NovelToon NovelToon
Dion (1)

Dion (1)

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Cintapertama / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Murni / Anak Lelaki/Pria Miskin
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6: Pacaran dengan Samsak

Sepanjang perjalanan pulang, Dion tak henti-hentinya memikirkan Wina. Keinginan untuk bertemu gadis itu memang terkabul, tapi juga mengungkap sesuatu yang mengecewakan. Dion masih menyalahkan dirinya sendiri yang gedhe rumongso alias ‘ke-geer-an’.

“Wina sudah punya pacar. Dia hanya bersikap ramah padaku,” batin Dion.

Sorenya, Dion yang baru bangun dari tidur siangnya dan bersiap untuk berangkat bekerja mendapati beberapa orang sedang memanen buah mangga di kebun depan rumah. Sekarang memang sedang musimnya.

Ia membeli dua kantung mangga, satu untuk penghuni kontrakan, sisanya dimaksudkan sebagai buah tangan pada Wina besok.

“Biarlah. Besok mungkin akan jadi pertemuan terakhir dengan Wina. Dia orang berada, sudah punya pacar pula. Tak ada lagi alasan untuk bertemu dengannya setelah esok. Aku tak mau dianggap tak tahu diri,” batin Dion minder.

Seperti pada hari sebelumnya, sepulangnya dari kantor Dion kembali mempersiapkan tas, mengisinya dengan peralatan yang mungkin dibutuhkan besok. Lalu tertidur.

Enggan memikirkan Wina.

Keesokan harinya, kejadian serupa kembali terulang. Namun pagi itu langit tampak kelabu, menggantungkan gumpalan mendung yang masih enggan luruh. Hujan yang turun sejak subuh belum sepenuhnya surut, menyisakan udara lembap yang sarat dengan aroma tanah basah.

Dion tiba di depan gerbang rumah Wina ditemani Rinto yang segera menekan bel. Ia mengenakan celana jeans biru pudar, dipadukan dengan kemeja flanel hitam kotak-kotak berlengan panjang yang membalut t-shirt putih polos di baliknya. Tangannya memegangi sekantong plastik besar berisi mangga ranum, buah tangan yang telah ia siapkan sejak kemarin.

Pintu pagar dibuka Mbak Ria yang langsung mempersilakan mereka masuk. Dion melangkah ke dalam halaman, sementara Rinto tetap di luar, sibuk dengan panggilan di HT-nya.

Di ambang pintu, seorang perempuan tua berdiri. Rambutnya telah memutih, kacamatanya bertengger di hidung, dan tubuhnya sedikit bungkuk oleh usia. Dion langsung menebak bahwa beliau pastilah nenek Wina. Dengan sopan, ia menyapanya, “Horas, Oppung!”

“Horas!” sahut perempuan tua itu, logat Medannya terdengar kental. “Kau yang mau memperbaiki komputer?” tanyanya dengan tatapan penuh selidik.

“Iya, Oppung,” jawab Dion, tetap berdiri dengan sikap hormat. Namun, dari sudut matanya, ia menangkap bayangan yang melangkah dari dalam rumah. Wina mendekat dengan senyum yang nyaris seterang cahaya pagi.

“Sudah lama?” sapanya ramah.

Dion menggeleng kecil, sementara matanya sejenak tertahan pada sosok gadis itu. T-shirt putih dan celana pendek selutut yang dikenakannya begitu sederhana, tetapi justru menonjolkan pesona alaminya.

Wina kemudian berpaling ke neneknya, memperkenalkan Dion dengan nada lembut, “Ini Dion, Oppung. Dia yang membantu waktu di rental komputer yang aku ceritakan dua minggu lalu.”

Oppung menatap Dion dari kepala hingga kaki, seolah menilai sosok di hadapannya. Dion hanya tersenyum sebelum menyodorkan kantong plastik besar kepada Wina.

“Apa ini?” tanyanya sembari menerima kantong yang terasa cukup berat.

“Mangga,” jawab Dion singkat.

Mata Wina berbinar. Ia buru-buru meletakkan kantong plastik itu di atas meja teras, lalu membukanya dengan antusias. Aroma harum segera menguar, bercampur dengan udara pagi yang masih segar. Tangannya meraih sebuah mangga besar, mendekatkannya ke hidung, lalu menghirup dalam-dalam.

“Duh, harumnya!” serunya penuh kegembiraan.

Dion tersenyum tipis, puas melihat reaksinya.

“Beli di mana ini?” tanya Wina penasaran.

“Kemarin sore, kebun mangga di depan rumah sedang panen. Aku ingat Kak Wina suka jus mangga, jadi aku belikan,” jelasnya.

“Bawa masuklah, suruh si Ria bikin minuman!” suara Oppung terdengar, memberi perintah yang langsung dituruti Wina.

Ia lalu menoleh ke Dion sebelum melangkah ke dalam rumah. “Kopi, toh?” tanyanya singkat.

Tak lama berselang, Wina muncul dari dalam rumah, membawa sebuah piring besar berisi potongan mangga yang telah dikupas rapi.

Cahaya pagi menyentuh permukaan buah ranum itu, menyoroti kilau dagingnya yang kuning keemasan. Saat tiba di teras, ia mendapati neneknya tengah larut dalam perbincangan dengan Dion, menggunakan bahasa Tapanuli yang asing di telinganya.

Ia meletakkan piring itu di meja, lalu mengambil sepotong mangga dan mencicipinya. Rasa manis segera memenuhi lidahnya, segar dan legit.

“Enak sekali mangganya, Oppung. Dagingnya tebal, manis sekali,” katanya penuh semangat.

Sang nenek, yang sejak tadi berbincang dengan Dion, mengambil sepotong, menggigitnya perlahan, lalu mengangguk setuju.

“Oppung, ayo kita beli yang banyak dari depan rumah Dion!” rayu Wina dengan nada manja.

“Bah! Yang tadi itu masih banyak. Habiskanlah dulu. Kalau kebanyakan nanti malah busuk, tak habis,” sahut Oppung.

Dion tersenyum tipis sebelum menambahkan, “Lagipula, minggu depan baru panen lagi. Mereka memetiknya bertahap, karena sebagian masih belum matang.”

Mendengar itu, Wina sedikit cemberut. Ia mendesah pelan sebelum mengalihkan perhatian. “Ayo lah, Dion, perbaiki komputernya!” serunya.

Dion baru akan membuka mulut ketika suara Oppung lebih dulu menyela. “Bah! Biarkan dulu dihabiskannya kopinya.”

Dion hanya tersenyum, mengalah pada permintaan sang nenek yang tampaknya masih ingin berbincang dengannya. Percakapan mereka pun berlanjut, sesekali diiringi tawa ringan. Sementara itu, Wina terpaksa menunggu, menahan rasa jenuh yang mulai menyelinap.

Baru setelah dua puluh menit berlalu, akhirnya obrolan mereka mereda.

“Duh, ada yang senang bertemu calon mertua,” celetuk Wina sembari menaiki tangga menuju kamarnya, diikuti oleh Dion.

Dion hanya menanggapi dengan tawa kecil, tak ingin terlalu menanggapi candaan itu. Ia tahu betul, Wina masih suka menggoda dengan lelucon soal perjodohannya dengan tante Wina.

Sambil berjalan, pikirannya melayang.

“Kenapa ia bercanda soal perjodohan? Jangan-jangan aku dianggap mendekatinya karena tertarik pada harta. Ah, tak apa! Yang penting aku tahu niatku sendiri.”

Sesampainya di kamar, Dion segera berkutat dengan komputer Wina. Dengan cekatan, ia mulai membongkar casing dan mengganti kipas pendingin kecil yang tak lagi berfungsi, sementara Wina duduk di tepi tempat tidur, mengamatinya dalam diam.

Setelah beberapa menit, Wina mulai menyadari perbedaan sikap Dion kepadanya yang kini sedikit pendiam ketimbang hari sebelumnya.

“Pasti dia berpikir aku sudah punya pacar,” batin Wina geli.

Setelah yakin berfungsi dengan baik, Dion lalu mengatakan pada Wina bahwa ia ingin menggunakan air duster untuk membersihkan bagian dalam komputer dari debu-debu.

“Sekalian mengganti thermal paste pada prosesornya. Supaya suhunya normal,” kata Dion disambut anggukan Wina.

“Semprotnya harus di luar ruangan nih supaya debunya nggak beterbangan mengotori kamar,” ujar Dion kemudian.

“Di balkon saja. Tidak usah ke bawah,” kata Wina lalu membuka pintu akses ke teras kamar Wina. Dion pun mengangkat CPU yang beberapa bagiannya sudah dilepas ke balkon.

“Wah! Tempat ini enak untuk bersantai atau merenungi nasib,” ujar Dion mengagumi pemandangan dan suasana tempat itu.

“Atau untuk bermesraan dengan istri tercinta. Yang di sebelah ini kamar tanteku. Kamu bisa bermesraan di sana kelak,” goda Wina sambil menunjuk balkon kamar sebelahnya.

Dion tertawa lagi. “Ampun deh sama si Kakak,” katanya tapi tak melanjutkan ucapannya karena matanya menangkap sesuatu di sudut halaman samping rumah itu. Di bawah kanopi terdapat lapangan kecil dan samsak.

“Oh, itu tempat kakak latihan Thai Boxing yah?” tanya Dion sambil menunjuk tempat dimaksud.

“Iya! Itu pacarku si Samsak!” jawab Wina membuat Dion mengernyitkan kening keheranan.

Wina tertawa sambil menutupi mulut dengan kedua tangan. Ia keceplosan, secara tak sengaja telah mengungkapkan rahasia kecilnya.

“Sebenarnya aku cuma tahu beberapa gerakan. Waktu SMA dulu, ada ahli Thai Boxing wanita, Nak Muay, yang diundang sekolah melatih siswi membela diri pada saat genting. Semacam kursus kilat gitu,” kata Wina bercerita sementara Dion mulai membersihkan bagian dalam PC.

“Nah waktu latihan itu. Nak Muay meminta kami memukul dan menendang samsak dengan keras. Tapi kami selalu gagal memenuhi harapan pelatih,” lanjut Wina.

“Anggap itu pacar kamu yang penipu, pembohong. Ayo tendang yang keras!” Wina menirukan Nak Muay.

“Anehnya, mendengar kalimat itu para siswi memukul dan menendang lebih baik. Jadi sejak saat itu kami menyebut samsak itu pacar,” tutur Wina.

“Ooo,” kata Dion membulatkan mulutnya. Tapi dalam hatinya bersorak gembira. Berarti Wina tak benar-benar punya pacar. Sinar harapan kembali menerangi hati dan pikiran Dion.

“Sampai sekarang masih latihan? Berarti Kak Wina sudah ahli dong?” tanya Dion kemudian dengan nada bersemangat.

“Nggak ah! Itu samsak punya Tulang. Ia masih latihan dengan itu kalau pulang ke sini. Aku cuma minjem kadang-kadang,” terang Wina.

Tulang adalah sebutan untuk paman, saudara laki-laki ibu dalam bahasa Tapanuli.

“Lho, Tulang tidak tinggal di sini?” tanya Dion lagi.

“Nggak! Dia tinggal di Balikpapan. Tugas di sana,” jelas Wina.

“Kenapa? Mau nantangin pacarku yang preman berkelahi? Gih sana, lagi nganggur, tuh!” kata Wina kemudian.

“Takut, ah! Ceweknya aja punya tendangan maut menyakitkan, gimana cowoknya? Babak belur aku,” elak Dion.

Dion kemudian dengan riang gembira sambil bersiul kecil membersihkan bagian dalam komputer Wina dari debu-debu menggunakan air duster. Wina yang memandanginya dari pintu balkon merasa geli di hati.

“Berubah dari pendiam jadi periang dalam satu menit. Semuanya tertulis di dahinya,” ujar Wina dalam hati.

Usai membersihkan komputer, Dion membawanya kembali ke dalam kamar. Nenek Wina ternyata sudah duduk di kamar menunggu sambil memperhatikan muda-mudi itu.

“Bagaimana kerusakannya?” tanyanya pada Dion.

“Sudah diperbaiki, Oppung. Tinggal pasang balik,” jawab Dion yang segera mulai memasangkan kembali bagian-bagian komputer yang tadi ia lepas.

Nenek Wina kembali mengambil alih pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Sambil bekerja, Dion menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan si Oppung padanya, soal keluarga, pekerjaan, orang tua, pendidikan, kampung Dion, dan usianya.

Mendengar rentetan pertanyaan itu, Dion jadi sedikit curiga. “Jangan-jangan nenek dan cucu kompak ingin menjodohkanku dengan tantenya Wina,” ujarnya dalam hati lalu melirik ke arah Wina.

Entah bagaimana Wina menangkap maksud Dion yang merasa terperangkap dengan pembahasan soal usia.

Gadis itu pun lalu tertawa.

“Bah, kenapa ketawa kau Wina?” tanya si Oppung yang heran melihat cucunya tertawa geli.

“Oppung, aku mau kenalin Dion sama Tante Risma, siapa tahu cocok dan berjodoh. Bagaimana Oppung?” Wina meminta pendapat pada neneknya.

Mendengar itu, Dion jadi sangat malu. Ia menarik napas dalam-dalam dan melirik pada Wina. “Wina mau mengerjain atau benar-benar ingin menjodohkanku dengan tantenya?” tanyanya dalam hati.

“Ah, kau ini. Biarlah tantemu itu begitu sesuka-sukanya. Sudah capek Oppung nyuruh dia menikah. Lagipula, si Dion ini terlalu muda untuknya,” jawab si Oppung. “Kau liat itu, jadi malu dia,” sambung wanita tua itu lagi.

“Oppung coba bayangkan! Cocok mereka berdua, kan?” Wina menirukan logat Oppungnya.

"Dion bilang kemarin kan, Oppung. Kalau menikah sama Tante Risma, katanya dia mau masukin ke koran foto pernikahan mereka,” katanya tertawa usil.

Mendengar itu, Dion menepuk dahinya. Ia benar-benar tak berdaya dengan candaan Wina tapi ia lalu ikutan tertawa lirih.

“Bah! Jangan kau bikin candaan tante Risma mu itu yah! Orang tuamu juga itu. Jangan terlalu berani sama orang tua, berdosa kau nanti!” ancam Oppung sambil menunjuk-nunjuk pada Wina.

Dion lalu melirik ke arah Wina dan ikut menunjuk-nunjuk dengan jarinya seolah berkata, “Nah lo!”

“Iya, Oppung! Kak Wina ini berani sekali. Pacarnya saja katanya dia tendang-tendang, padahal preman nganggur dia,” Dion seolah mengadu.

“Aduh. Sudah ada pacarmu? Preman? Pengangguran? Putuskan lah itu! Tak berguna laki-laki seperti itu. Cari lah yang seperti si Dion ini, rajin cari uang, mandiri, kerja sambil kuliah,” repet Oppung.

Mendengar itu, Wina menatap kesal pada Dion dengan hidung terkembang, tapi pemuda malah membusungkan dadanya, memainkan alisnya dan tersenyum puas karena berhasil membalas.

“Bohongan itu Oppung! Wina nggak punya pacar. Apalagi preman pengangguran,” jelas Wina pada neneknya.

“Iyalah! Kuliah baik-baik lah dulu, jangan pikirkan pacaran,” ujar Oppung Wina yang sebenarnya mengetahui bahwa semua pembicaraan itu hanyalah candaan.

“Sudah kelar. Cobalah dites, Kak!” seru Dionpada Wina sambil memandang komputer yang kini berfungsi sempurna.

Wina yang berjalan ke arahnya menyempatkan diri mencubit lengan Dion dengan keras.

“Aduh!” keluh Dion meringis sambil mengusap-usap lengan yang terkena cubitan.

“Sakit itu Wina. Kenapa nya kau ini?” kata si Oppung.

“Biar! Provokator dia ini, Oppung,” jawab Wina sambil memandang kesal pada Dion.

Dion lalu membereskan barang-barang dan memasukkannya ke tas sandang.

“Berapa lah biaya perbaikannya ini?” tanya Oppung pada Dion yang masih berberes-beres.

“Nggak ada, Oppung. Aku bukan teknisi. Cuma membantu memperbaiki komputer Kak Wina,” tolak Dion sopan.

Tapi nampaknya si Oppung bersikeras memberikan sesuatu. Ia lalu memasukkan uang yang tergulung ke saku kemeja Dion yang tidak diketahui berapa jumlahnya.

“Aduh, Oppung ini. Terima kasih Oppung!” Dion merasa tidak enak dengan pemberian itu.

“Yeee, gajian nih! Berarti traktir soto nya bisa dua porsi yah?” kata Wina pada Dion.

“Uang dari Oppung. Harus disimpan baik-baik nih,” Dion protes sambil menutupi sakunya dengan tangan seolah-olah melindunginya.

“Iya, harus pintar-pintar dengan uang. Ditabung!” tambah Oppung. Wina menjulurkan lidahnya pada Dion. Di hadapan neneknya, Wina memang sangat manja.

“Aku tunggu di bawah lah, ya,” kata Dion lalu melangkah meninggalkan kamar Wina. Ia kemudian memperlambat langkah karena Oppung mengikutinya.

Sembari menunggu Wina, Dion duduk bersama Oppung di ruang tamu. Nenek Wina bercerita, almarhum suaminya, kakek Wina, dulu bekerja di BUMN perkebunan sejak lama bahkan ketika perusahaan itu masih dimiliki oleh pemerintah Belanda.

Oppung juga menanyakan kondisi terkini kampung Dion karena Kakek Wina adalah salah satu pegawai yang membantu merintis pembukaan lahan perkebunan di daerah itu. Oppung antusias mendengar cerita Dion mengenai kampung halamannya yang juga merupakan daerah perkebunan itu.

Wina yang menuruni tangga, mendapati keduanya dalam obrolan yang tidak ia mengerti karena menggunakan bahasa daerah. Neneknya kelihatan senang dan antusias ngobrol dengan Dion. Wina memutuskan duduk di samping neneknya menunggu perbincangan keduanya berhenti.

“Sudah mau pergi kalian?” tanya Oppung. Sebelumnya Wina memang sudah menyampaikan niat mereka yang ingin pergi mencobai Soto Medan usai perbaikan komputer.

“Iya, Oppung,” sahut Wina yang kini mengenakan kemeja warna krem muda dengan lengan tergulung dan jeans biru. Tas jinjing nya pun sudah disangkutkan ke bahu.

“Tapi habis makan, aku mau beli buku ke Titi Gantung. Belum pernah lah aku ke sana, Oppung. Mumpung ada Dion yang menemani,” kata Wina kembali menirukan gaya bicara neneknya.

“Banyak preman dan pencopet di sana. Hati-hati kalian, ya! Jangan pulang malam-malam,” kata Oppung kepada Dion khawatir.

“Iya, Oppung,” sahut Dion.

Keduanya kemudian berpamitan dan berjalan keluar dari kompleks menuju jalan utama.

“Tadi ngobrol apa aja sih dengan Oppung?” tanya Wina yang berjalan di sisi Dion.

“Soal Almarhum Oppung Doli. Ternyata beliau pernah mengunjungi kampungku dulu sekali,” jelas Dion.

Oppung Doli adalah sebutan untuk kakek dalam bahasa Tapanuli, sementara Oppung Boru berarti nenek. Tapi sebutan itu lebih sering disingkat Oppung saja.

“Tak biasanya Oppung cepat akrab dengan orang yang baru dikenalnya,” ujar Wina.

“Tadi itu emang kelihatan akrab, ya?” tanya Dion.

“Ya, iyalah! Cerita-cerita sambil cengar-cengir begitu seperti orang pacaran,” jawab Wina.

“Sorry ya! Aku lupa bilang sebelumnya kalau mau ke Titi Gantung. Habisnya kamu ngobrol dengan Oppung terus, sih,” kata Wina.

“Gak apa-apa. Aku juga senang, soalnya lama tidak ke sana,” kata Dion tersenyum, senang kembali mendapat waktu tambahan bersama gadis pujaannya.

“Kamu ada teman di sana?” tanya Wina lagi.

“Ada keluarga teman baikku waktu sekolah dulu. Ada juga yang sebatas kenalan. Tapi nggak tau juga kalau mereka masih ingat aku,” terang Dion.

“Maaf ya, kalau tadi candaanku keterlaluan,” kata Dion setelah beberapa saat.

“Candaan yang mana?” Wina balik bertanya.

“Soal pacar itu tadi,” jawab Dion.

“Gak apa-apa. Oppung juga tahu kok kalau pacar preman pengangguran itu samsak. Seisi rumah juga tahu,” ujar Wina tertawa.

1
Anonymous
Bikin baper... /Drool//Drool//Drool/
Desi Natalia
Ingin baca lagi!
Type2Diabetes
Terharu...
Anonymous
/Drool//Drool//Smile//Smile/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!