Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gentar
"E-Enggak. Gue nggak bermaksud kasihan sama mereka. Justru gue khawatir sama elo," kata Karmina dengan nada bicara sedikit berhati-hati.
"Ngapain lo khawatirin gue? Lagian, gue nggak bakal gimana-gimana, kok," sanggah Dewa merasa percaya diri.
"Iya, gue percaya kalau lo udah lihai dalam ngelakuin konspirasi, bahkan berhasil lolos dari hukuman setelah ngeroyok Sahar Muzakir. Tapi, lo sadar nggak, kalau hari apes nggak ada di kalender? Bisa aja saat mau menghabisi orang-orang ini, lo malah ditangkap polisi," tutur Karmina memperingatkan.
Dewa menyunggingkan senyum di satu sudut bibirnya, sambil memandang sinis foto para pelaku pembunuhan sang ayah. "Ya, gue sadar betul dengan risikonya. Itulah kenapa, bos gue belum ngasih lampu hijau buat melancarkan aksi menghabisi mereka."
"Kalau gitu, ya udah. Lupain semua pembalasan dendam lo. Orang-orang yang bakal lo lawan bukan rakyat jelata macam kita. Mereka punya uang dan kekuasaan. Jadi--"
"Nggak bisa!" sergah Dewa menoleh pada Karmina dengan menatap nyalang. "Lo pikir dengan ngelupain kebejatan mereka, hidup gue bakal tenang, gitu?"
Karmina terdiam sambil menunduk. Tatapan Dewa yang begitu tajam membuatnya gentar dan tak bisa menyanggah lagi.
"Kalau lo cuma pengen tau doang, mending pulang aja deh. Nggak usah ikut campur urusan gue buat menghukum para bedebah itu!" cerocos Dewa mendorong tubuh Karmina.
Alih-alih melawan, Karmina memandang kembali foto-foto para pelaku pembunuhan yang masih terpajang di papan. Disentuhnya salah satu potret seorang wanita dengan riasan tebal dan mencolok. Seketika, ia melihat sekelebat peristiwa mengenai wanita itu. Rumah bordil, para wanita cantik, dan pria hidung belang, terlihat jelas di pelupuk matanya.
Selanjutnya, ia menyentuh foto Karsa Darmawijaya. Kali ini, Karmina mendapati pandangan mengenai hewan-hewan unik Nusantara yang dikurung dalam kandang. Tempatnya besar dan luas, tapi gelap. Ruangan itu seperti di dalam sebuah garasi penyimpanan mobil kontainer.
Perlahan, telunjuk gadis itu menuju foto Jackson Lim. Gemerlap lampu diskotek, botol-botol minuman, dan sebuah kasino mewah dapat dilihatnya dengan jelas. Pria itu sesekali pulang ke sebuah apartemen mewah dan menghabiskan malam dengan seorang wanita yang pernah Karmina lihat di televisi. Kemungkinan wanita itu seorang aktris terkenal.
Dan, yang terakhir, I Wayan Winata. Mendadak sekujur tubuh Karmina merinding saat menyentuh foto pria dengan kumis tebal dan tatapan mata yang teduh itu. Ketika menutup mata, ia melihat banyak sekali sosok mengerikan di belakang pria itu. Beberapa di antaranya bertubuh besar, memiliki bulu lebat, rambutnya panjang, serta mata besar yang melotot seperti akan keluar dari kelopaknya. Makhluk itu menyeringai, menunjukkan gigi geligi runcingnya serta taring yang panjang dan tajam sampai melewati dagu. Jika diperhatikan dengan saksama, makhluk mengerikan itu mirip Barong yang sering muncul dalam pertunjukan seni di Bali.
Adapun Dewa, tampak merasa muak dengan Karmina yang masih memperhatikan foto para pelaku, langsung menarik lengan gadis itu hingga keluar dari kamar. Namun, belum sempat Karmina meninggalkan kamar Dewa, ia tiba-tiba terkulai lemah dan tak sadarkan diri. Sontak, Dewa terkesiap melihat teman sekolahnya pingsan begitu saja.
"Argh! Kenapa harus pingsan segala, sih?" gerutu Dewa berbalik badan, lalu berjongkok menyandarkan kepala Karmina di bahunya. "Mina! Bangun Mina!" ujarnya sembari menepuk-nepuk pipi gadis itu.
Semakin panik, Dewa membopong tubuh mungil Karmina ke ruang depan dan membaringkannya di kursi. Ia segera mengambil minyak kayu putih, lalu menutup pintu kamar rapat-rapat. Dioleskannya minyak kayu putih itu ke telapak kaki Karmina, lalu menekan ibu jari kaki gadis itu sekeras mungkin, seperti yang dilakukan anak-anak PMI di sekolah.
"Mina! Cepet bangun, Mina! Lo nggak mau, kan, kita difitnah yang bukan-bukan sama warga sini," ujar Dewa, berusaha membuat Karmina siuman.
Dari pintu masuk, Pak RT datang mengetuk pintu. Secepatnya Dewa menoleh dan terbelalak mendapati orang penting di lingkungan itu datang ke rumahnya. Sungguh, situasi yang tak menguntungkan bagi sang ketua OSIS.
"Dewa, lagi ngapain lu?" tanya Pak RT memandang curiga.
"Ini, temen gua ngedadak pingsan, Pak RT," jelas Dewa dengan wajah panik
"Lu kagak ngapa-ngapain dia, kan?" Pak RT masih merasa sangsi.
"Ya kagaklah, Pak. Jangan suuzon dulu, kenapa?"
"Ya udah, gua bantu lu bikin temen lu siuman," cetus Pak RT sembari masuk ke ruang depan.
"Makasih, Pak RT," ucap Dewa.
Sementara itu, di alam bawah sadarnya, Karmina mendapati lima orang sedang berkumpul di suatu tempat yang sunyi dan gelap. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu yang penting. Di belakang orang-orang itu, ia melihat ada sosok tinggi besar mengerikan sedang melihat-lihat ke sekitar.
Berdebar dada Karmina mendapati kumpulan orang bersama beberapa makhluk aneh berwujud mengerikan berada dalam satu tempat. Dengan lemas, ia perlahan-lahan mundur ke belakang, berusaha menjauh dari tempat itu. Namun, ketika berbalik badan, gadis itu terperanjat mendapati sosok ayah Dewa sudah berdiri di depannya, masih dengan tubuh ringkih dan bersimbah darah.
"Mau pergi ke mana kamu?" tanya Pak Guntur dengan wajah lesu.
"P-Pak ... S-Siapa kumpulan orang-orang itu? Kok mereka barengan sama dedemit?" Karmina balik bertanya dengan terbata-bata dan napas tersengal.
"Mereka semua orang-orang di balik kematian saya. Itulah kenapa saya membutuhkan kamu untuk membantu Dewa menghabisi mereka," ungkap Pak Guntur menekankan nada bicaranya.
"T-Tapi ... apa yang bisa saya lakuin buat bantuin Dewa? Mereka semua bukan orang sembarangan! Bisa-bisa saya dan Dewa mati duluan ketimbang menghukum mereka," tutur Karmina dengan suara gemetar.
Pak Guntur mengulas senyum sembari memegang pundak Karmina. "Saya percaya, kemampuan kamu membaca masa depan dapat mengarahkan Dewa sampai ke tujuannya. Peran kamu bukan sekadar melindungi Dewa, tapi menyelamatkan masyarakat di negeri ini dari kebejatan para penguasa."
Karmina tertunduk lesu dan mendesah pelan. Ketika mengangkat wajahnya lagi, ia terkejut mendapati Pak Guntur sudah menghilang. Gadis itu kemudian menyapukan pandangan ke segala arah. Tak ada seorang pun di sekitarnya, termasuk kumpulan orang dan dedemit yang sempat muncul beberapa saat lalu.
Dalam kebingungan, Karmina berlari menyusuri jalanan gelap nan sunyi. Semakin jauh ia berlari, matanya menangkap cahaya di kejauhan. Karmina menuju arah cahaya itu dan tercengang seketika.
Sebuah lapangan yang luas dengan dua orang lelaki saling berhadapan, membuat Karmina terkesima untuk sesaat. Ia melihat satu pria berwajah sangar dengan rambut panjang dan gimbal, sedang menepuk dadanya yang bidang. Tubuhnya yang besar bagaikan raksasa, membuat siapa pun gentar melawannya. Sementara di sisi lain, tampak seorang pemuda bertubuh jauh lebih kecil sedang memutar-mutar ketapel dan melangkah pelan seolah mencari celah untuk menyerang.
Pria raksasa meraung, lalu berlari menuju pemuda bertubuh lebih kecil. Pada saat bersamaan, si pemuda melesatkan batu dari ketapelnya dan mengenai mata si pria raksasa. Seketika, lelaki berbadan besar itu tumbang dan terkapar di tengah lapang. Adegan itu pun mengingatkan Karmina tentang kisah pertarungan antara seorang nabi dan raja. Daud versus Jalut.
Di tengah kekagumannya, Karmina merasakan ngilu pada ibu jari kakinya. Ia berjongkok memegangi kakinya yang terasa sakit dan memijitnya perlahan-lahan. Saat mendongak, gadis itu pun mulai siuman dari pingsannya. Sambil mengerjapkan mata, Karmina memandang bingung pada Dewa dan Pak RT.
"Syukurlah, lo udah siuman," ucap Dewa mengembuskan napas lega.
Karmina mengernyitkan kening, mengalihkan pandangan pada Pak RT. "Kok ada Pak RT di sini?"
"Bapak kebetulan mau minta fotokopi KK punya Dewa. Eh, si Dewa malah kelimpungan ngurusin kamu yang pingsan," tutur Pak RT.
Karmina berusaha untuk bangun dan terduduk. Dewa memegang kedua bahu gadis itu, membantunya membenarkan posisi duduk. Adapun Pak RT, duduk bersebelahan dengan Dewa.
"Kamu nggak ngapa-ngapain sama Dewa, kan? Kalau kalian berani berbuat mesum di sini, Bapak nggak akan segan-segan ngusir Dewa," kata Pak RT memperingatkan.
"Tenang aja, Pak. Kami nggak ngapa-ngapain, kok," sanggah Karmina.
"Iya, Pak. Kami cuma lagi diskusi soal pelajaran sekolah," timpal Dewa.
"Baguslah. Bapak nggak suka kalau ada anak muda yang mencemari daerah sini," kata Pak RT, lalu menepuk pundak Dewa. "Oya, mana fotokopi kartu keluarga lu?"
Dewa kemudian bergegas menuju kamar ibunya dan mengambil berkas yang dibutuhkan Pak RT. Tak lama kemudian, ia kembali menyerahkan fotokopi KK untuk dilakukan pembaruan. Bu Dahlia sudah tiada, jadi hanya nama Dewa saja yang akan tercantum di dalam kartu keluarga.
Bersamaan dengan perginya Pak RT, Dewa mengantar Karmina pulang. Baginya, sudah cukup untuk menunjukkan para pelaku pada gadis itu. Tak baik lelaki dan perempuan berduaan tanpa pihak ketiga dalam waktu yang lama.
Sepanjang perjalanan, Karmina termenung memikirkan perkataan ayah Dewa. Ia merasa ragu untuk melangkah lebih jauh membantu sang ketos, sebab kemampuan membaca masa depan belum sepenuhnya ia kuasai. Memang, beberapa kilasan peristiwa pada masa mendatang kerap melintas secara spontan dalam benaknya. Akan tetapi, terkadang ia ragu-ragu bahwa apa yang dilihatnya akan menjadi kenyataan.
Setibanya di depan gang menuju kontrakan, Dewa memarkir motor. Sementara itu, Karmina turun dari motor Dewa dan menyerahkan botol arsenik pada lelaki itu sesuai janjinya.
"Gue harap, lo berpikir lebih matang lagi kalau mau bantuin gue. Bukan cuma jago bertarung, otak lo juga harus jalan buat ngadepin para bajingan itu," ucap Dewa.
Karmina mengangguk. "Nanti gue pikir-pikir lagi, deh."
"Kalau gitu, gue pergi dulu," pamit Dewa, lalu melajukan motornya, meninggalkan Karmina.
Dari arah lain, Jayadi yang baru saja pulang main PS dari rumah temannya, berlari menghampiri Karmina. Ia menepuk pundak sang kakak, sampai gadis itu menoleh.
"Empok abis dianterin siapa? Pacar Empok, ya?" tanya Jayadi.
"Bukan. Cuma temen doang," jawab Karmina dengan lesu.
"Oh." Jayadi mengangguk. "Jadi, gimana? Empok mau bantuin dia membasmi para penjahat nggak? Kayaknya seru nih kalau Empok jadi pahlawan pembela kebenaran kayak di film-film," celetuknya.
Terbelalak Karmina sembari menoleh dan menatap heran wajah sang adik. "Tau dari mana lo kalau temen gue bakal membasmi para penjahat?"