Happy Reading.
Di sebuah apartemen, terlihat seorang pria yang sedang berdiri di balkon sambil menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Di tangannya, sebatang rokok masih menyala, asapnya membubung tipis ke udara. Pria itu menikmati setiap hisapan nikotin dengan tatapan kosong yang menerawang jauh.
Setelah beberapa saat, ia mematikan putung rokoknya ke dalam asbak, lalu menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke kamar.
Juan Edward, pria berusia tiga puluh tahun yang sampai sekarang masih betah hidup sendiri. Hatinya seolah telah mati rasa setelah ditinggalkan menikah oleh wanita yang paling ia cintai—karena kesalahannya sendiri.
Dulu, dia menyia-nyiakan cinta tulus dari seorang wanita bernama Fanya, hingga akhirnya wanita itu menyerah dan memilih pria lain untuk menjadi pendamping hidupnya.
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Saat seseorang akhirnya sadar, orang yang mencintainya dengan tulus sudah tak lagi di sisinya.
Juan membuka laci kecil di meja samping ranjang. Ia mengambil sebuah bingkai foto berukuran sedang. Di sana, wajah seorang wanita tersenyum lembut, membuat hatinya terasa sesak setiap kali menatapnya.
"Fanya... sudah tiga tahun kamu menikah. Mungkin sekarang kamu sudah bahagia dengan suamimu. Aku cuma pria bodoh yang nggak pernah berani memperjuangkan cinta," ucap Juan lirih sambil mengusap foto itu dengan lembut.
Perasaan itu masih ada, masih mengakar di hatinya.
“Mungkin aku nggak akan bisa jatuh cinta lagi. Tapi kalau Tuhan memberi kesempatan kedua, aku janji… aku nggak akan menyia-nyiakanmu lagi, Fanya. Aku akan buat kamu bahagia.”
Juan mengecup permukaan kaca bingkai foto itu. Air matanya nyaris jatuh, tapi ia tahan. Ia tahu, Fanya bukan miliknya lagi. Wanita itu sudah menjadi milik orang lain.
Ponselnya tiba-tiba bergetar di meja. Ia menatap layar dan melihat nama Bos Danish tertera di sana.
“Halo, Bos?”
“Juan, besok kamu yang berangkat ke kota X untuk menemui klien kita. Aku nggak bisa ikut, istriku sedang sakit.”
“Baik, Bos. Aku siap berangkat.”
Panggilan berakhir. Juan menghela napas lagi. Danish bukan hanya bosnya, tapi juga sahabat yang telah membantunya bangkit dari keterpurukan. Ia kini bekerja sebagai asisten pribadi CEO Alvares Corp, mengabdikan hidupnya pada pekerjaan untuk melupakan masa lalu.
Dulu, Juan adalah seorang Casanova yang tidak mau terikat pada siapa pun. Tapi sejak mengenal Fanya, semua berubah. Kini, hari-harinya hanya diisi dengan bekerja, tanpa ruang untuk cinta.
---
Sementara itu, di sebuah rumah besar yang megah, seorang wanita cantik tengah tersenyum hangat menatap suaminya yang masih sibuk di depan laptop. Wanita itu adalah Fanya Adkinson.
“Sayang, besok aku harus ke luar kota selama tiga hari. Ada proyek penting yang harus aku tangani,” ucap Brian Adkinson, suaminya, ketika menyadari Fanya mendekat.
Senyum Fanya perlahan memudar. Belum lama kamu pulang, sekarang sudah harus pergi lagi… batinnya lirih.
“Akhir-akhir ini kamu sering banget ke luar kota, Sayang. Aku masih kangen, tahu?” ujarnya pelan sambil menghampiri suaminya.
Brian menutup laptop dan tersenyum lembut. “Ini semua demi pekerjaan, Sayang. Aku juga kangen sama kamu. Tapi aku harus kembangkan bisnis ini biar perusahaan makin maju.”
Fanya menaruh secangkir kopi di meja. “Jangan lupa, minggu depan anniversary kita yang ketiga,” katanya lembut.
Brian menggenggam tangan istrinya dan mencium punggungnya penuh cinta. Pria itu memang terlihat sangat mencintai Fanya. Namun di balik tatapan penuh kasih itu, ada rahasia kelam yang ia sembunyikan rapat-rapat.
Sudah setahun terakhir Brian menjalin hubungan gelap dengan sekretarisnya, Yolanda. Awalnya terjadi karena mabuk saat perjalanan dinas keluar kota, tapi sejak malam itu, mereka terus terlibat dalam hubungan terlarang yang semakin sulit dihentikan.
Tidak ada yang tahu. Di kantor, mereka tampak profesional. Tapi di balik pintu kamar hotel, mereka menjadi sepasang kekasih yang saling melampiaskan hasrat.
Bagi Brian, Yolanda hanyalah pelarian—pemuas nafsu semata. Cintanya tetap milik Fanya, istrinya yang setia dan lembut.
“Sayang,” ucap Brian sambil menatap Fanya penuh kagum. “Malam ini kamu cantik banget. Aku memang nggak salah memilihmu jadi istriku.”
Fanya tersenyum manis dan duduk di pangkuan suaminya. “Terima kasih, Sayang. Aku juga nggak salah memilih kamu. Maaf kalau sampai sekarang aku belum bisa mengandung anakmu… aku takut kamu kecewa.”
“Ssst… jangan ngomong gitu,” Brian mengelus lembut perut istrinya. “Aku yakin, sebentar lagi Tuhan kasih kita rezeki itu. Aku nggak akan pernah berhenti mencintaimu.”
Fanya menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku juga berusaha, Sayang. Mudah-mudahan doa kita segera dijawab.”
Brian tersenyum dan mengecup bibir istrinya perlahan. Ciuman itu berubah makin dalam, menggambarkan kerinduan yang selama ini mereka tahan.
Dengan lembut, Brian mengangkat tubuh Fanya dalam pelukannya dan membawanya ke atas ranjang.
“Malam ini, biar aku memuaskan rinduku sebelum aku pergi besok,” bisiknya serak di telinga istrinya.
Mereka tenggelam dalam kehangatan cinta yang terasa sempurna. Namun, tanpa disadari oleh Fanya, pria yang memeluknya erat malam itu menyimpan pengkhianatan besar yang belum terungkap.
Bersambung...
Happy Reading 😔
Pagi itu, Fanya tengah sibuk mempersiapkan segala kebutuhan suaminya yang akan berangkat ke kota X selama tiga hari ke depan. Meski sudah terbiasa ditinggal, kali ini hatinya terasa berat. Ada perasaan enggan yang sulit ia sembunyikan.
Minggu depan adalah anniversary pernikahan mereka yang ketiga. Fanya bertekad ingin merayakannya bersama sang suami, karena dua tahun sebelumnya selalu gagal. Tahun lalu, Brian tidak bisa pulang tepat waktu karena urusan pekerjaan di luar kota. Tapi begitu kembali, pria itu memberi kejutan indah yang membuat Fanya tersenyum bahagia kembali.
Brian memang tahu cara meluluhkan hati istrinya—membawanya ke tempat romantis dan membuatnya merasa dicintai sepenuh hati.
---
“Tin… tin… tin…”
Suara klakson mobil terdengar dari halaman depan. Fanya dan Brian menoleh ke arah jendela. Sebuah mobil putih berhenti di pekarangan rumah mereka. Dari dalamnya keluar seorang wanita cantik dengan penampilan rapi dan senyum menawan.
Brian langsung tersenyum lebar begitu melihat siapa yang datang. Pria itu segera melangkah cepat menghampiri Yolanda, sekretaris pribadinya yang pagi itu terlihat memesona dengan kemeja putih dan rok pensil hitam.
Fanya menatap pemandangan itu tanpa curiga, hanya merasa sedikit heran melihat suaminya tampak begitu bersemangat.
“Aku yang menyuruh Yolanda menjemputku,” ucap Brian sambil menoleh ke arah Fanya.
Wanita itu mengangguk kecil dan berjalan mendekat. Sementara Yolanda menatap Fanya dengan senyum ramah yang menawan.
“Selamat pagi, Tuan Brian, Nyonya Fanya. Apakah semuanya sudah siap?” tanya Yolanda sopan.
Fanya membalas dengan senyum tulus. Ia mengambil sebuah syal wol yang sudah ia siapkan sejak tadi, lalu menyerahkannya pada Yolanda.
“Tolong nanti berikan syal ini ke Brian, ya. Dia suka lupa membawa syal, padahal cuacanya dingin sekali akhir-akhir ini.”
Musim gugur hampir beralih ke musim dingin, udara memang menusuk tulang.
“Baik, Nyonya. Saya pastikan Tuan Brian akan baik-baik saja. Lagipula, menjaganya sudah jadi tugas saya,” jawab Yolanda manis, menyembunyikan tatapan penuh arti.
Brian menatap istrinya dengan lembut, menyentuh pipinya. “Sayang, cuma tiga hari kok. Setelah itu aku janji, semua waktuku buat kamu,” ucapnya seraya mengecup bibir Fanya singkat.
Adegan itu membuat Yolanda terpaksa memalingkan wajahnya. Di balik senyumnya, rasa cemburu membakar hatinya. Ia tahu Brian mencintai istrinya, tapi tetap saja—ia ingin menjadi satu-satunya wanita di hati pria itu.
Fanya tersenyum dan menepuk lengan suaminya lembut.
“Hati-hati ya, Sayang. Dan Yolanda… tolong jaga suamiku baik-baik, jangan sampai dekat perempuan lain,” ujarnya sambil terkekeh kecil.
Ucapan itu membuat suasana tiba-tiba menegang. Brian dan Yolanda sempat saling pandang sekilas—menyadari betapa ironisnya situasi itu. Fanya sama sekali tidak tahu bahwa dua orang yang berdiri di depannya sedang bermain api di belakangnya.
“Tenang saja, Nyonya,” jawab Yolanda percaya diri. “Saya pastikan Tuan Brian dalam pengawasan terbaik.”
Brian hanya tersenyum tipis menutupi rasa bersalah yang mulai menggelitik nuraninya. Ia mencium kening Fanya sebelum akhirnya masuk ke mobil.
Fanya berdiri di depan rumah, melambaikan tangan dengan senyum lembut saat mobil putih itu melaju menjauh. Namun jauh di dalam hatinya, ada rasa kosong yang tak bisa dijelaskan—entah firasat, entah kecemasan.
---
Sementara itu, di dalam mobil, Yolanda menyandarkan kepala di bahu Brian dengan manja.
“Honey, sepertinya istrimu benar-benar menyerahkan dirimu padaku,” bisiknya genit.
Brian menatap lurus ke depan, ekspresinya datar. “Sudahlah, jangan bahas Fanya kalau kita sedang bersama. Aku nggak mau dengar namanya sekarang.”
“Aku cuma bilang sedikit,” jawab Yolanda dengan bibir manyun. “Fanya memang cantik dan istri yang baik. Kamu beruntung punya dia.”
Mendengar itu, Brian mendadak menepikan mobil ke pinggir jalan. Ia menoleh, menatap Yolanda tajam, lalu dengan cepat menarik tengkuk wanita itu dan mencium bibirnya penuh hasrat.
“Jangan sebut nama Fanya lagi saat aku bersamamu,” desisnya di sela napas berat.
Ciuman itu berubah semakin dalam. Yolanda membalas dengan gairah yang sama, tubuhnya menempel erat pada dada pria itu.
“Sh!t…” gumam Brian pelan sambil terkekeh kecil. “Sepertinya kita harus cari hotel dulu sebelum ke kota X. Masih dua jam sebelum keberangkatan, dan ‘junior’ sepertinya butuh perhatian.”
Yolanda tersenyum menggoda, senang karena sekali lagi ia berhasil menjerat pria itu ke dalam pelukannya. Tanpa banyak bicara, Brian kembali menyalakan mobil dan melaju ke arah hotel terdekat.
---
Di sisi lain, Juan sudah tiba di bandara untuk penerbangan ke kota X. Ia melirik jam tangannya, memastikan waktu keberangkatan. Sejujurnya, perjalanan bisnis ini juga ia jadikan alasan untuk menjernihkan pikirannya dari kenangan masa lalu yang belum juga hilang.
Namun langkahnya terhenti ketika pandangannya menangkap pemandangan yang membuat darahnya mendidih.
Beberapa meter di depannya, ia melihat Brian—suami dari Fanya, wanita yang dulu ia cintai—sedang berjalan sambil merangkul bahu seorang wanita cantik yang menempel manja di lengannya.
Mata Juan membulat, rahangnya mengeras.
“Brengsek…” gumamnya dengan suara pelan namun penuh amarah. “Berani-beraninya dia mengkhianati Fanya!”
Tangannya mengepal kuat. Perasaan kecewa, marah, dan kasihan bercampur menjadi satu di dalam dadanya.
Bersambung...
Happy Reading 😔
Juan masih menatap lurus ke depan, memastikan bahwa apa yang dilihatnya benar-benar Brian, suami dari wanita yang dulu — dan mungkin sampai sekarang — masih dicintainya.
Kalau memang benar itu Brian, seharusnya Juan segera memberi tahu Fanya tentang kelakuan sang suami yang terlihat begitu mesra dengan wanita lain di tempat umum. Namun, nyatanya, ia tidak tega.
Pria itu tidak sanggup membayangkan wajah Fanya yang pasti akan hancur kalau tahu suaminya berkhianat. Ia memilih menahan amarah dan rasa kecewanya sendiri.
Sementara itu, Brian menepis pelan tangan Yolanda yang sedari tadi menggandeng lengannya. Ia melirik sekeliling dan menyadari bahwa mereka sudah tiba di area bandara—tempat umum, di mana banyak mata bisa memperhatikan mereka.
“Yolanda, kita udah di tempat umum. Jaga sikapmu,” bisik Brian dengan nada tegas.
Yolanda langsung melepaskan pegangan tangannya, namun ekspresinya tampak kecewa. Bibirnya mengerucut, dan matanya menatap pria di sampingnya dengan perasaan yang campur aduk antara cinta, cemburu, dan frustrasi.
Ia ingin selalu bisa menggandeng tangan Brian tanpa harus bersembunyi. Tapi kenyataan pahitnya, dia hanyalah wanita simpanan—sekretaris pribadi yang dijadikan pelarian hasrat oleh pria beristri itu.
Andaikan aku bisa memiliki kamu seutuhnya, Brian… apakah aku harus hamil dulu supaya kamu nggak bisa ninggalin aku? batin Yolanda getir.
Ia tahu, Brian sangat menginginkan seorang anak. Sudah tiga tahun menikah, tapi Fanya belum juga mengandung. Dan Yolanda mulai berpikir gila: bagaimana kalau akulah yang memberinya keturunan?
Namun, sampai sekarang, hal itu tak pernah terjadi. Brian selalu berhati-hati setiap kali bersama Yolanda—selalu memakai pengaman. Hanya sekali mereka melakukannya tanpa itu, di malam pertama kali mereka tidur bersama dalam keadaan mabuk. Tapi setelah itu… tetap saja, Yolanda tidak hamil.
Brian berjalan cepat melewati Juan tanpa menoleh. Tatapan tajam Juan mengikutinya, namun Brian tampaknya tidak mengenali pria itu. Mungkin ia hanya akan mengingat Juan sebagai sahabat lama istrinya jika suatu hari mereka bertemu lagi.
Ironisnya, pasangan yang sedang berselingkuh itu kini berjalan berdampingan dengan tenang, seperti dua rekan kerja biasa. Tak ada yang menyangka bahwa di balik senyum ramah mereka, tersimpan pengkhianatan yang begitu dalam.
Juan mengepalkan tangannya. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Brian dan Yolanda dengan mata yang tajam dan penuh dendam.
“Kalau benar kau mengkhianati Fanya, aku nggak akan diam saja,” batin Juan. “Jangan salahkan aku kalau nanti istrimu akan jadi milikku.”
Ia menahan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun amarahnya sudah seperti bara yang siap menyala kapan saja.
Pria itu merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Jemarinya sempat ragu sebelum menekan nama yang sudah lama tidak ia sentuh—Fanya. Sudah tiga tahun ia tak menghubungi wanita itu.
Selama ini Juan berusaha ikhlas. Ia bahagia jika Fanya bahagia. Tapi kalau kenyataannya tidak begitu… maka dia siap berjuang lagi, kali ini untuk merebut hati wanita itu dari tangan pria yang tidak pantas memilikinya.
Sementara itu di rumah, Fanya tengah sibuk mengumpulkan pakaian kotor suaminya untuk dicuci. Ia selalu memisahkan kemeja dan celana agar lebih mudah dicuci. Saat hendak memasukkan kemeja terakhir ke dalam mesin cuci, tiba-tiba sesuatu jatuh dan berkilau di dekat kakinya.
Fanya menunduk. Alisnya berkerut.
“Anting?” gumamnya pelan.
Ia mengambil benda kecil itu dan menatapnya lekat-lekat. Anting mungil berwarna perak dengan permata biru di tengahnya—bukan miliknya.
“Bukan… ini bukan punyaku,” bisiknya lagi.
Deg.
Tubuh Fanya menegang, jantungnya berdegup kencang. Pikiran buruk langsung berkelebat di benaknya, tapi buru-buru ia menggeleng kuat-kuat.
“Tidak… nggak mungkin. Brian nggak mungkin seperti itu. Aku harus berpikir positif.”
Ia mencoba menenangkan diri. Mungkin saja ini milik salah satu klien wanita Brian yang tanpa sengaja jatuh… iya, pasti itu, pikirnya berusaha menepis keresahan.
Fanya memasukkan anting itu ke saku bajunya dan melanjutkan pekerjaan. Ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya, meski hatinya masih diliputi rasa aneh yang sulit dijelaskan.
Sejak menikah, Fanya memang tidak punya asisten rumah tangga. Semua pekerjaan ia lakukan sendiri. Bukan karena mereka tidak mampu, tapi karena Brian memintanya untuk tinggal di rumah saja, menjadi istri sepenuhnya.
Brian ingin Fanya tidak kelelahan dan bisa selalu ada untuknya. Awalnya Fanya merasa bahagia, tapi lama-lama rasa bosan mulai datang. Ia hanya bisa mengisi waktu dengan memasak makanan kesukaan Brian atau membuat kue untuk mengusir sepi.
Sambil melamun, tiba-tiba suara ponsel memecah keheningan.
“Drrrttt… drrrttt…”
Fanya meraih ponselnya. Begitu melihat nama yang muncul di layar, jantungnya berdetak lebih cepat.
“Juan...” gumamnya lirih.
Sudah tiga tahun pria itu tidak menghubunginya. Entah kenapa, hanya melihat namanya saja sudah membuat jantung Fanya berdetak tidak karuan.
Ia menatap layar ponsel yang terus bergetar, namun tidak berani menekan tombol hijau. Hingga akhirnya panggilan itu berhenti dengan sendirinya.
Fanya menghela napas panjang dan menatap langit-langit rumahnya. Tangannya memegang dada yang berdebar tak karuan.
Kenapa sekarang, Juan? Kenapa setelah tiga tahun kamu tiba-tiba menghubungiku lagi…?
Wanita itu hanya bisa menatap kosong. Pikirannya kacau, antara rasa penasaran pada panggilan dari masa lalu dan rasa curiga terhadap anting misterius yang jatuh dari kemeja suaminya.
Dua hal itu berputar terus di kepalanya, membuat dadanya sesak oleh perasaan yang tak bisa ia mengerti.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!