NovelToon NovelToon

Am I Dead?

1

Sebagian orang menggap jika kebahagiaan itu ialah di tengah-tengah keluarga. Tawa bahagia di depan TV ketika makan malam menjadi hal-hal yang ditunggu. Belum lagi menunggu pagi di meja sarapan sembari membicarakan betapa lucunya tingkah adik sebelum tidur tadi malam. Tentu saja semua orang menginginkan momen-momen spesial yagg seperti itu, tidak terkecuali aku.

Suara berita pagi di televisi menjadi pengisi di sela kesunyian yang tercipta semenjak hiruk pikuk ibu di dapur. Sendok demi sendok menu sarapan hari ini kumulai untuk mempercepat melewati pagi yang alot. Tidak ada percakapan yang terjadi di meja sarapan. Ayah sudah pergi untuk bekerja, sementara itu adik lelakiku menyempatkan diri tidur sejenak dengan wajah menempel di atas meja. Ia habis dimarahi ibu karena terlambat bangun untuk pergi ke sekolahnya.

Jam berdenting menuju pukul setengah tujuh. Aku bersiap-siap pergi ke sekolah. Motor yang selalu kupakai sudah dipanaskan tiga puluh menit yang lalu. Tinggal memasang sepatu dan pergi dari rumah ini.

"Jam berapa kamu pulang tadi malam?" tanya Ibu dari dapur.

"Setengah dua," jawabku.

Ia mendecak. "Mau jadi apa kalau selalu pulang jam segitu? Kamu tiru kakakmu itu yang kelakuannya baik, bukan keluyuran jam segitu."

"Dia itu perempuan, Bu. Enggak pantas cewek keluar malam," balasku sembari memasang sepatu.

"Laki-laki maupun perempuan sama aja, enggak pantas masih keluyuran tengah malam. Seharusnya kamu belajar dari dia." Ia menghampiriku.

Aku diam saja, tidak menjawab. Tidak ada untungnya berdebat sepagi ini.

Setiap pagi yang kulalui selalu selalu alot. Tidak ada bahagia yang seperti orang-orang harapkan. Ibu selalu memarahiku dengan segala hal yang kulakukan. Setiap perkerjaan selalu dilimpahkan kepadaku. Kadang aku tidak mengerti, aku ingin seperti anak-anak lainnya yang memiliki kebebasan yang diberikan, melakukan apa saja untuk menikmati masa muda mereka.

Motorku berderu di jalanan kota untuk menyalip kendaraan lainnya. Ada untungnya berteman dengan orang-orang bengkel. Motorku selalu berada di performa terbaiknya dengan segala pengetahuanku dalam merawat motor. Aku mendapatkan itu dari pergaulanku tersebut. Sebenarnya, ada mobil terbengkalai di rumah yang selalu dipakai oleh kakak perempuanku, namun sekarang dipakai oleh ayah semenjak kakak tidak lagi memakai mobil itu.

Kadang aku iri dengannya, ia selalu dilebihkan dalam segala hal. Aku tidak akan pernah lebih darinya, Keluarga selalu memberikan fasilitas lebih yang tidak pernah aku dapatkan. Mobil, uang, sepatu, handphone, dan lain-lain, dan aku hanya memakai sisa-sisa dari yang tidak terpakai. Teman-temannya diizinkan untuk bermain di rumah, sementara itu teman-temanku tidak diperbolehkan dengan alasan rumah akan kotor oleh mereka. Kakak selalu diberi penghargaan setiap kali mendapatkan juara kelas, namun aku tidak pernah diapresiasi dengan segudang prestasiku dalam sepak bola dan bela diri.

Tidak adil rasanya meninggikan seseorang hanya dengan ukuran prestasi akademiknya. Aku juga punya kelebihanku yang tidak kalah unggul. Kejuaraan karate tingkat Provinsi pernah kugenggam. Posisi utama di tim sepak bola SMA Pancasila pernah kurasakan ketika turun di kejuaraan tingkat nasioal. Semua itu hal yang sia-sia ketika keluarga hanya menganggapnya sekadar hal yang menganggu kegiatan belajarku.

Aku tidak membenci kakakku. Aku hanya membenci yang memberikan, yaitu keluarga.

Wajah teman-temanku menatap sedih ketika menyadari jika hari ini merupakan hari terakhirku di sekolah. Benar, aku akan pindah rumah dan Ibu memindahkanku ke sekolah yang lebih dekat. Masih satu kota, namun Ibu melarangku untuk tetap bertahan di sekolahku sekarang. Selain jarak yang jauh dengan rumah baru, ia memiliki maksud untuk menjauhkanku dengan segala pengaruh yang ia anggap akan terus membuatku menjadi nakal.

"Jangan sedih seperti itu. Gue masih di kota ini." Aku menyambut pelukan salah satu teman. "Jangan peluk gue."

"Siapa lagi yang traktir kami kalau bukan lo," jawabnya.

"Setelah gue pergi kemah, kalian bakal gue traktir. Gue janji!" balasku.

Sekolah mendaftarkanku untuk menjadi salah satu peserta kemah. Belasan murid dikirim untuk mewakili sekolah dalam program cinta lingkungan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan setempat. Seluruh SMA di kota akan turut berpartisipasi dalam acara tersebut. Aku menyambut berita itu dengan bahagia. Selain akan pergi berkemah, mendapatkan teman-teman baru sangat menyenangkan. Untuk sementara, aku bisa melupakan suasana keluargaku yang begitu kaku.

"Rayhan, lo tahu enggak kalau teman kita ada yang kena hantam?" kata temanku sembari mengerjakan soal sejarah yang diberikan.

Kepalaku tetap menunduk untuk menjaga guru tidak datang ke meja. Suaraku pelan ketika berbicara kepada Rahmat.

"Siapa?" tanyaku.

"Zaki yang kulitnya keling itu." Ia melihat guru sesaat. "Lo mau bantu? Kita mau serang tuh anak ntar sore."

Aku menggeleng. "Bukannya enggak mau, sih. Gue mau ngindar dari masalah karena mau pindahan sekolah. Lagian, nanti sore gue mau ke sekolah baru. Kepala sekolahnya mau ketemu gue."

"Ya, gitu amat sama kawan. Kapan lagi lo gelud untuk terakhir kalinya buat kami?" Ia tertawa pelan.

"Mat, gue enggak bisa. Udah ada jadwal." Tanganku kembali menyentuh buku tulis untuk menjawab soal sejarah objektif.

Sepulang sekolah, aku lihat teman-teman sudah berkumpul di parkiran untuk bersiap-siap menyerang orang yang mereka cari. Langkahku dipercepat karena tidak enak karena telah menolak ajakan itu. Biasanya, aku selalu ikut. Aku belum tahu siapa pastinya target mereka. Namun, aku sudah pasti yakin kalau bukan dari sekolah kami.

Aku tiba di SMA Negeri Handayani. Baru kali ini aku menginjakkan kaki ke sekolah negeri. Semua berpakaian rapi dengan baju yang dimasukkan ke dalam celana. Tidak ada sepatu berwarna, semuanya hitam. Tidak kulihat satu pun murid yang memakai kaus kaki pendek. Suasana yang jarang kulihat di sekolah yang milik swasta, di mana para murid lebih memiliki sedikit keleluasaan.

"Katanya kamu punya prestasi di karate dan sepak bola, ya?" tanya Kepala Sekolah di ruangannya.

Aku duduk dengan sedikit gugup. Tanganku tidak lepas menggenggam tali tas.

"Benar, Bu. Saya pernah ikut di kejuaraan Provinsi," balasku sembari mengeluarkan semua sertifikat kejuaraan.

Ia melihat lembar demi lembar sertifikat yang kuberi. Kepalanya sedikit mengangguk karena kamu. Kemudian, ia tersenyum.

"Baik, kamu anak yang berprestasi. Saya rasa orangtua kamu patut berbangga atas ini. Tapi, sepertinya kamu tidak bisa ikut kejuaraan lagi karena sudah kelas dua belas. Kamu harus fokus ujian akhir."

Tidak ada ekspresi yang kuperlihatkan. Hatiku miris mendengarkan kalimatnya. Orangtuaku sama sekali tidak pernah menghargai prestasiku.

"Saya mengerti, Bu. Seminggu lagi saya sudah masuk, soalnya saya masih jadi utusan kegiatan kemah." Senyumku sedikit pahit.

Alisnya naik. Kalimatku menarik perhatiannya. "Oh, kamu dari SMA Pancasila, ya? Sekolah kita bakal satu bus nanti."

"Wah, saya senang mendengarnya, Bu. Saya bisa sedikit menambah teman dengan SMA baru saya," jawabku.

Aku menyalaminya setelah mendapatkan izin untuk pulang. Aku tidak ingin langsung pergi. Sekolah ini cukup menarik untuk diteluri. Aku tidak peduli jika aku akan menjadi objek perhatian karena memakai seragam dari sekolah lain.

Seketika terdegar keributan dari salah satu gedung tertinggi di SMA. Seluruh murid berkumpul di lapangan sembari melihat ke atas loteng. Seseorang tengah berdiri tegak di puncak gedung berlantai empat itu sembari bertelanjang dada. Para murid panik dengan teriakan memanggil sepenggal nama.

"Turun goblok!" teriak seseorang di depanku. "Woi, mau mati lo?"

Guru-guru mulai menyadari apa yang sedang dilakukan dengan murid gempal berkacamata dia atas atap genting sekolah tersebut. Ada yang menangis seketika karena melihat anak muridnya tengah mencari ajalnya sendiri.

"Tolong!!!" para guru berteriak pada murid yang lain. "Tolong jemput dia!!!"

Tidak ada yang menghiraukan teriakan guru-guru tersebut. Tanpa kurencakanan, langkahku langsung berlari menuju lantai empat gedung tersebut. Orang-orang di sini terlalu bodoh untuk menunggu orang mati. Tidak ada satu pun yang bergerak.

Kudapati sebuah tangga kayu tegak menuju langit-langit yang telah dibobol. Cowok bodoh itu pasti naik melalui ini. Benar saja, setelah aku naik ke langit-langit atap, sebuah lobang besar terlihat dari genting-genting yang dilepaskan satu per satu. Aku dengan mudah memanjatnya karena tidak terlalu tinggi.

Kedatanganku disadari oleh cowok gempal berkacamata itu. Ia mundur beberapa langkah ketika aku mendekat.

"Woi, bangsat! Bunuh diri jangan di sekolah!" teriakku sembari melangkah dengan hati-hati.

Teriakan murid dari bawah semakin kuat kudengar. Histeris kepanikan terasa akibat kehadiranku.

"Gue mau mati aja! semua orang enggak pernah ngehargain gue!" teriaknya.

"Jangan! Cuma orang bodoh yang mati gara-gara putus asa!" Aku semakin mendekat dengannya. "Gue sama kaya lo. Keluarga gue enggak pernah ngehargain gue. Tapi, gue tetap tegar!"

Beberapa genting jatuh ke bawah akibat langkahnya. Ia sesekali mundur dengan tidak seimbang.

"Berhenti─"

Aku tidak mendengar kalimatnya lagi. Genteng ambruk berantakan. Ia terjatuh ke dalam toilet dengan keadaan terduduk di closet.

"Mampus lo!"

2

Hari yang tidak bisa kuduga karena telah menggagalkan aksi bodoh seseorang. Dari pengakuan murid SMA Negeri Handayani, lelaki gendut berkacamata itu merupakan korban bullying sesama murid di SMA tersebut. Aku paham bagaimana perasaan ketika tidak dihargai, namun aku tidak pernah paham rasa di-bully oleh orang lain.

Malam menjemputku untuk menikmati bulan di balik jendela kamar. Ibu sedari tadi mengomeli diriku pulang terlalu sore. Sengaja aku tidak duduk di meja makan untuk menghindari Ibu yang akan mengungkit masalah-masalah lainnya.

Handphone-ku berbunyi. Terdapat wajah serta nama Rahmat yang tengah menghubungi.

"Tolong!" ucapnya dari balik handphone. "Gue habis dipukulin."

Darahku langsung naik. "Di mana?"

"Depan rumah lo."

Dari balik jendela, terlihat Rahmat sendirian menunggu di depan rumah. Aku langsung membuka pintu dan menghampirinya.

"Siapa yang mukulin lo?" Jemariku menyentuh wajahnya yang lebam.

"Kami tadi abis balasin dendam Zaki yang udah kena hantam sama mereka. Waktu gue pergi ke swalayan, ternyata mereka lagi nongkrong di sana. Gue kena hantam ditempat." Nadanya terdengar rendah. Mulutnya tidak terlalu ingin bergerak karena luka di pelipis.

"Antar gue ke sana sekarang!"

Aku dan Rahmat bergegas menuju ke swalayan yang Rahmat maksud. Tampak segerombol remaja seumuranku yang tengah bermain domino sembari merokok di meja swalayan. Kupinta Rahmat untuk berhenti di jalan, sementara itu aku menghampiri empat orang yang tengah duduk di sana.

Jemariku menarik rokok yang tengah diisap salah satu dari mereka. "Gue dengar lo habis mukulin teman gue rame-rame?"

"Lo siapa?" tanya temannya.

"Gue Rayhan. "

Tanganku langsung melesat ke wajah mereka satu per satu. Meja kuhantam hingga batu domino berserakan. Beberapa kali mereka mencoba menangkapku, namun aku sudah terlatih di karate untuk menghindarinya. Pukulanku telak mengenai mereka. Beberapa kali mereka kubanting. Tidak aku beri ampun walaupun sedetik.

Tangaku berhasil ditahan hingga aku tidak bisa bergerak. Kulihat dengan jelas kepalan tangannya dengan cepat melesat ke wajahku. Pukulan itu tepat mengenai pelipis kanan. Pukulan selanjutnya mengenai hidungku. Tetesan darah mulai kurasakan membasahi bibir ketika mengalir dari hidung.

Rahmat datang dengan waktu yang tepat. Cengkraman mereka pada tubuhku berhasil dilepas. Kesempatan terbaikku tiba ketika mereka sedikit berjarak satu sama lain. Dengan leluasa tanganku menggapai mereka satu per satu tanpa bisa tertahan.

Aku berhasil membuat mereka kabur terbirit-birit. Mereka belum tahu siapa pemegang sekolahku yang sebenarnya.

"Hidung lo berdarah," ucap Rahmat.

"Jangan pedulikan. Ini pertolongan terakhir gue. Gue bakal pergi sebentar lagi," jawabku.

"Thanks."

Tidak sempat aku melihat wajah hingga pagi menjelang. Subuh hari aku sudah begegas mandi untuk bersiap-siap pergi ke sekolah. Terlihat luka lebam bekas berkelahi tadi malam bersarang di pelipis kananku. Mimisan yang sempat menitik sudah menjadi kerak karena tidak sempat aku bersihkan. Tadi malam aku langsung ke kamar karena tidak ingin ditanyai oleh Ayah dan Ibu.

Tas yang kusandang terasa berat karena berisi pakaian dan perlengkapan selama berkemah. Ketika turun ke ruang keluarga, terlihat Ibu yang sudah sibuk di dapur sendirian. Sementara itu, Ayahku memanaskan mobil untuk mengantarkanku ke sekolah. Mereka berdua belum tahu aku pergi ke mana tadi malam. Aku hanya meminta izin sebentar untuk pergi bersama Rahmat.

"Nasi goreng kamu udah─" Ibu melihatku dengan tajam karena menyadari luka lebamku. "Astaga, kamu kenapa?"

"Jatuh tadi malam pakai motor sama Rahmat,' jawabku singkat sembari menyendok nasi goreng.

"Enggak mungkin jatuh dari motor bisa lebam begini. Setidaknya kamu punya luka lecet." Ibu mengangguk. "Ibu tahu, kamu habis kelahi, kan? Di mana? Sudah Ibu bilang─"

Kalimatnya aku hentikan. Aku bosan mendengar kalimat ini berulang-ulang.

"Udahlah, Bu. Rayhan capek dimarahi terus." Jemariku melepas sendok yang kupegang. "Iya, Rayhan kelahi karena Rahmat habis dipukulin sama anak komplek sebelah. Rayhan harus nolongin dia."

"Udah Ibu bilang berkali-kali, jangan berkelahi. Jangan bergaul di bengkel. Jangan main sama anak nakal. Kamu dapat pengaruh buruknya. Teman-teman kamu itu enggak ada yang beres. Rahmat? Dia itu kurang perhatian sama orangtuanya. Makanya dia nakal begitu."

Meja kuhentak. Ibu terdiam sesaat.

"Jangan mengatai teman-teman Rayhan. Mereka orang-orang baik. Mereka selalu ngehargain Rayhan. Yang jahat itu Ibu!" teriakku.

Ayah mendengar teriakanku dari garasi.

"Rayhan! Jangan teriak di depan ibumu!" balas ayahku. Jemarinya menunjuk dengan tegas.

Aku tidak gentar. Sudah menjadi makanan harian beradu mulut di meja makan ini.

"Ini gara-gara kamu latihan karate terus-terusan. Makanya kamu kelahi aja kerjaaannya! Besok, kamu Ibu larang latihan lagi!" balas Ibuku.

Aku menggeleng. "Kenapa? Kenapa Ibu dan Ayah enggak pernah ngehargain Rayhan. Rayhan punya banyak medali karate, namun Ibu dan Ayah cuma nganggap medali itu sebagai logam kosong yang enggak ada harganya."

"Bukan kami enggak menghargai, ini demi kebaikan kamu. Kamu terlalu sibuk dengan hal yang seperti itu. Nilai kamu anjlok karena latihan-latihan terus."

"CUKUP!" Aku berdiri dari kursi. Segera kulangkahi kakiku untuk pergi dari rumah.

"Kamu tiru kakak kamu yang baik itu. Nilainya selalu baik. Selalu menang olimpiade, bukan menang nendang-nendang orang!" teriak ibuku lagi.

Aku berhenti dari langkahku. Sudah lama ingin aku mengatakan ini. Hal tersebut selalu terpendam hingga aku lupa untuk mengucapkannya. Pikiran bawah sadarku berusaha mungkin untuk menyembunyikannya agar tidak keluar demi menghargai orangtuaku. Namun, kesabaranku sudah di ambang puncak. Aku tidak ingin lagi disbanding-bandingkan dengan kakak.

"Kakak itu udah meninggal! Udah mati setahun yang lalu. Rayhan akui kakak yang lebih unggul dari Rayhan. Tapi, Rayhan enggak mau dibanding-bandingkan dengan dia yang udah meninggal!"

Ayah datang menghampiriku dengan cepat. Tangannya melesat untuk menamparku. Bunyi tamparan begitu kuat hingga telingaku berdengung. Saking kuatnya, Adikku sampai terbangun dan melihat dari lantai atas. Aku menangis dan masih berusaha untuk menahan agar tidak mengalir deras.

"Aku enggak butuh keluarga seperti kalian!!!"

Kulangkahkan kaki untuk pergi dari rumah. Setidaknya seminggu lagi aku tidak merasakan suasana seperti ini. Ketika aku pulang, aku tidak ingin tinggal di sini. Aku ingin ke rumah Paman yang selalu mendengar ceritaku. Cukup sudah derita hati yang kutanggung untuk menunggu penghargaan dari mereka.

***

3

Gila!!!!

Pikiranku masih berputar di kejadian mengejutkan kemarin. Seorang murid menjadi perhatian karena berusaha bunuh diri. Aku tidak tahu kejadian pastinya, tapi setelah aku mengiring pria itu ke bawah, ia bercerita bahwa ia mendapat perlakuan diskirminatif dari teman temannya.

Aku masih tidak habis pikir kalau ia melakukan itu. Namun aku sadar jika semua ada batasannya. Kadang aku berpikir bahwa aku bisa melakukan hal bodoh. Setelah itu aku menyadari bahwa inilah yang dirasakan oleh pria yang kutolong.

Lapangan kantor Wali Kota penuh dengan peserta kemah tahun ini. Cita rasa nusantara sangat kental terasa karena seluruh peserta memakai baju batik sekolahnya. Aku dibuat bertepuk tangan ketika peserta lain turut melakukannya setelah Wali Kota memberikan selamat untuk terselenggarakannya kegiatan ini.

Hatiku masih panas karena perdebatan yang terjadi di rumah. Pandanganku tidak sesemangat tadi malam, masih terbayang dengan peliknya hidup yang kualami. Betapa terkekangnya aku di rumah dengan segala tuntutan yang ada. Aku tidak diberi keleluasaan untuk mengatur hidup dan memanfaatkan potensi dalam diriku. Padahal, aku yakin masa depanku akan cerah dengan segala prestasi yang pernah kuraih.

Guru pembimbing mengiring kami ke bus yang akan digunakan. Persis seperti pernyataan kepala sekolah baruku, kami akan satu bus sewaktu perjalanan ke lokasi perkemahaan. Beberapa dari temanku juga sudah menjalin komunikasi dengan mereka sebelum berangkat. Sementara itu, aku tetap menyendiri tidak ingin disapa oleh siapa pun.

Wangi bus pariwisata dengan fasilitas terbaik disediakan demi kenyamanan para peserta. Dinas Pendidikan setempat sangat berbaik hati menggunakan dana untuk kemewahaan ini. Tidak kudapati bau bus yang tidak mengenakkan seperti biasanya. Udara yang panas beralih dengan suhu dingin dari pendingin udara di dalam bus. Kulihat peserta lain yang tersenyam-senyum ketika merasakan empuknya busa bangku yang mereka duduki. Mata mereka berseri-seri ketika terarah ke TV LCD yang menayangkan video klip musik yang sedang booming akhir-akhir ini.

Aku belum mendapatkan tempat duduk. Teman-teman dari sekolahku sudah duduk dengan nyaman karena mereka yang paling cepat masuk ke dalam bus. Bagian belakang sudah pasti kosong karena tidak ada satu pun peserta yang ingin duduk di sana, begitu pula aku. Langkahku terus bergerak dan menyorot setiap bangku dengan berharap ada yang kosong. Harapanku terpenuhi ketika mendapati dua bangku yang kosong, bahkan masih di bagian depan bus.

Musik bus yang membosankan membuatku untuk memilih seleraku sendiri. Aku menghidupkan MP3 pada handphone untuk didengarkan dan menyandar sembari merenungi masalah keluargaku.

Aku enggak butuh keluarga seperti kalian!!!

Mataku kembali terbuka ketika mengingat sepenggal kalimat yang kuteriakkan pada kedua orangtuaku. Rasa bersalah perlahan muncul, namun diriku menolak untuk mengakuinya. Aku paham jika tidak sepantasnya kalimat itu diucapkan. Aku terpaksa karena kegelisahan hati yang kurasakan.

Bangku sedikit bergoyang karena seseorang memilih duduk di sampingku. Wangi tubuhnya menyeruak ketika ia bergeser untuk mendekat. Napasnya sedikit cepat, mungkin saja ia terburu-buru ketika ingin masuk ke dalam bus. Ia tidak menyapa ketika duduk. Aku hanya melihat gerak jemari yang mengikat rambut selengannya itu. Kami sempat menatap sesaat, namun aku tidak bisa mengenali wajahnya yang tertutupi oleh masker.

Tidak seperti yang kuharapkan, aku mendapatkan seorang wanita untuk dijadikan teman mengobrol selama perjalanan. Kembali kusandarkan tubuhku ke bangku untuk menikmati musik MP3 yang baru saja terganti ketika bus baru saja bergerak.

"Perisi, boleh gue minjam handphone lo?" tanya wanita itu.

Seketika aku kaget karena tiba-tiba wanita bermasker itu memulai pembicaraan.

"Untuk apa?" tanyaku balik.

"Gue mau hubungin nomor gue. Mungkin handphone gue ketinggalan." Ia membuka telapak tangan kirinya.

"Oh ini ...," kataku sembari menyerahkan handphone.

Jemarinya berkali-kali menekan layar handphone untuk mengubungi nomor miliknya. Tidak satu pun panggilan yang berhasil diangkat. Di percobaan berikutnya, kepalanya dibuat tegak karena seseorang mengangkat panggilan itu.

"Halo, Mama. Ini Ai, pakai nomornya teman. Handphone Ai ketinggalan, jadi letak di lemari aja ya," ucapnya.

Ucapan terima kasihnya berhasil membuatku melihat wajahnya yang berautkan senyum. Aku tidak bisa melihat bibirnya yang melebar, namun aku bisa menatap matanya yang memicing senang. Setelah itu, tidak ada lagi percakapan di antara kami. Ia tetap menatap ke depan sembari melipat tangan. Sementara itu, aku larut dengan musik yang kudengar.

Dua jam perjalanan sudah kami meninggalkan kota. Jalan lintas mulai menembus hutan belantara dengan tebing tinggi di sisi kanan dan jurang di sisi kirinya. Bus tidak sanggup melaju seperti biasanya karena jalanan mulai menanjak. Kendaraan lainnya mulai berjejer di belakang untuk menunggu bus berhasil menanjak.

Sungguh indah pemadangan yang mencekam ini. Mata kami dimanjakan dengan hamparan hutan di bawah sana dan perbedaan struktur bebatuan yang mencolok dari tebing di sebelah kanan. Masing-masing dari kami mendekatkan wajah ke jendela untuk bisa melihat dengan jelas sembari berdecak kagum akan keindahan.

Senyumku melebar untuk sesaat. Sudah lama aku tidak melihat pemandangan ini semenjak berlibur bersama keluarga bertahun-tahun yang lalu. Kakakku yang paling antusias dengan pemandangan yang seperti ini. Ia memperkenalkanku dengan hutan hujan yang sedang kami lihat, menjelaskanku dengan gumpalan awan putih yang terang, serta kenapa daerah pegunungan memiliki udara yang dingin. Sayangnya, hal itu sudah hilang. Aku juga tidak berharap untuk mengulanginya kembali.

"Seram banget di bawah sana." Kepala wanita itu mendekat untuk melihat pemandangan.

Aku sedikit menjauhkan kepalaku.

"Bagi gue indah," balasku dengan singkat.

Decak kagum yang kudengar sedari tadi terdiam begitu saat. Kepala kami dibuat tegak dengan apa yang sedang kami hadapi. Setiap pasang mata melotot ketika menatapnya. Aku bisa merasakan waktu terasa lambat, walaupun sebenarnya tidak lebih dari tiga detik. Teriakan penumpang bus bergemuruh dengan diiringi tangis yang berderai seketika.

Sebuah truk tepat berada di depan bus kami ketika aku menoleh untuk melihat apa yang sedang mereka perhatikan. Wajah panik dari wanita bermasker itu kubalut dengan pelukan untuk melindunginya. Truk menabrak kami dengan brutal hingga bus terguling beberapa kali. Tubuhku berputar-putar sembari merengkuh peluk kepadanya. Yang kudengar hanyalah teriakan ketakukan akan ajal yang menjemput dan suara benturan yang begitu keras.

Pembatas jalan menahan laju bus yang terpental sehingga kami tidak sempat jatuh ke dalam jurang yang dalam. Gesekan kuat dengan aspal terdengar berhenti ketika kurasakan darah segar mengalir di wajahku. Tubuhku sudah terpental hingga ke bagian depan bus yang hancur. Aku ingin keluar, namun tidak leluasa bergerak karena terjepit dengan badan bus yang ringsek.

Dari jemariku yang menyentuh lembut rambutnya, kupastikan ia masih bernapas. Mataku tidak bisa melihat, pandangan yang kusorot seperti buta yang tiba-tiba. Benturan yang kuat melemahkan penglihatanku. Namun, aku masih bisa merasakan wanita itu bergerak dalam pelukanku.

Kembali aku berusaha untuk bergerak di dalam kepala bus yang begitu ringsek. Ketika kusentuh bagian pinggang, terasa jelas benda keras tengah menusuk hingga menembusnya. Sebuah besi dari ringseknya badan bus menusuk bagian kanan pinggang hingga menembusnya. Darah segar yang masih panas menetes perlahan.

Aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Semuaya kebas oleh rasa sakit yang satu-satunya kurasakan saat ini. Sepenggal kata kuucapkan ketika kurasakan ajal mulai menjemput.

"Ibu," ucapku.

Setelah itu, semuanya benar-benar gelap dan sunyi.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!