Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.
Bagaimana Kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Sekolah Pertamanya
Pukul lima pagi, saat langit masih kelabu dan embun belum sepenuhnya hilang dari dedaunan, Lesham sudah berdiri di depan cermin panjang di kamarnya. Ia mengenakan pakaian olahraga berwarna abu-abu dengan celana training yang nyaman dan sepasang sepatu putih bersih yang terlihat baru. Rambutnya diikat rapi ke belakang dalam gaya ekor kuda.
Begitu keluar kamar, rumah masih sunyi. Hanya terdengar suara lembut air mengalir dari selang yang sedang digunakan oleh Pak Arjo, tukang kebun rumah keluarga Lesham yang tampak sibuk menyiram tanaman di halaman depan. Lesham menghampiri sebentar, lalu menyapa dengan sopan, “Selamat pagi, Pak.”
Pak Arjo menoleh, jelas terkejut melihat gadis itu. Tatapannya kosong sesaat sebelum akhirnya menjawab dengan senyum kikuk, “Pagi, Non...”
Tanpa banyak bicara, Lesham mulai berlari kecil mengelilingi halaman rumah yang luas, diiringi beberapa gerakan peregangan yang ia lakukan dengan serius. Sesekali, ia menghentikan langkah untuk melakukan gerakan dasar taekwondo yang masih ia ingat. Namun, tak butuh waktu lama hingga ia mengerutkan kening karena rasa nyeri di beberapa bagian tubuh.
“Baru sebentar sudah terasa sakit semua... tubuh ini memang terlalu lama dimanja. Tapi mulai sekarang, aku harus melatihnya." ucapnya pelan pada dirinya sendiri.
Pak Arjo yang memperhatikannya dari jauh hanya menggeleng tak percaya. Nona Lesham olahraga pagi-pagi begini? Biasanya bangun saja susah.
Selesai olahraga, Lesham kembali ke kamar untuk mandi dan bersiap ke sekolah. Saat ia membuka pintu kamar, hampir saja berpapasan dengan seorang wanita paruh baya yang hendak mengetuk pintu.
“Oh? Nona Lesham sudah rapi? Bibi kira Nona masih tidur,” sapa wanita itu sambil tersenyum hangat. “Oh iya, Bibi sudah siapkan sarapan untuk Nona di meja makan.”
Lesham memandang wanita itu dengan dahi berkerut. Siapa dia? pikirnya. Wanita itu tampaknya menyadari kebingungannya, lalu segera memperkenalkan diri.
“Nona mungkin lupa ya? Nama saya Bibi Arin. Semua orang di sini biasa memanggil Bibi dengan sebutan Bi Arin. Bibi yang mengurus rumah ini dari memasak, bersih-bersih, sampai keperluan harian lainnya. Kalau Bibi libur, biasanya digantikan oleh Bi Santi.”
Lesham mengangguk pelan, mencoba mencerna informasi yang terasa asing namun akrab di saat bersamaan. “Terima kasih... Bi Arin,” ucapnya pelan dengan nada agak ragu.
“Sama-sama, Nona. Silakan sarapan, ya. Setelah itu, nanti Pak Arjo akan mengantar Nona ke sekolah.”
Lesham menuruni tangga menuju ruang makan. Begitu melihat meja makan yang penuh dengan berbagai macam makanan, ia tertegun. Ada omelet, roti bakar, nasi goreng, salad sayur, salad buah, susu cokelat, dan susu Vanila—semuanya tampak tersaji dengan rapi seperti hidangan hotel.
“Ini sarapan atau pesta?” gumamnya pelan, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Seorang maid datang menghampirinya dan membungkuk sopan. “Silakan duduk, Nona. Saya akan menyiapkan sarapannya. Nona ingin makan apa?”
Lesham menunjuk nasi goreng dan telur dadar. “Aku mau itu saja.”
Maid itu menyajikan makanan degan porsi yang sedikit. Lesham mengernyit. “Maaf, bisa tambah lagi? Aku sangat lapar pagi ini.”
“Oh, tentu. Segini cukup?”
“Tambah sedikit lagi.”
“Kalau segini?”
“Sedikit lagi... oke cukup,” jawab Lesham puas.
Ia mulai makan dengan lahap. Tak ada sopan santun atau gaya anggun yang biasa terlihat, ia makan seperti orang yang benar-benar menikmati makanan. Maid yang berdiri tak jauh darinya hanya bisa melongo. Biasanya Nona makan sedikit, kadang malah tidak habis. Hari ini... luar biasa.
Tak lama kemudian, kedua orang tuanya turun dari tangga. Langkah mereka terhenti begitu melihat pemandangan putri mereka yang tengah melahap makanan tanpa ragu.
“Itu... Anak kita?” tanya ibunya dengan suara hampir berbisik.
“Papah juga tidak percaya. Mungkin benturan kepalanya kemarin memang ada manfaatnya. Tapi Papah senang melihatnya makan dengan lahap seperti ini,” jawab sang ayah pelan, matanya berbinar bangga.
Mereka duduk berhadapan dengan putrinya. Sang ibu menyentuh lengan meja dan bertanya lembut, “Sayang, Apa makanannya enak? Kau makan dengan sangat lahap.”
Lesham hanya mengangguk, mulutnya masih penuh. “Em... ini enak sekali,” jawabnya dengan senyum polos.
“Oh iya Mah, apakah di rumah ini ada Tempat olahraga?” tanyanya tiba-tiba. “Tubuhku pegal sekali. Aku ingin latihan supaya lebih kuat.”
Ibunya memandang Lesham seakan tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. “Tempat olahraga? Ada, sayang. Di lantai tiga. Tapi... sejak kapan kau suka olahraga? Kau dulu disuruh lari saja susah.”
“Justru karena tubuh ini lemah, aku harus melatihnya. Naik tangga saja terasa seperti naik gunung,” jawabnya mantap.
Selesai makan, Lesham masuk ke mobil putih yang telah menunggunya di halaman. Ia duduk dengan nyaman di kursi penumpang, menghirup wangi kabin yang bersih dan menikmati hembusan AC yang sejuk. Mobil ini nyaman sekali... jauh berbeda dari mobil lama yang penuh bau apek dan kursi keras.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah bangunan megah bertingkat. Lesham menatapnya dari balik kaca jendela, mulutnya sedikit menganga.
“Ini... sekolahnya?” tanyanya tak percaya.
“Iya, Non. Ini sekolah Nona. Kelas Nona ada di nomor 2 - 1B dilantai lima, nanti Nona bisa Naik Lift saja kalau malas naik tangga” jawab Pak Arjo dari balik kemudi.
“wahhhh, disekolah ada Liftnya?”
“Ada Non, Karena Bisa dilihat sekolahnya ada 7 Tingkat. Nah kebetulan kelas Nona ada di Lantai lima"
Lesham turun dari mobil, berdiri memandangi gedung sekolah yang menjulang tinggi. Ia menengadah sampai lehernya terasa pegal.
“Pantas saja tubuh anak ini lemah. Sekolah megah seperti ini pasti penuh tekanan,” bisiknya dalam hati. Ia menarik napas panjang.
“Baiklah... kita mulai dari sini. Mari kita lihat siapa yang akan memulai permainan ini. Tapi aku pastikan, akulah yang akan mengakhirinya.”
°°°
Lesham melangkah perlahan melewati gerbang sekolah yang menjulang tinggi dengan ornamen besi yang elegan. Di balik gerbang, halaman sekolah terbentang luas, dihiasi tanaman hias dan jalur berbatu yang mengarah ke pintu utama gedung. Suasana pagi masih cukup sepi, hanya beberapa siswa yang tampak berjalan dengan tenang menuju kelas mereka.
Langkah Lesham terhenti sesaat. Ia memandangi gedung sekolah dari bawah ke atas, seolah tak percaya bahwa tempat semegah ini adalah sekolahnya sekarang. Bangunan tiga lantai itu berdiri kokoh dengan arsitektur modern, dindingnya dihiasi kaca besar, dan setiap sudut tampak bersih serta terawat.
“Lantai lima, nomor 2 - 1B” gumamnya pelan sambil menghela napas panjang. Ia menapakkan kaki di tangga pertama, setiap langkahnya terasa berat namun penuh tekad.
Sesampainya di lantai tiga, Lesham berjalan menyusuri koridor yang dipenuhi suara langkah kaki dan obrolan pelan siswa lain. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya, ada yang sekadar menatap penasaran, ada pula yang berbisik-bisik satu sama lain.
"Eh, itu bukannya Lesham?" bisik seorang siswi dengan nada heran. "Dia masih berani datang ke sekolah"
"Tapi bukankah dia tampak berbeda? Dari gaya dan tatapannya tampak bukan seperti Lesham pada umumnya" sahut siswi lain.
Lesham mendengarnya, tapi memilih mengabaikan. Dalam pikirannya, dia sudah mempersiapkan mental untuk segala komentar dan reaksi yang akan dia hadapi. Ia tahu, semua orang mengenalnya sebagai Anak Lugu dan lemah. Tapi kali ini Dirinya mengubah Bukan seperti Lesham pada Umumnya.
Begitu sampai di depan kelas 2 - 1B, pintu kelas sudah terbuka. Suasana di dalam kelas tampak ramai. Beberapa siswa berdiri, mengobrol, ada yang sibuk dengan ponsel mereka, dan ada pula yang sudah duduk rapi di bangkunya. Lesham melangkah masuk, dan seketika semua suara dalam kelas seakan berhenti.
Mata mereka tertuju padanya.
Seorang gadis berambut hitam sebahu yang duduk di barisan depan langsung menyikut temannya. “Eh, itu Lesham? Bisa-bisanya Dia berani datang kesekolah setelah apa yang dia lakukan Minggu kemarin"
“Wah Gadis Lugu ini, oh Dia bukan lugu, Dia anak pemain guys, jangan percaya dengan casingnya saja". bisik yang lain, nyaris tak percaya.
Lesham tetap melangkah tenang dan duduk dibangkunya yang berada di ujung paling belakang, ia menatap wajah satu-satu teman kelasnya. Pantas saja anak ini Lemah, tatapan mereka seakan ingin membunuhnya secara perlahan
"Hei, Sudah puas melihat wajahku?" Ucap Lesham dengan Tegas, Sontak membuat semua orang tampak terkejut. baru kali ini Lesham membuka suara dengan lantang.
Beberapa detik kemudian, pintu kelas kembali terbuka. Seorang laki-laki berseragam rapi masuk sambil membawa setumpuk kertas di tangannya. Guru wali kelas, Pak Reza pria muda yang dikenal disiplin tapi santai.
“Pagi semuanya,” ucapnya sambil meletakkan berkas di meja guru.
“Selamat pagi, Pak,” jawab seluruh siswa hampir serempak.
Mata Pak Reza tertuju pada Lesham yang sudah duduk rapi, ia tampak sedikit terkejut melihat Lesham hari ini, namun ia segera menyembunyikannya dengan senyum tipis.
“Oh Lesham, bagaimana Kabarmu? Apa kau sudah Baikan?"
"Sudah pak, Makanya saya sekolah hari ini" Jawab Lesham dengan cepat tanpa adanya keraguan
Jawaban itu sontak membuat suasana kelas menjadi senyap kembali. Bahkan Pak Reza sempat terdiam sesaat.
“Kalau begitu... mari kita lanjutkan pelajarannya,” jawabnya sambil tersenyum, lalu mulai membagikan kertas soal.
“Karena ini hari Senin pertama di bulan baru, seperti biasa, kita mulai dengan ulangan singkat. Lima belas soal, tiga puluh menit. Anggap saja ini latihan untuk menilai kemampuan kalian.”
Beberapa siswa mengeluh pelan, namun semua mulai bersiap. Lesham menggenggam pulpen erat-erat. Ia menatap kertas soal di depannya dengan saksama, membaca setiap kalimat dengan hati-hati.
Dan saat itu pula... sebuah dorongan aneh muncul dari dalam kepalanya. Mata Lesham bergerak cepat membaca, pikirannya terasa tajam, dan entah dari mana, semua jawaban yang dulu mungkin tak pernah ia pahami, kini terasa begitu jelas.
Ia mengisi soal satu per satu, tanpa ragu. Dalam waktu lima belas menit, ia sudah selesai. Ia menatap kertasnya, lalu mengangkat tangan.
“Pak, saya sudah selesai,” ucapnya tenang.
Pak Reza mendekat dengan alis terangkat. “Baru lima belas menit? Kamu yakin tidak asal jawab?”
“Saya yakin, Pak” jawab Lesham singkat.
Pak Reza mengambil kertasnya, membacanya sekilas. Wajahnya berubah pelan-pelan, dari terkejut menjadi takjub. Ia melirik Lesham, lalu tersenyum kecil.
“Sepertinya saat kau sakit, kau pasti belajar dengan sangat keras ya" gumamnya pelan.
Sementara itu, beberapa siswa di kelas mulai bisik-bisik lagi. Aura Lesham hari ini benar-benar berbeda. Bukan hanya soal penampilan atau kehadiran paginya, tapi sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang tak bisa mereka jelaskan.
Dan dari jendela kelas, sinar matahari pagi mulai masuk menyinari bangku Lesham. Ia duduk diam menatap keluar, lalu bergumam dalam hati,
Baiklah... permainan ini sudah dimulai. Sekarang, giliran aku menentukan arah permainan ini akan berakhir di mana.