NovelToon NovelToon
Bayangan Terakhir

Bayangan Terakhir

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Identitas Tersembunyi / Dunia Lain / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Roh Supernatural
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Azka Maftuhah

Genre : Misteri, Thriller, Psikologis, Supranatural
Sinopsis :
Setelah suaminya meninggal didalam kecelakaan yang tragis. Elysia berusaha menjalani kehidupan nya kembali. Namun, semuanya berubah ketika ia mulai melihat bayangannya bertingkah aneh dan bergerak sendiri, berbisik saat ia sendiri, bahkan menulis pesan di cermin kamar mandinya.
Awalnya Elysia hanya mengira bahwa itu halusinasi nya saja akibat trauma yang mendalam. Tapi ketika bayangan itu mulai mengungkapkan rahasia yang hanya diketahui oleh suaminya, dia mulai mempertanyakan semuanya. Apakah dia kehilangan akal sehatnya ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang sedang berusaha kuat untuk berkomunikasi dengannya.
Saat Elysia menggali hal tersebut lebih dalam dia menunjukkan catatan rahasia yang ditinghalkan oleh mendiang suaminya. Sebuah pesan samar yang mengarah pada sebuah rumah tua dipinggiran kota. Disanalah ia menemukan bahwa suaminya tidak mati dalam kecelakaan biasa. Akan kah Alena mendekati jawabnya???

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azka Maftuhah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 32 - JEJAK DI MATA DINA

Langit senja bergelayut kelabu saat Elysia dan Satrio hendak keluar dari ruangan arsip rahasia itu. Angin menerpa wajah mereka, tapi hawa dingin yang menyelimuti dada Elysia tidak datang dari cuaca, melainkan dari dalam dirinya sendiri.

“Wajah itu… kenapa mirip aku?” Elysia berbisik, lebih kepada dirinya sendiri.

Satrio menatapnya. “Apa mungkin Elsa ada hubungan darah denganmu?”

Pertanyaan itu menghantam Elysia seperti batu. Ia ingin menyangkalnya. Tapi terlalu banyak keanehan yang mulai terhubung. Dan semakin ia menolak, semakin jelas suara di dalam dirinya berbisik.

Malam itu, mereka kembali ke rumah. Elysia duduk di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya yang kini tampak asing. Di balik pantulan, ia merasa ada sepasang mata lain yang ikut menatap.

Dan ketika ia mencoba memalingkan wajah, cerminnya tetap memperlihatkan sosoknya menatap lurus. Tidak bergerak. Tidak mengikuti.

Elysia mendekatkan wajah ke kaca.

> “Apa kau pikir ini hanya tentang Ressa?”

Suara itu kembali. Tapi kali ini, muncul bersama gambaran dalam pikirannya, ruangan putih dengan garis merah di lantai, tempat tidur besi berjejer, dan seorang anak perempuan kecil duduk sendirian, memeluk lututnya, rambutnya keriting… dan wajahnya, ya Tuhan wajah itu seperti dirinya.

Ia terkesiap. “Bukan hanya mirip… dia seperti versi kecilku.”

Keesokan harinya, mereka kembali ke rumah sakit lama, membawa surat dan foto Elsa ke ahli arsip kota.

Seorang wanita tua, penjaga arsip, menatap mereka dengan ekspresi terkejut.

“Pasien 000-Φ?” bisiknya. “Tuhan… aku pikir data ini sudah dihapus seluruhnya. Tapi kalau kalian punya dokumennya, artinya kalian menemukan ‘ruang hitam’.”

Elysia mengangguk pelan. “Kami juga menemukan surat dari Elsa. Dia bilang... dia tahu semuanya.”

Wanita itu menarik napas panjang, lalu mengambil sebuah map lusuh dari bawah meja. Ia mengeluarkan selembar kertas yang tampak seperti laporan eksperimen.

“Elsa adalah pasien pertama dari Program Bayangan. Sebuah eksperimen rahasia untuk menangani anak-anak dengan ‘disosiasi ekstrem’. Tapi, metode mereka terlalu jauh. Mereka menggunakan teknik pengisolasian pikiran, membiarkan trauma berkembang di ruang mental tanpa intervensi.”

Satrio menyipitkan mata. “Mereka menciptakan ruang traumatik buatan?”

“Bukan hanya menciptakan. Mereka menjebak anak-anak di dalamnya.”

Elysia membaca nama-nama di laporan itu. Beberapa ia kenali—Ressa, bahkan nama-nama anak yang fotonya ia lihat di album. Tapi satu nama tertera di bawah semua:

> Elysia T.

Ia membeku.

“Aku… pasien juga?”

Wanita itu ragu. “Kami tak pernah punya catatan itu secara resmi. Tapi jika Elsa adalah prototipe, maka yang berikutnya… mungkin bukan cuma pasien. Tapi kelanjutan dari eksperimen itu.”

----

Malamnya, Elysia duduk sendirian. Di hadapannya, surat Elsa, foto, dan lembaran laporan. Semua menjadi kepingan yang akhirnya mulai menyatu.

Tapi yang membuatnya bingung adalah satu detail kecil yang muncul dalam pikirannya—surat Dina ditulis dengan tinta hitam… dan tulisan itu sangat mirip dengan tulisan tangannya sendiri.

Bukan sekadar mirip.

Itu tulisan tangannya.

Tangannya gemetar. Ia menatap cermin.

> “Siapa kau sebenarnya…?”

Pantulan itu tak menjawab.

Tapi saat cahaya kamar berkedip, untuk sepersekian detik, ia melihat bayangan Elsa berdiri di belakang pantulan dirinya.

Tersenyum kecil.

Tapi bukan senyum manis.

Senyum penuh luka.

Senyum seseorang yang telah melihat terlalu banyak.

Malam itu, setelah semua orang tertidur, Elysia masih tetap terjaga. Lampu kamarnya redup, hanya remang cahayanya yang menyinari meja penuh kertas—surat Elsa, foto-foto, dan salinan laporan eksperimen yang tadi diberikan oleh petugas arsip. Setiap lembar membawa beban masa lalu yang tak pernah ia kenal… tapi kini terasa sangat dekat.

Ia kembali membaca baris terakhir dari surat Elsa:

> “Jika kau baca ini, berarti bayangan belum selesai. Mereka masih mengintai. Masih mencari wadah baru.”

Elysia menatap surat itu lama. Lalu ia membuka catatan kecil miliknya dan membandingkan tulisan tangannya dengan milik Elsa. Lengkungan huruf, tekanan pena, bahkan kemiringan sudutnya… hampir identik.

"Mustahil," bisiknya.

Ia mencoba mengingat—apakah mungkin saat kecil ia pernah dirawat di rumah sakit ini? Apakah mungkin ia... adalah bagian dari program yang sama, namun ingatannya dihapus?

Tapi otaknya tak memberi jawaban.

Yang ia miliki hanyalah kilatan-kilatan yang muncul tiba-tiba: dinding putih, suara teriakan anak-anak, seorang pria berseragam lab, dan sebuah cermin besar di tengah ruangan.

Saat Elysia menutup matanya, suara tawa anak-anak terdengar samar. Bukan suara ceria. Tapi seperti gema—tawa palsu yang kosong dan melankolis.

Ia menjerit kecil dan membuka mata. Tapi yang ia lihat di depannya bukan lagi kamarnya.

Ia berada di koridor rumah sakit yang ia lihat di dalam mimpi—dindingnya putih, lantainya dingin, dan di kejauhan… sosok seorang anak perempuan berdiri. Wajahnya buram. Tapi rambutnya… keriting. Sama seperti Elsa.

Elysia mencoba melangkah, tapi kakinya seolah tertahan. Gadis kecil itu berbalik perlahan, dan saat matanya bertemu dengan Elysia, tiba-tiba semuanya gelap.

> “Kau akhirnya melihatku…”

Suara itu terdengar jelas. Lalu muncul kembali kilatan memori:

Satu ruangan penuh anak-anak berbaring tak sadarkan diri.

Satu cermin besar yang dipantulkan ke tengah ruangan.

Dan di balik cermin itu—ada seseorang yang memperhatikan mereka. Mencatat. Menganalisis.

> "Siapa... yang ada di balik cermin?"

Saat Elysia terbangun kembali di dunia nyata, tubuhnya dipenuhi keringat dingin. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar.

Dan kini ia tahu…

Ada dua versi dari dirinya.

Satu yang menjalani hidup normal.

Dan satu lagi—yang tertinggal di dalam cermin, bersama semua anak-anak yang hilang.

Pagi harinya, Satrio mendapati Elysia duduk diam di meja makan, tatapannya kosong.

“Elysia? Kau mimpi buruk?”

Elysia menoleh perlahan. Matanya merah. Tapi ada sesuatu yang lain di dalam sorotnya, sesuatu yang Satrio belum pernah lihat sebelumnya.

“Aku tahu siapa aku,” katanya lirih.

“Aku bukan hanya saksi.”

Satrio menatapnya bingung. “Maksudmu?”

“Aku bagian dari mereka. Program itu. Aku mungkin bukan Elysia yang kau kenal.”

Suasana menjadi sunyi. Hanya detak jam di dinding yang terdengar.

Kemudian Elysia melanjutkan,

“Aku, mungkin kelanjutan dari Elsa.”

Satrio terdiam sejenak hingga akhirnya ia berbicara, "Kalau memang menurutmu seperti itu kali ini kita akan pergi ke rumah sakit itu."

Kali ini Edric ikut bersama mereka. Pergi ke suatu tempat yang tua.

Elysia berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang sudah lama ditinggalkan, bersama Satrio dan Edric yang kini kembali bergabung, setelah sekian lama ia pergi jauh untuk menenangkan diri atas apa yang telah menimpanya.

Mereka bertiga membawa berkas hasil arsip pencarian nama elsa dan pasien-pasien lain yang hilang dari catatan resmi. Di tangan Elysia, ada foto Elsa kecil memegang cermin, gambar yang terus membayangi pikirannya sejak malam itu.

“Tempat ini masih terasa hidup,” bisik Edric, menoleh ke dinding yang mengelupas. “Seolah kenangan mereka masih bergema.”

Elysia berhenti di depan sebuah ruangan bertanda: Ruang Observasi 7.

Ia membuka pintu perlahan, debu mengepul, dan ruangan itu menyambut mereka dengan keheningan yang menakutkan. Di tengahnya, sebuah cermin besar berdiri tegak, tertutup kain lusuh abu-abu. Di bawahnya, lantai membentuk pola lingkaran seperti simbol kuno.

“Cerminnya… masih utuh,” gumam Satrio.

Elysia mendekat. Ia menarik kain penutup dengan pelan, memperlihatkan permukaan kaca yang memantulkan tiga sosok mereka tapi dalam refleksi itu, ada sebuah keanehan.

Bayangan mereka tidak sinkron.

Gerakan kepala yang berbeda, senyum yang tidak ada di wajah asli mereka, dan mata, mata yang menatap langsung pada Elysia, seperti tahu lebih banyak dari dirinya sendiri.

“Aku tahu tempat ini,” bisik Elysia. “Dulu… aku sering berdiri di sini. Tapi bukan sebagai pasien.”

Edric dan Satrio saling berpandangan.

“Kau mengawasi mereka?” tanya Edric hati-hati.

Elysia menatap bayangannya di cermin. “Aku bukan hanya Elysia. Aku bagian dari eksperimen, mungkin generasi berikutnya setelah Elsa. Atau… kelanjutannya. Ingatan itu perlahan kembali. Tidak seperti memori biasa. Lebih seperti... program yang teraktifkan.”

Suasana mencekam. Cermin di depan mereka bergetar perlahan, seolah mendengar.

Tiba-tiba, di balik pantulan Elysia, muncul sosok Elsa. Tapi kini lebih tua, matanya kelam namun lembut. Ia berdiri tenang, mengangkat tangan dan menyentuh kaca dari sisi dalam.

Elysia terisak. “Elsa… kau masih di sana?”

Dina mengangguk perlahan. Lalu ia menulis sesuatu di kaca dengan jari, tapi dari dalam:

> “Bukalah matamu sepenuhnya. Aku bukan satu-satunya yang ingin keluar.”

Kata-kata itu seketika membuat udara membeku. Edric melangkah mundur. “Apa maksudnya…?”

Namun sebelum sempat dijawab, bayangan lain muncul di belakang Elsa. Wajahnya tidak begitu jelas, berubah-ubah, mengabur, dan hitam sepenuhnya. Ia menyentuh bahu Elsa dan seketika sosok gadis itu menghilang dari cermin.

Gambar dalam pantulan berubah menjadi kekacauan: anak-anak menangis, suara-suara mendesak minta tolong, dan satu sosok besar berdiri di tengah kegelapan. Wajahnya masih tak tampak, namun Elysia mengenalnya…

Itu sosok yang sama dalam mimpinya—yang mengawasi dari balik cermin. Dialah pusat semuanya.

“Apa dia adalah kepala eksperimen?” tanya Satrio dengan suara gemetar.

Elysia hanya menjawab lirih, “Atau sesuatu yang lebih tua dari itu.”

Cermin mulai retak di satu sudut. Suara bisikan berdatangan dari segala arah, membuat kepala mereka nyeri.

Edric menarik tangan Elysia. “Kita harus keluar dari sini. Sekarang.”

Namun Elysia berdiri terpaku. Matanya berkaca-kaca.

“Aku harus tahu siapa aku sebenarnya. Kalau aku bisa melihat mereka, berarti aku belum sepenuhnya keluar dari lingkaran ini.”

Edric menatapnya dalam-dalam. “Kau tetap Elysia. Siapa pun kau dulunya, kau bukan mereka.”

Elysia menatap ke arah cermin yang retaknya semakin menjalar, lalu berkata pelan :

“Belum tentu. Tapi aku akan memastikan aku bukan kelanjutan dari kegelapan ini.”

Cermin itu retak sepenuhnya.

Dan di tengah pantulan yang hancur, muncul satu tulisan samar:

> Kunci ada di mata. Mereka menyimpan jalan pulang.

1
Isa Mardika Makanoneng
baru awal udah tegang aja kk
Lalula09
Gokil!
Koichi Zenigata
Seru abiss
Graziela Lima
Ngebayangin jadi karakternya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!