NovelToon NovelToon

Tak Ada Kata Sayang

Pendahuluan

Bandara Singapura Changi—Indonesia, Jakarta.

Cerita ini bermula pada jam sepuluh pagi tanggal 6 Agustus 2005M, bertepatan dengan 1 Rojab 1426 H, ketika sosok pemuda tampan itu sedang duduk di kursi bandara. Sedang menunggu pesawat yang akan ia tumpangi take-off setengah jam lagi. Malam itu, ia dapat kabar kurang baik dari ibunya. Raut wajahnya datar, tanpa ekspresi. Entah apa yang membuat dia seperti itu. Jika itu orang lain mungkin akan resah. Tetapi berbeda dengan dia. Ya! Dia adalah Muhammad Langit Arkarna Abdullah

Setelah menunggu hampir setengah jaman, akhirnya pesawat yang ditumpangi pemuda itu akan segera lepas landas.

Setelah kurang lebih satu jam tiga puluh lima menit. Pemuda itu telah sampai di bandara internasional Soekarno—Hatta. Dengan cepat pemuda itu keluar dari bandara, dengan menarik koper miliknya. Pemuda itu mencari taksi, agar sampai di kediamannya dengan cepat.

Pemuda itu telah sampai di kediamannya. Pemuda itu keluar dari taksi. Pemuda itu berdiri didepan pagar, tatapan lurus, tertuju pada bendera kuning yang ada di depan rumahnya. Bendera kuning menunjukkan bahwa ada duka, banyaknya orang memakai baju hitam membuat semua orang mengerti apa arti semua itu. Perlahan pemuda itu melepas kaca matanya. Manik mata hitam itu menyapu semua yang ada di sana.

Hampir semua orang yang ada di sana, matanya tertuju kepada pemuda tampan yang memakai kemeja hitam, yang tak lain adalah Langit. Langit tak menghiraukan orang yang melihat dirinya dengan tatapan kagum, ia memilih untuk berjalan melewati banyaknya kerumunan yang sedang melayat.

Di sisi lain wanita itu harus menerima cacian dari Ibu tirinya.

"Kau itu pembawa sial," sinis wanita paruh baya itu, kepada anak tirinya dengan menunjuk muka anak tirinya.

"Lihatlah! Calon suamimu MATI! Padahal belum pernah bertemu denganmu," ucapnya, sambil menaruh tangannya di depan dada.

Wanita yang ada di depannya hanya diam tak menjawab sepatah katapun darinya. Ya, dia adalah Bintang Cahaya Bulan. wanita itu sedang mendapat cacian dari Ibu tirinya.

Aku berucap pun akan salah, mending aku diam mendengar ocehan dari mu. Batin Cahaya sambil mengelus dada.

Cahaya tak heran dengan sikap ibu tirinya itu. Karena cacian dan hinaan akan diberikan kepada Cahaya setiap harinya.

Tak selang berapa lama setelah ibu tirinya mencaci-maki Cahaya. Nek Endah keluar dari kamarnya. Wanita tua itu memakai gamis hitam, kerudung berwarna senada dengan gamis yang dipakainya.

Di perjalanan menuju rumah Raharja, tidak ada obrolan sama sekali. Akhirnya mereka sampai ke tempat yang dituju.

Tiga wanita beda usia itu keluar dari mobil, dan berjalan beriringan menuju rumah Raharja, yang sudah banyak dipenuhi karangan bunga ucapan belasungkawa kepada keluarga Raharja. Banyaknya pelayat membuat Cahaya bergumam dalam hatinya.

Apa keluarga ini sangat terpandang? Banyak sekali yang memberikan karangan bunga.

Cahaya tahu kalau dia akan dijodohkan dengan cucu dari teman nek Endah. Tapi ia tak tahu persis mengenai keluarga teman dari neneknya itu.

Cahaya tidak pernah bertemu dengan calon suaminya, maupun keluarga dari calon suaminya. Tapi ia tahu kalau eneknya sudah menjodohkan dirinya dengan cucu dari teman nek Endah.

Ketiga wanita itu sudah ada di dalam rumah Raharja. Nek Endah langsung menghampiri teman lamanya itu.

"Raj, yang sabar ya." Nek Endah mengelus bahu temannya.

Mata kakek Raharja tertuju pada wanita yang berdiri di samping nek Endah. Ia mengulas kan sebuah senyuman di bibirnya untuk wanita itu.

Cahaya yang di sapa dengan senyuman hangat dari Kakek Raharja ia pun membalas senyuman itu.

Proses pemakaman akan dilakukan setengah jam lagi. Mata Cahaya tertuju pada batu nisan yang terukir nama Ahmad Bumi Abdullah

Hal itu mampu membuat wanita berambut panjang itu, ingat apa kata ibu tirinya, kepadanya pagi itu sebelum berangkat ke rumah Raharja.

"Kau itu pembawa sial, lihatlah calon suamimu MATI, padahal belum pernah bertemu dengan mu!" Kata-kata itu terus berputar di benak Cahaya. Cahaya menggelengkan kepalanya, ia berpikir bahwa dia adalah pembawa sial.

Apa aku ini memang pembawa sial, kak Bumi. Aku tidak pernah bertemu denganmu, tapi aku minta maaf jika kak Bumi meninggal gara-gara aku. Batin Cahaya, yang merasa bahwa dia penyebab meninggalnya Bumi.

Padahal kecelakaan Bumi tidak ada sangkut pautnya dengannya, entah mengapa wanita itu menyalahkan dirinya sendiri atas meninggalnya Bumi.

"Astaghfirullahaladzim, bukankah almarhum ibu pernah bilang bahwa dalam islam tidak ada yang namanya sial." Wanita itu mencoba mengingat-ingat, ucapan almarhum ibunya waktu ia masih kecil.

Bintang anakku pertama-tama, dalam agama islam tidak ada yang namanya sial. Nasib buruk yang dialami manusia adalah bentuk ujian yang di berikan oleh Allah SWT. Dalam HR. Ahmad, Nabi Muhammad SAW bersabda, 'tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa'. Do'a merupakan ibadah kepada Allah SWT. sesuai dengan firman Allah : 'Artinya : Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.... Doa mampu menolak takdir Allah, Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa :Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." Cahaya mengingat saat almarhum ibunya memberi tahu salah satu hadist.

Setelah dua puluh menit, akhirnya mereka telah sampai, proses pemakaman Bumi diiringi dengan isak tangis dari keluarga serta kerabat dekat Raharja.

Tak sengaja mata wanita berambut panjang itu, melihat sosok tampan yang memiliki kulit putih bersih sedang ada di dalam liang-lahat, yang sedang bersiap untuk menerima jenazah dari atas.

Kenapa ekspresi orang itu datar? Seperti tidak ada raut kesedihan di wajahnya. Tapi aku lihat dari tadi dia selalu dekat dengan almarhum kak Bumi, mulai proses mengaji, menyalatkan jenazah sampai dia juga ikut mengangkat keranda kak Bumi. Siapa dia sebenarnya? Tapi raut wajahnya itu loh yang bikin kesal masa enggak ada sedih-sedihnya sama sekali.

OH My God! Cahaya apa yang kau pikirkan ngapain mengurusi urusan orang lain.

Pembukaan

Pagi itu jadwal Cahaya berangkat ke kampus. Wanita berambut panjang itu memang masih kuliah, dan dia kuliah karena dapat beasiswa. Cahaya memang sosok yang cerdas dan multitalent. Oleh sebab itu ia dapat beasiswa. Mungkin jika ia tidak termasuk golongan mahasiswa cerdas ia tidak akan kuliah di Fakultas ternama di Indonesia ini.

Paruh waktu akan digunakan Cahaya untuk bekerja di kafe. Ia menjadi pelayanan di sana, ia mulai bekerja dari sore sampai jam sepuluh malam.

Cahaya yang sudah bersiap ke kampus ia tak lupa berpamitan kepada neneknya. Karena hanya nek Endah yang peduli dengan Cahaya.

Tok.. Tok..

"Masuk, Aya!"

Nek Endah tahu, jika yang mengetuk pintu adalah Cahaya.

Cahaya membuka pintu kamar neneknya. Nenek sedang duduk di kursi tua yang terbuat dari rotan.

"Nek! Aya, pergi ke kampus dulu ya." Cahaya berbisik ke telinga nek Endah. Pendengaran nenek memang mulai tak berfungsi lagi, jadi itu sebabnya Cahaya harus berbicara dengan cara seperti itu.

"Hati-hati ya, Nduk. Jangan lupa sholat."

"Iya Nek! Aya ingat kok." Cahaya menjawab sambil mengulurkan tangannya untuk mencium tangan nek Endah. Cahaya berpikir bahwa ridha Allah tergantung ridha orang tua. Maka dari itu wanita itu, selalu meminta ridha dari sang

nenek. Biar Allah juga ridha kepadanya. Setelah ibunya meninggal, Cahaya menganggap nek Endah sebagai nenek sekaligus ibu baginya. Karena ayah Brian tidak pernah memperhatikan dia.

Ayah Brian yang sibuk dengan kerjaannya membuat ia jarang bertegur sapa. Apa lagi jika ibu tirinya sudah menjelekkan Cahaya di depan ayah Brian. Dan mengapa ayah Brian, percaya kepada istrinya begitu saja. Tanpa mencari tahu terlebih dahulu, sebelum marah kepada anaknya. Jika ayah Brian. Ayah yang baik, pasti ia akan mencari tahu terlebih dahulu, sebelum marah kepada anak semata wayangnya. Benar! Cahaya adalah anak satu-satunya. Karena ibu tiri Cahaya tidak bisa punya anak lagi dengan ayah Brian.

"Baiklah Nek, doakan, Aya. Semoga hari ini lancar, assalamu'alaikum." Cahaya berpamitan, setelah mencium tangan nek Endah.

"Wa'alaikumsalam, Aya, udah punya uang?"

"Sudah Nek!"

Cahaya yang sudah berada di luar rumah. Ia membuang napas lega, karena dia tidak bertemu dengan ibu dan adik tirinya.

Alhamdulillah enggak bertemu ibu dan adik. Terima kasih ya Allah. Batin Cahaya senang.

Jika Cahaya bertemu dengan mereka pasti Cahaya akan dapat cacian dari mereka. Hal itu sangat membosankan, bagi wanita berambut panjang itu.

Cahaya berjalan menuju garasi, untuk mengambil kendaraan yang biasanya ia gunakan untuk berangkat ke kampus.

Ets...jangan mikir yang aneh-aneh. Kendaraan Cahaya bukan mobil Alphard. Tidak! Kendaraan yang Cahaya miliki adalah sepeda. Itupun pemberian dari sang nenek untuknya. Waktu ia ulang tahun tepatnya satu tahun yang lalu. Ia sangat amat bersyukur, karena dengan adanya sepeda itu dia bisa menyisihkan uang kerjanya untuk masa depannya nanti. Karena ia tak perlu naik ojek atau angkot.

Untuk sampai ke kampus. Cahaya hanya butuh lima belas menit. Jika melewati jalan alternatif.

Setelah hampir sepuluh menit Cahaya menikmati sepeda santainya. Karena Cahaya menggowes dengan santai, jadi di sebut sepeda santai. Hampir setiap pagi wanita itu bisa menikmati hal yang mungkin tidak semua orang bisa menikmati hal itu. Sampailah ia di kampus.

Dengan santai Cahaya berjalan ke kelasnya. Tak heran, jika hampir semua cowok yang ada di kampusnya, mengaguminya, karena sikap yang ramah, kecerdasan yang dimilikinya dan rupa ayunya membuat semua orang suka kepadanya. Tapi satu kekurangan wanita itu. Dia tidak terlalu bohay, dadanya saja sangat kecil tubuhnya kurus.

"Woiiiii! Kalian pada ghibah ya?" tanya Cahaya, yang masih ada di depan pintu kelasnya. Sahabat Cahaya yang mendengar suara khas milik wanita itu, mengalihkan pandangannya ke arah pintu.

"CABUL DATANG!!!" ucap Williams, yang tak lain adalah sahabat seperjuangan dengan Cahaya. Maksudnya berjuang untuk waras.

"Siapa yang lu panggil Cabul?" tanya Cahaya, berjalan menuju kearah sahabatnya. Kemudian duduk di atas meja.

Williams berkata, "Ya lu lah."

"Enak saja, gua enggak Kang Cabul." Cahaya menjawab, sambil memukul kepala Williams dengan buku yang mungkin tebalnya 500 halaman.

"Aduh... lu ya, sakit tahu," ujar Williams, yang mau membalas pukulan dari Cahaya untuknya. Tapi dengan cepat wanita itu menghindar, agar tidak terkena pukulan dari sang sahabat.

Rai menjawab. "Ahay. Maksudnya, Willi. Itu, Cahaya Bulan, bukan Cabul yang lain."

Eh...jangan salah Rai itu cewek tapi emang gayanya sedikit melenceng dari gendernya. Nama panjangnya Raisa Welasow. Tapi lebih suka dipanggil 'Rai' katanya biar kayak cowok. Waktu itu Cahaya pernah bertanya pada Rai. 'Rai cita-cita lu pengen jadi apa?'. Dengan gampangnya Rai jawab begini. 'Cita-cita gua pengen jadi bad boy'

"Eh, kalian itu kalau manggil nama gua. Jangan di Ko-rupsi, masih jadi mahasiswa saja sudah korupsi nama gua!" ujar Cahaya, yang tak habis pikir dengan sahabat-sahabatnya itu.

"Korupsi gimana maksud lu?"

"Nama gua Bintang Cahaya Bulan, kenapa jadi Cabul, lu juga," ucap Cahaya menunjuk Rai. "Kenapa nama gua jadi AHAY kenapa enggak sekalian jadi Alay?" tanya Cahaya, dengan suara kerasnya, yang membuat semua mahasiswa yang ada di kelas itu melihat kearahnya. Cahaya hanya tersenyum kaku saat dilihat seluruh teman sekelasnya.

"Eh... eh... kalian tahu enggak? Katanya akan ada dosen baru loh, yang akan gantikan pak Gibran. Katanya sih tampan," ujar mahasiswa, yang baru saja datang dan duduk di belakang Cahaya.

"Emang kenapa Neng, kalau tampan?" tanya Cahaya, sambil membalikkan badannya agar bisa bicara dengan temannya yang ada di belakangnya itu.

"Ih, lu ngikut mulu," jawab teman Cahaya.

"Jawab atuh Neng geulis."

"Ya kan, bisa cuci mata, Bintang Cahaya Bulan Purnama!" ujar Lala.

"Iya, LALA POOOO."

Lala yang tak terima dipanggil Lala POO ia bertanya lagi kepada Cahaya. "Eh, kok, Lala POOOO?"

"Lu juga, kenapa nama gua di kasih embel-embel, Purnama, Neng!" ujar Cahaya, sambil mengelus rambut Lala. Cahaya dan Lala bukanlah teman dekat tapi karena Cahaya orang yang asyik jadi mampu bergaul dengan siapapun.

"Syukuri Cabul, karena dia ngasih namanya Purnama, coba kalau Purnomo, M sama O nya dihapus," celetuk Williams yang pagi itu hanya menyimak pembicaraan sahabatnya itu.

"Purno!"

Gadis Berwajah Bulat

Saat jam pulang tak di sia-siakan mahasiswa ke kantin hanya untuk mengisi perut yang sedang keroncongan.

"Ayo guys kita ngavelin mak Saidah," ucap Alexa, kepada sahabatnya.

"Lo lesbi ya Ale? Lo kan cewek ngapain suka sama mak Saidah?" tanya Williams, yang berdiri di samping Cahaya.

"Eh Wil, lo jangan salah. Lesbi itu kalau ciuman enggak dosa." Nah otak Cahaya sudah mulai bekerja sepertinya.

"Enggak dosa gimana maksud lo Ay?" tanya Rai menelisik.

Yang tak habis pikir dengan jawaban sahabatnya itu.

"Ya enggak dosa lah orang cewek sama cewek, mau ciuman juga muhrim," Cahaya memberi jeda. Sebelum ia meneruskannya kembali. "Hehehe, bercanda guys, lesbi itu haram, jadi jangan lesbi." Cahaya berbicara, sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Ya sudah, gua udah lapar kita ke kantin saja," ucap Fafa, yang enggak bisa nahan lapar. Kalau Fafa udah kelaparan, dia enggak ada bedanya dengan radio rusak berisiknya minta ampun.

"Ayo let's gooo!" Williams sudah jalan duluan.

"Guys, gua mau sholat dulu, nanti kalian pesenin makan kesuksesan gua yak," ucap Cahaya, kepada sahabatnya.

"Okey, gua lagi free jadi enggak sholat dulu," jawab Rai.

"Kok pada free sih kalian?" tanya Cahaya. Sepertinya Fafa dan Alexa juga sedang ada tamu datang bulan.

Karena biasanya mereka akan sholat bertiga. Karena Williams adalah non muslim. Tapi mereka bersahabat tidak memandang suku, ras dan agama.

"Jodoh kali, Ay!" jawab Fafa ngawur.

Cahaya berjalan sendirian, menuju mushola yang berada tak jauh dari kantin kampusnya.

Bruk.

"Meuah(maaf), Kak!" ucap gadis berwajah bulat.

"Oh iya, enggak apa-apa kok, Dik! " jawab Cahaya, karena yang ditabrak gadis berambut panjang itu adalah Cahaya.

"Adik disini sendirian?"

"Seureuta(bersama) papi."

"Dimana papinya? Kok kamu sendirian?" tanya Cahaya, karena menurutnya anak usia sekitar lima tahun, tidak baik jika dibiarkan sendirian. Apa lagi siang-siang. Waktu kecil Cahaya ingat, saat siang-siang sedang main di luar rumah, almarhumah ibunya akan bilang begini. 'Bintang kamu jangan kelayapan kalau siang-siang begini, ibu takut kalau kamu diculik dan matamu di congkel, lalu dijual matamu.' Wanita itu teringat dengan mendiang ibunya, ia tersenyum. Karena ibu sangat takut, jika anak semata wayangnya kenapa-napa. Ada rasa kangen, di hatinya. Cahaya dengan sosok ibu.

Cahaya yang buru-buru untuk sholat dzuhur mau tidak mau dia harus meninggalkan gadis itu.

"Adik cantik, Mbak enggak bisa nemenin kamu. Soalnya Mbak harus sholat," ujar Cahaya, karena ia harus buru-buru sholat.

"Oe Akak, enggak apa-apa."

Sebelum meninggalkan gadis berwajah bulat itu. Cahaya mengelus rambut hitam panjang milik gadis usia lima tahun yang tidak diketahui namanya itu.

Saat Cahaya meninggalkan gadis berumur lima tahun itu. Ada lelaki menghampiri bocah yang siang Itu, Cahaya ajak bicara.

"Cantik, maafin Papi. Ya, sayang!" ucap lelaki itu kepada anaknya, sambil mengelus rambut panjang anaknya sama seperti yang Cahaya lakukan siang itu.

"Iya Papi, Cantik, enggak apa-apa kok," jawab Cantik kepada ayahnya. Ya, nama gadis yang tak sengaja menabrak Cahaya adalah CANTIK.

Gadis berwajah bulat itu bingung, kenapa wanita yang ia tabrak bisa tahu namanya, padahal dia belum memberi tahu namanya kepada wanita itu.

"Baiklah kita pulang ya sayang!" ajak ayahnya kepada putrinya itu.

Ayah, membantu Cantik naik mobil. Lelaki itu mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang.

"Pi!" Gadis berwajah bulat itu memulai pembicaraan dengan sang ayah.

"Iya, ada apa sayang?" jawab lelaki itu yang fokus mengemudi.

"Tadi Cantik nabrak orang, tapi anehnya—"

Cantik menghadap kearah ayahnya, agar bisa melihat wajah ayahnya.

"Anehnya, kenapa sayang?" tanyanya, sambil melirik anaknya itu dan kemudian fokus mengemudi lagi.

"Dia tahu kalau namaku Cantik!" ujar gadis itu.

"Oh... mungkin kamu cantik, jadi dia memanggilmu, Cantik!"

Mungkin gadis berwajah bulat itu beranggapan kalau Cahaya adalah peramal mungkin.

"Tapi Pi.—" ucapnya dipotong sang ayah.

"Tapi apa lagi sayang?"

"Wajahnya mirip almarhumah."

Lelaki itu terkejut karena ucapan anaknya.

Cahaya yang sudah selesai mengambil air wudhu, ia mulai memakai mukena dan bersiap untuk menunaikan sholatnya.

Setelah mengerjakan kewajibannya sebagai umat muslim. Ia pun memutuskan ke kantin.

"Cahaya, KITA DISINI!" teriak Alexa, sambil melambaikan tangannya kepada sahabatnya itu.

"Lama banget sih lu, Bul Ca-Bul. Enggak seperti biasanya." Williams menggeser tubuhnya, agar sahabatnya itu bisa duduk di sampingnya.

"Biasa ada insiden dikit tadi," jawab Cahaya, yang belum mulai makan.

"Insiden apaan?" tanya Rai, sambil mengunyah makanan.

"Tadi enggak sengaja ada anak kecil nabrak gua."

"Terus, tuh anak marah-marah sama lu." Tebak Williams yang selalu berpikiran cetek alias negatif thinking.

"Ish... ya enggak lah. Tuh anak minta maaf ke gua, sepertinya orang tuanya mendidik dia dengan baik," jawab Cahaya, sambil mengingat wajah bulat milik gadis berusia lima tahun itu.

"Emang lu tahu orang tuanya?" tanya Fafa.

Tak dirasa waktu jalan begitu cepat. Siang itu ibu tiri memberi tahu Cahaya lewat panggilan telepon. Bahwa kakek Raharja, meminta Cahaya untuk datang ke kediamannya.

Cahaya yang diberi tahu ibu tirinya. Ia langsung meminta izin kepada atasannya. Bahwa hari itu, ia tidak bisa bekerja, dan kabar baiknya sang atasannya mengizinkan Cahaya untuk libur.

Cahaya yang sudah sampai depan rumahnya, ia langsung masuk ke rumah itu.

"Assalamu'alaikum." Cahaya mengucap salam, namun tak ada yang menjawab salam itu.

Berasa tak ada jawaban. Cahaya memutuskan untuk langsung ke kamarnya, untuk mandi dan berganti baju. Setelah itu ia akan ke rumah kek Raharja.

Cahaya yang sudah selesai mandi, ia langsung berganti pakaian. Karena acara mengaji bersama. Jadi, ia memilih memakai kemeja polos dan celana jeans hitam yang senada dengan kemejanya. Setelah memakai pakaian lengkap, Cahaya menjalankan kewajiban sebagai muslim, ia sholat terlebih dahulu. Cahaya yang sudah sholat ashar, ia berjalan kearah meja riasnya. Setelah selesai memakai bedak dan lipbalm, wanita itu langsung mengambil hijab pasmina dan kemudian ia letakan di bahunya. Setelah dirasa sudah siap. Cahaya akan menemui neneknya.

Wanita itu sudah ada di depan pintu kamar nek Endah, Cahaya mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Iya, Aya!" Nek Endah tahu yang mengetuk pintu adalah Cahaya.

Cahaya yang mendapat sahutan dari dalam. Ia membuka pintu kamar nek Endah perlahan. Cahaya berjalan mendekati nek Endah yang duduk di kursi tua.

"Nek! Aya pamit mau ke rumahnya, kakek Raharja. Ya!" ucap Cahaya, berbisik ditelinga nek Endah.

"Iya, Aya, nih uang buat bayar ongkos, jangan di tolak." Nek Endah memberikan uang lima puluh ribu dua, kepada Cahaya.

Nek Endah tahu benar sifat cucunya itu. Cucu-nya akan menolak pemberian darinya, terkadang ia harus mengancam Cahaya segala agar mau menerimanya.

"Iya Nek! Aya terima, makasih ya, Nek!" Cahaya yang tahu sifat neneknya itu ia memutuskan untuk menerimanya, karena jika wanita itu menolak nenek pasti mengancam, entah itu tidak makan sehari atau lain lagi alasannya.

"Nek, ibu sama adik kok enggak ada?" tanya Cahaya. Sadari pulang dari kampus Cahaya tidak melihat ibu dan adik tirinya.

"Biasalah, Ay, ngabisin uang ayahmu, kan belum habis, Aya. Nanti kalau udah habis juga akan ninggalin

ayahmu." Nek Endah tersenyum kecut.

Nek Endah tahu kalau menantu dan cucu tirinya hanya memanfaatkan anaknya saja.

Cahaya yang mendengar jawaban dari nek Endah hanya tersenyum simpul.

Hampir tiga menit wanita itu menunggu angkot, akhirnya ada juga angkot yang lewat. Cahaya dengan cepat masuk angkot itu.

"Nyupir angkot udah lama Pak?" tanya Cahaya, sekadar basa-basi biar tidak hening. Karena kebetulan waktu itu hanya dia saja yang ada di angkot itu.

"Lumayan lah, Neng!"

"Cukup Pak? Buat makan sehari-hari bersama keluarga?" tanya Cahaya, karena pak sopir sangat ramah kepada penumpangnya. Membuat wanita itu, bersemangat untuk bertanya, masalah kehidupan. HItung-hitung cari pengalaman.

"Cukup enggak cukup, ya, di cukup-cukupi atuh, Neng!"

"Iya juga, ya. Pak! Kadang banyak uang aja masih belum cukup. Bagaimana pun kita mah harusnya bersyukur kerena masih banyak diluar sana, yang buat makan aja susah," ucap Cahaya, sambil menganggukkan kepala.

"Iya Neng, kita mah harus bersyukur, selagi bisa mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada kita."

Sepertinya kedua orang beda usia itu sangat cocok jika bicara. Ya anggap saja satu frekuensi lah. Sampai-sampai tak dirasa sudah sampai tujuan.

"Sudah sampai Neng!"

"Eh... iya, makasih ya Pak!" ucap Cahaya, sambil menyodorkan uang kepada pak sopir.

"Sama-sama Neng!" jawab pak sopir itu, sambil menerima uang dari Cahaya.

Cahaya yang baru keluar dari angkot, ia langsung berjalan kearah gerbang rumah Raharja. Dan tak lupa menyapa satpam penjaga gerbang terlebih dahulu.

"Sore, Pak!" sapa Cahaya kepada satpam yang menjaga gerbang kediaman Raharja.

"Sore juga." Pak satpam membukakan gerbang untuk Cahaya, agar bisa masuk kedalam.

Cahaya yang sudah masuk di pekarangan rumah kek Raharja. Ia bingung harus ngapain, karena ia tidak mengenal satupun keluarga itu. Yang ia tahu hanya kek Raharja saja, itupun waktu kek Raharja menyapanya dengan senyuman hangat dari beliau.

Cahaya yang tak sengaja mendongakkan kepalanya, ia menangkap sosok pemuda tampan, berambut hitam yang memakai kemeja polos yang senada dengan warna rambutnya. Sedang ada di lantai dua rumah Raharja, sedang menatap langit sambil menyilang kan kedua tangannya di dada.

Orang itu lagi! Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia ada di lantai dua Mbah Raharja, ya? Apa dia kerabatnya. Itu muka kenapa selalu datar. Sepertinya muka tuh orang harus diajak senam biar enggak datar. Orang aneh. Batin Cahaya, yang memperhatikan orang itu dari bawah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!