Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.
Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?
Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NARASI Episode 33
Kamala berlari keluar rumah sekuat tenaga, meskipun lututnya masih terasa lemas akibat dorongan kasar tadi. Napasnya terengah, rambutnya berantakan, dan matanya dipenuhi air mata. Ia melihat Reyna yang sedang digendong oleh salah satu anak buah wanita paruh baya itu, menuju ke dalam sebuah mobil van hitam yang mesinnya sudah menyala.
"REYNA!!" teriak Kamala histeris, suaranya nyaring memecah udara pagi.
Reyna menoleh, wajahnya penuh tangis dan ketakutan. “Ibuuuu!”
Tanpa pikir panjang, Kamala berlari lebih kencang, kakinya menghantam aspal tanpa alas kaki, tubuhnya nyaris limbung karena panik dan kelelahan. Namun ia tidak peduli. Hatinya hanya tertuju pada satu hal, menyelamatkan putrinya.
Salah satu anak buah wanita itu menoleh ke belakang, kaget melihat Kamala berhasil menyusul. Ia buru-buru mendorong Reyna ke dalam mobil dan menutup pintunya.
Kamala berhasil meraih pintu van tepat sebelum tertutup. Ia menariknya dengan sekuat tenaga, berusaha membukanya kembali. Tapi orang itu menendang bahu Kamala hingga tubuhnya terhuyung dan jatuh ke trotoar.
Mesin mobil meraung. Van itu mulai melaju.
Kamala bangkit lagi, mengejar mobil dengan napas terputus-putus, tangannya mencoba meraih apa pun yang bisa. Tapi mobil itu melaju semakin cepat, meninggalkannya di jalanan, dengan suara tangis Reyna yang perlahan menghilang.
Kamala jatuh berlutut di tengah jalan. Tangannya mengepal di atas aspal, dadanya naik turun, air matanya jatuh tanpa bisa dikendalikan.
“Reyna…” bisiknya lirih, seolah kehilangan separuh jiwanya. Dan akhirnya ia pun pingsan.
Beberapa menit kemudian, Dengan langkah sempoyongan, Faris berjalan menyusuri trotoar yang sepi. Matanya merah, napasnya bau alkohol, dan jaketnya setengah terbuka seperti tak peduli pada apa pun. Malam tadi ia menenggak minuman keras sendirian, mencoba melarikan diri dari beban pikirannya. Tentang Amanda, Indira, dan hidupnya yang penuh kebohongan.
“Heh... semuanya... bohong... dunia ini... busuk...” gumamnya lirih sambil tertawa kecil, miris.
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti ketika matanya menangkap sosok seseorang yang tergeletak di pinggir jalan, tepat di bawah sinar matahari pagi yang mulai menyentuh bumi.
“Eh... siapa tuh...?” ucapnya pelan, mencoba fokus.
Ia berjalan mendekat, matanya menyipit mencoba mengenali sosok itu. Tubuh perempuan, rambut kusut, pakaian lusuh... dan wajah yang begitu familiar.
Faris berlutut perlahan di samping tubuh perempuan itu. Meskipun pikirannya masih berkabut karena alkohol, nalurinya tersentak oleh kondisi perempuan yang tampak pingsan dengan air mata yang masih membekas di pipinya.
"Hei..." ucapnya pelan, suaranya berat dan tak stabil. "Kau kenapa...?"
Ia menggerakkan tangannya, menyentuh bahu Kamala dan mengguncangnya perlahan. Tak ada respons. Faris mulai berfikir negatif, karena pengaruh Alkohol
Tanpa pikir panjang, ia mulai mendekatkan wajahnya ke Kamala.
Tapi tepat saat wajahnya tinggal sejengkal dari wajah Kamala, seseorang menendang Faris dengan kasar, hingga tubuhnya terpental dan terjatuh ke trotoar.
“Apa yang kamu lakukan?!” suara berat dan penuh amarah, terucap jelas oleh seorang pria yang tidak lain adalah Antoni.
Faris mengerang kesakitan, tubuhnya meringis di atas trotoar. Kesadarannya yang sudah kabur karena alkohol membuat semua terasa berputar, tapi rasa sakit akibat tendangan itu justru membuatnya sedikit lebih sadar.
"A—apa... siapa lo?!" teriak Faris, sambil mencoba duduk, meski tubuhnya masih goyah.
Antoni berdiri di hadapannya dengan wajah marah, napas memburu, dan sorot mata tajam menatap Faris seolah ingin menelan pria itu hidup-hidup. Ia langsung berlutut di sisi Kamala, memeriksa kondisinya dengan cepat, lalu mengusap pelan pipi wanita itu.
“Kamala... Kamala, buka matamu.” bisiknya lembut, kontras dengan sikapnya terhadap Faris.
Faris terkejut saat kerah bajunya ditarik kasar. Wajah Antoni yang penuh amarah hanya berjarak beberapa senti darinya.
Tanpa memberi Faris waktu, Antoni melayangkan pukulan keras ke wajahnya. Faris terjengkang ke belakang, darah mengucur dari bibirnya. Ia mencoba bangkit, tapi belum sempat tegak, satu tendangan mendarat di perutnya, membuatnya terkapar kembali.
“Berani-beraninya kamu sentuh dia!” teriak Antoni lagi, kali ini melepaskan serangan bertubi-tubi, pukulan ke rahang, pukulan ke pelipis, dan satu lagi ke dada.
Faris terbatuk keras, tubuhnya tergeletak tak berdaya. “Berhenti... gue cuma mau bantu... dia pingsan...” gumamnya lirih, darah menetes dari mulutnya.
Namun amarah Antoni belum mereda. Ia kembali menarik Faris dan bersiap memukul lagi, ketika suara lirih Kamala terdengar pelan, nyaris seperti bisikan.
“Ap...a yang kalian lakukan.”
Antoni langsung menghentikan gerakannya. Ia menoleh cepat ke arah Kamala yang mulai membuka matanya perlahan, wajahnya pucat dan linglung.
“Kamala? Kamala, kamu sadar?” tanyanya panik, segera berlutut kembali di sisinya.
Kamala mengangguk lemah, matanya menatap sayu ke arah Faris yang bersimbah darah di tanah.
Antoni menghela napas lega, tapi wajahnya masih tegang. Ia menyentuh pelan dahi Kamala, memastikan suhu tubuhnya tak terlalu panas. Tapi ketika ia hendak berbicara lagi, Kamala membuka mulutnya lebih dulu.
"Siapa... kalian?" tanyanya pelan, suara seraknya nyaris tak terdengar.
Antoni membeku. Matanya menatap Kamala tak percaya. “Apa... maksudmu?”
Kamala menatap keduanya bergantian, Faris yang tergeletak bersimbah darah dan Antoni yang memegangi tangannya dengan cemas. Tatapannya kosong, bingung, dan asing.
Namun di tengah kekosongan dalam pikirannya, sebuah suara kecil seolah memecah kesunyian di hatinya.
“Ibuuu!”
Suara tangisan itu... tangis seorang anak. Wajah kecil penuh ketakutan. Rambut panjang berantakan. Mata yang menatapnya penuh harap.
Reyna.
Tubuh Kamala seketika menegang. Ia memegangi kepalanya yang terasa berdenyut, dan napasnya mulai memburu. Wajahnya menegang, dan bibirnya bergerak pelan, menyebut nama yang tiba-tiba menyeruak kembali dari kekosongan pikirannya.
“Rey...na...”
Antoni menatapnya kaget. “Kau ingat sesuatu?”
Kamala menoleh dengan ekspresi bingung. “Aku... aku gak tahu siapa kalian... tapi aku... aku tahu... aku harus cari Reyna... dia... anakku!!”
Kenangan yang masih terputus-putus membuat kepalanya berdenyut makin hebat, tapi ada satu yang pasti: ia harus menemukan Reyna.
“Aku harus... temukan dia... mereka bawa dia pergi...” Kamala mulai panik, tubuhnya hendak bangkit meski belum kuat.
Antoni dengan sigap menahannya. “Kau belum kuat, Kamala. Tenang dulu. Kita akan cari Reyna sama-sama.”
Kamala menatapnya, ragu tapi perlahan mengangguk, hanya karena dalam ketakutannya yang mengerikan, hanya Antoni yang saat itu menawarkan pegangan.
Antoni segera mengangkat tubuh Kamala yang lemas ke dalam pelukannya. Meski tubuhnya tegap dan kuat, ada kepanikan yang tidak bisa disembunyikan dari sorot matanya. Ia melirik Faris sekilas, pria yang kini terdiam di trotoar, wajah lebam dan berdarah, tapi tidak mencoba melawan.
Tanpa memperdulikan Reyna, Antoni berjalan cepat menuju mobilnya yang diparkir tak jauh dari sana. Ia membuka pintu belakang dan membaringkan Kamala dengan hati-hati, lalu segera menyalakan mesin dan melesat menuju rumah sakit terdekat.
Di ruang IGD, Kamala sudah ditangani oleh tim medis. Infus dipasang, tekanan darah diperiksa, dan dokter memastikan tidak ada cedera berat. Antoni berdiri di luar ruang periksa, gelisah. Tangannya mengepal, dan pikirannya dipenuhi wajah Reyna, anak kecil itu kini entah di mana, dibawa oleh orang-orang yang bisa saja menyakitinya.
Beberapa menit kemudian, seorang perawat keluar.
“Dia sudah siuman, tapi kondisinya masih sangat lemah, mungkin karena trauma dan kelelahan,” ujar sang perawat lembut.
“Boleh aku temui dia?” tanya Antoni cepat.
Perawat mengangguk, dan Antoni segera masuk.
Kamala berbaring lemah, wajahnya pucat namun matanya terbuka. Ia langsung menoleh saat Antoni masuk.
“Apa mereka... sudah temukan Reyna?” tanyanya pelan.
Antoni duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Kamala dengan lembut. “Belum... tapi aku janji, mulai hari ini, aku gak akan berhenti sampai Reyna ditemukan. Aku akan hubungi semua orangku. Kita akan cari dia sampai ketemu.”
Kamala menatapnya lama, matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu siapa sebenarnya pria itu, tapi hatinya... entah kenapa mempercayainya.
******
Di lain tempat,
Affan yang baru pulang dari toko sembako tempatnya bekerja paruh waktu, langsung terkejut saat membuka pintu rumah. Matanya membelalak melihat kondisi ruang tamu yang porak-poranda. Kursi-kursi terbalik, vas bunga pecah berhamburan di lantai, dan tirai jendela tercabik.
Dengan langkah cepat, ia menyusuri rumah, napasnya memburu karena panik.
"Kamala?! Reyna?! Kalian di mana?!" teriaknya, suaranya menggema di antara kehancuran.
Tak ada jawaban.
Affan berlari ke kamar Kamala dan Reyna. Kosong. Hanya ranjang yang sepreinya terlepas dan boneka Reyna yang tergeletak di lantai dengan satu mata lepas. Ada bekas gesekan dan jejak kaki di lantai, sebagian kecil bercak darah di dekat pintu.
Jantung Affan berdegup tak karuan. Ia jatuh terduduk, lututnya lemas. Tangannya meraih boneka Reyna dan memeluknya erat.
“Apa yang terjadi di sini…” gumamnya, suara tercekat penuh kecemasan. “Siapa yang tega melakukan ini semua?"
Tanpa pikir panjang, Affan keluar rumah dengan langkah cepat, matanya liar menatap ke sekeliling, mencoba mencari jejak apa pun yang bisa membawanya ke Kamala dan Reyna. Wajahnya pucat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Ia menanyakan ke tetangga terdekat, namun tidak ada satu pun yang melihat apa pun. Semua berlangsung terlalu cepat, atau terlalu diam.
Dengan tangan gemetar, Affan mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ia menekan nomor Calvin, satu-satunya orang yang ia pikir bisa bergerak cepat menghadapi situasi seburuk ini.
“Hallo? Calvin? Ini aku, Affan.”
“Affan? Ada apa?” suara Calvin terdengar tenang, tapi ada nada khawatir yang mulai tumbuh karena nada panik Affan.
“Kamala... dan Reyna... mereka hilang. Rumahku... berantakan. Kayaknya ada yang nyerang mereka! Ini bukan perampokan biasa. Ini... ini penculikan!”
Suara di seberang langsung berubah tegang. “Kau di mana sekarang?”
“Di rumah. Aku baru pulang dan menemukan semuanya seperti ini. Kamala dan Reyna gak ada, Calvin! Mereka hilang!”
“Tenang, Affan. Jangan panik, dan jangan ke mana-mana. Aku akan segera datang.”
Affan mengangguk cepat meski Calvin tak bisa melihat. “Cepat, Calvin... tolong.”
Begitu sambungan diputus, Affan kembali berdiri di tengah kekacauan rumahnya. Tangannya mengepal, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, rasa takut yang mendalam menusuk hatinya.
Ia tidak akan tinggal diam. Demi Kamala dan Reyna, ia siap melakukan apapun.