Amrita Blanco merupakan gadis bangsawan dari tanah perkebunan Lunah milik keluarganya yang sedang bermasalah sebab ayahnya Blanco Frederick akan menjualnya kepada orang lain.
Blanco berniat menjual aset perkebunan Lunah kepada seorang pengusaha estate karena dia sedang mengalami masalah ekonomi yang sulit sehingga dia akan menjual tanah perkebunannya.
Hanya saja pengusaha itu lebih tertarik pada Amrita Blanco dan menginginkan adanya pernikahan dengan syarat dia akan membantu tanah perkebunan Lunah dan membelinya jika pernikahannya berjalan tiga bulan dengan Amrita Blanco.
Blanco terpaksa menyetujuinya dan memenuhi permintaan sang pengusaha kaya raya itu dengan menikahkan Amrita Blanco dan pengusaha itu.
Namun pengusaha estate itu terkenal dingin dan berhati kejam bahkan dia sangat misterius. Mampukah Amrita Blanco menjalani pernikahan paksa ini dengan pengusaha itu dan menyelamatkan tanah perkebunannya dari kebangkrutan.
Mari simak kisah ceritanya di setiap babnya, ya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Kejadian Buruk Di Perkebunan
Denzzel Lambert telah tiba di tanah perkebunan Luhan bersama Amrita Blanco yang semestinya dia telah mengganti namanya dengan nama suaminya menjadi Amrita Lambert.
Tidak lagi memakai nama wangsa dari ayahnya yaitu Blanco melainkan dia harus mengganti namanya menjadi Amrita Lambert sebab dia adalah istri pengusaha estate terkenal itu.
Amrita masih duduk berboncengan dibelakang Denzzel ketika sepeda motor yang dikendarai oleh suaminya sampai di area perkebunan Luhan.
Tampak Denzzel memarkir sepeda motornya di dekat aula yang ramai oleh orang-orang berkumpul di halaman.
Garis kuning kepolisian mengelilingi aula perkebunan, tanda yang hanya diperuntukkan bagi pihak berwajib serta orang tertentu yang diperbolehkan masuk kesana.
Denzzel dengan cekatan meletakkan sepeda motor seraya mematikan mesin.
"Kita turun disini, Amrita", ucapnya seraya turun.
"Ya, baiklah, Lambert...", sahut Amrita yang ikut turun dari sepeda motor dibantu oleh Denzzel.
"Hati-hati, Amrita !" kata Denzzel penuh perhatian.
"Terimakasih", ucap Amrita berusaha turun.
"Aku tidak bisa menggendongmu sekarang karena banyak orang yang akan memperhatikan kita disini", kata Denzzel sembari memapah Amrita berjalan.
"Ya, aku tahu itu, Denzzel", sahut Amrita yang pandangannya sedari tadi tertuju pada aula di depan mereka berdua.
"Kita akan meminta ijin terlebih dahulu pada polisi yang berjaga disini sebab kita tidak bisa masuk ke dalam aula untuk melihat pemetik buah yang tewas itu tanpa ijin dari mereka", kata Denzzel.
"Ya, Lambert...", jawab Amrita.
Dua orang itu saling berangkulan erat ketika naik ke aula.
Kedatangan mereka langsung disambut oleh petugas kepolisian yang berjaga di aula, mereka diperiksa terlebih dahulu sebelum memasuki ruangan aula setelah itu mereka berdua diijinkan masuk.
Amrita terkesiap tegang saat dia melihat wajah pemetik buah, dia sangat familier dan mereka seringkali bertemu jika musim panen buah tiba di tanah perkebunan Luhan.
"Ya, Tuhan...", ucapnya lemas.
"Apa kau mengenalnya ?" tanya Denzzel.
"Ya, dia salah satu pekerja disini, namanya Paula, dia bekerja di bagian pemetikan buah", sahut Amrita.
"Aku turut berduka cita atas kematian salah satu pekerjamu, semoga tidak ada lagi peristiwa seperti ini terulang lagi", kata Denzzel.
"Semoga saja...", ucap Amrita terlihat pucat pasi.
"Apa racun yang menyebabkannya tewas ?" tanya Amrita.
"Katanya dia keracunan makanan dari kantin, tapi setelah diperiksa, tidak ditemukan bukti itu", sahut Denzzel.
"Sebaiknya aku meminta pada ibu kantin agar dia menutup sementara kantin sampai situasi disini aman", kata Amrita.
"Aku sudah bertindak lebih awal untuk menutup kantin bahkan aku melarang adanya makanan masuk keperkebunan selain lewat mandor Tobin", ucap Denzzel.
"Oh, iya ?" sahut Amrita tercengang.
"Ya, benar, semua telah aku kendalikan sesuai pengawasanku sampai situasi disini aman dan tenang", kata Denzzel.
Sejumlah orang berseragam rumah sakit datang dengan membawa tandu untuk mengangkut jasad milik pemetik buah yang tewas keracunan.
Denzzel mengajak Amrita agak menyingkir dari orang-orang berseragam rumah sakit yang masuk ke aula.
"Demi Tuhan..., tolong lindungi kami dari peristiwa buruk ini lagi...", ucap Amrita begitu ketakutannya.
Tampak orang-orang berseragam rumah sakit segera membawa keluar mayat pemetik buah menuju mobil jenasah untuk dibawa ke rumah sakit terdekat dan akan diotopsi oleh pihak kepolisian yang menangani kasus ini.
Amrita bergidik ngeri saat mobil jenasah melaju pergi dari tanah perkebunan Luhan.
Bersamaan itupula, iring-iringan mobil polisi turut pergi dari tempat ini, sempat Amrita menyembunyikan wajahnya dalam dekapan Denzzel.
"Tenanglah, Amrita ! Semua akan baik-baik saja !" kata Denzzel.
"Kuharap begitu, Lambert", sahut Amrita.
"Sekarang kau sudah lega setelah melihat sendiri bukti bahwa ada pekerja di perkebunan Luhan tewas", kata Denzzel.
"Ya, Denzzel...", sahut Amrita masih menyandarkan dirinya pada Denzzel.
"Kita kembali ke bungalow sekarang", kata Denzzel.
''Bolehkah aku melihat sebentar ke kantin, aku ingin menengok ibu kantin dan mencoba menenangkannya", sahut Amrita.
"Tidak usah kesana karena dia sudah pulang sedari tadi setelah polisi mengintrogasinya", kata Denzzel.
"Apa dia termasuk tersangka atas kasus ini ?" tanya Amrita.
"Kurasa tidak, tapi aku juga tidak bisa memastikannya karena semua masalah telah ditangani oleh pihak berwajib selama kasus penyelidikan berlanjut", sahut Denzzel.
"Ya, Tuhan... Semoga ibu kantin tidak tersangkut kasus ini, dan dia terbebas dari masalah besar ini", kata Amrita berdoa penuh harap.
"Ya, semoga saja akan ada titik terang untuk kejadian atas tewasnya pekerja di perkebunan Luhan ini", ucap Denzzel.
Denzzel memapah Amrita keluar dari aula menuju sepeda motor yang dia kendarai sewaktu ke perkebunan Luhan.
Kedua pasangan pengantin baru itu berjalan dengan langkah sangat hati-hati ke arah beranda depan aula.
Amrita melanjutkan ucapannya sembari menoleh ke arah Denzzel Lambert.
"Tapi aku ingin mampir sebentar ke kantin, aku mau melihat tempat itu sebelum ditutup seterusnya", kata Amrita.
"Untuk apa kesana lagi, Amrita ?!" sahut Denzzel.
"Ayolah, aku ingin sekali saja melihat tempat itu sebelum kita pulang ke bungalow", kata Amrita.
Denzzel tertegun diam sejenak seperti dia sedang berpikir sesuatu lalu pengusaha estate itu melanjutkan ucapannya.
Suami Amrita kemudian mengangguk cepat seakan-akan dia menyetujui permintaan Amrita.
"Mari kita pergi ke kantin, Amrita !" ajak Denzzel.
"Terimakasih sudah mendengarkan permintaanku ini, Denzzel", sahut Amrita senang.
"Demi menyenangkan hati istri apalagi yang bisa aku lakukan selain menuruti semua permintaannya", kata Denzzel.
"Terimakasih, Denzzel...", sahut Amrita terlihat lega.
Denzzel seperti sedang tersenyum meski tak tampak jelas dari ekspresi wajahnya karena terbungkus oleh kain hitam namun guratan garis-garis disudut kedua matanya menunjukkan bahwa dia sedang tersenyum.
Pengusaha estate itu membawa Amrita bersamanya menuju sepeda motor yang dia pakai tadi sewaktu datang kesini.
Motor jenis royal enfield terparkir diluar aula, bergegas Denzzel mendekati motor itu.
"Ayo naik, Amrita !" ajak Denzzel.
Amrita langsung menurut, dia tidak banyak membantah dan naik ke atas motor tersebut, berboncengan dengan Denzzel sebagai pengedaranya.
Motor jenis royal enfield bergerak pelan maju menuju area kantin perkebunan Luhan.
Suaranya mesinnya terdengar meraung-raung keras memecah keheningan di tanah perkebunan Luhan.
Rencananya tanah perkebunan Luhan akan dijaga selama dua puluh empat jam nonstop oleh pihak aparat kepolisian untuk berjaga-jaga disini.
Amrita memeluk pinggang milik suaminya saat dia berboncengan menuju kantin.
Beberapa tempat mereka lalui selama perjalanan ke area kantin perkebunan Luhan dengan menggunakan motor royal enfield yang mesinnya sangat kencang.
Garis kuning juga terlihat disekitar area kantin bahkan bangunan khusus kantin telah ditutup oleh palang kayu sehingga tak seorangpun yang bisa masuk kesana dengan mudahnya.
Denzzel Lambert mematikan mesin motornya, saat kendaraan itu masih melaju pelan ke arah kantin sedangkan Amrita menoleh ke arah kantin yang telah ditutup itu.
"Kita tidak bisa masuk kesana, pihak berwajib memang melarang kita kesana, Amrita", ucapnya.
''Ya, aku tahu itu kalau kita tidak bisa masuk kesana, Denzzel", sahutnya dengan nada kecewa.
"Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang, menunggu atau pulang ke bungalow sebab tidak ada pekerjaan lagi disini sampai besok", kata Denzzel.
"Apa kau meliburkan semua pekerja di perkebunan ini, bukannya kita akan panen buah ?" tanya Amrita agak terkejut kaget.
"Ya, kau benar, kita akan panen tapi hari ini, aku meliburkan semua pekerja perkebunan Luhan sampai dua hari kedepan dan kegiatan akan kembali berlanjut setelahnya", sahut Denzzel.