Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Tokyo, awal musim gugur.
Langit biru membentang cerah, dedaunan mulai menguning, dan hembusan angin membawa aroma teh hangat dari kedai pinggir jalan. Dewi berdiri di depan gedung kantor cabang Wicaksono Group di Jepang dengan napas dalam dan hati yang baru.
Ini bukan pelarian. Ini perjalanan.
---
Hari-harinya di Jepang padat, menantang, dan... membahagiakan.
Dewi bekerja dengan tim multinasional, mengatur ulang strategi branding, bahkan jadi pembicara dalam konferensi kecil bersama startup muda Tokyo. Ia mengenakan jas hitam simpel, tapi penuh percaya diri.
“Dewi-san, kamu cepat sekali adaptasi!” puji rekan Jepangnya, Rei.
Dewi hanya tertawa. “Mungkin karena... aku pernah ‘lari’ dari banyak hal. Jadi sekarang, saat harus lari ke depan, aku lebih siap.”
Sementara itu, di Jakarta...
Dewa kembali terlibat dalam urusan keluarga besar. Ia memang sudah mundur dari perusahaan, tapi bukan berarti lepas dari semua tanggung jawab. Ibunya masih sering mengundangnya dalam rapat keluarga, berharap ia berubah pikiran.
“Kalau kamu nggak mau kembali ke kursi direksi, setidaknya ikut hadir di pernikahan Nadine dan Reza bulan depan,” ujar sang ibu dingin.
Dewa mengerutkan dahi. “Nadine menikah?”
“Iya. Akhirnya dia menyerah juga pada ambisi,” ibunya tersenyum tipis. “Kamu kapan?”
Dewa tak menjawab.
Ia tak berniat menjadikan pernikahan sebagai kompetisi. Apalagi... jika nama calon pasangannya belum bisa ia genggam sekarang.
Dan suatu malam, di hari yang sunyi, Dewa menerima pesan tak terduga.
Nadine: " Aku tahu aku banyak salah. Tapi... bolehkah aku bicara baik-baik? Kali ini bukan untuk menyerangmu, tapi untuk memperingatimu."
Dewa membalas datar.
Dewa: "Katakan saja."
Nadine:" Kamu pikir keluargamu akan diam saja melihat kamu menunggu perempuan seperti Dewi? Kamu tahu siapa sebenarnya yang mereka incar sekarang? Saudara sepupumu sendiri. Mereka sedang atur ulang rencana perjodohan. Dan jika Dewi pulang, bisa jadi... dia akan terlambat.
Dewa membaca pesan itu berulang kali.
Ada rasa kesal. Bukan pada Nadine. Tapi pada sistem lama yang terus menyusup diam-diam, mencoba menyetir hidupnya seperti papan catur warisan.
Di Jepang, Dewi baru saja kembali dari rapat saat ponselnya bergetar.
Dewa: " Apa kamu bahagia di sana?"
Dewi tersenyum, lalu membalas:
Dewi: "Bahagia. Tapi ada yang kosong"
Dewa: "Apa itu?"
Dewi: " Aku udah lihat langit yang beda, rasa makanan yang baru, bahasa asing... tapi belum ada yang bisa ganti satu hal.
Dewa: "Apa?" (menunggu) (jantungnya ikut menunggu)
Dewi: "Senyum kamu yang tipis tapi selalu bikin aku ngerasa aman.
Dewa diam. Lalu mengetik:
Dewa:"Dan belum ada yang bisa ganti suara Kamu yang berisik tapi bikin aku ngerasa hidup.
Mereka tidak bilang aku kangen. Tapi semua isi pesannya sudah menerjemahkan rindu.
Beberapa hari berlalu
Malam itu, Dewi menatap layar laptopnya, membaca undangan digital dari Jakarta.
Undangan Pernikahan Reza & Nadine
Lokasi: Ballroom Hotel Amarta
Waktu: Minggu depan
Dan di bagian bawah...
Note: Akan ada pengumuman penting dari keluarga Wicaksono mengenai rencana bisnis dan pewarisan baru.
Dewi menajamkan mata.
“Pewarisan?”
Perasaannya tak enak.
Ia membuka ponsel. Tangannya bergetar, tapi cepat ia tekan nama Dewa.
Dewi: "Kita harus bicara. Segera"
...****************...
Dewi duduk gelisah di kursi kereta bawah tanah Tokyo. Di tangannya, tiket pesawat kembali ke Jakarta, keberangkatan: dua hari lagi.
Kepalanya penuh pertanyaan. Tentang undangan pernikahan Nadine. Tentang catatan kecil “pengumuman pewarisan” dari keluarga Wicaksono. Dan tentang satu orang yang belum ia hadapi sepenuhnya: Dewa.
Di Jakarta...
Dewa berdiri di balkon rumah keluarga besar Wicaksono. Di hadapannya, duduk para sepupu, paman, dan tante-tante dengan logat tajam, senyum manis beracun, dan tatapan penuh perhitungan.
“Jadi, Dewa,” ujar Paman Arman, “karena kamu sudah terlalu sibuk dengan urusan pribadi dan tidak lagi memimpin perusahaan, kami pikir sudah saatnya garis pewarisan diserahkan pada Reza.”
“Reza?” Dewa mengangkat alis.
“Dia akan menikahi Nadine. Dua keluarga bersatu, stabilitas bisnis terjaga. Sementara kamu... sibuk mengejar perempuan yang bahkan tidak datang dari keluarga setara.”
Ibunya duduk di ujung meja, diam. Tapi diam yang tajam.
Dewa menegakkan punggung. “Jadi semuanya hanya tentang darah dan nama belakang?”
“Bukan begitu—”
“Tapi begitulah kalian bertindak,” potong Dewa dingin. “Dan kalian pikir... aku akan diam?”
Sementara itu, di Jepang...
Dewi duduk bersama Rei, sahabat sekaligus kolega kerja.
“Kamu yakin mau pulang secepat ini?” tanya Rei.
Dewi mengangguk. “Aku nggak bisa duduk manis di sini sementara hidup seseorang yang aku peduliin dipereteli sama keluarganya sendiri.”
Rei tersenyum. “Kamu sangat... Indonesia.”
Dewi tertawa tipis. “Nggak tahu ini sifat Indonesia, atau... sifat orang yang lagi jatuh cinta dan pengen marah.”
Lalu ia berdiri, mengambil koper kecilnya.
“Waktunya aku pulang. Bukan buat drama. Tapi buat berdiri di samping dia, kalau semua orang justru menariknya jatuh.”
Hari keberangkatan...
Bandara Haneda dipenuhi suara pengumuman dan suara roda koper yang berderak. Dewi mengenakan hoodie abu-abu, ransel di punggung, dan langkah penuh tekad.
Di dalam pesawat, ia membuka buku hariannya.
Ia menambahkan satu tulisan baru:
"Dulu aku lari karena nggak ingin menikah. Sekarang aku pulang bukan buat nikah... tapi buat bantu seseorang berdiri, saat semua orang ingin menjatuhkannya.
Bersambung