NovelToon NovelToon

(New Story) Pengasuh Cantik Sang Putri CEO

Insiden di hari pertama

"Akh!"

Mentari berteriak saat melihat seorang pria berdiri dengan keadaan polos. Ia sedang memegang t-shirt yang tidak jadi dipakai karena terkejut mendengar teriakan gadis itu. Secepat kilat, gadis itu membanting pintu dan berlari menuruni anak tangga.

Di kamar, pria itu masih syok. Kedua mata elangnya itu mengerjap berkali-kali. Mulutnya menganga lalu mengatup beberapa detik kemudian.

"Siapa wanita itu? Kenapa dia masuk ke kamarku tanpa izin?"

Will segera mengenakan baju dan celananya. Dengan emosi yang memuncak, ia berlari mencari gadis tadi. Sementara orang yang sedang dicari itu ada di kamar Monica, anak dari pria itu.

"Bi! Kemana dia?"

Dari arah dapur, wanita paruh baya yang dipanggil itu menyahut.

"Iya, Tuan," sahut Imah sambil membawa kain lap di pundaknya. Ia sedang menyiapkan sarapan di meja makan, tapi teriakan majikannya itu membuat ia meninggalkan pekerjaannya. "Ada apa, Tuan?"

"Mana gadis itu?"

"Gadis yang mana, Tuan?"

"Itu, gadis pendek, kulitnya sawo matang, pakai baju kemeja lengan pendek warna biru, celana hitam panjang. Kemana dia?"

"Oh, maksud, Tuan, Neng Mentari," ucap Imah saat mengenali ciri-ciri yang disebutkan oleh William.

"Mentari atau awan, saya tidak mau tahu namanya. Yang saya tanyakan, dimana dia?"

"Mungkin di kamar Non Monic, Tuan."

"Kenapa dia di sana?"

"Dia pengasuh baru. Baru tiba tadi malam, Tuan.

"Terima kasih, Bi."

William segera berlari menuju kamar putrinya. Monica Anindita Prasetyo, dia ditinggalkan ibunya sejak bayi. Semua berpikir ibunya meninggal saat melahirkannya.

Cerita seungguhnya, hanya William dan keluarganya saja yang tahu. Mereka sepakat untuk tidak mengungkit masalah ibu kandung gadis kecil itu. Biarkan saja Monica meyakini bahwa ibunya telah lama meninggal.

"Hei, kamu!" Will langsung menunjuk Mentari saat ia membuka pintu kamar Monic. 

Mentari berjalan sambil menundukkan wajahnya. Seumur hidup, ia tidak pernah melihat tubuh laki-laki dewasa polos tanpa kain sama sekali. Tidak disangka, hari pertama bekerja justru melihat hal tabu itu.

"Saya tidak sengaja, Tuan."

"Apa kamu tidak bisa mengetuk pintu?"

"Maaf, Tuan. Saya pikir tidak ada orang, karena Non Monic bilang, Tuan ada di luar kota."

"Kenapa kamu masuk ke kamarku? Apa kamu berniat mau mencuri sesuatu dari kamarku?"

"Ti-tidak, Tuan. Non Monic meminta saya mengambilkan bonekanya yang tertinggal di kamar itu."

William mengernyitkan dahi. Kamar itu selalu terkunci saat ia pergi keluar kota. Bagaimana mungkin Monic bisa meninggalkan boneka di kamarnya.

Monica senyum-senyum sendiri sambil menutup mulutnya. Ia tahu, pasti putrinya itu sengaja mengerjai Mentari. Will berjalan melewati gadis itu dan berhenti di depan putrinya.

"Itu ulahmu 'kan? Ayo jawab papa!" William membentak gadia kecil itu.

Bukan hanya Monic yang terperanjat, tapi Mentari juga ikut terkejut. Monica masih sangat kecil, ia baru berusia empat tahun. Rasanya sedikit keterlaluan, jika William sampai memarahinya sekeras itu.

Mentari segera berlari dan berdiri di depan Will. Ia menyembunyikan gadis kecil itu di belakang punggungnya. Monica memang anak yang nakal, tapi bukan berarti harus dibentak seperti penjahat.

"Maaf, Tuan, Anda tidak perlu berteriak seperti itu," ujar Mentari membela Monic.

"Siapa kau? Aku sedang mendidik anakku dan kau … tidak punya hak untuk ikut campur."

Monica mendorong Mentari, sehingga gadis itu tersungkur ke dalam pelukan Will. Sementara si pembuat ulah telah berlari keluar dari kamar. Tersisa mereka berdua yang saling menatap satu sama lain.

Hingga beberapa saat kemudian, Will mendorong tubuh Mentari sampai terbaring di atas ranjang. Keduanya merasakan detak jantung yang naik tak beraturan. Suasana canggung itu harus diakhiri, Mentari segera bangun dan pergi meninggalkan William yang masih membatu.

"Chh! Berapa umurnya, kenapa pendek sekali? Dan, itu … lebih kecil dari ukuran wanita dewasa pada umumnya," gumam William sambil tersenyum geli.

Tadi, ia tidak sengaja menyentuh bukit kembar milik Mentari. Ia menduga, gadis itu masih umur belasan tahun. William akan terkejut jika tahu usia gadis itu yang sudah menginjak dua puluh tiga tahun.

***

"Non Monic, pulang sekolah jam berapa?"

"Jam sepuluh. Kenapa? Tante mau kabur, ya?" tanya Monica menyelidik.

"Tidak. Tante ada urusan sebentar, nanti balik lagi, kok, jemput Non Monic."

"Bohong! Mereka semua juga bicara begitu, tapi mereka tidak kembali lagi," ucap Monica sambil menunjukkan wajah muram.

"Mereka, siapa?"

"Pengasuh. Mereka selalu bilang akan kembali menjemput, tapi mereka pergi dari rumah."

Gadis kecil itu menangis sedih. Mentari adalah pengasuh yang kesepuluh. Sembilan orang pengasuh terdahulu, mereka kebanyakan tidak tahan dikerjai oleh Monic. Sehingga, mereka selalu mengantarkan gadis itu ke sekolah dan pergi tak pernah kembali.

Mentari berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil itu. Ia memeluk Monica dan menenangkannya. Sebagai anak adopsi yang tak pernah tahu bagaimana rupa ibunya, ia sangat mengerti perasaan gadis kecil itu.

"Monic bisa pegang janji Tante. Tante pasti kembali menjemput, Monic. Jangan menangis," ucap Mentari sambil menepuk lembut punggung Monica.

Gadis itu masuk ke dalam TK. Glory. TK terbesar dan terbaik di Ibukota. Alasan Mentari tidak mengantar Monica sampai ke kelas karena ia takut bertemu pemilik sekolah taman kanak-kanak itu.

"Lebih baik aku pergi sekarang," gumam Mentari sambil melirik ke kanan dan ke kiri, lalu menyeberang jalan. Ia menyetop mobil taksi dan pergi dari sekolah.

Mentari mengenal pemilik sekolah itu, karenanya ia takut. Akan terasa janggal di mata wali murid yang lain jika mereka mengetahui seorang pengasuh mengenal pemilik sekolah mewah itu. Mereka akan mempertanyakan asal-usulnya.

***

Mentari tiba di sebuah taman. Ia menelepon seseorang dan mengajak bertemu di sana. Sesekali, pandangannya berkeliling, mengamati sekitar.

"Saya di taman," pungkas Mentari menutup panggilan telepon.

Dua puluh menit kemudian, ada seorang wanita yang menghampirinya. Ia duduk di samping Mentari dengan setumpuk file di pangkuannya. Mereka mengedarkan pandangan. Dirasa aman, baru mereka saling menyapa.

"Aduh, Mentari. Kenapa kita jadi seperti penjahat begini, sih?"

Wanita itu menggerutu. Ia adalah sahabat Mentari. Hanya dia yang bisa dipercaya untuk menyimpan rahasia dari gadis itu.

"Bawel. Sudah, cepat berikan dokumen yang harus ditandatangani! Aku harus segera kembali, takut terjebak macet."

"Nih!" Wanita itu menyerahkan berkas-berkas bermaterai yang harus ditandatangani oleh Mentari. Tidak terlihat jelas, surat apa yang ditandatangani olehnya.

Siapa sebenarnya Mentari? Kenapa mereka harus bertemu diam-diam seperti itu?

*BERSAMBUNG* * **

Kalian penasaran bagaimana kelanjutannya? Simak ceritanya dan kasih dukungan buat penulis. Kalian bisa kasih vote, like, hadiah juga boleh. Jangan lupa tambahkan ke favorit, biar tidak ketinggalan updatenya.

 

Sampai jumpa di chapter selanjutnya.

*Terima kasih*

Tertangkap basah

Monica duduk ditemani satpam di pos. Sudah satu jam sejak jam pulang sekolah, tapi gadis cilik itu masih tidak mau beranjak dari sana. Wali kelasnya terpaksa menelpon William untuk menjemput putrinya.

"Monic, ibu antar pulang ya?"

"Tidak mau! Monic mau menunggu tante datang."

Gadis cilik itu bersikeras menunggu Mentari. Tiga puluh menit berlalu, William tiba. Ia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. 

Beberapa pengasuh terdahulu, mereka melakukan hal seperti ini. Berjanji menjemput Monica sepulang sekolah, tapi tidak pernah datang lagi. Saat itu, pasti William yang menjemputnya.

Gadis itu tidak akan bisa dibujuk, kecuali ayahnya sendiri yang datang menjemput. Sebenarnya, ia sangat kasihan melihat Monica. Namun, ia tidak bisa memaksa para pengasuh itu untuk tetap tinggal.

"Monic!" Will memanggil putrinya yang sedang terisak, ditemani wali kelas, dan juga satpam. 

"Papa! Tante bohong. Tante tidak datang menjemput Monic. Tante jahat, Pah. Huwah …. Hiks."

Wali kelasnya berbalik, menghapus air mata yang turun membasahi pipinya. Tangisan gadia kecil itu begitu menyayat hati. Will bahkan ikut merasakan sesak di dadanya saat gadis kecilnya menangis.

"Monic, Sayang …. Sekarang pulang sama papa dulu, ya. Tante mungkin ada di rumah," bujuk William sambil bersimpuh dengan satu lututnya menempel di tanah.

"Tidak ada. Tante pasti tidak ada di rumah, hiks," ujar gadis kecil itu di sela isak tangisnya.

William tidak bisa menjamin keberadaan Mentari dimana. Jika terus membujuk Monica seperti itu, juga tidak akan membuat keadaan hati gadis itu berubah. Ia menggendong putrinya dan melangkah menuju mobil.

"Tunggu! Hah! Hah!" Mentari datang dengan napas terengah-engah. Wajahnya berubah merah, keringat membanjiri wajah, dan bajunya pun basah.

"Tante! Hiks …." Monica memberontak dari gendongan ayahnya. Ia berlari menghampiri Mentari yang sedang berdiri mengatur napas.

Gadis itu berjongkok dan memeluk Monica. "Maafkan tante, Sayang. Tidak ada taksi yang lewat, jadi tante lari ke sini. Maaf, tante terlambat."

William tersenyum melihat putrinya berhenti menangis. Hal yang lebih membahagiakan adalah, Mentari, satu-satunya pengasuh yang menepati janjinya. Gadis itu bahkan rela berlari agar tetap bisa menjemput Monica.

"Sekarang, kita pulang, ya. Jangan menangis lagi, dong," bujuk Mentari sambil bangun dan menggendong Monica. "Maaf, Tuan, saya tidak bermaksud~"

"Aku tahu. Aku antar kalian pulang dulu kalau begitu. Setelah mengantar kalian, baru aku kembali ke kantor," ujar laki-laki itu sambil membuka pintu mobil.

"Terima kasih, Tuan."

Monica duduk di kursi belakang bersama Mentari. Gadis kecil itu duduk di pangkuan pengasuhnya dan tidak mau melepaskan pelukan. Ia sangat bahagia, karena akhirnya ada orang yang tidak berbohong padanya.

***

"Aku ingin kamu mencari tahu latar belakang seorang gadis bernama Mentari. Kau, bisa melakukannya, Firman?"

Laki-laki itu menaikkan sebelah alisnya. Sejak kapan, sahabatnya itu suka mengurusi hidup orang? Firman adalah anggota detektif swasta.

"Bisa saja … tapi, untuk apa?"

"Aku harus mencari sesuatu yang bisa aku pakai untuk menundukkan dan mendapatkan gadis itu."

"Hah? Mendapatkan … bagaimana maksudmu?" tanya Firman sambil mengubah posisi duduknya.

"Aku ingin menikahinya."

"Hei, Bro! Sejak kapan seleramu menjadi turun derajat begini? Dia cuma seorang pengasuh, wajahnya juga tidak cantik-cantik amat. Kamu pasti bercanda 'kan?" tanya Laki-laki itu masih belum percaya. Mungkin sahabatnya itu sedang ingin mengerjainya, pikiran laki-laki itu masih menyangkal untuk percaya.

"Aku serius. Putriku butuh sosok seorang ibu dan aku rasa dia cukup memiliki kualifikasi."

"Apa kau mencintainya?"

"Jangan bercanda, Fir! Mana mungkin aku menyukai gadis kecil itu."

"Lalu, apa dia mencintaimu?"

"Sepertinya, tidak."

"Lalu, bagaimana bisa kalian menikah? Apa kau pikir, dia akan menerimamu menjadi suaminya begitu saja? Tanpa cinta, tanpa ada rasa sayang, tiba-tiba dilamar. Kau pikir dia bisa menikah denganmu begitu saja?"

"Aku tidak tahu," jawab Will singkat.

Firman tidak bisa menolak permintaan William. Ia berjanji untuk membantunya mencari tahu latar belakang Mentari. Terserah apa yang akan sahabatnya lakukan dengan hasil penyelidikannya nanti.

***

"Monic! Tante sudah kedinginan, nih. Lepasin tante, dong," ujar Mentari yang dikurung di kamar mandi oleh gadis cilik itu.

"Tante harus berendam sampai papa pulang," jawab Monica di depan pintu kamar mandi.

Mentari bisa saja bangun dari dalam bak mandi, tetapi ia sudah berjanji akan menerima hukuman dari Monica. Hukuman itu sebagai kompensasi atas keterlambatannya menjemput gadis kecil itu tadi siang. Tidak menyangka, jika ia akan dihukum berendam sampai satu jam lebih. 

"Tahan, Tari! Kamu harus bertahan," gumam Gadis itu dengan bibir gemetar. 

Pantas saja, para pengasuh itu tidak tahan bekerja di rumah itu. Rupanya, semua itu karena Monica sangat nakal. Berbeda dengan Mentari yang menganggap gadis kecil itu hanya mencari perhatian.

Deru mesin mobil terdengar memasuki garasi. Monica segera berlari menyambut ayahnya di depan pintu. Ia melupakan Mentari begitu saja.

"Papa!"

"Halo, Sayang. Bagaimana PR-mu? Sudah dikerjakan?"

"Sudah, Pah."

"Kenapa belum tidur?" tanya William sambil melirik jam tangannya.

"Nunggu Papa pulang," jawabnya dengan manja.

William mengedarkan pandangan. Gadis yang dicarinya itu tidak kelihatan batang hidungnya. Ia pun bertanya pada putrinya.

"Tante kemana?"

"Di kamar mandi," jawab Monica dengan polos.

"Oh, sedang mandi."

"Bukan, Pah. Tante sedang berendam di kamar mandi Monic," tambahnya menjelaskan.

"Kenapa harus di kamar kamu, Sayang? Di kamar tante juga ada kamar mandi."

"Monic yang nyuruh, Pah. Tante nakal, jadi Monic hukum tante berendam," jawab Monica dengan wajah tanpa dosa.

"Apa?!" William terkejut bukan main. Ia menurunkan Monica dan berlari ke kamar atas. Saat ia membuka pintu kamar mandi, Mentari segera bangun dari bak.

Gaun tidurnya yang basah mencetak setiap lekukan tubuh wanita itu. Di balik penutup dada berwarna merah itu, ia bisa melihat kedua bukit kembar yang terlihat kecil, tapi ternyata lumayan besar. Ia memberikan handuk padanya.

"Keluar dari kamar ini sekarang," ujar Will.

"Ba-baik, Tuan."

Mentari melangkah hati-hati karena kakinya basah dan licin. Sudah berusaha untuk tidak terjatuh, tapi ia terpeleset, dan tersungkur menabrak tubuh William. Tidak bisa menahan keseimbangan, mereka akhirnya terjatuh.

"Woah!" Keduanya memekik bersamaan.

Gubrak!

"Aduh," rintih Mentari di atas tubuh William. Bajunya yang basah itu jadi membasahi kemeja laki-laki itu. Mereka terdiam beberapa saat, lalu suara gadis kecil itu menyadarkan mereka.

"Papa dan Tante, sedang apa?"

Mata gadis kecil itu menatap ke arah tangan ayahnya menyentuh pinggul Mentari yang menimpa tubuhnya. William mendorong wanita itu dan bangun dengan baju bagian depan basah. Ia segera pergi tanpa memberikan penjelasan pada gadis kecil itu.

*BERSAMBUNG*

Identitas yang mulai terungkap

Mentari bersin-bersin di pagi hari. Tubuhnya sedikit demam, tapi ia tetap harus menjalankan tugasnya. Ia keluar dari kamar dengan menggunakan masker.

"Kenapa pakai masker, Tante?" tanya Monica.

"Tante sedikit flu. Kalau tidak pakai masker, takutnya Non Monic ketularan."

"Oh." Monica menggandeng tangan Mentari dan pergi menggunakan mobil William. Sopir yang mengantar mereka ke sekolah, setelah mengantarkan mereka, sopir kembali ke rumah, pergi mengantar William ke kantor.

***

Di depan gerbang sekolah, Monica memaksa Mentari ikut masuk ke dalam. 

"Ayo, Tante."

"Tante nunggu di sini saja, ya, Non," tolak Mentari.

"Nggak mau! Tante harus ikut masuk. Kalau tidak masuk, Monic nangis, nih." 

Mentari tidak bisa masuk ke dalam, khawatir bertemu dengan orang yang tidak ingin ditemuinya. Namun, ancaman Monic membuatnya terpaksa mengalah. Dengan persyaratan ia tidak masuk ke kelas.

"Oke. Tante mau masuk, tapi tidak boleh masuk ke kelas 'kan. Jadi, tante nunggu di taman, di …." Matanya berkeliling mencari tempat yang teduh untuk menunggu. "Ah, di sana. Tante nunggu di dalam rumah jamur itu, oke."

"Oke."

Monica berjalan masuk ke kelas, sementara Mentari masuk ke dalam rumah-rumahan berbentuk jamur. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, membuat ia mudah masuk dan duduk di dalam. Ia menghindari panas matahari yang membuat kepalanya terasa semakin berat.

"Uhuuk! Uhukk! Ehm, badanku tambah panas. Semoga tidak semakin parah, deh. Pulang sekolah nanti, aku akan minum obat."

Mentari bersandar ke dinding, matanya menangkap seseorang yang berjalan di koridor sekolah. Laura. Dia adalah gadis yang sangat tidak ingin ditemui olehnya.

Untungnya, Mentari berada di dalam rumah jamur. Kepalanya yang terasa sakit, membuat ia memilih untuk memejamkan mata. Ia harap sakitnya bisa reda dengan menutup mata.

Tiga jam kemudian, jam sekolah berakhir. Monica memanggil-manggil Mentari beberapa kali, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Sampai sopir suruhan ayahnya datang menjemput.

"Lho, Non Monic, sendirian? Tante Tari kemana?" tanya sopir.

"Tidak tahu. Tante pasti kabur seperti yang lain." Monica cemberut. Ia pun pulang berdua saja bersama sopir.

Sampai sore menjelang, Mentari masih belum pulang ke rumah. Monica sudah uring-uringan, tidak mau makan, tidak mau mandi, dan mendorong Bi Imah sampai terjatuh. Jika sudah mengamuk seperti itu, hanya William yang bisa menenangkannya.

Baru saja Imah memegang gagang pesawat telepon, sang Tuan sudah tiba. Ia tidak jadi menelpon dan menaruh kembali gagang pesawat telepon ke tempatnya semula. Ia segera menghampiri majikannya, mengambil tas kerja di tangannya, lalu menaruhnya di dalam kamar.

"Terima kasih, Bi. Monic kemana?"

"Non Monic di teras belakang, Tuan. Sejak pulang sekolah, Non Monic terus mengamuk."

"Mengamuk? Kenapa?"

William mengernyitkan dahi. Biasanya hal itu terjadi saat pengasuhnya kabur. Mentari tidak kabur dari rumah, jadi kenapa putrinya itu mengamuk?

"Itu, Neng Mentari tidak datang menjemputnya. Non Monic pulang sendirian diantar Pak Jono."

"Tidak mungkin. Kemarin, dia sampai bela-belain lari untuk menjemput Monic. Aneh?" tanya William.

"Saya tidak tahu, Tuan." Imah keluar dari kamar sang majikan.

William pergi ke kamar mandi. Ia ingin membersihkan diri terlebih dulu sebelum membujuk putrinya. Di bawah pancuran air kran shower, ia terus berpikir. Mungkinkah, ia yang terlalu berlebihan menilai Mentari?

Awalnya, ia sudah senang karena telah menemukan orang yang tepat untuk menjadi ibu pengganti. Ternyata ia kecewa, Mentari juga pergi seperti pengasuh terdahulu. Ia tidak memiliki perasaan untuk gadis itu, hanya ingin menjadikan gadis itu pengasuh sampai Monica bisa mengurus dirinya sendiri.

Selesai mandi dan mengganti baju, ia pergi mencari putrinya yang masih menangis. Gadis kecil itu memarahi Imah yang mengajak Monica mandi karena hari sudah sangat sore. Matahari sudah hampir tenggelam, kembali ke peraduan.

"Monic! Ayo mandi, Sayang," bujuk William.

"Monic maunya mandi sama tante," ujar Gadis cilik itu.

"Sini, Sayang!" William mengangkat Monica dan mendudukkannya di pangkuan. "Papa mau tanya. Memangnya, tante tidak bilang sebelum pergi meninggalkan kamu di sekolah?"

Monica mengingat-ingat lalu menggeleng. Namun, sedetik kemudian ia ingat. Gadis berusia empat tahun yang terlalu cerdas itu segera turun dari pangkuan ayahnya.

"Ayo pergi jemput tante, Pah!"

"Pergi kemana, Sayang. Tenang dulu, bicara pelan-pelan."

"Tante bilang, tante nungguin Monic di rumah jamur," ujar Monica.

"Tante pasti sudah pergi dari sana. Sekarang, Monic mandi sama Bibi, terus makan. Biar papa suruh orang buat cari tante."

"Gak mau, Pah. Tante masih di sana. Ayo, Pah!"

Monica sangat yakin kalau Mentari masih berada di rumah jamur. William tidak percaya dengan dugaan putrinya. Apalagi, ini sudah gelap, sekolah sudah tutup sejak siang tadi.

'Heh! Mana mungkin dia masih di sana.'

William akhirnya mengalah karena putrinya terus mendesak. Mereka pergi berdua tanpa sopir. Laki-laki itu hanya ingin membuktikan, bahwa Mentari pasti sudah pergi dari sana.

Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di depan gerbang sekolah. Seorang satpam menghampiri mobil William. Ia mengenali wajah Monica sebagai anak didik di taman kanak-kanak itu.

"Neng Monic, ada apa ke sini sore-sore?" tanya satpam menyapa mereka saat turun dari mobil. 

"Pak, cepat buka pintunya!"

"Begini, Pak. Monic sangat yakin kalau pengasuhnya ada di dalam rumah jamur di taman sekolah ini."

"Masa, sih? Perasaan saya, semua sudah keluar. Tapi, kalau mau melihat, bisa saya antar."

Satpam membukakan pintu gerbang, mengantar mereka ke taman bermain di samping gedung sekolah. Monica berlari lebih dulu ke rumah jamur, tapi suasana taman itu terlalu gelap saat malam. Mereka tidak bisa melihat dengan jelas.

Senter dinyalakan, menyoroti bagian dalam rumah jamur. Benar dugaan Monic, Mentari terbaring di dalam sana dengan kondisi tidak sadarkan diri. William bergegas masuk dan menggendong gadis itu keluar.

Masker yang menutup mulutnya terlepas saat William menggendongnya. Satpam membelalak saat masker itu terjatuh. Ia mengenali wajah itu.

"Bu Mentari?!"

"Anda mengenal Mentari?" tanya William. Ia merasa heran, karena satpam itu begitu sopan memanggil Mentari.

"Dia ini anak kedua pemilik TK ini, Pak. Saya heran, kenapa Bu Mentari jadi pengasuh Non Monic?" 

Baik Will atau satpam, keduanya sama-sama tidak mengerti. Mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, William meminta satpam itu merahasiakan hal ini. Ia memberikan uang tutup mulut pada satpam itu, lalu pergi membawa Mentari ke rumah sakit.

William semakin penasaran dengan asal-usul gadis itu. Apalagi, Firman masih belum melaporkan hasil penyelidikan. Kenyataan bahwa Mentari adalah anak kedua pemilik TK Glory, membuatnya ingin mengungkap alasan gadis itu bekerja sebagai seorang pengasuh.

'Apa motif gadis ini masuk ke rumahku sebagai pengasuh?'

*BERSAMBUNG****

Penasaran? Dukung terus kisah ini dengan like, vote, rate, gift jg boleh, hihi. Nantikan kelanjutannya.

Terima kasih

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!