NovelToon NovelToon

Jogja Pada Suatu Masa

1. Jogja 1990

Si Denok melewati jalan Gejayan, ... menelusup santai masuk gang kecil di depan IKIP Sanata Dharma Jogja, lalu berhenti di salah satu rumah kost sederhana setelah memasuki kampung Samirono.

Kebanyakan rumah kost di kampung itu masih berupa bangunan semi permanen, menyesuaikan kemampuan sewa penghuninya.

Sebagian besar kamar yang ada berisi mahasiswa menengah ke bawah kampus IKIP Karangmalang dan Sanata Dharma yang mengapit kampung itu.

Salah satu rumah berdinding separuh bata separuh gedheg itu terlihat sepi saat Seti mematikan si Denok dan memarkir di sudut halamannya.

Di rumah itulah Seti kost ....

Ada tiga kamar di rumah kost itu yang juga tidak terlalu jauh dari kampus fakultas teknik Seti.

Kamarnya ada di deret paling ujung Selatan, berdekatan dengan warung makan pemilik kost.

Kamar yang teduh ternaungi pohon sawo besar, mengingatkan keteduhan rumah joglo yang sudah sebulan ini ditinggalkan Seti.

...***...

Jogja jadi pilihan kuliah Seti setelah kelulusan SMA-nya bersama Joe, dan Asri ....

Hening berpisah dengan tiga karibnya itu, memilih petualangan barunya di Jakarta.

Lalu Bening dan Joko menikah. Sementara Seto masih setia menikmati dengan pelayarannya.

Seperti roda pedati, lintasan persinggungan cerita hidup terus berputar dan terpahat di benak Seti.

Waktu terus berlalu, mengikut kedekatan Seti dengan Joe, Asri, dan Hening.

Bersama mereka, cerita menjadi dewasa itu terus melaju ....

...***...

Percikan air sumur yang ditimbanya di belakang kamar menyegarkan wajah lelah Seti.

Kepenatan setelah seharian mengikuti Ospek dan penataran P4 di kampus terobati.

Menyeka sisa air yang menempel di wajahnya dengan handuk, Seti beringsut masuk ke kamarnya. Merebahkan tubuhnya di atas tikar pandan yang digelar di dekat pintu.

Aliran udara segar dari pintu yang terbuka lebar, membuatnya merasa betah untuk berlama-lama di sudut itu. Sudut yang paling memberinya kemewahan sepulang dari kampus untuk melepas lelah.

Sambil berbaring, surat Hening yang baru diterimanya mulai dibaca perlahan.

Memelototi baris demi baris tulisan tangan yang mengusik lagi ingatan masa lalunya.

Harum wangi tubuh dan nafas kedekatan Hening seperti muncul di sudut kamar lewat aroma kertas surat yang ada di tangannya.

Untaian tulisan tentang keadaannya yang baik-baik saja di sela kesibukan persiapan kuliah mengungkapkan keseriusan Hening dengan petualangannya di Jakarta.

Berdesak desakan naik mikrolet dari kost-nya ke kampus. Makan di warteg bareng teman kost-nya sampai kenalan baru runtut diceritakan dalam surat itu.

Tentu saja pertanyaan Seti yang sedang ngapain saat menerima suratnya juga ditanyakan Hening .... Tentang Joe dan Asri tak lupa disinggungnya di baris akhir suratnya.

Menanyakan apakah mereka sudah saling bertemu di Jogja.

Seperempat jam membaca lima lembar kertas tulisan Hening menambal ruang rindu Seti.

Nanti malam dirinya berencana membalas surat itu, ... tak sabar menceritakan kampus dan kost-nya di Jogja, dan tentu saja tentang kabar Joe serta Asri yang sampai sekarang belum sempat dikunjunginya.

...***...

Kost Joe sebenarnya tak terlalu jauh. Tetapi jadual padat Ospek dan penataran P4 menyita waktu Seti untuk menemui Joe.

Sedangkan tentang kost Asri juga belum sempat dicarinya selama di Jogja.

Gemerlap malam Jogja saat pertama kali makan malam di angkringan bersama teman baru di kost sebenarnya sudah mengusik hati Seti untuk mengajak si Denok berkeliling menjelajah pelosok-pelosoknya.

Tentu saja juga secepatnya melampiaskan keinginan hatinya untuk mencari kost Asri dan menemuinya.

Sayangnya minggu-minggu ini waktu Seti habis di kost dan kampusnya saja. Bahkan pakaian kotornya yang belum sempat dicuci masih bertumpuk di ember sudut kamar.

Semua keinginan hatinya masih terpendam.

...***...

Makan di Jogja tidak terlalu menguras bekal Seti.

Nasi dengan sayur lima puluh rupiah. Tambah tempe goreng dan tahu lima puluh rupiah. Masih ada sisa dua puluh lima ribu sampai sampai akhir bulan jika Seti berhemat dengan pengeluarannya.

Masih jelas pesan Ibu saat memberikan uang bekal satu bulan menjelang keberangkatannya ke Jogja.

"Ini empat puluh ribu dari mas-mu Set. Dicukup-cukupkan sampai kiriman berikutnya,"

"Terimakasih bu, itu sudah lebih dari cukup buat makan satu bulan,"

"Kalau kurang jangan berhutang. Langsung pulang saja,"

Tak mau membantah pesan itu, kebutuhan setiap bulan di Jogja sudah dihitung Seti dengan cermat.

Dari biaya makan, beli sabun, bensin si Denok, sampai bayar listrik disampaikan kepada Seto kakaknya, diluar uang kost satu tahun dan belanja buku.

Kost Seti yang sebesar seratus dua puluh ribu setahun sudah dibayar kakaknya di awal. Jadi Seti tinggal mengatur pengeluaran bulanannya.

Seto mulai mengajarkan adiknya untuk menghargai uang dan tentu saja waktu.

Untungnya Seti tidak terlalu suka merokok dan jajan yang tidak perlu. Main billiard, nongkrong di warung kopi seperti masa SMA-nya bersama Joe dibuangnya dari daftar pengeluaran bulanan.

...***...

Setelah mandi sore yang kini benar-benar menghilangkan lelahnya, Seti berganti baju sambil memandang cermin di depannya.

Rambut kucirnya sudah hilang berganti potongan cepak satu senti sesuai aturan sekolah teknik kedinasannya.

Tertawa sendiri memandang wajah lucunya. Seti membayangkan apa kata-kata Asri dan Hening jika foto-fotonya selama Ospek dan Penataran P4 dilihat mereka. Sudah direncanakan-nya untuk mengirimkan foto-foto itu secepatnya kepada mereka.

Puas bercermin dan merasa lapar. Seti bergegas menuju warung makan mbah Jum, yang juga pemilik rumah kost itu.

Mbah Jum janda tak punya anak sepantaran Nenek. Suaminya meninggal 10 tahun lalu.

Harga murah meriah kelas mahasiswa IKIP di warung makan mbah Jum membuat warung itu tak pernah sepi.

Dari situlah selain dari uang sewa kost, mbah Jum mendapatkan hasil untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri.

Apalagi mbah Jum terkenal sangat ramah dan dekat dengan semua anak kost yang ada di sekitaran kampung Samirono atau pelanggan warungnya.

Seti sudah merasa betah kost itu, kripik dan gethuk goreng oleh-oleh pemberian Ibu kepada mbah Jum yang dibawanya ketika awal kedatangannya membuatnya paling dekat dan dikenali mbah Jum.

"Sini cah bagus, ... ambil sendiri makan-0mu," ujar mbah Jum melihat kedatangan Seti.

"Ya mbah, ... aku mau buat kopi dulu. Kayaknya belum seger kalau seharian belum nyicipin kopi tubruk si-mbah."

Mbah Jum tertawa keras. Sirih yang dikunyahnya hampir terlompat di antara gigi ompongnya menanggapi kata-kata Seti.

"Kamu itu kayak mbah lanang saja Set... kalau belum ngopi lemes," masih terkekeh mbah Jum menyinggung mendiang suaminya dulu.

Kedekatan keduanya mengakrabkan obrolan mereka setiap hari jika Seti sudah datang ke warung.

Biasanya sampai jam delapan malam Seti menemani mbah Jum. Membantunya menutup warung makan setelah warung mulai sepi. Lalu mengumpulkan sampah sisa makanan ke dalam kresek yang setiap pagi dipakai buat pakan ayam-ayam peliharaan mbah Jum setelah semuanya dirasakan beres.

Walau mbah Jum bersikeras tak mau menerima pembayaran makan-nya, Seti tetap saja meninggalkannya di meja sesudah selesai menutup warung.

Kehangatan rumah Nenek kini tergantikan di rumah kost mbah Jum.

...***...

"Sesuk kuliah pagi le ?" Mbah Jum bertanya kepada Seti yang sedang mengumpulkan sisa-sisa makanan dari piring yang bertumpuk seperti kebiasaannya.

Malam ini warung mbah Jum sangat ramai. Anak-anak baru rupanya sudah mulai betah makan di warung itu.

"Sore mbah, kuliah pertama,"

"Hati-hati motormu, jangan parkir sembarangan," mbah Jum mengingatkan Seti untuk menjaga si Denok hati-hati.

"Iya mbah ... di kampus juga pakai karcis,"

"Dulu yang kost di kamarmu hilang motornya waktu di kampus... mesakke,"

"Ketemu nggak mbah ?"

"Nggak sampai dia lulus," kata mbah Jum, ... "Eh yang kost di kamarmu itu selalu waskita loh le," sambung mbah Jum lagi.

"Apa itu mbah ?"

"Ditajamkan penglihatannya, ... dimudahkan segala urusannya kemudian .... Semuanya lulus dan sudah pada kerja loh Set. Ada yang jadi guru dan insinyur ...." Kata mbah Jum lagi di sela melayani pelanggan terakhirnya.

Setiap cerita baru di rumah kost mbah Jum selalu menyenangkan Seti dan membuatnya semakin merasa nyaman tinggal di situ.

Keinginan memasang lukisan Mercu Suar di anyaman gedheg dindingnya yang sempat terbersit, membuat Seti teringat surat Hening yang harus dibalasnya.

Dirinya bergegas pamit kepada mbah Jum setelah menutup pintu warung dan meninggalkan uang makannya di meja.

 -------------------------

*Gedheg : anyaman dari bambu

*Kripik : panganan dari tempe tipis yang digoreng kering.

*le : panggilan akrab kepada anak laki-laki yang masih muda dalam bahasa Jawa.

2. Cerita Baru Di Jogja

Joe akhirnya datang ke kost Seti pada suatu sore.

Tiba-tiba saja dia muncul dengan dua bungkusan besar plastik yang dipanggulnya.

Melihat kamar Seti tertutup, dia menggedor keras pintunya, ... mengejutkan penghuninya yang tertidur.

Kuliah dari pagi sampai sore benar-benar membuat Seti tak mampu menahan kantuknya sesampai di kost-nya.

"Masuk .... Gak dikunci !!!" Teriak Seti yang terbangun dengan perasaan jengkel.

Gedoran bertambah keras ....

Merasa teriakannya diabaikan, Seti bergegas membuka pintu untuk melihat siapa yang membuat keributan.

"Kampret ... !!!"

Hanya bisa mengumpat, kejengkelan Seti hilang melihat Joe berdiri cengengesan di depan pintu.

Tak menyangka setelah tiga bulan dengan kesibukan masing-masing di kampus yang melupakan keakraban pertemanan keduanya, bocah thengil itu kini malah sudah ada di depan-nya.

Jika kabar Hening rutin diketahui dari surat menyuratnya, ... kabar Joe dan Asri justru lama tak diketahui Seti walaupun mereka sama-sama tinggal di Jogja.

"Bawa apa Joe ?" Tanya Seti, setelah menyuruh Joe masuk dan meletakkan buku yang tadi dibacanya sebelum tertidur, ke salah satu jejeran rak di sebelah kasur busanya.

"Gipsum buat praktek patung."

"Mahalkah ? .... Aku pikir cuma corat coret gambar saja kuliahmu," lanjut Seti ingin tahu.

"Murah sih, cuma malas saja kotornya."

Joe menggeletak terlentang di atas kasur, memperhatikan Seti mengambil termos di lemari kecil,

"Eh sudah ke tempat Asri belum Set ?"

Masih sambil berbaring, tiba-tiba saja Joe menanyakan Asri.

Adukan sendok seduhan dua gelas kopi Seti terhenti.

"Ah Asri .... "

Hati kecil Seti bergumam, teringat janjinya menemui nama itu jika dirinya sudah mulai menetap di Jogja.

"Astaga ! .... Aku melupakannya Joe," ujar Seti kemudian.

"Lupa atau karena kamu cinta-cintaan dengan Hening .... Hahaha ...." Joe terbahak, tangannya menunjukkan surat terakhir Hening yang digenggamnya ke arah Seti.

"Brengsek kamu Joe !" Tak bisa mengelak, Seti hanya bisa mengumpat lagi.

Salah dirinya juga, surat terakhir Hening tergeletak begitu saja selesai dibacanya tadi.

"Dasar bodoh, ... perempuan cantik yang dekat kamu abaikan, ... yang jauh malah kamu urusin," Joe membodohkan Seti.

"Memang kamu tahu alamat kost Asri ?" Tanya Seti seolah membenarkan olok-olok Joe. Wajah Asri melintas, ... mengganggu sore Seti.

"Kita cari saja sekarang. Sekalian antar aku ke kost dulu naruh bahan sialan ini," ajak Joe kemudian, sambil menunjuk dua plastik besar yang teronggok di pintu.

"OK, ... aku tinggal mandi dulu sebentar .... Ngopilah dulu .... Tapi jangan ngrokok dalam kamar !" Kata Seti mengakhiri obrolan sambil melangkah ke kamar mandi.

...***...

"Cihuuuuy, ... tampan ni yeee .... Hahaha .... "

Joe tertawa ngakak memandang Seti yang baru selesai mandi sambil menunjukkan tumpukan surat-surat Hening yang ditemukannya lagi dan sudah dibacanya sebagian.

Seti mengumpat lagi sejadi-jadinya, melihat kelakuan Joe yang mencuri baca lagi surat-surat Hening yang lain.

Bocah thengil itu memang sejak dulu selalu ingin tahu apa saja jika melihat sesuatu tergeletak begitu saja.

"Ah sudahlah Joe jangan kamu ceritakan kepada Asri ! Susah payah aku menghilangkan semua persangkaannya dulu, ..." pinta Seti. "Lagipula itu surat biasalah gak ada cinta-cintaan," lanjutnya lagi dengan nada penuh harap.

"Hahaha, ... hati-hati kamu taruh surat Hening. Suatu saat aku ajak Asri ke sini loh," Joe masih meledek Seti.

"Sudahlah, ... ayo kita jalan." Ajak Seti selesai berpakaian.

Tak mau berdebat lagi tentang isi surat Hening yang sebagian sudah diketahui Joe.

...***...

Dari Samirono si Denok bergeser mengantar dua anak muda itu ke Demangan tempat kost Joe.

Kost 10 kamar itu ramai dan penuh dengan berbagai macam lukisan serta patung-patung ketika Seti berjalan mengikuti Joe ke kamarnya.

Kebanyakan anak seni rupa IKIP Jogja yang kost di situ.

Dari ceritanya tadi, rupanya Joe berbagi kamar dengan Doni teman seangkatan-nya yang juga dikenal Seti karena sama-sama berasal dari Purwokerto.

Singgah sejenak ke kamar Joe dan Doni. Seti larut dalam pernak pernik benda seni yang ada di dalamnya. Mengingatkannya pada studio di rumah jengki.

...***...

Selesai mengantar urusan Joe dari kost Demangan Si Denok terlihat menyusur jalan Solo menjelang petang.

Tuan-nya memilih berbelok ke arah jalan Timoho mencari jalan ke arah Parang Tritis.

Berputar-putar tanya sana sini. Akhirnya ketemu juga jalan Parangtritis yang masih gelap karena ring road Selatan yang masih belum selesai, terus lurus sampai akhirnya mulai masuk ke wilayah Mantrijeron.

Memasuki gerbang kost putri yang tertutup, Seti mencoba memencet bel setelah memastikan alamat yang dipegangnya.

Suara intercom yang terdengar mengagetkan Seti dan Joe.

"Eh gimana jawabnya Joe ?"

"Aku juga baru tahu alat ini." Jawab Joe yang juga tampak kebingungan.

Cukup lama pencet memencet bel Seti dan Joe sampai akhirnya pintu itu terbuka berbarengan dengan sosok perempuan gemuk yang muncul memelototi keduanya.

"Kalau ditanya cari siapa jawab dong !!!" Bentak perempuan itu sengit.

"Cari Asri dari Purwokerto mbak." Jawab Joe lirih.

Agak ngeri juga dia dengan tatapan bengis perempuan di depannya.

"Maksudnya .... Pencet tombol merah itu sambil jawab." Masih dengan nada sengit, perempuan itu menjawab sambil tangannya menunjuk tombol merah yang ada di sebelah tombol bel.

Meminta maaf atas ketidaktahuannya, Seti menjelaskan kedatangannya. Perempuan itu lalu menyuruh Seti dan Joe duduk di teras depan yang memanjang setelah membenarkan salah satu penghuni kost itu adalah Asri.

Omelan perempuan itu masih terdengar jelas saat meninggalkan Seti dan Joe dan berbalik masuk sambil menutup pintu.

Joe cengengesan setelah perempuan itu menghilang. "Semprul... belum apa-apa dah kena kartu kuning ..... " Gerutunya diikuti kekehan Seti yang mendengarnya.

...***...

Asri yang keluar tak lama kemudian, mengejutkan Seti dan Joe.

Terlihat berbeda, Asri tampak semakin cantik dengan rambut panjangnya yang sudah dipotong pendek.

Leher jenjangnya yang putih bersih terlihat jelas, semakin membuat Seti dan Joe tak mau mengalihkan pandangannya dari bocah perempuan langsat yang tersenyum di depan mereka.

"Duh kemana rambut panjangmu sayang ?" Joe tak tahan mengomentari dandanan rambut Asri.

"Hihihi .... Malas pasang pita saat Ospek kemarin. Kupotong pendek saja biar gak ribet," Asri menjawab sapaan Joe.

"Tapi aku lebih suka model rambutmu yang sekarang loh... Makin cantik kayak Demi Moore." Joe meneruskan pujiannya.

Seti yang masih diam membenarkan kata-kata Joe.

Tak sengaja, tatapannya beradu dengan Asri yang berpaling ke arahnya.

"Ah rambutmu juga kemana Set ?" Tanya Asri yang kini gantian terlihat heran dengan penampilan baru Seti dengan rambut yang terlihat pendek. "Kucirmu hilang juga ?" Lanjutnya lagi masih dengan nada yang sama.

Seti hanya tersenyum kecil saja. Perhatiannya masih kepada penampilan baru Asri yang membuat hati kecilnya semakin menyesali kebodohannya karena tidak mengunjunginya selama ini.

"Ditanya Demi Moore kok malah senyam senyum," Joe menabok kepala Seti.

"Hehehe, ... iya As, kena Ospek kemarin," ada kehati-hatian dalam jawaban Seti.

Rasa bersalah mengabaikan Asri selama ini mengisi rongga hati kecilnya.

"Tapi kamu malah jadi kelihatan semakin segar ...."

Nada memuji keluar dari bibir Asri, ... kilap gelang perak pemberian Seti di tangan kirinya sekilas terlihat saat Asri mengambil bantal duduk untuk menutupi lututnya yang terbuka.

Toh rok span sebatas lutut itu tetap saja memperlihatkan betis telanjang indah Asri yang bersendal jepit.

Menggoda kelelakian Seti dan Joe untuk tak beringsut mengalihkan pandangannya.

"Kapan ya filem Ghost diputar di Jogja. Kayaknya seru tuh filemnya," ucap Asri kemudian teringat nama Demi Moore bintang filem Ghost yang tadi disebut Joe.

"Ghost tuh mak-mak gemuk yang marah-marah As ...." Joe menyela. Bocah thengil itu teringat perempuan gemuk yang tadi mengomelinya.

"Oh mbak Yem, ... hihihi, .. kalian kena semprot ya ?" Asri tertawa menyadari perempuan yang dimaksud Joe.

"Iya As, ... gara-gara kunyuk ini gak paham intercom," Seti menunjuk Joe.

"Mbak Yem baik loh .... Cuma kalau ada tamu gak jawab saat ditanya cari siapa lewat intercom , dia pasti ngamuk. Apalagi jika sudah jam sembilan malam masih ada tamu laki-laki yang bertamu. Pasti diusirnya, ... hihihi ...."

Asri mulai mengalirkan cerita tentang suasana kost-nya.

Bertukar cerita baru tentang Jogja lalu saling terucap dari ketiganya. Seti, Joe, dan Asri menikmati malam pertama kebersamaan-nya setelah kuliah di Jogja.

Ada dua jam perbincangan mereka mengalir akrab di rumah kost Mantrijeron.

Takut mbak Yem tersinggung dan melabrak mereka lagi, ... Seti dan Joe pamit setelah berjanji saling berkunjung setiap ada waktu senggang kelak.

Asri melepas Seti dan Joe dengan senyum yang lepas.

Ada rasa senang di hatinya melihat Seti mencuri pandang kepada dirinya dari atas si Denok ....

...***...

3. Teman Baru Jogja

Rumah kost Samirono ramai dengan kesibukan masing-masing penghuninya.

Di kamar paling ujung Seti sedang sibuk dengan pensil warnanya menyelesaikan tugas Kristalografi yang rumit, saat Dibyo anak Sastra Jawa UGM yang kost di kamar tengah melongok ke dalam kamar Seti.

Dibyo sudah Semester Tiga. Asalnya dari Tepus Gunung Kidul. Bapaknya Kades salah satu Desa di situ. Perawakannya gemuk dan mudah bergaul.

Tidak mau dipanggil mas oleh Seti. Dibyo lebih senang dipanggil Dib jika Seti memanggilnya. Katanya sih biar bertambah akrab saja.

"Ngopo Dib ngintip-ngintip," Seti menegur Dibyo yang diliriknya bolak balik nongol di pintu kamarnya

"Hehehe, ... lembur terus anak teknik ini."

Dibyo ngeloyor masuk merasa yang punya kamar memperhatikannya.

"Buat kopi sendiri Dib, ... kalau mau juga ada mie tuh di lemari," kata Seti tanpa menghiraukan Dibyo yang masih berdiri memperhatikan dirinya dari arah belakang duduknya.

"Wah suwun Set," jawab Dibyo yang tanpa disuruh Seti-pun pasti akan membuat kopi atau mencari makanan apa saja di kamar tetangganya kost-nya itu.

Seti tahu jika Dibyo masuk ke kamarnya pasti untuk mencari kopi atau makanan setelah blusukan ke kamar Muji teman kost yang lain di kamar paling ujung.

Uang saku Dibyo yang hanya cukup untuk satu minggu kadang sudah habis di hari Kamis atau Jum'at.

Tersisa hanya untuk ongkos pulang ke kampungnya setelah kuliah di hari Sabtu.

"Kamu buat kopi juga Set ?" Tanya Dibyo disela suara adukan sendok gelas kopi.

"Ini saja masih. Tuh ada mie goreng di lemari. Tadi dikasih mbah Jum."

Membuka lemari yang dimaksud, Dibyo mengeluarkan sepiring penuh mie goreng yang tersimpan.

"Beneran nih kuhabiskan ?" Dibyo masih ragu dengan tawaran Seti. Satu piring mie goreng yang dikeluarkannya kelihatan cukup untuk dimakan berdua.

"Makanlah saja. Lagipula kalau sudah malam aku malas makan besar. Eneg perutku," jawab Seti.

"Mbah Jum kok eman bener sama kamu Set,"

Dibyo mulai mulai menyantap mie goreng itu dengan lahap.

"Ah sama kalian juga eman lah. Tinggal bagaimana saja kita membawa diri," jawab Seti. "Eh si Muji lagi ngapain Dib ? Kayaknya ramai benar kamarnya dengan suara ketikan." lanjut Seti menanyakan Muji tetangga kamar Dibyo.

"Biasa, ... anak Sastra Inggris, ... tugas terjemahan, ... hahaha ...."

Tingkah Muji mirip seperti Dibyo. Hanya perawakannya ceking dan kulitnya hitam legam. Asalnya dari Wates. Bapaknya petani biasa.

Muji kuliah di Sastra Inggris IKIP Sanata Dharma. Sudah semester tujuh.

Sama seperti Dibyo. Muji lebih suka dipanggil Ji, jika Seti menyebut namanya.

"Panggil dia Dib. Bagi mie-nya kalau dia mau. Ada peyek juga tuh buat teman mengetiknya," tunjuk Seti ke arah toples di atas lemari yang penuh peyek kacang hijau pemberian Ibu.

Tak membantah. Dibyo berdiri, ... beranjak menuju kamar Muji sambil menenteng piring berisi mie yang sudah disisihkannya.

Seti tertawa geli memperhatikan Dibyo yang terlihat kelaparan.

Dari cerita Dibyo. Walaupun Bapaknya Kades, tapi namanya tanah di Gunung Kidul, ... jika musim kemarau panjang semua penggarap ladang yang ada di sana akan kesusahan .... Tidak ada yang bisa ditanam di sana.

Tak heran musim kemarau ini, uang saku Dibyo sangat pas-pasan untuk satu minggu saja.

Jika ada tugas yang harus difoto kopi, sudah pasti uangnya tak akan cukup sampai hari Sabtu.

Jika besok Sabtu tak ada janji ke tempat Asri, sebenarnya Seti berniat main dan mengantar Dibyo pulang ke kampungnya.

...***...

"Ngopo dab ?" Suara Muji dari tengah pintu kamar mengejutkan Seti yang sedang menyeruput kopi. Tangan Muji memegang piring berisi mie .... Tampaknya Dibyo berbagi mie tadi dengannya.

Seti terbahak melihat Muji yang dilihatnya hanya bercelana kolor. Badan kerempengnya menontonkan tulang iganya yang menonjol tanpa baju.

Tangannya masih sibuk menyuapkan mie goreng ke mulut saat beringsut mendekati Seti.

"Tuh peyek di toples buat cagak ngantuk," Seti menunjuk toples yang ada di atas lemari.

"Wah kamu baik banget .... Tengs." Muji mengambil peyek yang ada di toples, ... lalu mengunyahnya bersama mie yang disuapkan dengan tangan telanjangnya. 

Dibyo menyusul masuk beberapa saat kemudian.

Sepertinya mie gorengnya sudah habis lebih dahulu.

Tangannya membawa Piring dan sendok yang sudah dicuci bersih kemudian meletakkan-nya di rak sebelah lemari, ... bergabung ke dua tetangga kostnya, ikut menyeruput kopi yang tadi dibuatnya.

"Kopiku endi Dib ?" Protes Muji melihat Seti dan Dibyo masing-masing menyanding segelas kopi. Potongan peyek yang dikunyahnya hampir terloncat dari mulutnya.

"Tak pikir kamu kepanasan, ... hehehe, ... malah minta ngopi," Dibyo terkekeh.

Membiarkan Muji puas memelototi tawanya, akhirnya Dibyo beranjak mengambil gelas. Lalu menyeduhkan kopi buat Muji.

"Tadi memang sumuk Dib. Njeblug kepalaku mengartikan puisinya Shakespeare .... Lah wong puisinya Rendra saja bikin mumet. Apalagi ini puisi Inggris kuno. Dapat C saja sudah untung besok." Keluh Muji.

Seti dan Dibyo terbahak bersama mendengar keluhan Muji.

Cerita tugas terjemahan anak sastra inggris mengalihkan kerumitan tugas Kristalografi Seti. Membereskan pensil warna, Seti lalu duduk di lantai menyebelahi Dibyo dan Muji, bermaksud untuk mengobrol sebentar dengan mereka.

Tentu saja obrolan itu tidak jauh dari obrolan anak kost yang tak jauh dari materi kuliah, sampai masalah uang saku yang terbatas.

Muji meletakkan piring kosong di luar kamar setelah menghabiskan isinya.

Berniat mencucinya nanti .... Tangannya mengambil peyek lagi dan mulai menyeruput kopi yang dibuatkan Dibyo.

Lalu ketiganya mulai berbalas cerita.

Jika Muji mengeluhkan tugas terjemahan-nya, Dibyo mengeluhkan uang saku-nya yang selalu tak cukup di sela obrolan hangat itu.

Sama seperti Seti .... Dibyo menghindari berhutang.

Walau berkali-kali mbah Jum menyuruhnya untuk makan dulu di warungnya tanpa memikirkan bayaran, jika dilihatnya Dibyo hanya mengambil nasi sayur, ... toh Dibyo tetap sungkan untuk menerima tawaran itu.

Untungnya bekal camilan dari Ibu setiap Seti pulang ke rumah joglo selalu disisihkannya buat Dibyo.

Belum lagi kalau mbah Jum memberikan jajan atau panganan sisa jualan kepada Seti yang pasti juga disisihkannya untuk Dibyo. Paling tidak Dibyo tidak perlu menahan lapar apalagi berhutang untuk makan.

Karena itu Seti sangat berhasrat untuk menemani Dibyo ke Gunung Kidul.

Ingin tahu cerita Dibyo tentang kasus bunuh diri di sana yang sering terjadi jika gagal panen karena serangan hama dan kemarau.

Apalagi Dibyo mulai membuka cerita tentang segala macam hama yang ada di Tanjungsari .... Dari belalang, burung betet, sampai wereng.

Belum lagi cerita tentang ikan pari Manta yang sebesar perahu di pantai Kukup, atau pohon Drini di pulau Drini yang tidak boleh sembarangan dibawa menyeberang di tengah obrolan malam itu semakin membuat Seti bertambah ingin tahu tentang kampung Dibyo.

Tapi Sabtu besok dirinya sudah terlanjur berjanji untuk mengunjungi Asri.

Mungkin minggu depannya lagi baru kesampaian niat Seti ke kampung Dibyo.

Merasa cukup mengganggu Seti yang sedang menyelesaikan tugas kuliahnya, Dibyo dan Muji berpamitan masuk ke kamarnya masing-masing.

***

Jam satu malam Seti akhirnya menyelesaikan tugas praktikum-nya. 

Merapikan meja belajarnya, mematikan lampu kamar, lalu menyalakan lampu tidur dan beranjak merebahkan badan ke kasur busanya.

Suara ketikan di kamar Muji masih terdengar di telinga Seti.

Dari kamar Dibyo yang gelap, sayup-sayup suara siaran wayang dari radio Dibyo juga didengarnya.

Kelihatannya Dibyo sudah tertidur. Ada setengah jam dia tadi mengobrol bersama Seti dan Muji sebelum mencuci semua gelas kopi dan pamit ke kamarnya.

Janji ke kost Asri membuat mata Seti sulit terlelap malam itu. Memikirkan kata-kata apa yang akan disampaikannya besok. Dan alasan apa yang harus disampaikan ke mbak Yem jika Asri mengajaknya ke jalan ke luar.

Seti paham, Asri pasti akan mengajaknya ke Alun-Alun Selatan.

Penasaran dengan ritual masangin yang diceritakan Joe saat main ke kost Mantrijeron dulu. Suatu ritual melewati beringin kembar di Alun-alun dengan mata tertutup. Yang kata orang-orang, ... siapapun yang berhasil melakukannya, maka segala keinginannya akan terkabul.

Seti sebenarnya juga penasaran dengan ritual itu.

Benar atau hanya mitos saja jika berhasil melakukan masangin kata Dibyo yang anak sastra Jawa tidak perlu diperdebatkan.

Yang jelas kata Dibyo, tidak gampang melakukan masangin dengan mata tertutup.

Ah, ... malam minggu pertamanya berdua bersama Asri di Jogja tak sabar dinantikan Seti.

 

-------------

*Ngopo : kenapa dalam bahasa Jawa.

*Eman : sayang dalam bahasa Jawa.

*Dab : panggilan kepada laki-laki dalam bahasa gaul Jogja.

*Cagak ngantuk : mencegah kantuk dalam bahasa Jawa.

*Endi : mana dalam bahasa Jawa.

*Sumuk : gerah kepanasan dalam bahasa Jawa.

*Njeblug : meledak dalam bahasa Jawa.

*Mumet : pusing dalam bahasa Jawa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!