NovelToon NovelToon

Hanya Ada Kita

Malam Ternoda

''Duluan ya, Ki!'' teriak seorang gadis yang sedang melambaikan tangannya.

''Iya ... sampai ketemu nanti malam, ya!''

Gadis bernama Anara itu mengangguk, dengan senyum merekah dia kemudian melanjutkan langkahnya ingin kembali ke rumah yang selama ini ditempatinya dan pergi bekerja.

Dia bukan gadis manja dari putri keluarga kaya, dia hanya seorang gadis biasa yang tumbuh besar di panti asuhan.

Mengandalkan beasiswa untuk masuk ke Perguruan tinggi membuatnya lebih bersemangat dalam menimba ilmu, karena memiliki otak yang cerdas membuat dia tidak kesulitan.

Sore ini Nara akan pergi bekerja bersama temannya di sebuah butik. Butik yang menjadi salah satu tempat kerjanya bersama sahabatnya selama dua tahun ini. Walaupun gajinya tidak seberapa tapi dengan uang itu bisa membantu perkuliahannya.

Saat sudah sampai di halte dan hendak menunggu bus, Nara mendudukkan dirinya di kursi panjang yang sudah disediakan, dengan headset yang menempel di telinga, Nara menyetel lagu kesukaannya.

Saat tengah menikmati musik sambil memejamkan mata, entah apa yang terjadi, kepalanya mendadak pusing hingga membuatnya tak sadarkan diri.

.

.

.

Perlahan, kedua kelopak mata Nara terbuka. Rasa pusing masih menyerangnya. Nara mengedarkan pandangan, yang pertama kali Nara lihat adalah tempat ini sangat asing baginya. Setelah kesadarannya hampir pulih, Nara membulatkan kedua matanya, menyadari bahwa ternyata dia di culik.

Tenaga Nara belum pulih, tapi tiba-tiba seluruh tubuhnya terasa panas. Ada yang aneh, tapi Nara tidak tahu apa itu. Dua penculik itu datang, mereka membawa Nara yang terkulai lemas kemudian di tidurkan di atas ranjang.

"S— siapa kalian?" Suara Nara begitu lirih hampir tidak terdengar, namun kedua penculik itu langsung pergi.

Dengan kesadaran yang masih tersisa, Nara melihat ada seorang pria asing. Pria yang dengan teganya merampas kesucian Nara.

"J— jangan, ku mohon," air mata mengalir, membasahi pipi mulus gadis yang sedang tidak berdaya.

Ingin memberontak tapi tak punya tenaga. Nara menangis, rasa sakit itu seakan meremukkan tubuhnya.

*****

Dengan langkah gontai Nara kembali ke tempat yang menjadi rumahnya, sekarang masih malam kemungkinan semua orang masih tertidur. Jadi dia bisa masuk dengan aman.

Tapi apalah daya, saat dia membuka pintu, Ibu Mira yang sudah Nara anggap sebagai ibunya sendiri masih terjaga diruang tamu sedang menunggu kepulangannya. Nara takut Ibunya akan marah jika melihat keadaannya yang sangat berantakan.

Dengan wajah yang terkejut sekaligus khawatir dengan anak yang dibesarkannya itu, Ibu Mira mendekat kearah Nara, dan kembali dikejutkan dengan pakaian yang digunakan Nara terlihat lusuh dan hampir tidak berbentuk.

Senyum ceria yang ada di wajah cantiknya hilang dan digantikan dengan air mata yang terus mengalir seakan tidak mau berhenti.

''Apa yang terjadi!?''

Nara diam, dia sudah tidak sanggup untuk bicara. Seketika tubuh Nara lemas, dia terduduk dilantai yang dingin. Menangis, dia yang sekarang hanya bisa menangis.

Ibu Mira pun sudah tidak bisa menahan air matanya agar tidak keluar, dia ikut menangis dan memeluk Nara.

Tidak ingin menambah rasa sakit putrinya, Ibu Mira segera memapah Nara menuju kamarnya berada. Tidak mungkin dia membiarkan Nara semakin bertambah sakit, cukup kali ini saja.

''Bangunlah! Kita kedalam, bersihkan tubuhmu dan ganti baju. Ibu akan membuatkan teh hangat.'' Nara hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara dan mengikuti Ibunya menuju ke kamarnya.

Sampai dikamar Nara segera masuk ke kamar mandi, dia menatap dirinya di depan cermin ''Kotor'' hanya itu yang keluar dari mulutnya. Saat ini pikirannya kosong, Nara masih belum mampu berpikir, dia masih shock dengan kejadian yang baru menimpanya.

Nara menggosok seluruh tubuhnya dengan

cepat dan sabun yang banyak agar dia bisa bersih, sampai tubuhnya terasa perih akibat menggosoknya terlalu kasar. Tapi Nara tidak peduli! Yang dia inginkan adalah tubuhnya kembali bersih.

Membilas nya dengan air, dia ingin melihat apakah tanda itu sudah hilang? Kembali menatap dirinya di cermin, tidak! Tanda itu belum hilang. Dia masih kotor. Sekali lagi, dia menggosok tubuhnya, tapi tetap saja. Tidak bisa hilang.

Hampir setengah jam berada di kamar mandi, sampai Ibu masuk dengan satu cangkir teh hangat di tangannya. Belum menemukan Nara, dan itu membuatnya khawatir. Ibu dengan cepat mengetuk pintu dan memastikan bahwa Nara baik-baik saja.

''Nara..!''

Sudah tiga kali memanggil namanya, sang empu tidak kunjung membuka pintu, membuat kekhawatirannya menjadi. Takut terjadi apa-apa dengan putrinya, dengan keadaan Nara yang saat ini banyak hal yang akan terjadi jika Nara berpikir pendek.

Saat ingin memanggil sekali lagi, akhirnya Nara keluar dengan memakai piyama. Membuat Ibu bernafas lega.

Ibu membawanya menuju tempat tidur dan mengambil teh hangat dari atas nakas. Nara mengambil dan langsung meminumnya sampai habis.

Nara masih diam, tatapannya pun masih kosong, sepertinya belum ingin bercerita membuat Ibu ingin bertanya. Tapi saat beliau melihat mata sembab putrinya akhirnya mengurungkan niat.

''Sekarang tidur dulu, besok baru cerita.'' Nara pun hanya menjawab dengan anggukan kepala.

Ibu membaringkan tubuh Nara dan menyelimuti nya, kemudian mematikan lampu dan pergi keluar. Ingin pergi tidur dan menyiapkan hati untuk besok saat putrinya bercerita. Ibu pun berharap, setelah bangun besok pagi, ini semua hanya mimpi.

.

.

.

Ibu mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Mungkin Nara masih tidur, pikirnya. Beliau lantas langsung memasuki kamar Nara. Matahari sudah hampir tinggi tapi pemilik kamar masih belum membuka matanya.

Nara menggeliat, dia merasakan ada yang menyentuhnya. perlahan kelopak matanya terbuka dan hal yang pertama kali dia lihat adalah Ibunya.

Nara masih diam, tidak mau menyapa selamat pagi ataupun yang lain. Biasanya saat bangun tidur, Nara

segera masuk kamar mandi dan kemudian menuju dapur. Ingin membantu Ibunya memasak untuk anak-anak lain.

Tapi kali ini, dia malah diam, dan ingin menutup matanya kembali, seolah berharap bahwa ini hanyalah mimpi.

''Nak, bangun ya, cuci muka terus sarapan. 'Kan dari semalam kamu belum makan.''

Suara Ibu membuat Nara kembali membuka matanya. Perutnya memang sedikit lapar tapi dia seperti sudah tidak punya tenaga walaupun sudah tidur semalaman.

Nara bangun dari tidurnya dan menuju kamar mandi, dia lapar dan ingin makan. Agar bisa punya tenaga untuk menjalani kehidupan yang sekarang.

Tapi, apakah bisa?

Di dalam kamar mandi, Nara kembali melihat dirinya di cermin, Beginikah penampilannya sekarang?

Mata yang sembab, dan terdapat lingkaran hitam seperti panda. Rambut acak-acakan, dia merasa seperti sudah tidak mempunyai gairah hidup.

Tapi memang benar, gairah hidupnya yang biasanya selalu bersemangat kini hilang entah kemana!

Ketika Nara sudah keluar dari kamar mandi, dia duduk di samping Ibunya. Mulai memakan nasi yang ada dihadapannya, rasanya hambar. Seperti keadaannya yang sekarang.

Karena perut yang lapar, Nara menghabiskan nasinya walaupun rasanya hambar. Dan meminum segelas susu yang sudah disiapkan.

Ibu Mira tersenyum saat makanannya dihabiskan, dia menaruh kembali piring dan gelas di atas nakas.

''Mau cerita? Mudah-mudahan Ibu bisa bantu buat jadi sandaran kamu.''

Nara mengangguk, dia sudah siap untuk menceritakan kejadian tadi malam sambil menahan agar air matanya tidak keluar lagi.

Sudah cukup! Dia lelah menangis, dan dia ingin berusaha menerimanya dengan ikhlas meski sulit.

.

.

.

Bersambung.

Makasih yang udah mau mampir, sebelumnya mau minta maaf kalau ada salah kata atau penulisan di novel ini yang menyinggung seseorang🙏. Ini karya asli dari hasil halu aku, jadi gk ada niat apa-apa. Maaf juga kalau alurnya sedikit berantakan, maklum ya ini karya pertama aku🥺🥺. Aku juga lagi belajar nulis🤧🤧

Selamat membaca ❤❤

Semoga suka🥰🥰

Dua Garis

Ibu mengusap air matanya, mendengar cerita putrinya sungguh membuat hati wanita paruh baya itu teriris. Sungguh dia tidak bisa membayangkan jika dirinya yang ada di posisi Nara, mungkin saja dia sudah tidak kuat lagi.

Ibu kembali memeluk Nara dan memenangkannya, bahwa semua akan baik-baik saja. Saat ini, ibu Mira hanya bisa menenangkan Nara.

Air mata terus menetes membasahi pipi mulus Nara, pikirannya saat ini sedang kacau. Dia sudah ternoda, wanita seperti dirinya tidak lagi pantas untuk hidup.

Tapi, Nara masih belum cukup puas dengan kehidupan yang ada di dunia ini. Dia belum merasakan dunia yang sesungguhnya. Pikirannya kembali waras, tidak ingin mati lebih dulu dan malah menanggung dosa. Walaupun dirinya memang sudah berdosa, tapi Nara berusaha untuk tidak menambah dosanya.

Waktu berjalan begitu cepat, kesedihan Nara perlahan hilang. Aktivitas nya pun sudah seperti biasa walaupun rasa trauma itu masih ada. Tapi waktu ternyata bisa menghapus luka. Meski tidak sepenuhnya.

Pekerjaan serta kuliah Nara masih berlanjut. Dan tentu saja, kejadian saat itu hanya Nara dan Ibunya yang tahu. Siang ini, Nara dan sahabatnya Kiki sedang bekerja. Sebentar lagi waktunya makan siang.

Perut Nara berbunyi saat itu juga. Ternyata rasa lapar sudah lebih dulu datang. Tapi waktu istirahat masih ada sepuluh menit lagi. Hanya sepuluh menit, Nara masih bisa menahannya.

"Ki, buruan temenin aku beli martabak. Perut aku udah laper banget!" keluh Nara. Waktu istirahat sudah lebih dari lima menit yang lalu tapi Kiki masih santai dengan pekerjaannya.

"Iya, bentar lagi selesai." Kiki menaruh kardus berisi pakaian itu ke gudang. Kemudian kembali ke tempat Nara berada.

Mereka berdua berjalan keluar, Nara yang memimpin jalan itu membawa Kiki ke tempat penjual martabak di pinggir jalan. Kening Kiki berkerut kala mengetahui ada sesuatu yang salah.

"Eh ... eh ... tunggu dulu!" Kiki menahan pergelangan tangan Nara. Nara menatap Kiki dengan heran seakan berkata, ada apa?

"Mau beli martabak?" Nara mengangguk.

"Kok tumben?"

Nara sudah sangat kelaparan, dia mengabaikan pertanyaan Kiki. Kakinya melangkah ke tempat penjual martabak kemudian memesan dengan tiga rasa, keju, kacang, dan coklat.

Mereka berdua duduk di kursi yang sudah di sediakan. Tidak menunggu waktu yang lama, martabak pesanan Nara sampai. Dengan mata berbinar dan air liur yang hampir menetes, Nara langsung mengambil martabak panas yang baru saja di angkat dari loyang kemudian memakannya dengan lahap.

Kiki menelan ludah, melihat Nara yang baru pertama kali memakan martabak itu masih tidak percaya. Apalagi saat melihat bagaimana cara Nara memakannya. Perutnya sudah terasa kenyang sebelum di isi.

"Ra, enak banget ya?"

Nara mengangguk, mulutnya penuh jadi dia tidak menjawab pertanyaan Kiki. Sampai martabak itu habis di makan oleh Nara, dan Kiki hanya memakan dua potong kecil.

Mereka melanjutkan pekerjaan dengan perut yang sudah kenyang. Tapi Kiki masih tidak percaya, Nara yang sejak dulu tidak menyukai martabak sekarang malah dengan semangat menghabiskan tiga loyang martabak itu sekaligus.

Sampai waktunya pulang kerja, Kiki mengantar Nara pulang ke panti. Setelah itu, dia baru melanjutkan perjalanannya dan pulang ke rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore saat mereka baru saja Sampai di panti asuhan.

"Makasih ya, Ki. Udah nganterin aku. Aku masuk dulu."

"Iya, sama-sama. Kalau gitu aku duluan, ya."

"Iya ..."

Setelah memastikan kendaraan Kiki sudah tidak terlihat Nara pun memasuki rumahnya. Di sana Nara sudah ditunggu oleh Ibu Mira serta adik-adiknya. Karena tubuh yang berkeringat Nara langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Hari ini dia benar-benar merasa lelah.

Saat baru saja masuk kamar mandi perutnya tiba-tiba merasa mual, ibu Mira yang kebetulan sedang lewat itu mendengar suara Nara yang sedang muntah-muntah.

Khawatir dengan keadaan anaknya, ibu Mira dengan cepat memasuki kamar mandi dan melihat Nara sedang mengeluarkan isi perutnya. Ibu Mira membantu Nara dengan memijit tengkuk Nara, setelah beberapa saat tubuh Nara terkulai lemas di lantai.

"Kamu nggak apa-apa, Nak?"

"Nggak, aku nggak papa Bu. Aku cuman mual saja." Nara menjawab sekenanya, tubuhnya sudah lemas serta wajahnya pun terlihat pucat.

"Oh ya udah, sekarang kamu istirahat, ya. Nanti biar Ibu bawakan makanan kesini."

Nara mengangguk, tapi sebelum itu dia melanjutkan acara mandinya yang belum selesai.

Ternyata bukan di hari itu saja Nara merasa mual dan muntah-muntah. Di hari berikutnya pun begitu, sungguh Nara sendiri baru pertama kali merasakan kejadian seperti ini. Tentu saja hal itu membuat Nara begitu tersiksa akibat mual dan muntah nya yang sering terjadi di pagi hari.

Sudah lebih dari seminggu Nara mengalami muntah-muntah, tentu saja hal itu membuat Ibu Mira merasa curiga, Nara bukan sakit karena Ibu sudah pernah membawa Nara pergi berobat ke puskesmas. Tapi ada sesuatu yang lain.

Pagi itu, setelah selesai mengantarkan sarapan ke kamar Nara, ibu Mira pergi menuju apotek dan membeli sesuatu untuk memastikan kecurigaannya. Tapi, dalam hatinya berharap bahwa kecurigaannya salah.

Saat sudah sampai di rumah, dengan cepat ibu Mira masuk ke dalam kamar Nara. Terlihat kalau Nara sedang tertidur. Ibu mendekat, melihat wajah Nara yang pucat sungguh membuatnya tidak tega.

Sebagai seorang Ibu, yang dia inginkan hanyalah kebahagiaan bagi putrinya. Memang bukan dia yang melahirkan Nara, tapi kasih sayangnya sudah seperti kasih sayang seorang Ibu pada umumnya.

Ibu Mira menahan air matanya agar tidak menetes, sekali lagi, dia berharap bahwa dugaan nya salah. Ibu Mira tidak sanggup bila kedepannya Nara akan menanggung hinaan yang mungkin bisa melukai mental Nara.

''Ra, bangun, Nak.'' Ibu menggoyangkan tubuh Nara, dia ingin langsung memastikan dugaannya benar atau tidak.

Nara menggeliat, dia membuka matanya perlahan dan melihat Ibunya. Kemudian bangkit dan duduk.

''Kenapa, Bu?''

''Ibu mau tanya,'' sebenarnya sedikit ragu untuk bertanya tapi dia harus memastikan bahwa dugaannya salah.

''Tanya apa?''

''Bulan ini sudah PMS belum?''

Nara menatap Ibunya bingung, kemudian mulai mengingat-ingat. Seketika matanya membola. Nara baru menyadari kalau sudah telat hampir dua minggu.

''Ah! iya Bu, Nara udah telat hampir dua minggu. Tapi kenapa ya, Bu?''

''Apa?? Hampir dua minggu?'' kekhawatiran nya menjadi, tidak mungkin kan?

''Coba kamu ke kamar mandi terus tes pakai ini'' Ibu memberikan dua tespek kepada Nara, yang mana malah membuat Nara semakin terkejut.

''Bu, i-ini buat apa?''

''Kamu test aja dulu nak, habis itu kita lihat hasilnya'' walaupun ragu, tapi Nara tetap mematuhi perintah Ibunya.

Setelah beberapa saat, Nara keluar dan menghampiri Ibunya yang sudah menunggu dengan cemas. Dadanya berdegup dengan kencang.

''Gimana?'' tanya Ibu, Nara yang memang belum melihat hasilnya pun langsung mengangkat tangannya dan memperlihatkan hasil yang sudah ditunggu oleh sang Ibu.

Dan, kembali dikejutkan. Ternyata ... Dua Garis.

Dua Anak

Semua berjalan sesuai dengan takdirnya masing-masing. Manusia hanya bisa menjalani nya seperti air mengalir. Walaupun tidak ingin seperti ini dan itu, tapi jika takdir sudah berkata, maka tidak ada yang bisa mengubahnya.

Satu hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Nara adalah mempunyai anak di luar nikah, tanpa suami yang menemani. Menanggung hinaan seorang diri. Dan menjadi ibu di usia muda.

Dulu, Nara sangat ingin merasakan memiliki keluarga kandung. Tuhan memang mengabulkan keinginan nya, tapi dengan cara yang tidak pernah ada di dalam benak Nara.

Nara melanjutkan langkahnya dan kemudian membuka pintu, dilihatnya kedua anaknya sudah bangun dan sedang duduk didepan televisi.

''Kalian udah bangun?'' tanya Nara tanpa berhenti dan menuju dapur untuk menaruh sayuran yang baru dia beli di kulkas.

''Udah, Bun, pagi ini kita udah ada janji mau pergi sama om Fahmi,'' jawab Nessa sambil mengikuti langkah Ibunya.

Nada bicara kedua anak Nara sudah lancar, padahal usianya baru empat tahun lebih. Tapi, Nara pikir bahwa pertumbuhan mereka memang cepat. Jadi Nara tidak memusingkan hal itu.

"Ya sudah, sekarang lebih baik kalian mandi."

Mereka mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Setengah jam berlalu dan kedua anak Nara keluar dari kamar dengan memakai pakaian santai.

Nessa adalah anak pertama Nara, wajahnya sangat putih dan cantik. Hampir sama dengan dirinya, tapi wajah Nessa dan Nara tidak begitu mirip. Nara berpikir, mungkin wajah Nessa kebanyakan mirip dengan ayahnya.

Apalagi saat melihat wajah Nevan, hidung yang mancung dengan kulit yang putih serta bibir yang merah itu tidak ada kemiripan dengan Nara sama sekali.

Nara yang sedang membuat roti untuk kedua anaknya mendengar pintu rumahnya di ketuk. Nevan yang juga mendengar itu segera pergi membuka pintu.

''Om Fahmi, udah dateng? Masuk dulu Om.'' Kemudian Nevan dan Fahmi duduk diruang tamu.

''Mau minum dulu nggak, kak?''

''Enggak, usah. Kita mau langsung aja.'' Fahmi menoleh ke arah Nevan. Dan Nevan hanya mengangguk.

''Ya sudah, tapi kalian berdua makan roti dulu, yang udah Bunda siapin tadi,'' ucap Nara seraya menunjuk ke arah Nevan dan Nessa.

Mereka mengangguk, hanya dalam waktu lima menit, Kedua anak Nara sudah menghabiskan roti buatan Nara dan meminum segelas susu yang sudah disiapkan.

Nara mengantarkan mereka sampai depan pintu dan kemudian kembali masuk kedalam rumah. Matanya melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi.

Sebentar lagi waktunya Nara untuk berangkat ke butik, tapi dia masih belum mandi. Rumah juga belum dia sapu dan bersihkan.

Nara mendesah pelan, tadi dia bangun kesiangan karena semalam dia tidur terlalu malam dan sekarang tubuhnya masih terasa lelah. Tidak apalah sekali-kali dia sedikit terlambat, begitu pikirnya.

Saat sedang bersih-bersih, bola mata Nara sempat melirik kearah kalender. Seketika dia baru teringat kalau hari ini adalah hari minggu, pantas saja Kedua anaknya tadi masih santai dan pergi dengan Fahmi.

"Ah, masa aku udah kena faktor U? Umur tiga puluh juga belum." Nara menggelengkan kepalanya.

Efek kelelahan membuatnya sedikit lebih pelupa. Butik nya juga setiap hari minggu akan tutup, jadi buat apa dia pergi ke butik? Sungguh, kali ini Nara benar-benar merasa lelah hingga mempengaruhi daya ingatnya.

Terdengar suara motor mendekati rumah Nara saat Nara sedang duduk santai di depan televisi dengan camilan di depannya, setelah selesai membersihkan seluruh rumahnya, dia tidak mempunyai ART karena rumah yang Nara punya juga hanya satu lantai. Membersihkan rumah sendiri masih sanggup Nara lakukan.

''Ara, sayang ...''

Nara menutup kedua telinganya saat tau siapa yang menjadi tamunya, suara Kiki yang dari dulu tidak pernah berubah dan masih sama, cempreng.

''Masih pagi, nggak usah ribut di rumah orang,'' Nara menurunkan tangannya dari telinga dan melanjutkan acara ngemilnya yang sempat tertunda karena suara teriakan Kiki.

Kiki hanya nyengir mendengar ucapan Nara, dia ikut mendudukkan dirinya di samping Nara dan ikut memakan camilan yang ada di depan Nara.

''Yaelah, sama sahabat sendiri aja gitu amat, Ra!''

Nara tidak mendengarkan ucapan Kiki, dia hanya diam sambil menyimak berita yang sedang di tonton nya.

''Eh ... Ki!'' Kiki menoleh ke arah Nara saat Nara memanggilnya.

''Kenapa?''

''Itu ...'' Nara menunjuk ke arah televisi, yang mana membuat Kiki keheranan.

''Kenapa emangnya?''

''Itu, laki-laki yang lagi viral, yang katanya pengusaha sukses yang masih muda.''

''Terus kenapa?'' Kiki masih belum menangkap inti dari pembicaraan Nara. Apakah ada yang salah dengan pengusaha itu?

''Masih nggak nyadar juga?'' Kiki hanya menggeleng, dia memang belum menyadari apa maksud perkataan Nara. Dan Nara hanya bisa menghela napas.

''Laki-laki yang lagi viral itu, menurut kamu, keliatan mirip sama Nevan nggak sih?''

Sontak perkataan Nara membuat Kiki ikut melihat apa yang tadi Nara lihat. Ah! ternyata benar, Kiki juga merasa kalau apa yang dikatakan oleh Nara itu tidak salah. Pengusaha yang sedang viral di televisi itu wajahnya hampir sama dengan Nevan putra Nara.

''Beneran deh Ra, dia mirip banget sama Nevan. Jangan-jangan, dia ayah kandungnya Nevan?!''

Nara diam, benarkah laki-laki yang sedang dia tonton adalah Ayah dari anaknya? Tapi, buru-buru Nara menggelengkan kepalanya, tidak ingin berpikir macam-macam. Mungkin saja mereka hanya mirip. Mirip bukan berarti keluarga kandung, 'kan?

''Bukan berarti dia Ayahnya anak-anak 'kan? Palingan cuma mirip doang!"

Kiki menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ''iya juga sih. Tapi beneran mirip lho Ra.''

''Kalau dia beneran Ayahnya anak-anak, terus aku bisa apa? Minta tanggung jawab? nggak mungkin.'' Nara tersenyum kecut, hidupnya sudah penuh dengan drama tapi masih belum bisa mencapai kesempurnaan.

Nara berpikir, mungkin hidupnya memang sudah ditakdirkan begini. Menyedihkan menurutnya, dari kecil tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang Ayah, walaupun dia juga mendapat kasih sayang Ibu dari Bu Mira, tapi tetap saja rasanya masih kurang.

Nara juga tidak pernah merasakan rasanya memiliki orang tua kandung. Dan saat ini dia juga masih tidak bisa membuat anaknya mendapatkan seorang Ayah.

Kiki mengerutkan dahi, heran. ''Kenapa nggak bisa minta tanggung jawab? Harusnya kan dia nikahin kamu biar status Nevan sama Nessa jelas. Terus kamu juga udah nggak harus nanggung hinaan lagi, Ra.''

''Mau minta tanggung jawab gimana? kamu nggak tau kalau laki-laki itu udah punya istri?''

''HAH!!''

Teriakan Kiki membuat telinga Nara merasa berdengung. Apalagi saat ini Kiki tepat berada di samping kanannya dan hanya berjarak beberapa centimeter saja. Nara mengusap-usap telinganya saat masih terasa berdengung. Menurutnya reaksi Kiki sangat berlebihan

''Tapi, kamu tau dari mana kalau laki-laki itu udah punya istri?''

Nara memutar bola matanya malas. ''Makanya, liat dulu baru ngomong. Kamu liat sendiri ... ''

Nara menghentikan ucapannya dan tangannya menunjuk ke arah TV. Kiki dengan reflek ikut mengarahkan pandangannya.

''Kamu liat perempuan di sana?'' tanya Nara.

Kiki mengangguk. ''Dia istrinya!'' ucap Nara singkat, lagi-lagi Kiki menoleh ke arah Nara. Merasa kasihan dengan kehidupan sahabatnya. Seharusnya laki-laki itu bertanggung jawab dengan menikahi Nara dan memberikan status dengan jelas kepada anaknya.

Tapi sekarang malah laki-laki itu sudah menikah. ''Ra, sekarang aku berharap bukan dia ayahnya anak-anak.''

Nara menatap Kiki dengan heran. ''Kenapa? bukannya tadi kamu yang minta dia yang jadi Ayah kandungnya anak-anak?''

''Nggak jadi. Kalau dia beneran Ayah kandungnya anak-anak, terus nasib kamu gimana? Sedangkan dia udah punya istri. Nggak mungkin kan kamu minta dia buat jadiin kamu istri kedua?''

Sontak Nara memukul lengan Kiki dengan keras sampai Kiki meringis merasakan pukulan dari sahabatnya.

''HEH!! Kamu pikir aku perempuan apaan? Walaupun dia ayah kandungnya anak-anak juga udah terlambat buat kasih tau. Gimana kalau dia juga udah punya anak? Terus nasib anak aku gimana? Mereka bakal diketawain. Mendingan nggak usah kasih tau dia, aku masih sanggup buat ngerawat anak-anak sendiri.''

Kiki merasa bersalah setelah mendengar ucapan Nara, padahal niatnya tadi hanya bercanda, tapi Nara malah menganggapnya serius. Apa perkataannya keterlaluan? sampai reaksi Nara seperti itu.

''Ma-maaf Ra, aku tadi cuma bercanda jangan di anggap serius.''

Nara mendengus, ''kamu bercandanya keterlaluan, tau nggak?''

''Iya, aku kan udah minta maaf."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!