NovelToon NovelToon
Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Romantis / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Aku punya cerita nih, soal dunia ku yang banyak orang bilang sih kelam, tapi buat ku malah keren dan penuh dengan keseruan. Aku punya circle, sebuah geng yang isinya anak-anak yahut yang terkenal jahil dan berani. Seru abis pokoknya! Mereka itu sahabat-sahabat yang selalu ada buat ngelakuin hal-hal yang bikin adrenaline kita ngacir.

Kita sering hang out bareng, kadang sampe lupa waktu. Dari yang cuma nongkrong asyik di tempat-tempat yang biasa kita tongkrongin, sampe yang agak miring kayak nyoba barang-barang yang sebenernya sih, yah, kurang direkomendasiin buat anak muda. Tapi, yah, lagi-lagi itu semua bagian dari mencari identitas dan pengalaman di masa remaja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 7

Di umur remaja gini, rasanya emosi aku tuh kayak roller coaster. Biasanya bisa ku kontrol baik-baik, tapi belakangan ini sering banget kebawa suasana. Hari itu, suasana di ruang keluarga jadi rada tegang gara-gara candaan adikku, Aries, yang nyindir aku nggak pinter.

"Kalau Mbak nggak pinter ngapain minta tolong ngerjain PR?" ledekku dengan tatapan sinis ke Aries. Itu beneran keluar dari mulutku tanpa aku pikirin dulu.

"Alisa!" dia memanggil namaku dengan nada yang keras dan penuh tekanan.

Biasanya, kalau Bapak sudah menggunakan nada seperti itu, aku langsung ciut. Tapi entah kenapa, kali ini aku merasa berani.

"Lah kan memang? Kalau aku goblog ngapain dia minta bantuan kan dia bisa ngerjain sendiri. Katanya pinter," kataku sambil tertawa.

Tawaku kali ini terdengar sangat renyah, dan rasanya ada semacam kepuasan gitu bisa ngungkapin apa yang aku rasain.

Biasanya, pikiran-pikiran kayak gini cuma muter di kepala. Banyak hal yang pengen aku ungkapin tapi selalu terjebak di antara kata-kata yang nggak bisa keluar. Kali ini beda, aku bisa ngomong lancar, seakan-akan semua yang selama ini terpendam mendadak bisa terucap dengan jelas.

Mamak dan Bapak langsung menoleh ke aku dengan tatapan yang sulit aku baca. Mereka kayaknya nggak nyangka aku bisa bicara kayak gitu ke adik sendiri. Aries sendiri cuma bisa ngelihatin aku dengan mulut terbuka, kayak nggak percaya aku bisa balas dia.

Bapak memandang aku dengan serius, keningnya berkerut yang menandakan dia nggak main-main. "Kamu tuh kakaknya. Harus ngajarin dia," ucap Bapak dengan nada yang tegas.

Aku cuma bisa ketawa aja denger itu. Entah kenapa, situasi itu terasa lucu bagiku. Di satu sisi, aku juga merasa kesal karena rasanya beban yang diemban sebagai kakak itu kadang terlalu berat.

"Lah, terus aku siapa yang ngajarin?" sahutku agak sinis.

"Aku disuruh belajar, tapi belajar sendiri. Sedangkan dia harus aku yang ngajarin," lanjutku, mencoba menunjukkan ketidakadilan yang aku rasakan.

Di ruang tamu itu, suasana mendadak jadi tegang pas Bapak ngomel dengan nada yang dingin banget. "Yang sopan ngomong sama orang tua!" tegurnya.

Awalnya, aku langsung ciut ngadengarnya, tapi gak tahu kenapa, tiba-tiba aja keberanian itu muncul. Aku jawab, "Aku enggak salah ngomong kok. Ini kenyataannya."

"Aku selalu dibedakan sama Aries karena aku dianggap goblog. Dan dia juga sering ngejekin aku. Tapi anehnya, dia minta aku yang ngajarin dia," ucapku sambil tertawa dan mengelus perut, seolah menemukan ironi yang lucu di tengah situasi yang serius ini.

Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk tertawa, tapi untuk pertama kalinya, perasaan itu terasa lucu bagi aku.

"Aku disuruh ini itu. Beberes rumah, nyapu, ngepel, nyuci, nyetrika, masak. Apa-apa harus sendiri, harus mandiri," lanjutku, suaraku semakin meninggi seiring dengan keberanian yang terus membara.

"Kalau enggak bisa selalu dibilang enggak becus. Kalau takut dibilang cemen. Kalau kurang paham sama omongan Bapak selalu dibilang lemot," keluhku, rasa frustrasi yang selama ini aku pendam akhirnya terluapkan.

Bapak dan Mamak terdiam aja, dengerin aku ngomong. Mata mereka melototin aku kayak lagi mikir-mikir berat gitu. Mungkin juga lagi nyerna apa yang baru aku omongin tadi.

Sebenernya agak awkward sih, soalnya jarang-jarang aku ngomong banyak dan blak-blakan kayak gini. Tapi, sudah kepalang tanggung, semua yang udah lama kupendam akhirnya keluar juga.

Ucapan Bapak yang tajam itu seperti menusuk langsung ke hati. “Yaudah kamu enggak usah ngapa-ngapain!” serunya, nada suaranya tinggi dan penuh amarah.

“Enggak usah sekolah, enggak usah makan sekalian!” ancamnya. Aku langsung panik, menyadari bahwa kata-kataku tadi telah memancing kemarahan yang sebenarnya tidak ingin aku tuju.

Mamak ikut campur dengan ekspresi jengkel yang jelas tergambar di wajahnya.

“Kalau capek semua orang juga capek,” ucapnya sambil menatapku dengan tatapan yang benar-benar membuatku merasa bersalah.

“Giliran aku marah malah balik marah,” gumamku, suara sedikit gemetar karena takut.

“Kamu ngapa sih jadi kayak gini?” Bapak bertanya dengan nada heran dan kecewa.

“Harusnya masukin dia ke pesantren aja,” sambung Mamak, membuatku semakin tersudut.

“Apaan sih?” balasku, merasa semakin tidak adil.

“Kenapa sih aku selalu dianggap yang paling salah? Padahal bukan semuanya salah aku,” keluhku, mencoba menahan air mata yang sudah siap jatuh.

“Mamak sama Bapak enggak bisa adil ke aku,” aku mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam.

Tanggapan Bapak cukup mengejutkan, “Enggak adil gimana? Motor dibeliin, pagi sarapan, terus masih dikasih uang saku. Kamu punya kamar sendiri, punya baju,” ucapnya, seolah itu semua cukup untuk menyelesaikan masalah.

Aku tidak bisa menahan tawa yang bercampur air mata, ironi situasi membuatku tergelak.

“Bukannya itu memang tanggung jawab orang tua ya?” tanyaku dengan senyum sinis, suara gemetar. Dalam hati aku bertanya-tanya, dari mana datangnya keberanian seperti itu.

Airmataku sudah tak bisa lagi ditahan, meluap bersama kekecewaan yang mendalam. Di tengah tangis, kata-kata terus mengalir dari mulutku, menunjukkan sakit hati yang sudah lama terpendam.

“Bapak selalu ngatain aku oon, goblog, enggak becus, cemen, kuper, lemot. Mamak juga bilang ke tetangga kalau aku males. Males dari mananya?” suaraku bergetar, mencari jawaban yang tak pernah ada.

“Mamak jelekin anak sendiri yang katanya kerjaannya tidur terus, enggak bisa masak, males cuci piring.” keluhku dengan nada kesal.

Emosi telah menumpuk tinggi, dan setiap kata yang terucap semakin memperteguh rasa sakit yang kurasakan.

“Aku tahu aku enggak pinter kayak Bapak, kayak Aries. Makanya aku nyoba jadi anak yang penurut, yang selalu mau disuruh-suruh. Tapi tetep aja Bapak sama Mamak enggak bisa sayang sama aku,” ungkapku dengan suara parau, penuh keputusasaan.

Setiap kata seperti membangun tembok yang semakin tinggi antara aku dan orang tuaku.

Langkahku terhuyung menuju kamar, menutup pintu di belakangku dengan suara yang memberi tahu seberapa besar kekecewaan itu. Dalam kesendirian kamarku, aku menangis, membiarkan setiap air mata mewakili kepedihan yang telah lama ku pendam.

Di balik pintu kamar yang tertutup, teriakan Bapak masih terdengar menyusup melalui celah-celah, namun aku memilih untuk mengabaikannya.

Air mata masih terus mengalir, dan bantal menjadi saksi bisu segala rasa yang sedang kurasakan. Bapak mungkin masih berdiri di balik pintu, bertanya-tanya atau mungkin merasa kesal dengan sikapku, namun aku tak sanggup menghadapinya lagi malam ini. Setiap seruan dari luar hanya menambah beban di dada yang sudah sesak.

Dalam keheningan kamarku, pikiranku mulai berlari ke sana ke mari. Mengapa harus seberat ini? Mengapa setiap kata yang terucap begitu menyakitkan? Di tengah kelelahan dan kepayahan, aku hanya ingin menghilangkan semua rasa sakit yang kurasakan.

Teriakan Bapak terdengar keras dari luar pintu kamarku, "Alisa, buka pintunya! Sini, ngomong sama Bapak!" tapi aku malah merasa semakin ngantuk.

Rasanya hari itu udah cukup melelahkan dan aku benar-benar nggak ada tenaga buat berdebat lagi. Bapak terus menggedor pintu, tapi suaranya perlahan mulai terdengar jauh di telingaku. Aku cuma pengen semuanya tenang.

Aku rebahan di kasur, tarik selimut tebal sampai ke leher, dan pasrahin kepala ke bantal. Pikiranku yang tadinya ribut pelan-pelan mulai reda. Lama-lama, suara Bapak yang menggedor pintu dan memanggil-manggil namaku itu semakin luntur terbawa ke dalam samar-samar kesadaran yang mulai hilang.

Akhirnya, aku terlelap. Entah gimana, dalam keletihan dan keruwetan semua yang terjadi, tidur terasa kayak pelarian paling nyaman. Meski cuma sementara, paling tidak aku bisa lupa dari semua masalah.

1
Amelia
halo salam kenal ❤️🙏
Atika Norma Yanti: salam kenal juga ya😄
total 1 replies
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya
Anita Jenius
seru nih mengangkat masalah pembullyan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!