NovelToon NovelToon

Not Figurann??

Ch 1

Pagi hari...

Salsabilla Rinjania—seorang ibu rumah tangga dengan kesabaran setipis tisu dan suara sekeras toa masjid, berdiri tegap di ambang pintu kamar anak semata wayangnya. Wajahnya campuran antara kasih sayang dan emosi yang sudah siap meledak.

Di dalam kamar, Meera Ziafasa masih tenggelam dalam dunia mimpi. Selimut tebal melilit tubuhnya seperti kepompong, satu kaki mengintip keluar, rambut awut-awutan, dan napasnya masih berat dengan bunyi dengkuran kecil yang teratur.

“ZIA! BANGUN! Jam segini masih molor aja! Kalau gak bangun, bunda siram pakai air cucian piring semalam!” suara Billa menggelegar, sukses membuat burung di pohon depan rumah terbang kabur.

Dari balik selimut, terdengar suara serak pelan. “Eunnghh… bunda jangan rusuh… aku tuh masih nyatu sama kasur...”

Matanya setengah terbuka, memandang jam dinding yang masih menunjukkan pukul 06.00. Ia mendesah panjang.

“Baru jam enam, Bun… serius deh… ini masih jam kucing tidur siang…”

Bunda Billa melipat tangan di dada, tatapannya tajam seperti laser printer.

“Zia, ini hari Senin! Kamu pikir dunia bakal nunggu kamu bangun? Mandi sekarang! Sarapan nunggu di meja! Jangan bikin otak kamu kosong di sekolah nanti!”

Zia bangkit pelan, wajahnya masih lecek kayak tisu bekas. “Iyaaa, iyaaa… Zia bangun nih… jangan drama dong, Bun… baru juga lima detik tidur tadi.”

“LIMA DETIK APA LIMA JAM?!” sahut Billa galak, tapi ekspresi bibirnya hampir tertawa.

Zia berdiri setengah terhuyung, lalu mengangkat tangan seperti menyerah. “Oke, oke. Aku ke kamar mandi. Tapi kalau nanti aku masuk angin, bunda yang tanggung jawab!”

“Masuk angin tuh bukan karena mandi pagi. Tapi karena kebanyakan drama,” sindir Billa sambil berbalik pergi.

Zia memandang punggung ibunya sambil cemberut. “Galak banget.”

Lalu dengan langkah malas dan kaki diseret, ia masuk kamar mandi. Hari baru dimulai—dan seperti biasa, penuh keributan manis antara ibu dan anak.

 

...🌷🌷🌷...

Zia, siswi SMA biasa yang hidupnya damai-damai saja tanpa embel-embel status selebgram atau anggota OSIS hits. Nilai? Lumayan. Popularitas? B aja. Tapi kalau soal kemalasan di pagi hari—Zia jagonya. Sudah kayak atlet nasional kategori rebahan.

Baru saja ia melangkahkan kaki ke gerbang sekolah, suara familiar yang bisa bikin jantung nyaris copot menggelegar dari kejauhan.

“ZIAAAA! BEBEB! GUEEE!!!”

Zia mengerjap, reflek noleh, lalu mendapati sesosok manusia dengan rambut berantakan, tas nyaris jatuh dari bahu, dan semangat yang tidak sesuai jam pelajaran pertama.

Shenaya—sahabat paling rame sekaligus partner keonaran sepanjang masa.

“Yaampun, Shena, suaramu bisa dipake ngusir burung hantu. Aku belum tuli, tau…” sahut Zia datar sambil melipir ke samping.

Shena langsung nyosor, narik lengan Zia sambil mengomel.

“Ya salah kamu! Tadi aku sampe muter-muter di parkiran! Aku pikir kamu diculik alien, Zi! Udah siap-siap mau lapor NASA!”

Zia cengengesan. “Kalau alien mau nyulik aku, pasti mereka nyerah. Belum apa-apa udah disuruh nyuci piring dulu. Capek, Bun.”

Shena manyun sambil nyodorin dagu. "Kamu tuh jahat. Gak nungguin aku. Aku sampe lari-lari kayak extra film horor.”

“Mana aku tahu kamu di mana? Aku bukan cenayang. Aku aja tadi masih setengah sadar pas jalan,” Zia membalas santai, ekspresi lempeng, mata masih ngantuk.

Shena mencibir. “Fix! Aku nih temen yang setia, tapi kamu temen yang misterius bangett. Kadang ada, kadang enggak. Kayak sinyal Wi-Fi.”

Zia menahan tawa, lalu menyikut pelan lengan sahabatnya. “Yah, kamu tetep bestie-ku lah. Mau kamu buffering kek, nge-lag kek.”

Mereka tertawa bareng, lalu mulai berjalan menyusuri lorong sekolah yang mulai ramai. Suara sepatu, obrolan siswa, dan aroma gorengan dari kantin membuat suasana sekolah terasa hidup.

...\...

Setelah aku dan Shena sampai di kelas, suasananya mulai ramai. Beberapa temen udah pada duduk sambil ngobrol, ada yang sibuk ngerjain tugas mepet deadline, ada juga yang pamer baju baru dengan gaya sok artis TikTok.

Aku duduk di bangku tengah. Shena duduk di sebelahku, masih cemberut karena drama parkiran tadi.

Tiba-tiba pintu kelas kebuka. Bu Rina, guru killer Matematika, masuk dengan langkah cepat dan ekspresi yang nggak bisa diajak kompromi.

Matanya langsung mengarah ke aku. Nggak ke orang lain. Aku.

“Zia,” katanya tajam. “Ke depan sekarang. Tunjukkan buku tugasmu!”

Aku berdiri santai, tapi dalam hati udah mulai mewek. Perlahan aku buka tas, berharap ada keajaiban. Tapi—

Kosong. Buku tugasnya hilang entah ke mana. Aku cuma nemu notes isi coretan puisi gagal dan satu bungkus permen.

Bu Rina menyilangkan tangan. “Zia, kamu nggak bawa buku tugas kan? Jadi kamu nggak siap. Keluar kelas sekarang juga.”

Aku senyum polos, padahal jantungku udah lari maraton. “Iya, Bu. Aku keluar dulu ya. Besok aku bawa beneran, janji deh. Seger-seger, bersampul, beraroma surga.”

Shena menutup mulut nahan ketawa, “Yah… Zia emang selalu bawa kejutan.”

Aku menoleh sambil nyengir. “Tenang. Besok aku balikin reputasiku. Beneran deh.”

Bu Rina mengetukkan pulpen ke mejanya. “Keluar. Sekarang.”

Aku ngedip-ngedip beberapa kali, mikir mungkin bisa sihirin suasana, tapi tetap aja gagal. Akhirnya aku berdiri tegak, pasang gaya heroik ala drama Korea.

“Baiklah, Bu. Saya pergi… tapi saya akan kembali. Dengan buku tugas segudang.”

Keluar kelas, Shena langsung nyamperin, tepuk pelan punggungku sambil ngakak.

“Zia, sumpah, kamu tuh ratu drama banget. Tapi ratu drama yang gagal ngerjain PR.”

Aku balas senyum lebar. “Drama itu seni, She. Dan aku? Masih karakter utama di hidupku sendiri.”

... 🌀🌀🌀...

Setelah keluar dari kelas, aku jalan pelan-pelan sambil ngerutukin hidup. Dahi berkerut, mulut komat-kamit kayak nenek sihir kehabisan ramuan.

“Daripada bengong di luar kelas, mending baca novel aja, deh. Cuss ke perpus… Tapi jangan sampe ketauan guru. Bisa mampus beneran gue,” gumamku setengah bisik, setengah doa.

Dengan langkah lincah ala ninja pensiunan, aku langsung ngacir ke perpustakaan di belakang sekolah. Angin di sana adem, suasananya tenang, cocok banget buat pelarian yang berkedok literasi.

30 menit kemudian…

Wajahku yang tadi semangat kayak fans boyband ketemu idol, sekarang berubah drastis. Persis orang yang lagi nahan marah gara-gara paket COD nggak sesuai ekspektasi.

Tanganku udah nepak-nepak sampul novel di meja, kayak ngajak berantem.

“Kasihan banget nih tokohnya, semua pada gila! Cowoknya manipulatif, ceweknya malah bucin nggak logis. Amit-amit punya pacar kayak gini. Jauh-jauh deh!”

Aku ngedumel, mataku masih melototin halaman terakhir yang bikin frustrasi.

“Dan ini nih, si cewek antagonis. Udah tau cowoknya nggak suka, masih aja ngejar. Astaga, kamu cantik, kaya, pinter… ngapain nempelin psikopat? Move on dong, Sis!”

Aku mendengus keras. Rasanya mau lapor KPAI literasi.

“Duh, cukup. Capek hati. Mending pulang aja, sebelum aku masuk cerita dan nyakar salah satu karakter,” ucapku sambil berdiri, masukin novel ke tempatnya, lalu melipir ke parkiran motor.

Dan seperti biasa, hidup Zia — dramanya nggak pernah habis, bahkan di antara tumpukan buku fiksi

...🌀🌀🌀...

Kriet. Brugh!

Akhirnya... rebahan juga!

Begitu pintu kamar tertutup, aku langsung ngelempar badan ke kasur kayak drama Korea yang slow motion. Untung bunda lagi pergi. Kalau sampai dia tahu aku bolos hari ini, bisa-bisa ceramah tiga babak langsung tayang tanpa iklan.

Mataku ngintip ke jam dinding.

"Wah, masih ada waktu. Cukup lah buat tidur siang cantik."

Aku menghela napas panjang, tangan kanan reflek ngacak-ngacak rambut sendiri.

“Gara-gara novel itu, jadi kepikiran terus. Aisshh… drama banget sih ceritanya.” gumamku dengan ekspresi setengah kesal.

Tubuhku mulai lemas, mataku berat.

“Hoaaam… ngantuk parah…” ucapku sambil meringkuk, selimut ditarik sampai dagu.

Pelan-pelan, pikiranku hanyut. Suara di luar kamar makin lama makin jauh, sampai akhirnya…

Aku nggak lagi ada di dunia nyata.

Zia tertidur pulas. Dan kini, dia berada di dunia lain. Dunia yang... bukan miliknya.

...\\...

...Dunia Lain...

"INI DIMANAAA?! SIAPA YANG MINDAHIN AKU?!"

Zia berdiri linglung. Matanya membelalak, menatap ruangan asing yang bahkan bau udaranya beda. Tempat itu sunyi, dingin, dan jelas-jelas... bukan kamarnya di rumah.

Tiba-tiba...

Memproses data...

10%... 30%... 60%... 100%...

Ting!

“Hai, Tuan. Saya sistem yang akan menemani Anda di dunia novel ini.”

"ARGHHH!! SUARA APAAN TUH?! INI HANTU KAN?! JANGAN MAIN-MAIN, WOE!"

“Saya bukan hantu, Tuan. Saya adalah Sistem. Saya akan memandu Anda di dunia ini.”

Zia gelagapan. "INI APAAN SIH? JANGAN NGACO DEH! APAAN INI, DRAMA? CASTING FILM? JELASIN WOY!"

“Tidak, ini nyata. Anda saat ini berada di dalam sebuah novel yang pernah Anda baca."

Dia membeku. Tangannya nyolek-nyolek pipi sendiri, berharap ini mimpi. Tapi rasanya nyata. Dinding dingin. Lantai keset. Hidung masih bisa mencium bau parfum ruangan.

“…Jadi aku… beneran… masuk ke novel yang waktu itu aki baca? SERIUSAN?”

“Ya, Tuan.”

"Hahaha... gila. GILA NIH. BUKAN AKU YANG GILA KAN?! NIH SISTEM, JANGAN BIKIN AKU MERAGUKAN KEWARASANKU SENDIRI DONG!"

“Anda tidak gila. Ini bukan halusinasi.”

Zia reflek jalan menuju pintu kamar, berharap ada jalan keluar, tapi tangan tetap gemetaran.

"INI TUBUH SIAPA COBA?! BADAN AKU AJA BUKAN! JADI AKU NUMPANG HIDUP GITU DI SINI? TERUS, TUBUH ASLI AKU DIMANA?!"

“Anda kini menjadi Lava. Karakter dalam novel tersebut.”

"LAVA?! LAVA YANG ITU? YANG SUKA DIGANGGUIN, YANG DIKEROYOK EMOSI TERUS?! INI GAK FAIR!"

“Selamat datang, Lava.”

Zia—eh, sekarang Lava—langsung menjambak rambut sendiri. "AKU NYESEL BANGET BACA NOVEL GILA ITU. KENAPA GAK MASUK KE NOVEL ROMANCE CANTIK BANYAK PRINCE GITU?!"

“Misi Anda sederhana bertahan hidup dan temukan kebahagiaan. Itu saja.”

"APAAN? INI DUNIA NOVEL APA SURVIVAL GAME SIH?! TERUS, KENAPA GAK ADA MISSION-MISSION SERU, POINT, SKILL, ATAU SISTEM UPGRADE GITU? INI APA, MODE ULTRA HARD?!"

“Maaf, sistem ini hanya pendamping. Tidak memberi fitur tambahan.”

"YHA. UDAH GITU DITINGGALIN LAGI?!"

“Saya akan offline beberapa jam. Semoga sukses, Tuan.”

Cling!

Sunyi.

Zia menganga, sendirian. Matanya menatap ruangan mewah yang katanya sekarang kamarnya. Dia mendengus, langsung buka lemari, buka laci, buka apapun yang bisa dibuka.

"YAA SUDAHLAH. MULAI SEKARANG INI KAMAR AKU. GAK MAU TAU. AKU YANG HIDUP DI SINI, AKU YANG NGATUR!"

Dia lompat ke kasur, tarik selimut, dan ngedumel sambil merem rapat.

"Kenapa harus novel ini sih, jir. Kenapa harus aku yang jadi Lava. Aku capek. Aku ngantuk. Dunia aneh, sistem ilang, tokohnya gila semua..."

Hening.

"...aku tidur dulu deh. Besok kita ribut lagi."

Ch 2

...Love for Sania...

Sania Anara, gadis polos dari desa kecil, hidupnya tiba-tiba berubah ketika ia pindah ke kota dan tinggal bersama keluarga Divison. Kehidupan yang awalnya sederhana kini dipenuhi kemewahan, tapi juga rahasia keluarga yang kelam dan intrik tersembunyi.

Sejak Sania hadir, perhatian keluarga yang dulu sepenuhnya untuk Fera Angelia Divison, gadis keras kepala dan dimanja, kini beralih kepadanya. Fera merasa diabaikan, tersingkir, dan lama-lama rasa cemburu itu berubah menjadi kebencian dingin. Sejak saat itu, Fera bersumpah untuk membuat hidup Sania menjadi neraka, dengan segala cara. manipulasi, gosip, dan bullying yang kejam.

Di tengah persaingan ini, hadir Rayan Virel Ahnaf Rexsa dan gengnya, The Vcouf, enam pria dingin dan mematikan yang terkenal di kota. Mereka dikenal brutal, tapi satu hal jelas, mereka akan melindungi Sania dengan segalanya. Ketika kabar tentang Fera dan Temannya sampai ke telinga mereka, amarah The Vcouf memuncak, dan mereka bersiap melakukan balas dendam tanpa ampun.

Namun, konflik itu menjadi semakin rumit dengan hadirnya Reyva Lavanya, seorang figuran yang niatnya hanya menolong Sania.

Kesalahpahaman terjadi, The Vcouf mengira Lava ikut membantu Fera membully Sania. Tanpa menunggu klarifikasi, Lava dihukum dengan kejam, meninggal sebagai korban salah paham. Peristiwa itu meninggalkan trauma mendalam pada Sania, sekaligus menegaskan betapa ekstrem dan obsesifnya The Vcouf dalam melindunginya.

Hidup Sania kini dipenuhi ketegangan, Fera yang selalu mencari celah untuk menjatuhkannya, The Vcouf yang melindunginya dengan obsesi hingga brutal, dan bayangan Lavanya yang menjadi pengingat pahit bahwa salah langkah bisa berakhir tragis.

Sania harus menemukan kekuatan dalam dirinya untuk bertahan, menghadapi obsesi gila Fera yang ingin menjatuhkannya, serta hubungannya dengan enam pria yang sekaligus menjadi pelindung, pengikat, dan ancaman dalam hidupnya.

“Love for Sania” adalah kisah tentang persaingan yang mematikan, obsesi yang membara, Dan konflik keluarga yang tersembunyi. Di dunia ini, cinta, dendam, dan kekuasaan saling bertabrakan, memaksa Sania untuk bertahan hidup di tengah bayang-bayang kekejaman dan obsesi.

...🌷Happy Reading Guyss🌷...

Zia rebahan di kasur baru itu, matanya udah setengah merem tapi otaknya malah gak bisa diem. “Astaga, hidupku kok bisa segini ribetnya, dari mana aja nih drama kejam?"

Tiba-tiba suara sistem nyamber, “Tuan, anda harus tidur supaya tubuh bisa istirahat dan siap menghadapi tantangan besok.”

Zia senyum.sinis, “Tidur? Enak aja! Aku malah kepikiran siapa yang bakal aku lawan, siapa yang bakal aku jaga, dan yang paling penting, kapan aku bisa makan cilok?”

Sistem jawab santai, “Tuan, kalau tidak tidur, kemampuan anda nanti gak maksimal.”

Zia ngelus jidat, “Iya iya, aku ngerti. Tapi aku takut kalau aku tidur, aku malah mimpi ketemu para pembully dan... dikejar-kejar Rayan sama pawang- pawangan nya. Duh, mimpi buruk banget!”

Sistem ngakak kecil, “Itu wajar, tapi jangan sampai menyerah, tuan."

Zia nyeletuk, “Ya udah lah, aku tidur, tapi kalau besok aku bangun dan masih jadi figuran, aku protes keras sama kamu!”

Sistem tertawa, “Deal, tuan. Selamat tidur.”

Zia pejamin mata, dalam hati bilang, “Semoga mimpi aku kali ini gak berubah jadi drama sinetron tv yang gak ada habisnya. Tapi kalau iya, ya sudahlah... aku siap tempur!”

...🌀🌀🌀...

Malam itu, Lava berdiri kikuk di depan kasir supermarket. Matanya masih setengah ngantuk, tapi pikirannya ribut kayak pasar malam—berisik, ramai, dan penuh kebingungan.

“Jadi totalnya tujuh ratus ribu, ya, Mbak,” ucap kasir sambil menyodorkan nota.

Lava otomatis menepuk jidatnya pelan.

“Aduh, mampus... gak bawa uang.” gumamnya panik, setengah berbisik, setengah nangis dalam hati.

Baru mau minta cancel belanjaan, suara laki-laki dari sebelah kirinya terdengar datar, nyaris tak berperasaan.

“Gabungin aja sama punya saya.”

Kasir menoleh, lalu mengangguk cepat. “Baik, Mas.”

Lava menoleh kaget. Seorang cowok berjaket hitam, ekspresi sedingin freezer, berdiri santai sambil nyodorin kartu debit.

Waduh... siapa nih? Aura-aura cowok misterius?!

Belanjaan udah dikemas, Lava langsung reflek nyamperin cowok itu.

“Eh, makasih banget ya, Nanti aku ganti kok, beneran deh! Maaf udah ngerepotin!”

Dia buru-buru ngubek saku. “Nomor rekening kamu mana? Aku catet—eh bentar... hape aku mana?!”

Pemuda itu melipat alis. “Lo ngapain, sih?”

“Hape aku ilang.” Lava hampir meringis sambil celingukan.

“Udah, gausah diganti. Pulang aja. Ini udah malem,” ucap cowok itu datar, seperti membaca berita tanpa intonasi.

Lava masih menatap bingung. “Tapi... makasih ya. Eh, nama kamu siapa?”

Cowok itu tak menjawab. Ia hanya menatap Lava sejenak, lalu berucap singkat sebelum pergi.

“Hati-hati. Meski abang lo nggak di sini, dia tetap ngawasin lo. Jangan keluyuran malem-malem, lo itu cewek.

Setelah itu, dia berbalik dan pergi begitu saja.

Lava melongo.

“…Hah?”

ABANG? Dia kenal abangnya pemilik tubuh ini?! Lah... siapa tadi?! Kok misterius banget! Ganteng, nyelamatin aku dari dompet kosong, terus kabur. APA JANGAN-JANGAN ITU… MALA—eh bukan, bukan.'

...🌀🌀🌀...

Di seberang jalan, aku liat ada cowok terkapar kayak abis dihajar Alien.

“Aduh, bro, kamu kenapa? Mau minta tanda tangan aku atau mau aku jadiin fans kamu?” aku dekati sambil gaya kayak host TV.

Dia cuma ngelus kepala kayak bilang, “Tolong, aku udah gak kuat.”

“Woi, jangan lebay, aku dokter dadakan nih! Duduk dulu, biar aku kasih obat mujarab.” aku angkat dia sambil sok pahlawan.

“Nah, sini, aku bakal kasih plester super keren ini... eh tapi isinya cuma plester biasa, haha!” aku cengar-cengir.

Dia cemberut, “Sakit hati, bukan luka fisik.”

Aku geleng-geleng, “Ah, sakit hati itu obatnya ketawa, ntar aku bikin kamu ngakak sampe lupa sama sedihnya hidup”

Pemuda tersebut hanya mengelengkan kepalanya heran sekaligus gemas.

Dia cuma bisa senyum tipis, "makasii..yaa"

Aku berdiri sambil kibas rambut. “Sama-sama, Bro. Tapi inget, jangan banyak drama. Bisa-bisa ntar aku dicap dokter nggak waras gara-gara ngerawat kamu.”

Setelah itu aku langsung ngacir, takut dia tiba-tiba berubah jadi vampir atau monster drama Korea.

Si cowok masih bengong, bibirnya nyaris terbuka, “Cewek itu... gila sih. Tapi kok... lucu juga.”

... 🌀🌀🌀...

Lava melangkah pelan di trotoar, sambil manyun dan ngomel sendiri.

“Sumpah, tadinya niat pulang... tapi sekarang malah nyasar. Emang dasar hari ini hoki aku minus banget!”

Dia berhenti, celingak-celinguk ke kanan-kiri, lalu geleng-geleng sendiri.

“Parah sih, ngomong sendiri di pinggir jalan. Kayak lagi ngobrol sama hantu yang invisible. Gawat. Fix, dikira kurang tidur nanti.”

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara tangisan. Lava otomatis nyempil ke balik tiang listrik, matanya nyipit penuh curiga.

“Apaan tuh…? Jangan-jangan ada bocah kesurupan?” bisiknya lebay.

Di sana ada bocah laki-laki sekitar enam tahun lagi nangis sesenggukan, mukanya merah padam. Ibu-ibu pada sibuk cari-cari, kayak lagi main petak umpet sama bocah itu.

Lava garuk-garuk kepala, "Wah, ini bocil siapa si? Kayaknya nyasar deh."

Dia maju pelan-pelan sambil senyum, "Eh, cill! Kamu kenapa, nih? Lagi cari papa mama ya?"

Bocah itu nyengir sambil nyeletuk, "Aku nyasar, Ante!"

Lava ngakak, "Ante? Wah, kamu keren juga jadi gaul banget"

Ibu-ibu yang panik ngeliatin Lava, terus salah satu ibu nyeletuk, "Mba, tolong bantu carikan orang tua dia, ya?"

Lava ngangguk, "Tenang, Bu. Aku bakal jadi detektif dadakan nih. Btw, kamu jangan lari-lari lagi ya, ntar aku dibilang tukang ilangin anak orang."

Lava yang kini lagi nge gendong bocah yang mengaku namanya farel. sambil jalan-jalan pelan, tiba-tiba berhenti dan ngelirik ke arah farel.

“Eh, kamu jangan-jangan bocah paling nakal di dunia nih ya sampe kabur kaburan ini tuh uda malem tau?!”

Farel nyengir jahil lalu mimik mukanya berubah sedih, “Iya aku memang nakal ante. habisnya papi marahin aku terus makanya aku pergi terus nyasar”

Lava ngangkat alis, “Kalo gitu, hati-hati ya, aku juga jago nakal loh.”

Farel langsung nyengir lebar, “Wah, kayaknya seru deh! Kita bisa jadi tim nakal ante yey!”

Lava nyengir sambil bilang, “Tim nakal? Ih, siap-siap kamu diajari cara ngacau yang keren sama aku”

Mereka berdua ketawa ngakak di pinggir jalan, bikin orang sekitar melirik heran tapi lucu.

Lava mikir, “Ya ampun, dari tadi aku cuma mikir ribetnya hidup, eh ketemu anak ini malah jadi hiburan dadakan. Lumayan lah, kadang hidup tuh perlu dosis gila-gilaan juga.”

... 🌀🌀🌀...

“Ayel mau permen,” kata Farel polos, sambil melotot manja kayak bocah mau nego jajan di Indomaret.

Lava langsung ngelus dagu pura-pura mikir dalam, ekspresinya ala detektif kebanyakan nonton drama Korea.

“Baru ketemu udah minta permen, ya. Ntar aku juga minta permen deh, biar kita sama-sama jadi hamster. Lucu ‘kan? Dua hamster kelaparan.”

Farel ngakak sambil tepuk tangan kecil, “Hahaha! Hamster? Lucu banget, Te!”

Lava ikut nyengir lebar, “Iya dong. Kita hamster versi manusia. Siap tempur lawan lapar, haus, dan... mantan.”

Belum sempat mereka lanjut becanda, tiba-tiba terdengar suara langkah berat dari kejauhan. Suaranya makin mendekat—berat, pelan, tapi bikin merinding kayak di film horror pas scene mau jumpscare.

Lava langsung bisik-bisik cepat ke Farel yang masih digendongnya, “Uh-oh... Farel, aku punya feeling jelek. Kita ngumpet dulu, yuk.”

Farel melongo panik, “Ngumpet? Ngumpet di mana, Ante?”

Lava buru-buru nyari spot, matanya nyambar tumpukan kardus bekas di dekat tembok.

“Sini, sini! Kita main petak umpet sama bahaya.” bisiknya sambil ngesot bawa Farel ke balik kardus.

Mereka pun ngumpet berdua sambil tahan napas. Lava lirih nambahin, “Kalau kita selamat, traktir aku permen ya, Hamster Jr.”

Farel nyengir kecil, “Deal, tapi permennya rasa stroberi ya!”

“Cieeh, bocil punya selera,” bisik Lava sambil tahan ketawa.

Ch 3

Lava dan Farel lagi ngumpet di balik tumpukan kardus, sambil cekikikan pelan.

“Ssssst! Jangan ketawa keras-keras! Ntar ketauan sama hantu kardus,” bisik Lava sambil nutup mulut Farel pake dua jari.

Tapi Farel malah makin ngakak, “Hantu kardus tuh apaan, Anteee!”

Belum sempet dijelasin, suara langkah berat makin deket. tap... tap... tap...

Lava celingukan panik, “Wah! Ini bukan suara telapak kakinya ibu-ibu deh. Nih suara kayak telapak kaki... Bapak-bapak pemilik dunia.”

Dan bener aja.

Seorang pria tinggi dengan jas rapi dan tatapan kayak es batu Norwegia muncul dari balik lorong. Auranya dingin, mukanya datar, dan cara jalan dia tuh kayak... CEO abis berantem sama direksi.

“Farel,” suaranya dalam dan pelan. Tapi ngagetin.

Ayel yang awalnya ngakak langsung diam, terus teriak,

"PAPIIIIII!!”

Farel langsung lompat keluar dari kardus dan lari peluk pria itu. Lava masih ngumpet, shock.

“Anjir, itu manusia atau es krim vanilla yang nggak pernah cair?!” batin Lava.

Papi Farel menunduk sebentar, lalu memeluk anaknya. “Kau kabur lagi,” ucapnya dingin.

Lava akhirnya keluar juga dari persembunyiannya, ngelambai canggung. “Eh halo, aku... bukan penculik, sumpah.”

Tatapan pria itu langsung pindah ke Lava. Tatapannya... kayak sinar X, Lava sampe ngerasa dosa-dosa kecilnya kebaca semua.

“Siapa kamu?"

“Aku Lava... e-eh, Lavana. Aku cuma bantu Farel, dia nangis... terus aku ajak main kardus. Nggak ada niat nyulik, serius,” ucap Lava cepat, takut salah omong.

Pria itu diem. Serem. Matanya tajem banget.

Lava nahan napas, “Wah, ini mah bukan tipe-tipe tokoh cowok novel yang cool tapi manis... ini cool tapi kayak bisa ngelempar aku ke lubang buaya.”

“Terima kasih,” ucap pria itu tiba-tiba, datar tapi jelas.

Lava bengong. “Hah? Eh... iya, sama-sama... om.”

“Bukan om.”

“Oh, kakak?”

“Bukan.”

“Paman? Mas-mas? Mamah muda?”

Pria itu cuma menghela napas. “Panggil saja Mr. Varen.”

“Yhaa serem amat namanya... aku panggil Kak Vren aja yaa~” kata Lava sambil cengengesan biar nggak gugup. Tapi langsung nyesel"

Tatapan Varen makin dingin.

Farel malah ketawa, “Kak Vren! Kak Vren!!”

Varen melirik anaknya sekilas, lalu... mengangguk. “Terserah.”

Lava dalam hati “Wah... hidup aku resmi masuk dunia aneh.”

🌀🌀🌀

Mobil hitam mengkilap itu melaju pelan tapi pasti, membelah jalanan malam yang mulai sepi. Di dalamnya, duduk tiga orang satu bocah enam tahun yang asik ngemil, satu cewek random yang baru ketemu mereka beberapa jam lalu, dan satu pria super dingin yang auranya kayak kulkas 4 pintu merk Eropa.

Lava duduk di belakang bareng Farel. Dia merapat ke jendela, sambil ngomel dalam hati.

“WOI SISTEM! UDAH BALIK KAN KATANYA CUMA PERGI BEBERAPA JAM, NIH AKU UDAH MAU DIMUAT DI DALAM CERITA NIH, HADIR DONGG!!”

Tiba-tiba suara familiar muncul di kepala Lava.

“Saya sudah kembali, Tuan.”

“HOI! JANGAN MUNCUL TIBA-TIBA GITU DONG AKU KIRAIN BISIKAN SETAN!”

“Saya bukan setan, saya sistem.”

“Iya iya, sistem pembohong!”

Farel menoleh ke Lava yang lagi kesel sendiri. “Ante ngomong sama siapa sih? Aneh banget deh... ante kesurupan ya?”

Lava panik. “Eh enggak dong! Aku cuma... ini... lagi debat batin”

Farel cengar-cengir. “Berarti ante sering ngobrol sama otak ante ya?”

“Aku mah akrab banget sama otakku, sampe kadang lupa sama kenyataan hidup...” jawab Lava, pasrah.

Dari kursi depan, Varen yang menyetir cuma melirik sekilas lewat spion. Diam. Tapi... sudut bibirnya naik setengah milimeter. Senyum? Atau cuma kedutan? Nggak ada yang tahu. Yang jelas Farel heboh sendiri.

“PAPII! Ante Lavana lucu ya?!”

Lava menepuk pipinya. “Ya ampun Farel, aku sampe malu. Tapi makasih ya kamu juga lucu banget, gemoy parah hehe”

Farel mengangguk bangga sambil nyuapin Lava satu biskuit. “Ante makan ya Ini enak. Tapi jangan banyak-banyak, ini snack favorit Ayel.”

Lava makan satu biskuit, terus refleks langsung berkomentar, “ENAK BANGET ASTAGA! Ini tuh kayak... rasa bahagia dibungkus krisis identitas!”

Varen melirik lagi lewat spion. Kali ini... senyum tipisnya lebih jelas. Tapi tentu, dia langsung balik lagi ke ekspresi datarnya.

Lava yang ngeliat itu, langsung bisik-bisik ke sistem.

“HOI SISTEM! TADI DIA SENYUM GA SIH?!”

"Benar, Tuan. Itu dinamakan ekspresi positif ringan.”

“BERARTI DIA GAK GITU GITU AMAT KAN?! AURANYA MEMANG DINGIN, TAPI HATINYA LEMBUT NIH KAYAK TAHU PUTIH!”

“Analogi Anda sangat... tidak ilmiah.”

“Eh ante, papi tuh kalo diem-diem gitu tandanya dia senang loh,” bisik Farel tiba-tiba.

Lava kaget. “Serius kamu?! Wah... jangan-jangan aku berhasil bikin es batu ini retak sedikit.”

Farel ketawa lagi. Varen tetap menyetir, tapi kali ini... dia menghela napas pelan. Seperti... lega.

Lava, masih sibuk mikir, menyandarkan kepalanya di jok. “Oke, kalau dunia novel ini isinya cowok-cowok psycho dingin tapi punya anak lucu kayak Farel... mungkin aku bisa bertahan hidup sedikit lebih lama.”

Mobil terus melaju. Tapi suasana di dalamnya... mulai terasa hangat.

🌌🌌🌌

Setelah menempuh perjalanan penuh bisik-bisik batin dan biskuit warisan Ayel, akhirnya mobil hitam elegan itu berhenti di depan sebuah apartemen mewah. Lava menatap ke luar jendela sambil menelan ludah.

“INI RUMAH SIAPA? KOK KAYA TEMPAT SYUTING DRAMA KOREA?! ASTAGA, KALO ADA TANGGA PUTIH MELINGKAR, FIX NIH AKU MASUK NOVEL DRAMA RICH PEOPLE.”

Farel udah duluan loncat keluar sambil nyeret tangan Lava. “AYO ANTE! INI TEMPAT TINGGAL KITA SEMENTARA”

Lava diseret kayak karung beras mini. “Eh eh eh jangan tarik-tarik dong, aku tuh fragile tau nggak? Aku tuh... kayak kerupuk pas lebaran—ringkih dan mudah hancur”

Varen masih tanpa suara, hanya membuka pintu depan gedung apartemen dengan kartu akses. Tatapannya? Tetap kayak robot abis reboot. Tapi... tangannya dengan refleks ngelindungi kepala Lava waktu cewek itu hampir kejedot pintu kaca.

Lava menoleh pelan.

“APAAN ITU TADI?! DIA PEDULI NIH?! AKU HARUS NULIS INI DI DIARY FIKTIFKU MALAM INI!”

Mereka masuk lift. Lava berdiri di antara Farel dan Varen, dengan canggung yang levelnya 300%.

“Hmm… jadi ini tempat tinggal kalian?” tanya Lava sambil celingak-celinguk, pura-pura tenang padahal deg-degan.

Farel langsung pamer. “Iyalah! Papi tuh orang kaya! Tapi galak, jangan bikin dia marah ya, ante bisa diusir pake sendal 😎”

Lava ketawa meringis. “Noted… dilarang nyebelin si kulkas berjalan.”

Varen melirik, “Aku dengar itu.”

Lava kaku. “Itu bukan aku yang ngomong, itu… suara biskuit, sumpah.”

Ting!

Pintu lift terbuka. Mereka masuk ke unit apartemen besar yang modern minimalis, lengkap dengan sofa empuk dan aroma lilin aromaterapi. Lava langsung ngedumel.

“INI TEMPAT APA?! SURGA?! AKU MAU TINGGAL DISINI SEUMUR HIDUP AKU NGGAK MAU PULANG!!!”batinya kegirangan.

“Ante tinggal sini aja ya?” pinta Farel sambil manja.

Varen menaruh jaketnya, lalu menatap Lava. “Kamu bisa tinggal di sini... kalau kamu nggak nyusahin.”

Lava langsung berdiri tegap, angkat tangan kanan. “SIAP KOMANDAN! AKU BISA JADI WARGA TERBAIK, BISA MASAK MI INSTAN, LIPAT BAJU, DAN NONTON DRAMA TANPA NANGIS KOK!”

Varen akhirnya... ngangguk. “Kamar tamu di sebelah kanan. Mandi dulu, kamu bau jalanan."

“BAU JALANAN KATANYA?! AJAIB NIH ORANG, NGOMONG DINGIN TAPI NUNJUKKIN CARE DENGAN CARA NYEBELIN!”

Farel ketawa keras sambil lari ke kamarnya. Lava, sambil nyeret kakinya, masuk ke kamar tamu.

Begitu pintu kamar tertutup...

“SISTEM, CATET. AKU UDAH MASUK APARTEMEN COWOK DINGIN PSIKO YANG BAIKNYA DIKETOK PAKE SENDAL JEPIT. TAPI KOK RASANYA... DAMAI YA?”

Sistem menjawab datar, “Ya.”

Setelah selesai mandi dan guling-guling sebentar di kasur empuk yang kayak awan, Lava duduk di ujung ranjang. Matanya nanar ke langit-langit, lalu...

“Nggak bisa... aku nggak bisa tinggal di sini. Nanti kalau aku kebanyakan nyaman gimana toh baru aja ketemu aku kaya kurang belaian gini deh. Lagian, ntar aku keterusan jatuh cinta bisa gawat kan? Astaga, aku emang gampang bapernya tau.”

Dengan semangat setengah matang, Lava keluar kamar. Dia ngintip-ngintip, memastikan nggak ada yang lagi bentak-bentak ayam di ruang tamu. Aman.

Langkah pelan-pelan—kayak maling mau curhat—ia sampai di depan Varen yang sedang duduk di sofa, ngetik sesuatu di laptop. Masih dengan wajah cuek dan aura dinginnya yang bisa bikin freezer iri.

Lava berdiri tegap.

“Permisi... Bapak Es Batu…”

Varen berhenti ngetik, ngangkat alis pelan. “Apa?”

Lava langsung gugup, tapi sok kalem. “Aku... maksud aku—aku kayaknya nggak bisa tinggal di sini. Aku mau balik ke apartemen aku sendiri. Tadi tuh cuma... yaa... salah paham. Aku kan emang sering kesesat di jalan kehidupan.”

Varen menatap Lava lama. “Kamu yakin?”

Lava senyum awkward. “Yakin banget. Aku udah siap pulang sendiri. Lagian... nanti aku ganggu bonding time kalian berdua. Aku juga takut salah duduk, salah napas, salah liat. Udah, aku pulang aja. Terima kasih.. um... ”

Farel yang dari tadi ngumpet di balik tembok langsung lari ke Lava. “Tapi anteee... aku mau tidur sama anteee...”

“Duh dek, bukan aku gak sayang. Tapi ante juga punya kasur sendiri. Kalo ante tidur di sini, kasur ante di apartemen bisa nangis loh, kesepian...”

“Serius?” mata Farel melebar.

“Banget.”

Varen berdiri, berjalan mendekat. “Kalau itu maumu, aku antarkan.”

Lava buru-buru geleng. “Nggak perlu—aku bisa naik angkot! Aku jago nanya-nanya orang, aku tuh survival girl.”

Tatapan Varen makin nyempil ke dalam hati. “Tidak. Malam. Berbahaya. Aku antar.”

Lava menelan ludah. “YA AMPUN NGOMONG DINGIN GITU KENAPA AKU DEG-DEGAN? ASTAGA JANTUNG AKU NIH.”

Akhirnya mereka bertiga keluar apartemen, dengan Farel yang masih manyun dan Lava yang bawa tas belanja kayak mau pindahan. Di dalam mobil, Lava duduk di belakang sambil peluk bantal belanjaan.

“Sistem, aku udah berani. Gimana? Keren ga?”

“Belum keren Tuan.”

“Ya ampun, ini tuh level yang... gila gitu ya ga si?”

“Kurang lebih.”

Lava mendesah. “Bodo amat. Yang penting aku bebas.”

--

Mobil hitam elegan itu akhirnya berhenti tepat di depan sebuah apartemen sederhana berlantai dua. Lava memandangi bangunan itu sambil menggigit bibir.

"Huft... rumah, I’m home... walau kayak kosan premium, tapi tetap rumah."

Varen turun lebih dulu, membuka pintu belakang tanpa ekspresi. Farel langsung lompat dari dalam mobil dan menempel ke Lava seperti lem korea.

"Anteee, ayoo tinggal sama ayel ajaa... ayel janji ga kentut di selimut lagi..." rengeknya dengan mata berkaca-kaca.

Lava kaget, lalu ketawa ngakak. "Astaga dek. Kok bisa ngaku dosa depan umum gini sih... ya ampun, udah yaaa... nanti orang kira kita syuting acara tobat nasional!"

Farel masih meringkuk di kaki Lava. Varen hanya berdiri di samping, menyilangkan tangan, menatap Lava dalam-dalam. Bukan galak, tapi kayak... nyimpen sesuatu.

"Kami pamit," ucap Varen singkat, suaranya seperti embun pagi yang disimpan di kulkas.

Lava mengangguk sambil memaksa senyum. "Oke... makasih ya udah nganter. Maaf aku bikin ribet terus. Dan... terima kasih juga udah... jadi manusia."

Varen menaikkan sebelah alis. “Aku memang manusia.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!