NovelToon NovelToon
JATUH UNTUK BANGKIT

JATUH UNTUK BANGKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6: HIDUP BARU

#

Pagi di Pangalengan datang dengan dingin yang menggigit tulang—bukan dingin Jakarta yang lembab dan kotor, tapi dingin pegunungan yang bersih, yang membuat napas keluar seperti asap tipis dan membuat jari-jari kaku kalau tidak digerakkan. Elang bangun sebelum adzan subuh, tubuh masih mengikuti jadwal penjara yang sudah tertanam tiga tahun—bangun pagi bukan pilihan, tapi refleks.

Setelah sholat subuh, ia turun ke warung. Bu Marni sudah ada di dapur, menyalakan kompor, mempersiapkan bahan untuk sarapan pelanggan—nasi uduk, tempe goreng, tahu, dan telur dadar. Aroma minyak goreng dan bumbu meresap ke udara dingin, membuat perut Elang berbunyi meskipun baru beberapa jam sejak makan malam.

"Akang tos bangun?" Bu Marni menoleh dengan senyum. "Alhamdulillah, rajin pisan. Geuning Anya keneh sare teh, padahal biasana anakna mah nu pangheulana bangun."

"Gue... saya bantu apa Bu?" tanya Elang canggung, tangannya menggantung di samping tubuh, tidak tahu harus melakukan apa. Tiga tahun di penjara ia sudah terbiasa kerja paksa, tapi ini berbeda—ini bukan perintah, ini tawaran. Dan ia tidak tahu bagaimana menerima kebaikan tanpa curiga.

"Nya atuh, bantuin motong bawang jeung cabe ieu. Matan emang gampang perih, tapi geuning kudu ati-ati." Bu Marni menunjuk talenan dan pisau di meja kecil. "Akang bisa motong kan?"

Elang menatap bawang merah di depannya—benda sederhana yang tidak pernah ia pegang dalam tujuh tahun membangun Garuda Investama. CEO tidak memotong bawang. CEO memesan makanan, atau membayar orang untuk memasak, atau makan di restoran yang bahkan tidak menampilkan harga di menu. Tapi sekarang ia bukan CEO. Ia bahkan bukan orang dengan nama bersih. Ia hanya Elang—pria yang kehilangan segalanya dan belajar mulai lagi dari bawang merah di warung kecil.

Ia mengambil pisau. Tangannya—yang dulu menandatangani kontrak jutaan dolar—sekarang gemetar sedikit saat memotong bawang pertama. Potongannya tidak rata. Terlalu tebal di satu sisi, terlalu tipis di sisi lain. Matanya perih, air keluar tanpa izin, bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam dari sekedar reaksi kimia bawang.

"Pelan-pelan atuh, Kang. Teu aya nu ngagencet kok." Bu Marni tertawa lembut—bukan menertawakan, tapi tertawa yang membuat kesalahan terasa tidak memalukan. "Mun teu rata oge teu nanaon mah, sing penting bersih."

Suara langkah cepat dari tangga. Anya muncul dengan rambut agak berantakan, masih mengikat kerudung sambil berlari kecil. "Mamah! Asa tadi alarm teu bunyi atuh! Punten telat— eh?" Ia berhenti mendadak saat melihat Elang di depan talenan dengan mata berkaca-kaca dan bawang setengah terpotong. "Akang? Lagi nangis, Kang?"

"Bawang," jawab Elang cepat, mengusap mata dengan punggung tangan yang bau bawang—kesalahan besar yang membuat matanya semakin perih.

Anya tertawa—tertawa yang terdengar seperti air terjun kecil, segar dan tanpa beban. "Yahh, Akang mah jangan diusap pake tangan atuh! Makin perih! Tunggu sebentar ya." Ia berlari ke belakang, kembali dengan irisan mentimur. "Nih, gigit ieu. Kata orang tua mah bisa ngurangin perih mata."

Elang menerima mentimur dengan ragu. "Ini... serius?"

"Anya juga teu apal bener apa kagak mah, tapi dicoba atuh. Katingalna Akang teh asa mau nangis beneran." Anya duduk di seberangnya, mulai membantu memotong bawang dengan gerakan cepat dan terampil—gerakan yang sudah dilakukan ribuan kali sampai jadi otomatis. "Teh Stella teh temen pisan ya, nyeluk Akang ka dieu. Anjeunna mah tos lila teu ngalaporkeun. Kumaha kabar anjeunna di Jakarta teh?"

Elang terdiam. Stella. Gadis yang menyelamatkannya dengan cara yang tidak ia mengerti—gadis yang tidak berutang apa-apa padanya, tapi memilih untuk peduli ketika semua orang memilih untuk lupa.

"Gue nggak tau kabarnya," jawab Elang jujur. "Dia... dia bantu gue waktu gue butuh bantuan. Tapi gue nggak bisa kontak dia. Bahaya buat dia."

Anya mengangguk pelan, matanya menatap Elang dengan kedalaman yang mengejutkan untuk gadis seusianya. "Akang teh kabur ti masalah ya?"

Pertanyaan itu datang tiba-tiba seperti pukulan ke ulu hati. Elang berhenti memotong bawang. Pisau diam di udara. Ia menatap Anya—gadis polos dengan kerudung sederhana dan mata terlalu jujur—dan mencari jejak penghakiman di wajahnya. Tapi tidak ada. Hanya rasa ingin tahu yang tulus.

"Kenapa lo... kamu nanya gitu?"

"Asa katingalanna mah," Anya menjawab sambil terus memotong, tidak menatap Elang tapi entah kenapa itu membuat lebih mudah untuk bicara. "Akang teh dateng ka dieu teu bawa apa-apa. Mata Akang teh asa lari ti sesuatu. Cara Akang motong bawang teh asa... asa teu biasa kitu. Bukan cara orang yang biasa kerja keras. Cara orang yang biasa... gimana ya, biasa ngatur orang laen, tapi teu ngalakukeun sendiri."

Elang tidak tahu harus tertawa atau menangis. Gadis ini—gadis yang baru ia kenal sehari—sudah membacanya lebih jelas dari orang-orang yang mengaku sahabat selama bertahun-tahun.

"Iya," katanya akhirnya, suara serak. "Gue kabur. Dari... dari banyak hal. Dari orang yang menghancurkan gue. Dari kehidupan lama. Dari... dari diri gue sendiri, mungkin."

Anya berhenti memotong. Ia menatap Elang sekarang, mata besar itu penuh dengan sesuatu yang terlihat seperti empati—tapi bukan kasihan. Perbedaan antara keduanya tipis tapi penting: kasihan membuat seseorang merasa kecil, empati membuat seseorang merasa dimengerti.

"Gapapa, Kang," katanya lembut. "Kadang kabur teh bukan pengecut. Kadang kabur teh persiapan—persiapan buat balik lebih kuat. Kayak ombak teh, mundur heula supaya bisa balik lebih gede."

Kata-kata itu menggantung di udara dapur kecil yang berbau bumbu dan minyak goreng. Elang merasakan sesuatu bergetar di dadanya—bukan air mata, tidak, ia sudah janji pada dirinya tidak akan menangis lagi untuk hal-hal kecil. Tapi sesuatu yang lebih dalam: pengakuan bahwa kata-kata yang selama ini ia dengar dari Farrel—kata-kata tentang jatuh sebagai fondasi, tentang mundur untuk melompat lebih tinggi—sekarang keluar dari mulut gadis polos yang tidak tahu apa-apa tentang penjara atau pengkhianatan atau dendam.

Tapi ia tahu tentang kehilangan. Itu jelas.

"Bapak kamu..." Elang mencoba mencari kata yang tepat. "Bu Marni bilang... meninggal?"

Wajah Anya berubah—tidak sedih, tapi seperti ada bayangan yang lewat cepat di matanya. "Tilu taun lalu. Kecelakaan motor. Pulang ti kebun teh, jalan licin, nabrak truk. Langsung... langsung tiasa, teu sempet dibawa ka rumah sakit."

Tiga tahun yang lalu. Waktu yang sama ketika Elang masuk penjara. Saat dunia Elang runtuh, dunia Anya juga runtuh—tapi dengan cara yang berbeda, dengan kehilangan yang permanen, yang tidak bisa diperbaiki dengan rencana atau dendam atau waktu.

"Bapak mah ogé kerja keras supaya Anya bisa kuliah," Anya melanjutkan, suaranya tetap tenang meskipun ada getaran kecil di sana. "Anjeunna teh teu tos sakola tinggi, cuma SMP. Tapi anjeunna teh hayang Anya sakola tinggi, jadi dosen atuh, jadi guru. Katana supaya Anya teu susah kayak anjeunna."

"Terus... kenapa kamu di sini? Kenapa nggak kuliah?"

Anya tersenyum tipis—senyum yang terlihat terlalu dewasa untuk wajah muda itu. "Anya tos keterima kuliah, Akang. Pendidikan bahasa Inggris di UPI Bandung. Tapi pas Bapa meninggal, Anya lihat emak... emak nangis tiap malem, ngitung duit di kaléng kaleng, mikir gimana bayar cicilan, gimana makan, gimana hidup. Anya teu tega atuh. Anya pilih bantu emak heula. Kuliah mah bisa nanti, tapi emak... emak kan cuma aya hiji."

Ada sesuatu yang pecah di dalam dada Elang—sesuatu yang sudah lama beku dan tiba-tiba terkena panas. Gadis ini, gadis yang kehilangan ayah dan masa depannya dalam satu pukulan, memilih untuk tinggal dan membantu ibunya di warung kecil daripada mengejar mimpi. Tidak ada keluhan dalam suaranya. Tidak ada penyesalan. Hanya penerimaan yang begitu tulus sampai terasa menyakitkan untuk disaksikan.

Dan Elang—Elang yang kehilangan perusahaan, kehilangan kekasih, kehilangan status, tapi masih punya nyawa dan kesempatan untuk bangkit—merasa sangat, sangat kecil di hadapan pengorbanan itu.

"Lo... kamu nggak nyesal?" tanyanya pelan.

"Nyesel gimana?" Anya menatapnya dengan mata yang jernih seperti air mata air pegunungan. "Anya milih atuh, Akang. Bukan dipaksa. Milih itu beda ti nyesal. Nyesal teh kalo ieu hal teh teu bisa dirubah. Tapi ieu mah pilihan Anya, dan Anya happy kok. Aya emak, aya warung, aya pelanggan sing saban poe dateng. Cukup lah. Nggak gedhe-gedhe amat tapi Alhamdulillah."

Elang tidak bisa menjawab. Tenggorokannya terasa tersumbat—bukan oleh air mata, tapi oleh rasa hormat yang begitu besar sampai tidak muat di kata-kata. Gadis di depannya ini—gadis sederhana dengan kerudung murah dan tangan berbau bawang—lebih kaya dari Zara yang pernah pakai gaun jutaan rupiah. Lebih kaya dalam hal yang tidak bisa dibeli atau dicuri atau dirampas: ketulusan.

"Akang sendiri gimana?" Anya bertanya sambil berdiri, membawa bawang yang sudah dipotong ke wajan panas. "Akang kabur ti masalah, nya. Tapi... Akang mau balik teu? Suatu saat?"

Pertanyaan yang sama yang Elang tanyakan pada dirinya sendiri setiap malam sejak keluar penjara. Balik? Untuk apa? Untuk balas dendam? Untuk keadilan? Atau untuk membuktikan sesuatu pada orang-orang yang sudah tidak peduli?

"Gue nggak tau," jawabnya jujur. "Gue pengen balik. Gue pengen... gue pengen mereka tau kalau gue nggak bersalah. Kalau mereka yang salah. Kalau—"

"Kalau Akang menang?" Anya menyelesaikan, menatap Elang sambil mengaduk bawang di wajan. "Tapi Akang, menang teh gimana? Mun mereka hancur, Akang bahagia? Mun mereka menderita kayak Akang pernah menderita, Akang bisa tidur nyenyak?"

Elang membuka mulut, ingin menjawab "iya, tentu saja", tapi kata-kata itu tidak keluar. Karena untuk pertama kalinya ia tidak yakin. Selama tiga tahun ia membayangkan kehancuran Brian dan Zara sebagai satu-satunya hal yang bisa membuatnya utuh lagi. Tapi sekarang, di dapur kecil ini dengan bau bawang dan bumbu, ia mulai bertanya-tanya: apakah kehancuran mereka benar-benar akan menyembuhkannya? Atau hanya akan menciptakan lubang lain yang tidak bisa diisi?

"Anya teu ngarti sih masalah Akang teh naon," Anya melanjutkan, suaranya lembut tapi tegas. "Tapi Anya ngarti one thing: benci teh kudu dibayar ku benci. Kalo Akang balik dengan hate penuh benci, Akang bakal kalah—sanajan Akang menang. Soalna hate Akang bakal rusak mah."

"Terus gue harus gimana?" Elang bertanya, dan untuk pertama kalinya suaranya terdengar seperti anak kecil yang kehilangan—bukan CEO yang jatuh, bukan narapidana yang mengeras, tapi manusia yang tidak tahu jalan pulang.

Anya mematikan kompor. Ia mengambil dua gelas, menuangkan teh hangat dari termos, dan mengulurkan satu gelas pada Elang. Uap mengepul di antara mereka seperti jembatan halus antara dua jiwa yang berbeda tapi entah kenapa terhubung.

"Akang mah," katanya sambil duduk di kursi plastik kecil, "kudu cari tau heula Akang teh saha. Bukan CEO yang jatuh. Bukan korban. Bukan orang yang mau balas dendam. Tapi saha Akang sebenarnya—di dalem, di hate. Pas Akang udah ngarti itu, baru Akang bisa balik. Balik bukan buat hancurin orang, tapi buat nunjukin siapa Akang yang beneran."

Elang menerima gelas teh itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Kehangatan menyebar dari telapak tangan ke lengan, ke dada. Ia menyeruput pelan—teh manis dengan sedikit kayu manis, sederhana tapi entah kenapa lebih enak dari semua kopi premium yang pernah ia minum di meeting-meeting penting.

"Lo... kamu belajar itu dari mana?" tanyanya dengan nada kagum yang tidak ia sembunyikan.

Anya tertawa kecil, pipinya yang chubby sedikit memerah. "Ti Bapa. Waktu Bapa meninggal, Anya marah atuh, Kang. Marah ti Allah, marah ti takdir, marah ti dunia. Kenapa kudu Bapa? Kenapa bukan orang jahat? Kenapa bukan koruptor? Kenapa bukan... hadeeh, Anya mikir macam-macam deh waktu itu. Tapi lalu Anya inget, Bapa pernah bilang: 'Nak, kalo hidup teh sakit, jangan marahin penyakitna. Obatin. Amarah mah teu nyembuhin, cuma nambahan sakit.'"

Kata-kata itu masuk ke telinga Elang dan langsung turun ke tempat yang lebih dalam—ke tempat di mana rasa sakit dan dendam selama ini disimpan rapat-rapat, dijaga seperti harta paling berharga. Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya: apa yang sebenarnya ia jaga? Luka? Atau senjata?

Bu Marni keluar dari dapur dengan piring-piring nasi uduk yang sudah siap. "Anya, Akang, tulung simpen ka meja luar. Pelanggan tos dateng tuh."

Mereka bekerja bersama—Elang membawa piring, Anya menyiapkan sambal dan lalapan, Bu Marni melayani pelanggan dengan senyum dan sapaan hangat dalam bahasa Sunda yang Elang tidak sepenuhnya mengerti tapi terasa seperti pelukan. Warung mulai ramai—bapak-bapak yang mampir sebelum ke kebun teh, ibu-ibu yang beli nasi bungkus untuk anak di rumah, pemuda-pemuda yang ngobrol sambil ngopi.

Dan Elang—untuk pertama kalinya dalam berapa lama ia tidak ingat—merasa berguna. Bukan berguna dalam arti besar seperti menandatangani kontrak atau memimpin rapat. Tapi berguna dalam arti sederhana: membawa piring, mencuci gelas, tersenyum pada pelanggan yang berterima kasih. Hal-hal kecil yang membuat hari orang lain sedikit lebih mudah.

Ketika warung sepi di antara jam makan siang dan sore, Anya dan Elang duduk di teras kecil, menatap kebun teh yang membentang hijau sampai ke ufuk. Angin dingin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan daun.

"Akang tau nggak," Anya berkata pelan, "Anya teh sering ngebayangin, gimana rasana jadi orang sukses kayak di TV. Gedung tinggi, mobil bagus, baju mahal. Tapi sekarang mah Anya mikir... mungkin sukses teh nggak harus gedhe gitu. Mungkin sukses teh bisa sederhana: bisa makan, bisa tidur nyenyak, bisa sholat dengan hate tenang. Itu oge sukses, kan?"

Elang menatapnya—gadis yang seharusnya sedang kuliah, yang seharusnya mengejar mimpi, tapi memilih untuk tinggal dan menemukan kebahagiaan di tempat yang orang lain mungkin anggap kecil.

"Iya," jawabnya, dan untuk pertama kalinya percaya pada kata-katanya sendiri. "Itu juga sukses."

Matahari mulai turun di balik bukit. Langit Pangalengan berubah jadi gradasi jingga dan ungu yang tidak pernah ada di langit Jakarta. Dan Elang duduk di sana, di teras warung kecil dengan gadis polos yang mengajarinya hal-hal yang tidak pernah ia pelajari di ruang rapat atau buku bisnis:

Bahwa terkadang mundur bukan kekalahan. Bahwa terkadang kehilangan adalah jalan menuju menemukan. Bahwa terkadang hidup yang paling sederhana adalah yang paling kaya.

Dan bahwa balas dendam, mungkin, bisa menunggu—setidaknya sampai ia menemukan kembali siapa dirinya tanpa dendam itu.

---

**[Bersambung ke Bab 7]**

1
Dessy Lisberita
aku kok suka nya elang sama. stella ya thoor
Dri Andri: sayangnya elang udah jatuh cinta sama anya
total 1 replies
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: oke simak terus yaa
total 1 replies
Rizky Fathur
hancurkan Brian Thor sehancur hancur Thor bongkar semua kebusukannya Brian Thor jangan bikin elang naif memaafkan Brian pas Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang berbisik kepada Brian Brian keluargamu bagiamana bikin di sini Brian sampai memohon jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli Dan tertawa jahat Thor hahahaha
Dri Andri: perlahan aja ya😁k
total 2 replies
Rizky Fathur
Thor cepat bongkar kebusukan Brian Thor bikin elang kejam kepada musuhnya musuhnya bantai Sampai ke akar akarnya bersihkan nama baiknya elang Thor bikin di sini sifatnya jangan naif Thor
Rizky Fathur
cepat bantai Brian dengan kejam Thor bongkar semua kebusukannya ke media Thor bikin elang bersihkan namanya Dan Ambil lagi semua hartanya bikin elang tuntut balik orang yang melaporkannya dulu Dan yang memfitnahnya dulu dengan tuntutan puluhan milyar bikin elang kejam kepada musuhnya Thor kalau perlu tertawa jahat dan kejam berbicara akan membantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya kepada elang bikin elang tertawa jahat hahahaha Brian aku tidak perduli habis itu pukulin Brian sampai pingsan
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: gaskeun
total 1 replies
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya seru cepat buat elang Ambil kembali asetnya bongkar kebusukan Brian bikin elang kejam Thor sama Brian bilang akan bantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang tertawa jahat Thor
Rizky Fathur: bikin elang kejam Thor bongkar kebusukan Brian ke media bersihkan nama baiknya elang Thor bikin elang tuntut balik yang memfitnahnya Dan menjebaknya itu dengan tuntutan berapa ratus Milyar Thor
total 2 replies
Dessy Lisberita
bangkit lah elang
Dessy Lisberita
jngan terlalu percaya sama saudara ap lagi sama orang asing itu fakta
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya bikin elang menang bikin Jefri kalah Thor kalau perlu Hajar Jefri sampai luka parah
Dri Andri: gas bro siap lah perlahan aja ya makasih udah hadir
total 1 replies
Kisaragi Chika
bentar, cepat banget tau2 20 chapter. apa datanya disimpan dulu lalu up bersamaan
Dri Andri: hehehe iyaa
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!