibir, dan menjadikannya bahan gunjingan. Seorang anak tanpa ayah akan menghantui anaknya di masa depan ia terlalu takut menghadapi itu.

"Ak… aku pembunuh…" lirihnya nyaris tak terdengar.

Sudah berjam-jam ia duduk di sana, membiarkan air mata mengering, membiarkan tubuh mungilnya semakin kedinginan. Tapi sakitnya tak juga mereda.

"Agh!" Teriaknya frustasi, tangannya meremas rambut panjangnya dengan keras.

Lalu, langkah kakinya mulai bergerak. Perlahan, ia berjalan menuju laut, kaki putih tanpa alas kaki itu perlahan tenggelam di dinginnya air laut malam.

"Tuhan… biarkan aku menemui calon anakku di surga. Di kehidupan selanjutnya, aku ingin akhir yang bahagia," ucapnya sebelum ombak menggulung tubuhnya, menyeretnya ke tengah lautan luas.

**

Di tempat lain, di sebuah ruang sempit yang pengap dan gelap, isak tangis terdengar lirih, bercampur dengan helaan napas yang tersengal-sengal.

Seorang gadis tergolek di lantai, tubuhnya gemetar kesakitan. Beberapa waktu lalu, sebuah kayu besar menghantam punggung dan kakinya. Rasa nyeri menyelimuti sekujur tubuhnya, kepalanya berdenyut hebat, dan detak jantungnya terasa tidak beraturan. Keringat terlihat jelas memenuhi pinggiran wajahnya.

"Mama…" panggilnya hampir tanpa suara.

Ia ingin berteriak, ingin mengeluarkan semua yang tertahan di hatinya. Tapi suaranya serak, tenaganya habis. Air matanya pun sudah mengering, untuk menangispun rasanya dia tak sanggup

"Dasar pembawa sial! Anak tidak tahu diuntung! Pembunuh! Kamu pembunuh!"

Makian itu terus terngiang di telinganya, bergema tanpa henti.

"Mata biru indah ini tidak akan pernah melihat dunia… Wajah cantikmu tidak akan menarik perhatian siapa pun… Gadis sepertimu hanya pantas berakhir dalam kegelapan!"

Bisikan bercampur teriakan itu kembali menyusup ke telinganya, menghancurkan sisa keberanian yang mungkin masih tersisa.

"Agh! Pergi! Aku bukan pembunuh!" teriaknya, kedua tangan menutupi telinga.

Tidak, ia tidak tahan lagi. Tidak dengan semua cacian ini. Tidak dengan semua rasa sakit yang terus menekan dadanya. Semua terlalu jahat untuk ia terima

"Aku membenci Mama, Papa, Lala… dan aku membenci semua orang di rumah ini!" suaranya bergetar, penuh emosi.

Tangannya meraba ke kiri dan kanan, mencari sesuatu. Lalu, jemarinya menyentuh permukaan dingin gelas.

"Demi Tuhan, demi langit dan bumi… Aku tidak akan pernah memaafkan kalian!"

Dengan gemetar, ia menghantamkan gelas itu ke lantai.

Prang!

Serpihannya berserakan, melukai telapak tangannya. Tapi rasa sakit itu terasa lebih nyata dibandingkan dengan semua luka yang pernah ia terima.

Setelah ini, tidak akan ada lagi bisikan penuh kebencian. Tidak ada lagi hinaan. Tidak ada lagi pukulan.

Setelah ini… semuanya akan berakhir.

BERSAMBUNG…

Lest Go!

BAB 2

Aroma obat-obatan menusuk hidung gadis yang terbaring di ranjang rumah sakit. Matanya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya terang yang menusuk retina.

Silau. Itu hal pertama yang ia rasakan.

Lalu sakit.

"Agh…" desisnya, tangannya terangkat, menekan pelipis yang terasa berdenyut nyeri.

Tunggu… di mana ini?

Bukankah seharusnya ia sudah mati? Ia ingat betul dinginnya air yang menelan tubuhnya, suara ombak yang menghantam, lalu gelap. Seharusnya ia sudah tenggelam. Seharusnya ia sudah pergi, menyusul janinnya ke tempat di mana tidak ada lagi sakit dan air mata.

Jadi… kenapa ia masih hidup?

"kau sudah sadar."

Suara dingin seorang pria membuyarkan pikirannya.

Kenanga menoleh, menemukan seorang pria paruh baya berdiri di samping tempat tidurnya. Kemeja hitamnya rapi, tapi ada aura menekan yang membuat dadanya terasa sesak.

"Tidak perlu berlagak bodoh," lanjut pria itu, matanya penuh ketidaksabaran. "Jangan pernah coba-coba bunuh diri lagi. Aku tidak akan membiarkan gadis pembawa sial sepertimu mati dengan mudah."

Kenanga membeku.

Pembawa sial?

Apa maksudnya? Dan siapa pria ini? Kenapa ia berbicara seolah mengenalnya?

"Ck, kau benar-benar merepotkan," gumam pria itu sebelum berbalik pergi, meninggalkannya sendirian dalam kebingungan.

Ini… ini benar-benar membingungkan.

Kenanga memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Namun, napasnya justru terasa semakin berat. Ada sesuatu yang tidak beres. Ini tidak terasa seperti tubuhnya sendiri. Tangannya… terasa lebih ramping. Rambutnya… lebih panjang dari yang ia ingat.

"Kenanga…"

Suara lembut itu membuat matanya terbuka lebar.

Di ujung ranjang, seorang gadis berdiri. Rambut panjangnya tergerai hingga pinggul, mata birunya bersinar lembut. Ia tersenyum, tapi ada sesuatu yang menyedihkan dalam sorot matanya.

Kenanga menelan ludah. "Siapa kamu?"

"Aku…" Gadis itu tersenyum lebih lebar, tapi tatapannya sayu. "Aku adalah jiwa yang tubuhnya sedang kau tempati."

Dunia Kenanga seakan berhenti.

"Apa?" bisiknya, tubuhnya menegang.

"Kenanga," gadis itu melangkah mendekat, suaranya tetap lembut. "Aku sudah mati. Tapi dendamku masih tertinggal di dunia ini. Dewa kematian dan dewa takdir memilihmu untuk melanjutkan hidupku."

Kenanga menggeleng cepat, hatinya berdebar kencang. "Tidak, tidak, ini tidak mungkin! Aku hanya… aku seharusnya sudah mati! Aku tidak mungkin ada di tubuh orang lain!"

"Tapi kau memang ada di tubuhku sekarang," sahut gadis itu, nadanya tetap tenang.

Kenanga meremas selimutnya, dadanya naik turun. "TIDAK! Aku bunuh diri agar aku bisa bertemu dengan anakku! Aku sudah memilih untuk mati! Ini seharusnya sudah berakhir!"

"Tapi kau masih di sini," gadis itu menatapnya dengan sorot penuh pemahaman. "Mungkin ini takdir yang lain untukmu."

"TIDAK ADA TAKDIR LAIN UNTUKKU!" Kenanga berteriak, air matanya mulai mengalir.

"Aku kehilangan segalanya! Aku sudah tidak punya alasan untuk tetap hidup! Aku memilih mati karena aku ingin bersama anakku! Kenapa… kenapa aku justru terjebak di tubuh orang lain?! APA INI SEBUAH HUKUMAN?!"

Gadis itu tetap diam.

Kenanga mencengkeram rambutnya sendiri, bahunya bergetar hebat. Ini… ini terlalu kejam. Tuhan seharusnya membiarkan dirinya mati. Tuhan seharusnya membiarkannya bersama janinnya.

"Bawa aku kembali!" tangisnya pecah.

"Kembalikan aku ke tubuhku! Aku tidak peduli dengan hidupmu atau dendammu! Aku hanya ingin mati!"

Hening.

Gadis itu menatapnya lama sebelum akhirnya berbisik, "Bayimu sudah pergi, Kenanga…"

Dunia Kenanga hancur seketika.

"Apa…"

"Aku melihatnya sendiri," lanjut gadis itu pelan.

"Jiwanya sudah berada di dunia yang lebih baik."

Kenanga jatuh terduduk di tempat tidur, matanya membelalak kosong.

"Tidak… tidak, jangan bercanda seperti itu…" suaranya bergetar, tangannya mencengkeram dadanya. "Aku belum sempat melihatnya… aku belum sempat menyentuhnya… dia tidak boleh pergi…"

Gadis itu masih diam.

Kenanga menunduk, tubuhnya terguncang hebat.

Ini tidak adil.

Ini tidak adil.

"Kenanga…"

Kenanga mengangkat wajah, menatap gadis itu yang kini tersenyum tipis.

"Aku tidak meminta banyak. Aku hanya ingin kau melanjutkan hidupku di dunia ini. Aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan, melihat apa yang aku lihat, dan memahami kenapa aku melakukan ini."

"Lalu apa yang aku dapatkan?" Kenanga mendengus sinis, air matanya masih mengalir. "Aku bahkan tidak punya apa-apa lagi!"

"Kau akan mendapatkan keadilan untukku," jawabnya. "Dan aku akan menjaga bayimu di atas sana."

Kenanga menahan napas.

"Apa?"

"Aku akan menjaganya, Kenanga," gadis itu mengulangi. "Sampai saatnya tiba, aku akan memastikan dia baik-baik saja."

Kenanga tidak tahu apakah ia harus percaya. Tapi suara gadis itu… terlalu tulus untuk diragukan.

Hening mengisi ruangan untuk waktu yang terasa lama.

Akhirnya, Kenanga mengusap air matanya, lalu menghela napas berat. "Jika aku melakukannya… aku akan melakukan ini dengan caraku."

Gadis itu tersenyum. "Itu terserah padamu."

Kenanga mengepalkan tangan. "Baiklah. Jaga bayiku… dan aku akan memastikan kisahmu berakhir dengan bahagia."

Cahaya terang perlahan menyelimuti gadis itu, dan sebelum ia menghilang, ia berbisik lembut.

"Terima kasih, Kenanga…"

Kemudian, semuanya kembali sunyi.

Kenanga menghela napas panjang. Rasa pusing kembali menyerang, membuat tubuhnya lemas.

Ia menutup mata.

Ia tidak tahu ke mana semua ini akan membawanya.

Tapi yang jelas, ia sekarang bukan lagi Kenanga yang dulu.

BERSAMBUNG..

pulang

Happy reading…

Dua hari di rumah sakit memberinya cukup waktu untuk mencerna semuanya. Kenanga sudah mati. Itu fakta yang tak bisa diubah.

Tapi ia tetap ada. Napas masih keluar dari hidungnya, jantung masih berdetak dalam rongga dadanya hanya saja, bukan di tubuhnya sendiri.

Ia tak tahu kenapa ini terjadi. Tak tahu kenapa bukan surga atau bahkan neraka yang menyambutnya, melainkan dunia yang sama dengan beban yang berbeda.

Namun, satu hal yang pasti mau tak mau, ia harus melanjutkan hidup.

Jika tak bisa bertemu dengan bayinya di surga, maka ia harus mencari alasan lain untuk bertahan di sini.

Dan mungkin… kehidupan baru ini bisa memberinya sesuatu yang tak pernah ia miliki sebelumnya.

**

Dua hari di rumah sakit, keadaan Lingga sudah mulai membaik. Strategi sudah disusun rapi. Apa yang seharusnya menjadi miliknya tidak boleh dimiliki oleh orang lain. Tekadnya sudah bulat. Kehidupan keduanya di tubuh gadis cantik ini harus benar-benar ia nikmati, tidak akan ia sia-siakan seperti kehidupan sebelumnya.

Dari segi fisik, Lingga adalah gadis yang sempurna, apalagi mata birunya sungguh amat cantik dan tatapannya meneduhkan.

Seperti pesan awal dan petunjuk pemilik tubuh asli ini, ia harus pura-pura buta demi menemukan titik terang dari awal kecelakaan sampai pengkhianatan yang ia dapatkan.

"Nona, semuanya sudah siap. Ayo, Bibi bantu melangkah," ucap wanita tua dengan tangan keriput yang hangat itu, menuntun dirinya turun dari ranjang rumah sakit.

Namanya Saras, pengasuh sekaligus orang yang paling setia kepada Lingga. Usianya sekitar lima puluh delapan tahunan, namun tubuh tua itu masih terlihat amat sehat.

Dua hari di rumah sakit, tak seorang pun menemui atau sekadar menanyakan kabarnya. Hanya Bibi Saras yang setia menemaninya, bahkan membantunya bolak-balik ke kamar mandi.

"Tongkatnya, Nona."

"Bibi, terima kasih," lirih Lingga tulus.

Dapat ia lihat senyum tak kalah tulus juga menghiasi wajah tua itu, membalas ucapan rasa terima kasihnya.

"Pelan-pelan saja, nanti Nona terjatuh," peringatnya saat Lingga melangkah terlalu cepat.

"Aku pasti sangat merepotkan Bibi. Jika saja waktu itu aku tidak mengalami kecelakaan, pasti Bibi tidak akan serepot ini mengurusku!"

"Musibah tak ada yang tahu. Nona tenang saja, Bibi akan selalu berada di sisi Nona."

**

Bangunan besar dengan halaman luas menyambut kedatangan Lingga. Jika boleh jujur, rumah ini terlalu suram, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya.

"Rumah ini terlalu mewah untuk manusia tak punya hati seperti mereka," gumamnya dengan senyum simpul yang hampir tak terlihat.

"Kita sudah sampai, Bi?" tanyanya, mendalami perannya. Tak lupa, tangan halus nan putih itu mencoba meraba-raba ke kiri dan kanan.

"Iya, kita sudah sampai. Maaf meninggalkan Nona terlalu lama, Bibi harus membayar sewa taksinya terlebih dahulu," sesalnya, kembali mengait sebelah tangan Lingga.

"Papa dan Mama tidak mengirim sopir untuk kita? Sepertinya mereka benar-benar sibuk, atau mungkin sudah lupa memiliki ak..."

Belum sempat Lingga menyelesaikan ucapannya, suara tegas dengan intonasi tinggi itu terlebih dahulu menyela.

"Ck, gadis buta ini terlalu percaya diri! Papa dan Mama tak akan mau menjemput gadis terkutuk sepertimu. Yang ada, nanti mereka malah terkena sial!" makinya, berdecak.

"Minggir, jangan menghalangi jalanku," sinisnya lagi, dengan sengaja menyenggol lengan Lingga hingga terhuyung ke depan. Beruntung, Bibi Saras memegangi dirinya.

Mata cantik berwarna biru Lingga mengamati gerak-gerik gadis dewasa bermake-up tebal dengan baju seksi itu dengan pandangan yang sulit dibaca.

"Lala Qesya Atala," gumamnya samar, terdengar di telinga Bibi Saras.

"Ada apa, Nona?"

"Ke mana gadis jelek itu pergi?"

"Ah, itu… Nona muda mungkin akan menemui Tuan Arkan seperti hari-hari sebelumnya," jawabnya hati-hati.

"Mereka cocok. Jelek dan brengsek!"

Ada keanehan yang Bibi Saras lihat dari Lingga. Tak biasanya Nona-nya ini berkata kasar, bahkan berani menyebut Lala sebagai gadis jelek. Bukankah biasanya Lingga akan selalu menunduk dengan wajah murung saat mendengar nama Arkan mantan kekasih sekaligus tunangannya itu?

"Tapi bukankah dengan begini jauh lebih baik? Setidaknya Nona sudah bisa melupakan Tuan Arkan," ucap Bibi Saras dalam hati.

**

"Nona, jika butuh sesuatu, panggil saja Bibi. Jangan membuat keributan seperti kemarin. Bibi tidak ingin Nona kembali dikurung di gudang lalu dipukuli oleh Tuan dan Nyonya besar," peringat Bibi Saras setelah menyelimuti Lingga.

Gadis cantik itu tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan tanda mengerti.

"Bibi tenang saja, tidak perlu mengkhawatirkanku."

"Baiklah. Kalau begitu, selamat istirahat agar Nona benar-benar sembuh," ucapnya lagi sebelum meninggalkan Lingga.

Sepuluh menit berlalu…

Lingga bergerak cepat mengunci pintu kamarnya. Setelah memastikan semuanya aman, tangannya bergerak mencari sesuatu yang ia anggap janggal dari kamar ini.

Pandangannya berpusat pada pajangan foto yang ada di dinding kamar bernuansa merah muda itu.

"Astaga, aku sungguh heran. Kenapa pemilik tubuh ini begitu bodoh?" geramnya, melihat foto keluarga yang tengah tersenyum manis tanpa dirinya.

"Barang-barang tidak berguna ini harus segera dienyahkan!" sambungnya, menurunkan foto-foto yang ia anggap merusak pandangan mata itu.

"Selebihnya, aku akan meminta bantuan Bibi Saras agar tidak ada yang curiga."

Kakinya bergerak malas menuju balkon kamar, yang menghadap langsung ke taman mini di bagian barat rumah.

"Sepertinya hidup ini akan menyenangkan jika aku dengan ikhlas menjalaninya," gumamnya, memandang taman dengan bunga-bunga yang tengah bermekaran itu dengan senyuman yang terlihat lelah.

BERSAMBUNG…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!