NovelToon NovelToon
Keluargamu Toxic, Mas!

Keluargamu Toxic, Mas!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Dian Herliana

Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32

"Papah mau renovasi empang. Mobil Kita jual, ya?"

"Kok sampai jual mobil sih, Pah? Baru juga lunas." keluh Nisa.

"Emang harus ya, empangnya di renov?"

"Empangnya udah rusak parah, Mah. Nanti malah hancur, nggak bisa dipakai mancing." memang sampai begitu parahnya, ya? Kelihatannya sih biasa saja menurut mata orang awam seperti Nisa. Orang yang sama sekali tidak mengetahui seluk beluk keadaan pemancingan.

"Harus jual mobil, ya?" Nisa dan anak - anak sudah terlanjur sayang sama mobil itu. Nisa tidak pernah kesulitan membayar cicilannya sampai sekarang akhirnya mobil itu lunas terbayar.

"Mau dapat duit darimana lagi?" Nisa menyerah. Anak - anak pun merasa sedih. Terutama Nino. Dia sedang senang - senangnya mengendarai mobil itu bersama pacarnya. Semula Iman tidak mengizinkannya membawa mobil itu sebelum memiliki SIM. Sekarang setelah ia punya SIM, mobilnya malah akan dijual.

Tapi seperti kebiasaannya, Nino tetap diam. Ia tidak mengatakan sepatah katapun untuk menyatakan kekecewaannya.

Deni yang melancarkan protesnya.

"Kenapa harus dijual sih, Mah? Deni baru mau belajar."

"Kata Papah buat renovasi empang, Nang."

"Emang empangnya kenapa?"

"Tanya aja sama Papah Kamu."

Dan Iman mendapat cecaran pertanyaan dari Deni langsung menjawabnya.

"Papah mau pasangin batu kali untuk fondasinya, Nang. Papah mau buat pemancingan yang kokoh, yang paling bagus di sekitar area Kita ini. Biar Kita nggak kalah bersaing sama empang - empang lain."

Memang sudah banyak pemancingan - pemancingan bertebaran di sekitar mereka.

"Memang menjamin empang Kita akan ramai lagi?" tanya Deni.

"Ya, pastilah." ujar Iman optimis.

Mereka mulai memasarkan mobil itu bukan hanya dari mulut ke mulut tapi juga lewat media sosial.

Waktu bergulir terus..

"Man! Si Deni tadi pakai mobil, tuh! Kapan belajar mobilnya Dia, ya?" lapor Ijay saat Iman baru saja pulang memancing. Tentu saja Iman terkejut. Ia melihat posisi mobilnya yang memang sudah berubah. Tidak seperti saat ia tinggalkan pagi tadi.

Iman memutari mobil. Mencari barangkali ada goresan di sana. Tapi tidak ada.

Iman menghela nafas lega.

"Nino kali, Bang! Bukan Deni." katanya setelah ia dapat menenangkan dirinya melihat keadaan mobil yang baik - baik saja.

"Aku lihat Deni yang bawa mobil. Bukan Nino. Emang mataku buta, nggak bisa ngebedain siapa yang bawa mobil?" Ijay melotot.

Dengan gusar Iman mencari Deni untuk diinterogasi.

"Deni!" panggilnya dari depan pintu.

"Ada apa sih, Pah? Kok kayak orang kesal gitu?" Nisa keluar dari kamarnya.

"Deni pakai mobil tadi, Mah! Mamah ngapain aja, sih? Kok ngebiarin Deni begitu?"

Mulut Nisa terbuka. Ia mulai terlihat panik.

"Mamah nggak tau, Pah! Deni nggak papa, 'kan?" Nisa langsung berbalik menuju kamar Deni.

"Anak itu harus diomelin, Mah! Jangan seenaknya bawa - bawa mobil!" ketus Iman seraya mengikuti Nisa.

Nisa langsung masuk ke kamar Deni dan melihat anaknya itu sedang tidur.

"Den! Deni!" Nisa mengguncang bahu Deni.

Deni menggeliat dan membuka matanya.

"Kamu nggak papa, Nang?" Nisa menatap seluruh tubuh Deni. Sepertinya tidak ada yang mengkhawatirkan.

"Emang kenapa sih, Mah?" tanya Deni kesal karena merasa terganggu tidurnya.

"Kamu kenapa bawa mobil Papah?" teriak Iman gusar. Nisa mengernyitkan dahinya. Mobil Papah? Kapan Iman membayar cicilan mobil itu?

"Mobil Papah?" tatapan Nisa membuat Iman meralat ucapannya.

"Mobil Kita!" Iman mendengus tak suka. Kenapa omongannya tadi itu harus dipermasalahkan?

"Kalau sampai kenapa - kenapa, gimana?"

"Papah takut Deni kenapa - kenapa apa mobilnya?" sengat Deni. Iman terkejut. Ia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu.

**********

Nisa hanya diam mengamati perdebatan Ayah dan anaknya. Tapi ia merasa lega melihat Deni tidak apa - apa.

"Kan Kamu udah ketauan nggak kenapa - kenapa!" kelit Iman cepat.

"Mobil itu 'kan mau Kita jual. Kalau ada yang lecet, gimana?" ujung - ujungnya mobil juga yang jadi prioritas utama kekhawatirannya.

'Kita, Papah aja, kali.' sungut Deni dalam hati.

"Papah udah lihat belum mobilnya? Nggak kenapa - kenapa, 'kan?" Deni membalikkan tubuhnya. Ia ingin melanjutkan tidurnya yang tertunda.

"Nang, jangan tidur dulu." Nisa mengusap kepala Deni.

"Apalagi sih, Mah?" Deni tidak mau merubah posisinya.

"Kamu tetap harus minta maaf sama Papah."

"Kenapa lagi?" Deni membalikkan lagi posisinya.

"Kamu udah bikin Papah cemas. Mamah juga. Kamu belum cukup umur untuk bawa mobil."

"Deni sudah hampir 17 tahun, Mah."

"Tapi Kamu 'kan belum bisa bikin SIM!" sentak Iman.

"Emang Papah mah apa - apa nggak boleh!"

"Deni!" Kali ini Nisa yang berkata sedikit keras. Deni menyerah melihat tatapan tajam dari Mamanya.

"Maaf." akhirnya kata - kata itu keluar dari mulutnya.

"Minta maafnya yang bener." tegut Nisa.

"Maafin Deni, Pah." katanya sambil bangun dan mencium punggung tangan Iman.

"Besok - besok jangan coba - coba bawa lagi, ya!" ancaman Iman membuat Deni kembali meledak.

"Papah mah gitu!"

"Kamu masih kecil!" sengat Iman.

"Nanti kalau udah waktunya juga Papah kasih!'

"Mana ada. A Nino sampai sekarang juga kalau bawa digerendengin terus sama Papah!"

"Itu kan karena.. Anu.." Iman mulai kehabisan kata - kata. Nisa menyadari itu.

"Deni, kalau Papah udah janji gitu ya Kamu tututin aja. Nggak usah pakai protes."

"Tapi Mah, Papah bisanya cuma janji - janji doang. Katanya motor Deni mau di modif, sampai sekarang mana?"

"Itu 'kan Papah belum sempet. Papah lagi banyak kerjaan!"

"Kerjaan apa, sih? Mancing?"

"Deni! Nggak boleh gitu sama orangtua!" sentak Nisa. Sebenarnya Deni mewakili perasaannya. Tapi ia tetap tidak ingin anak - anak tidak menghargai Papahnya.

Iman mengacak rambutnya dengan kasar.

"Awas Kamu, ya!" katanya sebelum ia keluar dari kamar.

Yang Nisa suka dari Iman adalah ia tidak pernah main tangan padanya, juga pada anak - anak, semarah apapun Dia. Kalau ia merasa sangat marah, ia akan memilih pergi.

Nisa lalu duduk di tepi pembaringan.

"Kamu belajar bawa mobil dari siapa, Nang?" tanya Nisa lembut.

"Belajar sendiri, Mah."

"Kok bisa? Sejak kapan?"

"Itu 'kan mobil matic. Jadi pakai feeling aja. Deni tadinya cuma belajar maju mundur doang. Tadi Deni coba keliling sebentar."

Oh,.. Nisa mengangguk mengerti.

"Siapa yang tau Deni bawa mobil sih, Mah? Tadi 'kan Papah nggak ada." Nisa mengedikkan bahunya.

"Mamah nggak tau. Mamah yang ada di rumah aja nggak tau Kamu keluar terus bawa mobil." Nisa menatap Deni lebih serius.

"Benar kata Papah, Kamu nggak boleh curi - curi bawa mobil lagi, ya?"

"Kok, gitu?"

"Kalau ada apa - apa, misalnya, tapi mudah - mudahan ini nggak terjadi. Kamu, nggak sengaja nyerempet mobil atau motor orang. Harus ganti rugi, dong? Mending kalau Kamu nggak kenapa - napa. Kalau Kamu juga harus berobat, gimana? Kamu mikirin nggak perasaan Mamah sama Papah gimana?"

"Tapi Deni selalu hati - hati, Mah."

"Iya, tapi namanya nahas itu bisa terjadi. Dan Kita akan menjadi pihak yang bersalah karena pengemudinya masih di bawah umur dan nggak punya SIM."

"Terus kapan Deni boleh bawa mobil?"

"Kalau Kamu udah punya SIM."

"Keburu mobilnya terjual, deh." keluh Deni.

Nisa hanya dapat menghela nafas.

*********

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!