Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpisah
Belum sempat Pangeran Ponggol melanjutkan perintahnya, tiba-tiba terdengar suara lembut namun tegas dari sampingnya.
“Ayah... izinkan aku ikut ke Kertayasa.”
Pangeran Ponggol menoleh cepat.
“Silvanna?”
Silvanna berdiri tegak, wajahnya penuh keyakinan.
“Perjalanan ke desa itu bukan hanya misi penting bagi ayah… aku ingin belajar lebih banyak. Meluaskan pengalaman. Di sana pasti banyak hal yang bisa kupelajari. Apalagi... ada Paman Lanselod. Aku akan aman.”
Shantand yang berdiri tidak jauh langsung terbatuk-batuk kecil, lalu buru-buru menengadah ke langit seolah memeriksa bintang. Tapi dalam hati, ia sedang bersorak gembira.
‘Ya Tuhan... dia ikut! Dia ikut!’
Tiba-tiba semua rencana hidupnya seolah berubah prioritas.
Pangeran Ponggol sempat menatap lekat anak semata wayangnya.
“Perjalanan ini bukan tamasya, Silvanna. Kertayasa bukan tempat bermain. Ada... rahasia kelam di sana.”
“Aku tahu, Ayah,” jawab Silvanna lembut. “Justru karena itu aku ingin ikut. Jika benar tempat itu berkaitan dengan musuh lama Bhaskara dan... hilangnya orang tua Shantand, maka aku harus melihatnya dengan mata kepala sendiri.”
Pangeran Ponggol terdiam beberapa saat. Pandangannya mengarah ke Lanselod.
“Lanselod, kau yakin bisa menjaganya?”
Lanselod mengangguk mantap.
“Dengan nyawa saya, Paduka.”
Silvanna tersenyum tipis, lalu diam-diam melirik ke arah Shantand yang masih pura-pura sok sibuk membetulkan ikat pinggangnya. Tatapan mereka bertemu... dan dunia kembali melambat bagi Shantand.
‘Kenapa kau secantik itu bahkan di tengah hutan...’ pikirnya, sambil menahan senyum norak.
Pangeran Ponggol akhirnya menghela napas dan mengangguk pelan.
“Baiklah. Tapi mulai sekarang, kau bukan lagi putriku di dalam perjalanan. Kau adalah bagian dari tim misi kerajaan. Tidak ada perlakuan istimewa.”
“Siap, Ayah!” jawab Silvanna sambil mengepalkan tangan kecilnya.
Pangeran Ponggol pun memandang Shantand.
“Dan kau, Shantand… jagalah dia baik-baik. Tapi jangan sampai terlalu sering melamun.”
“Eh—saya… siap, Paduka! Siap sepenuhnya!” Shantand berdiri tegak, hampir tersandung sendiri karena gugup.
Lanselod menahan tawa.
‘Anak ini... terlihat seperti singa kalau bertarung, tapi seperti kambing kena hujan saat berhadapan dengan gadis,hahaha.’
*****
Langit malam di atas Hutan Saloka dihiasi ribuan bintang, tapi suasana tetap terasa berat. Udara dingin menyusup ke balik pakaian, dan suara dedaunan yang bergesekan seolah menyimpan bisikan para leluhur.
“Kita bermalam di sini.”
Lanselod memerintahkan pasukannya. “Dirikan tenda darurat, nyalakan api unggun, dan pasang perimeter. Ini hutan Saloka, kita tak tahu bahaya apa saja yang mengintai.”
Pasukan Garuda bergerak cepat. Tenda-tenda kain berwarna hijau tua segera berdiri membentuk lingkaran. Di tengahnya, api unggun mulai menyala, mengusir kegelapan yang begitu pekat.
Shantand membantu memotong kayu dan membawa air bersama para anggota pasukan Garuda. Sementara itu, Silvanna duduk bersila tak jauh dari api, menyisir bulu kucing putihnya yang menguap manja di pangkuannya, lalu kucing bernama Rafaela itu menatap shantand dan Silvana.
"Silvana, apa tak ada khabar tentang Bhaskara? "
Suara kucing putih melalui gelombang otak itu terlihat gelisah..
Silvana tersenyum menggoda, "aku tanyakan muridnya ya..? Hihi"
“Kau terlihat berbeda saat malam.”
Shantand berkata pelan, duduk di seberangnya.
“Lebih seperti... dewi penjaga hutan.”
Silvanna menoleh sambil tersenyum kecil.
“Dan kau, seperti lelaki yang pandai merangkai gombalan.”
Mereka tertawa pelan, sementara dari kejauhan, Lanselod dan Pangeran Ponggol berbicara serius di bawah pohon besar yang rindang.
“Aku mencium sesuatu yang tak beres.” kata Pangeran Ponggol lirih.
“Lurah Samunthu terlalu cepat memberikan laporan soal keberadaan penjajah asing, seolah dia tahu kita akan datang.”
Lanselod mengangguk.
“Dan... aku dapat kabar burung. Di desa Kertayasa, sudah banyak orang-orang asing yang berdagang, tapi... bukan dagangan biasa. Mereka membawa simbol aneh—huruf-huruf yang tak pernah kulihat.”
“Rekanku dulu pernah bicara soal musuhnya yang tak berasal dari bumi Nusantara,” gumam Pangeran Ponggol, menatap api unggun dari kejauhan. “Mungkin... ini awal dari kembalinya mereka.”
Sementara itu di hutan bagian dalam, di balik pepohonan, dua pasang mata mengamati tenda-tenda pasukan itu.
Satu tinggi kurus berjubah hitam, satu lagi pendek gemuk dengan topeng berbentuk burung. Mereka tak bersuara, hanya mengangguk pelan... lalu menghilang ke dalam bayangan.
---
Malam belum sepenuhnya larut, nyala api unggun masih menari pelan saat suara lembut terdengar dari dekat Silvanna.
Rafaela, si kucing putih berbulu panjang, menoleh dengan anggun dan... berbicara dalam bahasa manusia, tapi hanya terdengar oleh Silvanna.
“Di mana Bhaskara? Aku mencium aroma tuaknya tadi... Tapi sekarang... aku tidak dapat merasakan hal yang sama. ”
Silvanna terkekeh pelan, lalu melirik ke arah Shantand yang sedang duduk tak jauh dari mereka.
“Shantand,” katanya sambil menahan tawa, “ada yang menanyakan tentang gurumu Bhaskara...”
Ia menunjuk ke arah Rafaela. “Namanya Rafaela. Dan sepertinya dia... penasaran padamu juga.”
Nada suaranya genit menggoda, membuat pipi Shantand sedikit memanas.
Namun, senyum itu tak bertahan lama.
Shantand menoleh ke pinggangnya secara refleks. Tangannya meraba tempat yang semestinya ada benda bundar itu...
“Labu...” bisiknya.
Kepanikan kecil mulai menyeruak.
“Labu tuaknya... hilang!”
Silvanna langsung berdiri. “Apa?!”
Shantand meraba sekelilingnya, membuka ikatan kain pinggangnya. Tak ada tanda-tanda bahwa benda itu jatuh. Tidak ada jejak... seolah menghilang begitu saja.
Shantand terdiam memandangi tempat pinggangnya yang kosong. Labu tuaknya—yang selalu tergantung di sana, kini raib. Keringat dingin mulai merembes di pelipisnya.
Rafaela mengedip polos. “Silvanna, tadi kamu bilang labu tuak itu penting? Memangnya... di dalamnya ada apa?”
Silvanna menoleh ke Shantand dan mengangkat alis dengan senyum menggoda. “Itu dia... Shantand, apa kamu menyimpan harta karun di dalam labumu itu, sampai wajahmu pucat begitu?”
Shantand cepat-cepat menyembunyikan kegelisahannya dengan tawa kecil yang dipaksakan. “Haha… ya, kalian tahu sendiri. Rasanya aneh kalau nggak ada yang bisa disesap sebelum tidur. Itu... semacam kebiasaan saja.”
Silvanna mendekat, matanya menelisik. “Kalau cuma kebiasaan, kenapa matamu seperti kehilangan sesuatu yang lebih dari sekedar minuman?”
Shantand mengalihkan pandangan, lalu bangkit berdiri dan berkata pelan, “Sudahlah. Besok kita punya misi penting. Aku akan cari labu itu di pagi hari, mungkin terjatuh di jalan tadi.”
Rafaela mengeong menunduk lesu. “Yah... padahal aku penasaran.”
“Tidak ada yang menarik dari sebuah labu tuak,” kata Shantand cepat, lalu berjalan ke balik pohon, berpura-pura mencari kayu bakar untuk menghindari pertaNyaan lebih lanjut.
Padahal dalam hatinya Shantand berdegup kencang, dia tak habis pikir dimana dia terakhir meletakkannya? Dan yang pasti aneh adalah dia tak merasa pernah melepas labu tuak itu di dalam hutan ini..
Rasanya berat kalau dia harus berpisah dengan gurunya secepat ini...
Dimanakah Bhaskara dalam labu tuaknya menghilang? Apakah dicuri lawan atau ini adalah unsur kesengajaan Bhaskara yang ingin menguji muridnya??
Ikuti terus ceritanya dan jangan lupa Subscribe ,like dan komennya ya 😇