Dikelarutan malam Jumat yang khidmad.
Sepasang anak manusia berusia senja, baru saja meneguk manisnya madu asmara.
" Hidup menuju mati, hanya saja diantaranya berbunga kisah- kisah.
Jika aku harus mati aku ingin mati dipelukanmu.
Memetik terakhir wangi tubuhmu. " Ucap Rendra setelah pergulatan hangat diranjang kesayangan mereka dengan istrinya, sembari menciumi sang bidadari
berulangkali.
" Sepertinya kau lagi plegiat puisi orang untuk merayuku sayang..." protes sang istri.
" Bukan plegiat sayang...tapi aku sengaja mengutip karya Iyut Fitri, penulis puisi zaman kita remaja dulu. " jawab Jujur Rendra.
" Ngak kreatif bangat sich...Ternyata setelah senja, kreatifitas rayuanmu makin
melemah. " sewot Citra.
" Dari dulu memang aku tak pintar merayu, tapi tetap saja diriku bisa mendapatkan apa yang kumau. " Sarkas Rendra.
" Isss! Karna kau tak merayu dengan kata, tapi menggoda dengan perbuatan." Cibir sang istri.
" Bukankah istriku lebih suka perbuatan daripada perkataan. " Balas Rendra tak mau kalah.
" Iya.. Bahkan keturunan penjajah sendiri berhasil kau jajah. Mengalah dan pasrah dalam kungkunganmu sampai beruban. " Citra.
" Tu ngaku sendiri kan? Jadi tak usah melawan lagi, semua sudah nyata, kau hanya milikku saja sejak tahu kau wanita." Ujarnya lagi sembari mainkan bibir mungil Citra.
" Bukan milik sayang...tapi pasangan, aku
pasanganmu, kau pasanganku. Pemilik langit dan bumi telah menetapkan kita berpasangan. " Jelas Citra.
" Iya dech.. aku tak tahu berkata benar, tapi aku jago bercinta paling benar. He..He " kekeh Rendra kembali mengungkung istrinya.
" Mau apa lagi? " tanya Citra menautkan kedua Alisnya.
" Suut...Diamlah...aku ingin menghabisi jatahku didunia. Esok jika aku kembali aku boleh pergi dengan senyuman." ucap lirih Rendra.
" Ngomong apa sih? Badan masih sehat walafiat gini, bilang mau pergi." Sanggah Citra.
" Mumbang jatuh kelapa muda dan tua jatuh sayang...Aku tak mau terlalu peot menghadapi malaikat, Apalagi sampe sudah bersabut hitam, aku ingin kembali dalam keadaan tampan dan penuh senyuman. " Ujar Rendra.
" Aku tak mau! Aku ingin pergi bersama. " kata Citra, aku juga tak mau terlihat jelek
menghadap Allah SWT yang Maha indah. " Jawab Citra tak mau kalah.
" Kalau begitu baiklah...Kita akan kembali bersama, tapi Abang duluan ya, susul selangkah setelah itu. Abang akan merintis dulu jalannya. " Kata Rendra lagi. " Kemudian hening , tak ada lagi perbantahan, yang terdengar hanya suara- suara ambigu.
Satu jam kemudian mereka pergi mandi bersama, Setelah saling memandikan dengan air hangat, kedua pecinta itu membersihkan diri masing- masing.
" Wuduklah..kita sholat malam berjamaah Wada' " titah Rendra setelah melihat istri sudah memakai kimono mandinya.
" Citra tak membantah, iapun segera mematuhi perintah suami. Setelah berudu' iapun keluar duluan.
Rendra menyusul keluar setelah dua menit berikutnya.
Dikamar, Citra sudah menggelar sajadah panjang untuk mereka berdua.
Hanya butuh beberapa detik kemudian, mereka sudah mulai menunaikan Jamaah Sunnah itu. Nampak khusuk sang pecinta itu menyerahkan jiwa dan raga pada sang penguasa. Tidak tahu apa yang mereka pinta dipenghujung sujud itu pada sang Pemilik, yang nampak mereka begitu pasrah, sangat menyerah, dari raut itu, tiada terlihat lagi
kecintaan pada dunia. Seolah seluruh cinta telah habis tertumpah ruah pada sang pemberi Cinta itu.
Pagi hari menjelang siang, Istana itu sudah dipadati oleh ribuan massa yang datang berbondong- bondong untuk melihat sendiri kepergian generasi ketiga pewaris bisnis Almarhum MR. Kim itu, yang katanya pagi menghadap sang pencipta usai shubuh berjamaah dengan keluarga besar.
Tangis pilu keluarga tak dapat dihindari. Siapa yang tidak akan histeris, Daddy kemarin segar bugar, pagi masih bisa jadi Imam, terus usai berdoa minta dipeluk istri didepan anak dan cucu. Selang berapa detik setelah itu ia sudah meregang nyawa dalam pangkuan kasih tercintanya, setelah dibimbing sang Istri mengucapkan Shahadah Tauhid dan sahadat Rosul.
Belum lagi Boy percaya akan kepergian Daddy yang tiba- tiba. Mereka dikejutkan lagi oleh rebahnya sang mommy.
Sonia yang masih bermukena memangku sang mommy. Melihat bibir mommy yang
bergetar, namun senyum terhias dibibir yang masih terlihat seksi diusia menjelang kepala enam itu.
" Ma- Maafkan kami sa-sayang...tidak bisa me..nung..gumu de..wa..sa. " Ucapnya terputus- putus.
" Assadu...Alla ila ha Illallah...Wa...Ashadu Anna Muhammad Rasulullah..." Ucapnya lirih dan terbata sebelum memejamkan mata.
Sontak teriak Histeris bergema dirumah istana itu.
Sedang Sonia bergetar hebat memeluk Mommynya.
Boy panik mendekap sang Daddy. Bella pingsan.
Sedang Raisa berkali- kali menyebut nama Allah dengan berurai airmata, kemudian ia mulai mendoakan kedua orang tuanya.
Alfiano Rehan menelfon dokter, kemudian kerabat yang lainnya.
Entah bagaimana berita besar ini menyebarnya dengan cepat, hingga hanya dalam satu jam saja rumah istana itu sudah dipadati oleh massa. Mulai kerabat dekat, orang ternama, awak media, sampai orang biasa datang berbindong- bondong.
Untuk menyaksikan dan menghantar pasangan mesra jelang senja itu ketempat peristirahatan terakhir mereka.
" Bagaimana bisa begitu? Kok bisa menghadap barengan kayak Romi dan Yuli? Apa mereka minum racun bersama? " Ujar tanya mulut yang tidak tahu aturan.
" Hei! Kalau ngomong jangan sembarangan! Sekarang memang zamannya orang pergi mendadak, ngak pake sakit pada pergi aja. " Timpal yang lain.
" Iya! Memang sepertinya tanah sudah meminta banyak asal tanah balik ketanah akhir- akhir ini. Ada yang diisukan Korona, sakit dadakan dan bermacamlah. Tapi kalau Pergi bersamaan dengan pasangan tanpa karna kecelakaan, ini baru terjadi. " Kata Seorang pria paruh baya.
" Di- sini akulah yang paling sa-sakit! Sejak dari kakeknya aku layani, hingga beranak cucu, napasku sudah satu- satu, malah duluan pula mereka dari aku. Hik...hik..." Isak Joko disela nafasnya yang sesak.
" Jadi bapak bekerja sudah lama diistana ini? " tanya pria yang membawa kemera.
" Iya nak...Sejak tiga turunan, malangnya bapak masih menjadi saksi kepergian mereka. " Jawab Joko sendu.
" Jadi mereka tidak keluarga pecandu. " tanya selidik wartawan muda itu.
" Tidak! Bahkan sampai anak- anaknya tak kenal minuman apalagi barang haram itu. " Ujar Tegas Joko, karna marah majikannya dituduh yang bukan- bukan, asmanya tiba- tiba hilang.
Berikutnya desas- desus itu berhenti. Orang fokus menunggu kedua mayat memakai harta terakhirnya yang boleh dibawa menuju alam barzah. Selimut putih tujuh lapis, itulah pakaian terakhir dan yang terindah bagi akhir hidup seorang keturunan Adam As, Umat Muhammad SAW. Namun walau begitu, hati yang bersih akan terpancar dari wajah mereka yang pergi dengan menyebut nama Allah tersebut. Nampak
wajah mereka tetap indah, walau Arwah telah menghadap Illahi.
Tangis orang yang ditinggalkan tak dapat
dihindari.
Bahkan bumi turut bergetar hebat.
Terjadi gempa mengguncang tanah kelahiran Citra.
" Apa mommymu tidak akan dibawa ketanah kelahirannya Boy? " tanya Sang Imam Mesjid sekali lagi setelah kedua jenazah disholatkan, sebelum dibawa kepandam pakuburan.
" Gimana mereka bisa dipisah pak...Sedang pergi saja mereka ingin bersama. " Ujar Boy dengan berlinang airmata.
Kemudian semua terharu lagi. Sampai keduanya dimasukkan ketempat peristirahatan terakhir dan ditimbun
Dalam liang berbeda namun bersebelahan.
Usianya masih Lima belas tahun saat ini, ketika Tuhan mengambil kedua orang tercintanya. Sonia tak menangis seperti para kakak dan ponakannya, tapi airmatanya jatuh kedalam, dukanya terlalu besar.
" Nasipku yang terlahir diujung masa orang tuaku, mereka tanpa kasihan meninggalkanku sebatang kara. " Gumamnya lirih.
Bagaimana menyalahkan takdir, karna takdir itu sudah ketentuan yang tak terelakkan. Orang hanya bisa merobah nasip dengan berusaha dan berdoa. Sedang takdir sudah dipastikan sejak seorang dalam kandungan.
" Sayang...Kamu masih punya mami dan papi. " ucap Sendu Anjani melihat luka tanpa airmata diwajah putri kecil besannya.
" Iya mi...hidup menunggu giliran, bila akhirnya mami dan papi kembali pula, tetap aku akan ditinggal. " Balas sendu Sonia.
Anjani tercekat, bibirnya tak dapat menghibur lagi. Sebagai gantinya ia hanya mengusap lembut pundak mungil itu.
Sebulan setelah kepergian mommy dan Daddy. Belum ada yang bisa bicara selain dari Anjani pada Sonia. Itupun selalu dijawab dengan irit sekali.
Remaja mungil yang biasanya ceria itu sekarang jadi pendiam kalau dirumah.
Setiap sore ia punya kebiasaan baru, selalu berjalan kaki menyusuri trotoar tanpa mempedulikan penampilannya.
Anak perempuan yang dulunya mengaku sebagai Diamon princes itu, sekarang seakan lupa kalau ia seorang perempuan,
jangankan nyalon seperti biasa, ngoles bedak kemuka saja ia lupa. Kini kulit putih bersihnya nampak kecoklatan dan kasar. Bahkan jerawat kecil- kecil mulai berani menyentuh pipi yang biasa mulus itu.
Sudah sebulan juga ia tidak pergi sekolah. Mengurung diri dikamar kalau pagi. Setelah sore barulah ia pergi mejeng, tanpa
tertarik diantar oleh sopir dengan salah satu mobil mewah yang berjejeran diparkiran istana keluarganya.
" Yah...bicaralah pada mimi...Tiap hari bu guru nanya terus mengapa ia belum masuk juga." Usul Bahar teringat ceramah panjang guru wali kelas, setiap kedua remaja putra itu memberi alasan Mimi mereka belum bisa sekolah karna masih berkabung.
Boy menarik nafas berat sembari menatap wajah sendu adik kecilnya dari layar ponsel yang terhubung dengan kamera CCTV yang ia pasang dikamar sikecil.
Melihat Ayah masih diam, Bahripun menimpali." Hidup terus berjalan yah...bagaimana bisa Mimi terus bermenung. Sebagai Ahli psykologi, tidakkah ayah ingin menyembuhkan adik sendiri? " tantang Bahri pada Boy.
" Iya nak..Ayah tentu takkan diam saja membiarkan kesedihan Mimi Kalian. Tapi luka yang berdarah kadang lebih mudah disembuhkan ketimbang Luka dalam tanpa bekas yang jelas." Ucap lirih Boy sembari berfikir.
" Jadi luka Mimi terlalu dalam ya yah...Hingga tangisnyapun tak keluar. " tanya selidik Bahri.
" Iya nak...Tapi sejauh yang ayah selidiki, Mimi kalian tidak melakukan hal yang menyimpang untuk membuang sedihnya. " Ujar Boy sembari memeluk pundak kedua putranya.
" Iya yah...Kalau menyimpang tidak! tapi ia melupakan kalau ia masih anak sekolah, sekarang ia malah hobby jalan sore dengan tampilan gadis gembel. " Sungut Bahar teringat Sonia yang sering
keluyuran sore dengan berjalan kaki.
" Iya nak...ayah tahu itu. Tapi ayah lihat ia jalan- jalan sembari berbagi makanan dengan anak jalanan. " Jelas Boy yang sudah memata- matai kegiatan sore adiknya.
" Tapi kapan Mimi balik sekolah yah?Gimana cara kami membujuknya." Rengek Bahar yang sudah merasa malu tiap hari dapat ceramah dari wali kelas mereka.
" Tak usah membujukku! Besok aku mulai
sekolah. " Ujar suara lantang datang
dari arah pintu.
Boy tersenyum melihat keterkejutan kedua putranya, sedang ia sendiri sudah melihat adiknya berjalan menuju ruangan ini.
" Benarkah Mimi !!! " teriak serentak Twins Boy sembari berlari mengejar Sonia dengan maksud memeluk tubuh kecil sang Onty yang mereka panggil Mimi.
" Jangan rebutan Ah! Biasakan budaya Antri." Ujar sang Mimi dengan senyum tipis.
" Ok' Bos! " ucap patuh Bahri sedikit menyingkir untuk membiarkan Bahar sang Abang memeluk duluan.
" Akhirnya senyum princes kembali walaupun irit . " Ucap senang Bahar sembari mengurai dekapannya.
" Iya mi...senyuman Mimi obat sakit gigi Abang. " Seloroh Bahri dengan buru- buru mendekap sang Mimi.
" Sakit gigi lebih ngeselin dari sakit hati lho mi... Melihat Mimi mayun terus, ulat gigiku pada blingsatan. " Timpal Bahar kemudian.
" Apa hubungannya senyumku dengan gigimu! Masalah gigimu , salah sendiri malas gosok gigi sebelum bobok, rasain tuh gigi diopok opok sama ulat jorok. " balas Sonia.
" He...He. Adalah...Senyum Mimi rasa saingan bagiku, kalau Mimi rajin senyum , akupun akan semangat gosok gigi. " Ucap sembarang Bahar.
" Terserah mulah...yang nanggung sakit bukan Mimi! " Ucap Sonia dengan mencibir.
" Pokoknya senyum dong...tanpa senyummu dunia hampa. " Rayu Bahri yang langsung dapat jitakan dari sang Mimi.
" Jangan mencederai otak berhargaku ini lho Mimi. " protes Bahri dengan wajah dibuat memelas , diusapnya kepalanya itu berulangkali.
" Makanya jangan banyak bacot kamunya! Simpan gombalanmu itu, sampai ketemu gadis pilihanmu dikemudian hari. " ujar Sonia sembari bersiap hendak pergi.
" Bisakah kami ikut denganmu Mimi? " tanya Bahar setelah sang Onty berjalan beberapa langkah
" Kalian hanya boleh jadi pengawal disekolah, kalau dunia luar, biarkan aku melebarkan sayapku sendiri." Sarkas Sonia yang spontan membuat kedua ponakan cucumutnya surut bak kucing ditabok tuannya.
" Sudah Ayo kita tanding main badminton! ! soal Onty tenang aja, ada orang suruhan ayah yang selalu mengawalnya dari jauh. "Ajak sang ayah dengan berbisik.
Kedua remaja itu manggut- manggut, lalu mulai bersiap ganti baju , mengambil Raket andalan masing- masing untuk menjawab tantangan sang Ayah dilapangan bulu tangkis keluarga.
Sedang Sonia mulai lagi dengan pertualangan sorenya. Disaksikan sinar Surya yang mulai meredup dengan warna jingga yang berangsur- angsur menepi ke keufuk barat, Sonia melangkah santai menyusuri pinggiran jalan.
Sepanjang trotoar ia terus berfikir, bagaimana ia mengisi hidupnya kedepan, agar ia bisa mendapatkan tempat meluapkan kasih sayang pada mommy dan Daddy yang masih terbengkalai.
Sonia berjalan kemana kakinya membawa, sekilas terlihat gadis mungil itu seperti OSB ( Orang stres Baru )
Tapi setelah orang bertegur langsung dengannya, barulah orang tahu, remaja ini memiliki kepribadian yang uniq.
Apa yang terlihat aneh dan tidak enak dipandang matanya, ia akan segera memeriksa. Jika ada sampah atau halangan dijalan, ia akan mengutipinya.
Bila melihat ada orang yang perlu dibantu, ia takkan segan menyingsingkan lengan baju untuk menolong , tak peduli kalau tubuhnya akan kotor dan wajah putihnya berubah kemerahan.
Semakin sering ia berjalan, semakin banyak kejanggalan dan ketidak seimbangan kehidupan di Ibukota yang ia
temukan, membuatnya makin merasa hidupnya selama ini terlalu mewah, apapun yang diinginkan bisa didapatkan dengan mudah.
" Aku seharusnya bersyukur, hidupku dan keluarga jauh dari kata susah, hanya mommy dan Daddy saja yang sudah tiada, selebihnya apapun bisa kudapatkan dengan mudah." batinnya.
Sonia bertekad untuk sekolah lebih baik lagi. Ia teringat pula dengan kegiatan sosial yang selama ini Mommynya kelola. Ia mulai mengunjungi panti setiap balik dari sekolah.
Melihat para lansia yang dititip dipanti kadang terlihat sedih dan butuh teman bercerita, Niapun memutuskan untuk lebih dekat dengan mereka.
" Aku tak punya kesempatan merawat mommy dan Daddyku karna mereka pergi dalam berkesehatan, maka aku akan menganggap mereka dipanti sebagai tempat membagi kasih sayang yang belum tersalur ini. " tekad hati Sonia.
Suatu malam, Usai makan malam bersama. Sonia menarik nafas panjang sebelum menyampaikan keinginannya.
" Bagi Sonia warisannya bang... Sonia mau meninggalkan rumah ini. " ucapnya pelan namun bernada mantap.
Boy tersenyum sembari menatap Sonia dengan lembut. Sedang yang lain pada mengerutkan dahi.
" Apaan si Mimi, masih kecil sudah berani minta warisan segala. " Batin Bahar, ia menatap miminya dengan kedua Alis menaut.
Sedang Bahri santai saja, melihat cahaya muka ayahnya yang biasa.
" Sonia...adik masih lima belas tahun lho, belum bisa menerima tanggung jawab, belum boleh lepas dari pengawasan kami sebagai penyambung kasih Mommy dan Daddy. " Ucap Bella masih bingung dengan permintaan tak terduga Sonia.
" Adik mau ke Sebrang atau kepanti? " tanya Boy membuat yang lain makin bingung.
" Aku mau kepanti bang..Sejak mommy tiada, panti tidak terkelola dengan baik. Aku ingin tinggal disana sekalian bantu kelola. " Ucap mantap Sonia.
Boy berfikir sejenak, lalu senyum lembut terukir dari bibirnya.
" Tak perlu membicarakan warisanmu dulu. Abang akan memperbaiki fasilitas disana, Abang juga akan memberikan black Cart untukmu yang bisa digunakan kapan dibutuhkan, tapi awas! hanya boleh dipakai untuk keperluan penting." Ujar Boy santai.
" Apa Sonia yang masih kecil sudah bisa diberi kartu itu sih yang? Gimana kalau ia gunakan untuk hal yang tak pantas, mengingat usia remaja adalah usia yang labil. " Ujar Bella mengingatkan suaminya.
Boy menatap istrinya, tangan kanannya meremas jemari Bella, Bella tertunduk karna semua mata terarah pada mereka.
" Sonia memang masih kecil sayang...tapi ia akan berada dilingkungan
anak yatim dan Lansia, otomatis ia akan belajar dewasa, karna ia tinggal dilingkungan tak biasa." jawab santai Boy.
" Heran juga mengapa ni anak malah milih kepanti ketimbang dirumah. Padahal sikapku selaku kakak ipar ngak keras amat. " Batin Bella bertanya- tanya.
" Tapi Nia masih kecil yang...Gimana boleh dilepas tinggal ditempat para Jompo itu, daripada disitu mending dimansion mami, di Bandung atau disebrang kalau ngak betah disini." Ucap Bella masih tak rela adik kecilnya mengasingkan diri.
" Mending jaga mami dan papi aja dirumah! " usul Willi yang baru tiba dengan Anjani.
Sonia segera turun dari kursi makannya, lalu melangkah lebar untuk menyambut Anjani dan Willi sembari menyalami keduanya.
" Sonia akan bagi waktu untuk mami dan papi sekali seminggu, tapi mami dan papi
harus datang buat bantu Sonia dipanti tiap hari minggu. " Pinta gadis kecil itu dengan senyum semanis mungkin.
Orang - orang terdiam, mendengar permintaan sonia, tapi tidak dengan Willi, ia malah menjawab dengan santai.
" Apa salahnya, kalau Sonia sanggup hidup dipanti tiap hari, bagaimana papi dan mami tak bisa tinggal seminggu sekali. " Jawab Wiliam
Sonia tersenyum lebar, akhirnya ia bisa mulai mewujudkan keinginannya tanpa ada keraguan. Saking senangnya ia menciumi Anjani dan William. dengan berjinjit. " Benarkah? Nia tunggu mami dan papi dengan senang hati. " ucapnya dengan wajah cerah.
Boy senang melihat senyum adiknya telah kembali.
" Pokoknya sekolah tetap yang utama! " tegas Boy kemudian.
" It, s Ok' Mr.." Jawab mantap Sonia.
Sonia berlari kecil menuju kamarnya, disusul oleh mami dan papi, mereka membantu Sonia berkemas untuk esok.
Usai subuh, Bella bergegas kekamar Sonia. Bella masih belum puas dengan hasil kesepakatan adik dan suaminya semalam.
Bella masih ingin mencoba berbicara empat mata dengan adik iparnya itu, Ia tidak yakin melepas
remaja sebaya putra kembarnya itu hidup
lepas diluaran, menurutnya Sonia terlalu muda untuk bergelut dengan kehidupan sosial. Bella tak ingin adik suaminya itu terlalu dewasa sebelum waktunya, tidak rela pula gadis itu mengubur masa mudanya dengan bergelut dengan para lansia.
" Apa kakak nampak menakutkan sehingga adik tak betah tinggal bersama? " tanyanya dengan wajah memelas setelah berdua saja dengan Sonia dikamar putri bungsu yang sekarang yatim piatu itu.
" Tidak kak...Kakak menurutku bunda terbaik, kakak ipar terhangat." Jawab lebay Sonia.
" Trus mengapa ingin jauh dari kakak? Kakak malu Nia, kalau sampai orang tahu, istana kita sebesar ini, ada rumah juga dikawasan pondok indah, ada mansion mami yang besar, tapi adik sendiri memilih tinggal dipanti." Cerocos Bella dalam kekalutan.
Sonia tersenyum sembari mengecup pipi Bella. " Jangan fikirkan apa yang orang akan kata kak...sekarang tanya hati kakak sendiri, apa pernah merasa menyakiti Sonia. Kalau jawabannya tidak ada, maka tenangkanlah hati kakak. Keputusan Nia ini tiada hubungannya dengan siapapun atau marah dengan apapun, Nia memutuskan tinggal dipanti atas keinginan sendiri, karna Nia pengen
berbagi kasih sayang dengan anak yatim piatu sekaligus para lansia. " Sonia.
" Apa tidak bisa dengan berkunjung harian saja? " tawar Bella lagi.
" Berkunjung hanya ibarat tamu kakak.. aku tidak mau jadi tamu, tapi aku ingin jadi bagian dari mereka. " Kukuh Sonia.
Bella kehabisan kata, lalu dengan kesal bercampur gemas ia mencubit hidung Sonia. " Anak bandel! Ngak bisa dibujuk sedikitpun, ngak tahu orang malu dengan keputusan anehnya, masih bau kencur sok dewasa. " Cerocos marah Bella.
" He...He...Kalau cinta jangan malu apalagi sampe marah kakak...." Ucap bujuknya pada Bella.
Bella mengangkat bahu, menggigit bibir bawahnya, sungguh ia baru kali ini merasa kalah debat hanya karna seorang yang masih dianggapnya Bocah.
Dengan langkah lemah, iapun meninggalkan kamar Sonia.
" Sonia izin pulang sekolah langsung kesana ya kak..." Pamit Sonia kemudian.
" Mau berkata apa juga, keputusanmu akan tetap sama kan bocah tengik! " Geram Bella.
" He...He...
Panti RC kasih adalah yayasan sosial yang didirikan oleh Rendra dan Citra. Bangunan besar bertemu dinding, seperti rumah kembar yang dibangun di atas tanah seluas 100 x 50 Meter, ini melambangkan kisah hidup pasangan ini. Gedung penampung Lansia melambangkan kecintaan Citra pada orang tua. Sedang Panti penampungan anak yatim piatu, dibangun untuk mewujudkan rasa sayang Rendra pada anak yatim piatu, karna Rendra sudah yatim piatu sejak Bayi.
" Sudah mantap tinggal dengan para Jompo Mimi? Tidak takut tubuhnya ketularan bau tanah." Goda Bahar saat mobil mereka menuju kawasan panti RC kasih, tempat yang akan dijadikan rumah bagi Mimi mereka next Time.
" Apa kau membayangkan mereka tidak terawat Bahar? Mereka dirawat dengan perawat handal, dibedakin, dipopoin, dan dilatih kebugaran standar kemampuan. Mereka terlihat seperti bayi besar yang lucu, punya tempat tidur mewah dan kamar mandi istimewa, jangan bayangkan nenek Kumal dijalanan. Almarhum nenekmu, menggunakan seluruh hasil perkebunan sawitnya dikampung untuk pengadaan fasilitas dan mencukupi biaya operasional panti itu. " Jelas Sonia.
" Tetap saja Mimi tidak akan menemukan pacar disana! Atau Mimi tertarik pada mantan CEO yang sudah disiakan oleh keluarganya karna sudah tak berdaya. " Timpal Bahri.
" Memang! Mimi tertarik pada orang tua itu, tapi bukan untuk dijadikan pacar, tapi dijadikan teman bercerita, mereka pasti punya banyak kisah masa lalu yang seru. " Jawab Sonia berbinar.
Bahar mengerling nakal pada sang Mimi.
" Atau ada diantara perawat para lansia atau anak yatim piatu disampingnya yang
sudah memikat hati Mimi. " Tanya selidik Bahar yang langsung dapat hadiah jitakan dari sang Mimi.
" Kecil- kecil mikirin pacar kalian ini! Awas tak bilang ayah kalian buat disunat untuk kedua kali! " Ancam Sonia dengan wajah serius.
" Ngak Ahh! Yang sekali aja pedihnya minta ampun. " Jawab polos Bahri.
" Makanya jangan mikirin jodoh- jodoh segala, fikirkan saja sekolah kita dulu. " Nasehat sang Mimi.
Kedua anak lelaki itu mengangguk patuh.
Tanpa terasa mobil mereka sudah berada didepan panti.
Seorang ibu setengah baya datang menyambut Sonia, disusul dua pria muda bertubuh atletis.
" Selamat datang nona kecil. " Ucap lembut ibu itu.
" Makasih umi.." Ujar Sonia sembari menurunkan kopernya.
Kedua pria itu dengan cekatan membantu membawakan koper- koper Sonia dengan tersenyum sopan.
Bahar dan Bahri saling berbisik menatap kedua pria yang lumayan itu.
" Jangan bisik- bisik! penasaran keadaan didalam turun saja! " sergah Sonia.
Ok' Mimi! " ucap mereka mulai turun pula.
" Om Wen tunggu disini kalau ngak mau masuk. " Ucap Sonia pada sang sopir.
" Saya nunggu aja non. " jawab Om Wendi.
Begitu menginjakkan kaki didepan panti, kedua mata Twins Boy mulai melirik sana - sini.
Suasana disana cukup sejuk dan hening. Tak terdengar suara anak yatim, atau para lansia. Mereka juga tidak ada yang bermain ditaman yang lumayan asri itu.
" Kemana orangnya Mimi? Apa cuma nenek berkacamata sama dua algojo tampannya itu, apa Mimi tak takut. " Tanya bisik Bahar bak difilm horor.
" Heh! Ini jam istirahat, mereka pada dikamar bobok siang, atau ada yang lagi ibadah. Kau kira mereka lemur yang ngak teratur jadwal mainnya!
Tetap turun curi sayur diladang orang panas- panas gini. Makanya sering- sering kesini, biar tahu betapa apiknya kehidupan mereka." Ujar sonia sembari menyeret kedua ponakannya untuk masuk.
" Nanti kalau kesini lagi, bawa makanan atau cemilan untuk anak- anak yatim disebelah. Ngak suka orang tua setidaknya kalian bisa bermain dengan anak yatim piatu itu, buat jiwa sosial kalian tumbuh kembang. " Titah sang Mimi.
" Baik Mimi! Dengan berat hati kami akan sering main kesini, karna sekarang ini rumah mini disini. " Jawab Bahri.
" Kalau berat hati ngak usah datang. " Sembur Sonia.
" Salah ngomong Gua. " batin Bahri.
Mereka berjalan kedalam menyusuri koridor mengikuti ibu Rahma.
" Cukup luas ruang bermainnya. " Kagum Bahar melihat televisi besar terpampang didinding seperti layar tancap.
Setiap bertemu dengan orang berseragam, selalu menunduk pada Sonia dan Sikembar yang digandeng Sonia.
" Ya... selamat bekerja. " Balas Sonia menjawab salam mereka.
Akhirnya mereka sampai didepan sebuah
kamar paling Ujung.
" Ini kamar untuk nona kecil, sudah Umi siapkan. " kata umi Rahma.
" Kopernya sudah didalam nona! " Ujar salah seorang pria tampan itu, sedang yang satunya hanya menunduk.
" Baiklah...terima kasih. " Jawab Sonia sembari tersenyum.
" Wow...Lumayan kamarnya ada kira- kita seperdelapan dari kemewahan kamar Mimi disana. " Celetuk Bahar langsung melempar diri keranjang.
" Jangan bergolek disitu ! Mending bantu Mimi masukin baju- baju ini kelemari. " Ajak Sonia. Bahri mematuhinya, sedang Bahar terlelap ditempat tidur menengah itu.
Sedang asyik menyusun baju dilemari. Umi Rahma datang lagi." Makan siang udah siap sayang...Ayo makan dulu. " Ajak Umi.
" Apa ada yang tak mau makan
diantara mereka mi? " tanya Sonia.
" Ada non...Pak Tiono sudah seminggu malas makan, karna anak dan cucunya sudah sebulan tak berkunjung. " jelas Umi.
" Baik mi...Biar Nia yang coba bujuk makan kakek Tio." Ujar Sonia sembari mengikuti umi.
" Mimi kami gimana? tanya bingung Bahri.
" Ayo makan siang! " Titah Sonia.
" Bareng nenek- nenek dan kakek tua? " tanyanya lagi.
" Ya ngaklah... kalau kau ngak minat, kan ada ruang makan para pegawai. " Ujar Sonia sembari berbalik untuk menyentil kening ponakannya.
Melihat Bahri menatap Bahar, " Bangunkan dia untuk makan bareng pak Wen sopir kita, siap itu kalian boleh balik!" titah Sonia.
" Baik Mimi! " Jawab patuh Bahri.
Berlanjut...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!