Cerita ini sudah lama sekali terjadi, kisah dimana hanya ada keegoisan dan rasa cinta tanpa dasar. Dari dia yang begitu mencintaiku, dan dengan bodohnya aku menolak perasaannya hingga rasa penyesalan timbul di akhir hidupnya.
^^^Ryouichi, 24 th^^^
.
.
.
Buku lusuh itu kembali ku buka.
Sebuah buku tua peninggalan seorang wanita kuat.
Wanita yang penuh cobaan kehidupan, penuh penghinaan dari lahir hingga akhir hayatnya.....
Seorang wanita yang kucintai hingga kini........
.......
.......
.......
Namaku William Birtrainy, tahun ini aku berusia 24 Tahun. Tidak buruk mengatakan jika aku tidak menyukai hiruk pikuk dunia yang penuh gelimang gadis cantik maupun wanita penggoda.
Aku William, seorang pengusaha muda tanpa rasa cinta.
.
.
.
Nama wanita, atau ku sebut saja gadis.
Seren, hanya itu. 18 th.
Harus hidup diantara mereka yang bekerja di saat semua orang tertidur lelap....
.......
.......
.......
...SADNESS...
...Kedatangan...
.......
.......
.......
Ting
Tong
[Notified Mr. William Birtrainy to board the plane immediately, because the plane will take off soon..]
(Diberitahukan kepada bapak William Birtrainy untuk segera menaiki pesawat, karna sebentar lagi pesawat akan lepas landas.)
Ucap seorang pramugari dari tempatnya.
Sementara itu, seorang pemuda jerman masih santai melakukan hal tak pantas di toilet bandara, ia tidak menghiraukan himbauan dari sang pramugari.
"Du bist auch ziemlich gut im Unterhaltungsdienst."
(Kau cukup lihai juga untuk fun service,)
Pemuda itu berbicara pelan dan dalam. Ia masih memberikan cumbuan basah di sekitar leher sang pramugari.
Dengan sedikit lenguhan, pramugari itu malah semakin memberikan akses bagi pemuda itu. Ia membuka mata, memandang langit-langit toilet dengan mata sayu.
"Ahhhh.... yes.... ahhh... more...." Desah wanita itu merasa nikmat.
"Lassen Sie es mich schnell beenden."
(Biarkan aku menyelesaikannya dengan cepat.)
Bisik pemuda itu semakin mempercepat tempo gerakan hingga akhirnya benih-benih itu berhasil terlepas dengan bebas.
"Aaahh.... Gute Arbeit, du bist eine tolle Flugbegleiterin."
(Ahhh.... Kerja bagus, kau memang pramugari yang hebat.)
Ucap Pemuda itu melepas kejantanannya yang masih tertutupi condom dan berjalan ke arah wastafel untuk membersihkan diri dan memperbaiki penampilan.
Sementara sang pramugari masih mencoba mengambil nafas seraya tersenyum. Setelah merasa baik, sang pramugari ikut memperbaiki penampilannya dan berjalan ke arah pemuda itu untuk sekedar memeluknya dari belakang.
"Ich freue mich auf die nächste Gelegenheit, meine Liebe."
(Aku menantikan kesempatan berikutnya sayang.)
Lirih wanita itu mengarahkan wajah pemuda ke arahnya, mereka saling menatap sejenak, dua mata berbeda warna. Semakin dalam hingga mereka saling mengecup, mencium, saling berperang lidah hingga menciptakan kecipak basah yang kental.
[We again appeal to Mr. William Birtrainy to board flight number xxxx immediately as the plane is about to take off.]
(Kami kembali menghimbau Bapak William Birtrainy untuk segera naik ke pesawat dengan nomor penerbangan xxxx karena pesawat akan segera lepas landas.)
Suara pemberitahuan kembali menggema mengintrupsi kegiatan dua manusia berbeda gender yang masih dalam suasana panas.
"Ihr habt den Ruf gehört, wir müssen uns beeilen."
[Kamu dengar panggilannya, kita harus cepat..]
Tukas sang pemuda melepaskan diri dari pramugari dan langsung meninggalkannya tanpa memberi kepastianyang jelas pada wanita itu.
.
.
.
"William Birtrainy?" Tanya pramugari yang sudah menunggu di garbarata.
"Yes, it's me." Balas pemuda itu, William menyerahkan tiketnya.
"Well, please follow me to your seat, Mr. William."
Kata pramugari memandu William.
Drrrtt...
Drrt...
Suara itu berasal dari saku jas William, namun ia tak kunjung mengangkatnya dan membiarkan suara itu terus berbunyi hingga ia mencapai kursinya.
Ia memilih duduk dengan nyaman, namun seketika sebuah laptop merk terkenal langsung diletakkan di atas meja tepat didepan William.
William melirik ke samping, seorang pria dengan senyuman bisnis memberikan gekstur pada William untuk menjawab panggilan.
Dengan muka kesal William kembali menatap ke arah layar laptop.Dari layar dapat terlihat jelas panggilan video bersama rekan bisnis pribumi. Pria yang duduk disamping William mendekat, ia berbisik.
"Ein kurzes Geschäft mit Unternehmen A über Diamanten, wir sprachen eine Weile miteinander und Herr Gundur war fest davon überzeugt, dass es Diamanten gab."
(Bisnis singkat bersama perusahaan A mengenai berlian, kami sudah berbicara sebentar dan tuan Gundur bersikukuh bahwa disana memang ada berlian.)
William langsung mengertukan kening, ada lagi satu rekan bisnis ajaib.
"Baiklah tuan Gundur, langsung saja. Dimana lokasinya?"
"Berada di puncak tertinggi kota pak." Balas Gundur dari sebrang sana.
"Oh, benarkah? Tanah ini berada di puncak? Apa anda yakin disana memiliki sumber berlian?" Tanya William menyelidik.
"Tentu saja tuan Will, ini salah satu bukti yang saya temukan di lokasi." Balas seorang pria diseberang sana, ia berjalan dan menunjukkan lokasi tempat ia menemukan sebongkah berlian indah itu.
"School!? Are you crazy?! It's not fanny you know dude! Jika kau ingin membual sebaiknya kau cari orang yang idiot, kau membuang waktuku." Sarkas William hampir menutup layar laptopnya kalau saja tidak mendengar sebuah ucapan yang paling meyakinkan.
"Wait!!! Mr. William, please give me some time to explain the advantages to you."
Seorang pria lainnya bersuara, membuat William langsung urung untuk mematikan laptop.
"Ya, apa yang bisa kau jelaskan?!" Tuntut William mulai jengah dengan pembahasan yang semakin tidak menguntungkan ini.
"Sesuai janji saya kepada anda Sir, saya telah menginfestigasi seluruh Riau untuk mendapatkan tanah yang bapak inginkan, dan disinilah tempatnya saya menemukan benda berkilauan ini Sir. Mungkin memang cukup jauh aksesnya, tapi saya yakin tanah ini merupakan penghasil emas dan berlian murni. Sir tidak akan kecewa."
"Hmmm~" William mulai tertarik dengan topik ini, matanya senantiasa memandang kearah dua bongkahan berkilau yang digenggam oleh pria seberang sana.
"Kal-"
Tuk
Tuk!
Ucapan William terinterupsi oleh sebuah tangan yang menepuk bahunya.
"Huh?" William memalingkan pandangannya kearah samping, dapat ia lihat seorang pramugari kini tersenyum canggung kearahnya dengan kedua tangan yang menyatu.
"Aaaaa... Maaf menggagu waktunya sebentar tuan, tapi bisakah anda melakukan panggilan di jam lainnya karna pesawat akan segera lepas landas?"
Ryou hanya memperhatikan, tidak ada rasa ingin membantah ataupun menjawab. Ia malah memilih berekspresi ceria dengan senyum tipis penuh rahasia.
"Jadi tuaa-"
Panggilan terputus, William langsung menutup layar laptopnya dan membuang muka dari sang pramugari yang langsung tegang di tempat.
William memangku wajahnya dengan sebelah tangan seraya menyilangkan kedua kakinya angkuh.
"Siapa~ namamu?~" Tanya William sing a song.
Pramugari itu langsung bergetar, namun ia mencoba untuk tetap tenang dan menjawab dengan mantap.
"Dina Ratusadewi Sir."
Cklek
"Bagaimana Din?" Tanya teman Dina yang sudah menunggu kabar bahagia dari temannya itu.
Namun Dina malah menampilkan wajah frustasi tidak menghiraukan pertanyaan dari teman sesama pramugarinya.
"Din?" Ucap teman pramugari lainnya.
"Kamu kenapa?"
Dina langsung membalikkan badan menghadap kearah semua temannya yang sudah berkumpul siap mendengarkan.
"AKU DITAMPAR!!!HWAAHAAAAAA..."
Teriak Dina sampai ke kursi William yang tengah meminum vodca dengan santai.
"Robert, aku mau wanita itu ditendang dari pesawat ini." Titah William meletakkan gelas vodcanya ketempat yang sudah disediakan.
Pria yang duduk di samping William langsung menunduk.
"Baik tuan." Balas pria itu, Robert. Dengan patuh ingin berlalu pergi namun langsung diurungkannya karna Willliam yang kembali bersuara.
"Oh ya, dan satu hal lagi. Beri peringatan keras kepada para pramugari kelas rendah itu untuk tidak menggangguku disaat aku bekerja, aku sangat benci di ganggu apalagi di interupsi." Lanjut William menatap tajam Robert.
"A-"
"Dan kau tau Robert, pesawat ini sungguh jelek. Lain kali jika kau memilih pesawat seperti ini lagi, aku yang akan menerbangkanmu sampai keliang lahat. Oh ya, dan satu hal lagi"
Robert yang malang, berkat refleknya yang begitu lambat akhirnya berakibat pada rambutnya yang harus ditarik kencang oleh sang atasan yang langsung memukulkan kepala Robert pada layar monitor didepan mereka, sementara penumpang yang duduk di depan mereka hanya dapat berdo'a semoga penerbangan dapat berjalan lancar tanpa hambatan oleh kedua makhluk yang duduk dibelakangnya.
"Apa-apaan ini semua, aku ditempatkan dalam satu pesawat bersama rakyat jelata kelas ekonomi! Dimana rasa malumu pada atasan Robert!? Kenapa kau tempatkan aku dikelas ekonomi dengan kau yang duduk disebelah ku ha!? Aku tidak mau tau, dipenerbangan berikutnya sewa saja jet sekalian!"
Tambah William menatap tangan Robert yang sempat bergetar namun ditahan Robert dengan tangan satunya.
"B-baik tuan, akan saya ingat kata-kata anda."
"Ok, sekarang mari kita ke Riau." Suara William dingin tidak memperdulikan kepala Robert yang sudah mengalirkan banyak darah.
***
"Ada apa dengan panggilannya pak?" Tanya Jeno ikut memperhatikan layar laptop yang tidak lagi menampilkan wajah seorang pria Jerman.
"Aku juga tidak tau, tapi yang jelas Jeno. Tanah ini harus jatuh ketangan kita secepat mungkin, kalau tidak kita akan tamat olehnya." Ucap Gundur berbalik menatap SMK 1 yang sudah tutup.
.......
.......
.......
.......
...TBC...
.......
.......
.......
.......
.......
...SADNESS...
...Awal...
.......
.......
.......
Suasana malam begitu ramai terasa, tatkala para pegawai salah satu tempat Club Night berkedok karaoke terkenal kini mulai mempersiapkan diri menanti para tamu.
Perkenalkan Distrik Nangka, salah satu distrik yang terkenal akan hiburan malamnya. Namun kalian harus berpura-pura tidak tau saja, karna ini adalah rahasia umum.
"Baiklah semuanya, seperti biasa ya. Kalian harus tetap semangat, kasih yang terbaik buat pelanggan-pelanggan kita yaaa...." Seorang wanita setengah baya dengan penampilan nyentriknya datang mengintrupsi semua kegiatan para wanita.
"Ok Mami..." Jawab para wanita kompak menatap sang mami.
"Ok kalau gitu, yang udah siap dandan boleh langsung ke bar atau yang udah dipesan bisa keruang Karaoke ya...." Ucap Sang mami lagi memberikan arahan.
"Sip Mami." Jawab mereka lagi.
Sang mami memilih duduk di samping pintu, ia mulai memperhatikan smartphonenya. Mencoba mengecek pemasukan kemarin. Ia sedikit cemberut saat melihat penghasilan yang berkurang setiap minggunya.
"Ririn, nanti setelah selesai bersiap kesini sebentar ya." Ucap mami tetap memandang smartphone.
"Ok Mami." Jawab Ririn meletakkan lipstiknya di atas meja rias.
Ia berdiri, merapikan sedikit pakaian minimnya yang terlipat kemudian berjalan sedikit tergesa.
"Iya mami, ada apa ya?" Tanya Ririn melipat kedua tangannya di depan. Ia sedikit menunduk untuk dapat melihat ekspresi yang akan dikeluarkan oleh sang mami.
Mami meletakkan smartphone kedalam tas, kemudian mengintrupsi Ririn untuk duduk di sampingnya dan Ririn mengikuti dengan patuh.
"Mch.... (Mami menggoyangkan kepalanya kekiri dan kanan) Kenapa penghasilan kamu berkurang beberapa minggu ini?"
Ririn langsung terkejut, ia hanya dapat menunduk dan tak mampu menjawab. Sementara mami hanya memperhatikan gelagat sang anak asuh.
"Sebenarnya Rin, mami sangat suport kamu yang nafkahi anak. Tapi jangan gitu dong Rin," Mami menepuk kedua tangan di atas tas kulitnya yang berada di paha.
"Trus ini gimana? Penghasilan kamu kemarin cuma 500 ribu, makin menurun dari sebelumnya 700 ribu. Ini ngebuat mami sulit buat pertahanin kamu lagi." Curhat Mami yang mulai pusing.
"M-maaf mi, malam ini aku akan lebih berusaha."
"Mmm... Sebenarnya Rin,ini kesempatan terakhir kamu. Jika kamu udah gak bisa hasilin uang buat mami lagi, kamu terpaksa mami off-in dari Lc ataupun Ani-ani." Ucap Mami seraya memantik api rokok ditangan.
"Ririn, ada yang nyariin." Interupsi salah satu pegawai Karaoke memanggil Ririn.
Ririn memandang ke arah Mami, dan mami mengangguk mengizinkan Ririn pergi untuk menemui tamunya.
.
.
"Disini Rin." Ucap pegawai pada Ririn yang mengikuti keluar dari gedung.
"Ok udah sampai, aku cabut ya." Lanjut sang pegawai meninggalkan Ririn.
"Thank's ya Rob." Balas Ririn berterima kasih.
Saat ia beralih fokus pada tamunya, Ririn seketika terkejut saat sang anak lah tamunya.
"Ibu..."Lirihnya sudah basah kuyup. Ia semakin mengeratkan pelukan pada tasnya yang juga sudah basah.
"Ada apaan?" Tanya Ririn ketus. Ia malah membuang muka dari sang anak.
"I-ibu gimana keadaannya? Ba-"
"Gausah basa basi deh Ren, lu mau apaan dari gue!?" Tiba-tiba Ririn menaikkan nada suara hingga membuat sang anak terperenjat.
Seketika sang anak menunduk, ucapannya seakan tercekat saat ingin membicarakan maksud kedatangannya.
"I-tu bu, Seren butuh uang buat bayar SPP sama uang praktek." Ucap Sang anak, Seren dengan pelan dan mencoba untuk tidak menyinggung sang ibu.
Ririn langsung berkacak pinggang "KAMU INI DARI LAHIR SAMPAI SEKARANG NYUSAHIN IBU MELULUUUU! BISA GAK SIH KAMU ITU BERGUNA DIKIT! TAUNYA MINTA UANG, UANG UANG TRUS! APA KAMU GAK TAU CARI UANG ITU SUSAH HA!"
Seren langsung terdiam, air mata hampir keluar dari mata namun coba untuk ditahan sekuat mungkin.
"M-maaf bu, nanti Seren coba cari orang yang terima pembantu, trus cari kerja la-"
"GAUSAH CARI KERJA-KERJA GITUAN LAGI! GAK GUNA. UJUNG-UJUNGNYA JUGA MINTA DUIT SAMA IBU! UDAH, KAMU JADI PELA*UR AJA BIAR GAK MINTA DUIT LAGI!!!!" Maki sang ibu menunjuk Seren bertubi-tubi.
"M-ma...."
Bruk...
Seren pingsan tanpa bisa menyelesaikan ucapannya.
"Ckh... Astaga, siapa yang membantu sekarang. Hmph!"
Akhirnya setelah bermonolog sendiri, Ririn akhirnya membawa sang anak ke kost-nya yang berada di belakang gedung.
.
.
.
Keesokan harinya, Seren terbangun di lantai beralasan kain tipis. Gadis itu mengucek mata mencoba untuk membiasakan penglihatannya yang sedikit kabur.
"Dimana ibu?" Gumamnya beranjak dari posisi.
Setelah keluar dari kos-an Seren berjalan kembali ke arah gedung tempat ibunya mencari nafkah. Tidak tau tujuan, namun Seren akan mencoba untuk masuk.
Krak..
Trang....
"!" Rotasi Seren langsung teralihkan pada suara bising di belakang gedung.
Dengan langkah pasti, gadis itu masuk dan bertapa beruntungnya ia langsung melihat sang ibu yang tengah berkutat dengan setumpuk piring kotor.
"Pagi bu." Sapa Seren mendekat.
"Hmm.." Balas Ririn masih sibuk.
"Sini Seren bantu bu."
Ririn tidak menanggapi, namun ia memilih untuk bergeser dan memberikan ruang bagi Seren untuk bergabung. Ririn menyabuni gelas dan langsung memberikannya pada Seren untuk dibasuhi tanpa memberi intrupsi lebih dulu, namun secara alami mereka dapat melakukannya.
"Kenapa piring kotor ini tidak selesai-selesai ya?" Gumam Seren tanpa sadar.
"Berhentilah mengeluh, sebentar lagi juga akan selesai." Ucap Ririn yang tanpa sadar menjatuhkan gelas kedalam kubangan air kotor hingga membuat air langsung terciprat kesembarang arah.
"Oh astaga." Ririn langsung mengambil gelas itu dan melihatnya secara teliti, takut ada yang retak. Jika sampai hal itu terjadi maka hutang Ririn akan semakin membengkak.
"Syukurlah gelasnya baik-baik saja." Ucap Ririn penuh syukur.
"Aduh bu, aduh. Mataku kena cipratan air bu Au! Aaaaaaaa~" Seren langsung bergegas meraih selang air bersih yang tanpa ia sadari malah semakin menjauhi Seren.
"Kenapa airnya makin jauh si?" Tanya Seren merasakan aliran air yang bukannya makin mudah ia raih malah semakin jauh ia gapai.
Semakin jauh meraba Seren malah menyentuh kaki seseorang dengan sepatu hak tingginya.
"Tangan siapa ini?" Tanya Seren tanpa sadar.
Kaki itu langsung menjauh.
"Ini kaki dasar bodoh! Oh astaga, aku jadi kebawa emosi." wanita itu langsung menendang dagu Seren hingga gadis malang itu terdorong jatuh di atas air bekas cuci piring.
"Anak idiot ini benar-benar membuat malu."Bisik Ririn menggeram marah.
"Auch!" Gumam Seren menyentuh luka di dagunya.Belum sempat memproses rasa sakit tiba-tiba air bersih jatuh di atas kepala Seren hingga gadis itu dapat membasuh kedua matanya.
"Ah, astaga. Untung mami baik jadi kamu mami maafin." Ucap Mami membasuh wajah Seren.
"T-terimakasih." Balas Seren.
Mami mengangguk kemudian menatap Ririn. "Malam ini semua orang akan sibuk, dan Ririn. karna kamu sudah tidak dapat bekerja di garda depan, maka dari itu mami akan mempekerjakan kamu di bagian dapur untuk mencuci piring. Kamu paham?"
"Paham mi."
"Bagus kalau begitu, oh iya. Kamu juga ngak lupa kan apa yang disampaikan oleh tuan Golern. Mami harap kamu udah siapin orang itu buat selingan kalau-kalau tuan Golern butuh. Ok, kalau gitu mami pergi dulu. Lanjutin cuci piringnya."
Setelah mami pergi, Ririn kembali melanjutkan pekerjaannya dalam diam. Seren yang juga sudah baik-baik saja juga kembali bekerja.
"Kemana aku harus mencari wanita yang mau menggantikan posisiku sebagai LC?" Gumam Ririn yang tanpa disadari didengar oleh Seren.
'Kenapa perasaanku tiba-tiba menjadi gelisah?'
.
.
Malam harinya.
"Ibu,Seren pamit pulang ya." Kata Seren sudah berkemas dan siap untuk pergi.
Ririn berbalik badan menatap sang anak dari ujung kaki hingga kepala.
"Kenapa begitu cepat? Ibu bahkan belum memberimu uang." Balas Ririn masih memperhatikan Seren dengan intens.
"Aku tidak ingin merepotkan ibu lebih lama." Alasan Seren semakin memperkuat genggaman pada tasnya.
"Ah tidak, kamu tidak merepotkan. Malah ibu sebenarnya sangat tertolong olehmu. Maka dari itu jangan pergi dulu, tetaplah disini." Ujar sang ibu.
Seren mengendurkan genggamannya ia langsung tersenyum saat ibunya berkata demikian.
"Bantulah ibu didapur."
"Baik." Balas Seren dengan ceria.
Malam-pun menjemput, Seren yang sudah siap segera mengikuti langkah sang ibu pergi ke area dapur gedung untuk membantu.
Namun yang tidak Seren ketahui adalah sesuatu hal yang seharusnya ia hindari malah ia datangi.
.......
.......
.......
.......
...TBC...
"Piring kotornya banyak sekali." Gerutu Ririn.
Sudah 1 jam Ririn tidak berhenti menggosok piring kotor. Dari beberapa menit yang lalu piring kotor bukannya makin berkurang malah semakin bertambah hingga membuat Ririn kewalahan.
Ririn melirik kesamping, tepatnya ke arah sang putri yang kini harus ekstra gesit membilas dan mengelap piring-piring.
Ririn menghela nafas, ia tanpa sadar menatap ke belakang tepatnya ke arah pegawai yang membawa setumpuk piring kotor lainnya. Seketika Ririn lesu, ia selalu menggumamkan kata 'Ini akan selesai.' berulang kali.
"Satu orang tolong jadi Waiter." Tiba-tiba seorang karyawan lainnya datang dengan tergesa, membuat semua orang didapur memandang ke arahnya.
"Ini permintaan langsung dari tuan Golern, kita mengalami peningkatan tamu. Tuan Golern bilang akan ada tips tambahan." Lanjut karyawan.
Semua orang saling menatap, bukan karna mereka tidak mau mengambil pekerjaan dadakan ini, namun mereka tau kualisifikasinya tidaklah semudah saat berita itu datang.
Kembali pada Ririn dan Seren, mereka berdua juga saling menatap sampai Ririn teringat akan perkataan mami dan ia langsung tersenyum.
"Ambillah pekerjaan itu, bermumpung mereka tidak memberikan syarat yang aneh, tips yang diberikan tuan Golern nantinya bisa kau pergunakan untuk membayar SPP dan uang praktekmu."
"Apa tidak apa-apa? Aku khawatir bu." Seren seketika bersikap takut.
"Tidak apa-apa, yakin pada ibumu ini (menarik dan mendorong punggung sang anak untuk segera berjalan ke arah karyawan yang bertanya.) Ini, putriku dia saja yang menjadi Waiter tambahannya." Ririn berucap dengan lantang, sementara Seren sudah khawatir dan takut ditempat.
"Baiklah, ayo ikut bersamaku." Ajak sang karyawan pada Seren tanpa basa basi.
Seren dibelakang mengikuti dengan takut, ia sedikit melirik ke belakang tepatnya ke arah sang ibu yang memberikan gekstur santai dan berbalik kembali bekerja.
"Baiklah, sekarang tukar pakaianmu dan nanti langsung ambil baki-baki yang di sana ke pengunjung, kau mengerti?"
"Y-ya, saya mengerti tuan."
Setelah mendengar jawaban Seren, karyawan itu langsung pergi untuk memberikan ruang bagi Seren untuk berganti pakaian.
"Baiklah, ayo Seren. Semangat." Gumam Seren menyemangati dirinya.
Beberapa menit telah berlalu, kini Seren sudah memakai seragam seperti karyawan lainnya. Dengan langkah sedikit canggung Seren mulai berjalan untuk mengambil baki berisi minuman keras dan beberapa makanan.
"Antarkan ini ke table 8."Ujar bartender pada Seren yang mengangguk patuh.
Seren berjalan dengan hati-hati, ia takut menjatuhkan makanan dan minuman ini.
"Table 8, silahkan tuan-tuan."
Seren tidak berani melirik, ia takut. Meski di Table itu sudah diisi oleh Lc namun Seren masihlah merasa khawatir. Mereka melirik namun masih banyak yang acuh dan sibuk dengan urusannya masing-masing.
'Ok, satu siap. Sepertinya pekerjaan ini tidak buruk.'
Inner Seren mulai nyaman dengan pekerjaannya. Walau banyak dari para customer yang menggoda, namun sebisa Seren akan menolak dengan sopan.
"Hei kau, kemarilah. Bergabunglah dengan kami." Ucap seseorang dari Table 5.
Penampilannya rapi dengan style mahal menghiasi tubuh. Meski ia memanggil Seren untuk bergabung namun gerakan tubuh Seren menolak.Ia hanya diam ditempat seraya memperhatikan pria berumur itu menepuk salah satu pahanya.
LC dan Ani-ani semakin memepetkan tubuh ke arah pria itu. Dapat Seren lihat dengan jelas di sekujur area tubuh para wanita diletakkan lembaran uang seratus ribu.
Sekali lagi pria itu memanggil, namun dengan cepat Seren menolak dan berbalik hendak melanjutkan pekerjaannya. Tapi langkahnya seketika liar saat ia tanpa sengaja menabrak seseorang hingga semua minuman diatas baki terjatuh ke lantai.
Seren seketika berjongkok untuk memungut beling-beling yang berserakan, tak lupa ia selalu mengucap kata maaf.
"Oh je, meine Kleider sind nass und meine Finger klebrig."
( Astaga, pakaianku jadi basah dan lengket.)
Ucap pria itu dengan nada kesal.
"A-aku m-minta maaf tuan." Seren seketika bersujud di kaki pria itu, namun dengan cepat pria itu menjauh.
"BITCH!!!"
Suasana langsung hening, musik terjeda, aktifitas terhenti. Semua pasang mata menatap pada Seren dan pria yang baru saja berteriak kasar.
"Weißt du nicht, wie teuer mein Anzug ist? Nicht einmal ein Jahresgehalt reicht aus, um ihn zu bezahlen!"
(Apa kau tidak tau begitu mahalnya jas yang kupakai? Bahkan gajimu 1 tahun pun tak dapat menggantinya!)
Keadaan seketika berubah mencekam, Seren semakin gemetar dan ketakutan. Apalagi ia tidak mengetahui apa yang dikatakan oleh pria yang saat ini sedang mengatai dirinya.
"Oh Frau, du machst meine Laune noch schlechter. Geh mir aus dem Weg!"
(Oh woman, Kau membuat mood ku semakin kacau saja. Menyingkir!)
Seren tidak bergeming, ia tidak mengerti.
"Seufz... Dieser idiotische Blödsinn. Du, verbanne ihn aus meiner Gegenwart."
(Sigh... Sampah idiot ini. Kau, usir dia dari hadapanku.)
Titah pria itu memanggil pria di table 5, pria yang semula menggoda Seren.
Dengan wajah tegang pria table 5 menarik Seren menjauh. Seren tak mengerti, namun ia melemah saat tubuhnya diseret menjauh.
"Kau, salah orang nona." Bisik Pria table 5 tegang kemudian kembali ke tempat duduknya.
Semua menatap Seren, Namun di menit berikutnya mereka kembali pada aktivitasnya. Sementara Seren masih diposisinya, ia hanya dapat menunduk malu. Sampai sebuah kaki menyadarkannya kembali.
"Kau berdirilah, kita tidak punya banyak waktu, rapihkan dirimu dan berhati-hatilah dengan baki tuan Golern ini. Sekarang pergi antarkan sebelum banyak masalah yang timbul." Ucap salah satu waiters memberi baki pada Seren mendongak memperhatikan.
"D-dimana tempatnya?" Tanya Seren.
"Lantai dua, pintu ber-cat coklat paling sudut sebelah kiri."
"B-baiklah."
.
.
.
"Ck! Barang-barangmu menyedihkan semuanya! Bahkan mataku sampai sakit Dita! Apakah otak udangmu tidak bisa mencari gadis-gadis muda, Ha!? (Berteriak) Kau mau menjual wanita-wanita layu pada pelanggankuuuu!" Geram Golern menatap nyalang Dita yang sudah terbujur menyedihkan bersimbah darah di lantai.
Semua wanita yang berbaris seketika menunduk saat pemilik Clubing murka. Sementara Dita hanya bisa diam, ia hanya menunduk menatap pria itu yang masih emosi padanya. Pecahan dari botol minuman keras tak lepas di arahkan Golern pada Dita yang hanya terisak penuh kesedihan.
"M-maafkan saya T-tuan Golern.. Say-! "
"Tidak usah, aku tau kau akan meminta waktu tambahan tapi sudah sebulan berlalu semenjak aku memberimu waktu, namun apa yang ku dapat!? Aku hanya mendapatkan barang layu, sementara 'Dia sudah disini! Kau tau Dita! Dia adalah Customer berpengaruh (Geram). Jika dia setuju bekerja sama dengan kita, kita dapat memanfaatkan uangnya untuk mencari pelacur dan memperbesar Clubing ini. Namun jika begini keadaannya, tempat ini sebaiknya gulung tikar saja. Sudahlah bau, tidak terawat, bahkan pelacurnya juga sudah basi! AAAAA SIAL! Anggap kontrak kita selesai sa-! "
Tok!!!! Tok!!!! Tok!!!!!
"Siapa lagi itu! COME IN! " Bentak Golern langsung membuang puntung rokoknya ke kepala Dita yang refleks melindungi kepala dengan kedua tangan penuh bercak darah.
Cklek!
"Permisi" Cicit Seren membuka pintu bercat coklat, tak luput kini ia juga menunduk dalam seraya membawa baki.
"K-kamu." Gumam Dita.
"Hmmm?" Golern langsung menatap sinis ke ambang pintu, dimana Seren kini masuk dengan tersenyum manis.
"Hmph!" Golern tertarik. "Masuklah nak." Ucap Golern langsung ternyum misterius.
"Terima kasih tuan." Melirik kiri kanan.
"Permisi." Cicit Seren berjalan masuk dan langsung berjalan ke arah Golern yang memberikan ruang bagi Seren untuk meletakkan baki.
"S-Seren?" Gumam Dita tak percaya menatap gadis itu yang malah tersenyum manis meletakkan minuman Golern ke meja.
Dita tau, gadis ini bernama Seren anak Ririn. Sedikit penjelasan peraturan, bahwa semua hal dan apapun tanpa terkecuali harus diketahui oleh mami, termasuk anak dari 'anak didik' yang di asuh.
"DITA!!!" Panggil Golern masih memfokuskan matanya menatap Seren semakin dekat.
"I-iya tuan Golern?" Ucap Dita terbata. Ia langsung berdiri dari rasa sakitnya, tak memperdulikan jika serpihan beling akan menusuk kulit-kulit berlumuran darah.
Golern berjalan ke arah Dita dan mengajaknya untuk berunding, menjauhi para Wanita penghibur dan Seren yang tidak terlalu perduli.
"Siapa gadis itu?" Bisik Golern tertarik.
"D-diaaaa..." Ucap Dita menegang.
Tiba-tiba ia teringat akan Ririn dan kesepakatan mereka.
'Apa dia menjual anaknya sebagai pengganti dirinya?'
Inner Dita berpikir.
"DITA!" bentak Golern memukul punggung Dita kasar.
"Ah! I-iya tuan Golern."
"Aku ingin gadis itu besok pukul 23.00 WIB di Perverted wings. Apa bakatnya?" Tanya Golern menuntut.
"D-Dia pu-"
"Kau tidaklah gagap Dita, berbicaralah dengan jelas. Kau pikir aku psikiater orang dunguu!" Bentak Golern marah.
"Dia..... (melirik Seren yang menatapnya) SEREN KEMARI!" Perintah Dita membentak Seren yang langsung gemetaran.
"I-iya mami?" Jawab Seren bergetar, ia mencoba mengingat panggilan untuk wanita itu.
Seren berjalan perlahan, sedikit menunduk malu.
"Besok kau harus ikut mami!" Hardik Dita memandang Seren yang semakin menunduk dalam.
Seren terkejut, ia tak mampu mengeluarkan kata atau sekedar ekspresi tambahan di wajahnya yang sudah menegang takut.
"Hmph! (meraih dagu Seren) Cukup manis... Kau bisa masuk kriteria." Gumam Golern mendekati wajah Seren dan memperhatikannya lamat.
"Baiklah Dita hubungi aku untuk bakatnya, dan pakaiakan dia pakaian yang layak. Aku tidak ingin melihat dia tampil seperti ini." Menunjuk Seren jijik.
"Seperti gembel." Lanjut Golern menghina.
Setelah kepergian Golern, Dita langsung menghampiri Seren.
"Apakah kau sudah diberitahu oleh Ririn?"
"Apa?" Tanya Seren balik, ia tidak mengerti.
Dita berpikir sejenak "Sudahlah, besok ikut mami ya Seren." Dita mengelus pucuk kepala Seren lembut kemudian berlalu.
"Semuanya bubar dan kembali ke Club. Ayo buba-bubar." Perintah Dita menggerakkan tangannya mengusir.
.......
.......
.......
.......
...Tbc...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!