Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Alah bisa karena biasa. Itu yang terjadi pada kehidupan rumah tangga mereka.
Iman mulai bersikap zalim dengan seenaknya dalam memberi nafkah dan Nisa juga tidak ingin menjadi istri yang banyak menuntut.
"Senang banget hidupmu sekarang, Man. Mau mancing tinggal mancing. Mau jalan tinggal jalan. Emang nggak mau mikirin yang di rumah?" salah satu dari sahabatnya, Samsul menegurnya.. Samsul datang membawa mobil temannya untuk diservis Iman, tapi Iman sudah siap untuk berangkat memancing.
"Lah, mau ngapain lagi? Bukannya hidup itu untuk dinikmatin?" sergah Iman tertawa. Ia masih sibuk merapikan alat memancingnya.
"Kamu kayak gitu emang Nisa nggak marah? Nikmat di Kamu, Dia nggak!"
"Awalnya sih, marah. Tapi kesiniin kayaknya Dia udah biasa."
"Masa' sih? Dia sama sekali nggak ngomel kalau Kamu pergi mancing tiap hari?"
"Kagak! Cemberut mah, iya!" Iman tergelak gelak sendiri.
"Bosan kali ya, ngomel juga. Lah, yang diomelinnya batu banget!" sungut Samsul.
"Lah, itu Kamu tau!" Samsul hanya dapat merasa takjub dengan kelakuan Iman yang luar biasa ajaib menurutnya.
"Ada pemancingan di rumah, mancing di tempat lain!" gerutunya tak habis pikir karena ia sendiri tidak suka memancing.
Iman pergi memancing bersama Edi, abangnya.
"Cepetan, Man!" Edi memanggilnya dari atas motornya.
"Aku tinggal dulu, ya. Kamu kalau mau ngopi minta aja sama Nisa."
"Tapi mobil itu gimana, Man?" Samsul menunjuk mobil yang dibawanya.
"Besok aja!" Iman bergegas menghampiri Abangnya dan naik ke atas boncengan.
Samsul juga memilih langsung pergi dari sana dan berniat akan kembali keesokan harinya.
Begitulah, semua Nisa tangani sendiri. Bagaimana ia mengatur pendapatan empang agar cukup untuk memenuhi semua kebutuhan. Bahkan untuk membayar cicilan mobil.
Beberapa tahun berlalu dengan cepat.
"Wisuda Nino nanti harus ada uang.." Nisa menyebutkan sejumlah uang pada suaminya.
"Oh." jawab Iman pendek.
"Kok cuma oh?"
"Terus gimana? 'Kan uangnya semua sama Mamah." selalu begitu. Hiiiih! Nisa sampai geregetan.
"Kenapa bukan Papah aja yang pegang uang ikannya?" sergah Nisa kesal. Seolah uang ikan yang sedikit itu tidak akan habis - habis, sebanyak apapun kebutuhan mereka.
"Kok Mamah jadi purik gitu?" Iman melotot.
"Biar Papah tau!"
"Tau apa?" Iman mengerutkan dahinya. Ia mulai merasakan aura kemarahan dalam suara Nisa.
"Biar Papah tau memang ada berapa duit ikannya! Memang banyak banget, apa? Sekarang itu hanya ada 2 season aja lho, Pah!" suara Nisa meninggi. Sebenarnya Iman tau itu. Tapi ia memang tidak mau tau. Ia sudah merasakan kenyamanan ini selama bertahun - tahun. Ia harus merayu Nisa agar ia tidak menyerahkan uang ikan itu lagi padanya.
"Papah nggak pinter pegang uang, Mah. Cuma Mamah yang bisa." Ia mencubit bibir Nisa yang cemberut dengan penuh kemesraan. Ia juga memajukan wajahnya untuk mengecup bibir sensual itu sesaat.
Nisa melengos. Tapi Iman tau hati Nisa sudah tidak sekesal tadi.
"Lalu bagaimana dengan wisuda Nino? Uangnya masih kurang, Pah." nada suara Nisa melunak. Apalagi saat Iman merengkuhnya dalam pelukan yang hangat.
"Pinjam sama Mama aja, gimana?" pinjam lagi?
"Nanti kalau Papah ada uang langsung Papah ganti, deh."
"Janji?"
"Iya." Nisa mengangguk. Wajahnya terlihat sedikit lebih cerah.
Padahal janji Iman itu hampir tidak pernah ditepati tapi Nisa selalu percaya. Lagi dan lagi.
*********
"Kamu ingin melanjutkan S2 kemana, Nang?" tanya Nisa saat mereka makan - makan di rumah makan langganan mereka untuk merayakan kelulusan Nino.
"Istirahat dulu dong, Mah. Kalau perlu, nikah dulu." Nisa membelalakkan matanya. Nikah?
Saat masih kuliah Nino memang sudah bekerja meski hanya sebagai tenaga administrasi di sebuah toko alat - alat listrik.
"Nino sudah punya tabungan, Mah. Mamah hanya perlu menambah sedikit."
"Kamu serius, Nang?" Nisa sama sekali tidak menyangka anak sulungnya yang pendiam ini akan segera menikah. Banyak orang mengira ia akan dilewati Deni, adiknya, yang lebih gaul dan percaya diri.
"Tapi tunggu dulu ya, Nang. Mamah harus menabung dulu. Kamu juga nabung terus kalau ingin cepat - cepat nikahnya." Nino mengangguk.
Mereka berdua giat mengumpulkan uang. Dan bagaimana dengan Iman? Tidak ada ketertarikannya sama sekali untuk ikut menabung.
Alam semesta seakan mendukung niat baik Nino. Pemancingan lebih ramai dari biasanya.
"Alhamdulillah, Nang. Mudah mudahan keinginanmu untuk menikah dapat segera terwujud."
Nisa dengan cepat dapat mengumpulkan uang yang diperlukan untuk pernikahan Nino.
Nisa sama sekali belum mengenal calon istri yang Nino pilih. Nisa juga tidak mendesak Nino untuk membawanya ke rumah.
"Nang, Mamah sudah punya uangnya, tapi tolong lebih sabar sedikit lagi, ya? Uangnya mau Mamah pakai untuk selamatan sunatan Doni." Nino mengangguk.
Saat selamatan Doni digelar barulah Nino membawa calon istrinya ke rumah. Wiwi, gadis cantik teman kuliah Nino di kampusnya.
Wiwi langsung memanggilnya 'Mamah'. Nisa seperti mendapatkan anak perempuan, bukan seorang calon menantu.
"Mobil mana, Mah?" tanya Iman.
"Dibawa Bang Nino, Pah." Doni yang menjawab.
"Dibawa? Kemana? Dia 'kan belum lancar bawa mobilnya!" sergah Iman.
"Kalau nggak lancar Nino juga nggak akan berani bawa keluar jauh - jauh, Pah." bela Nisa. Iman seperti tidak mengerti sifat Nino. Sejak kecil Dia adalah anak yang bertanggung jawab. Jika Ia bisa, ia akan bilang bisa, bila tidak, ia akan bilang tidak. Dalam hal apapun.
"Pasti dipakai jalan - jalan sama pacarnya, ya?" sungut Iman kesal.
"Ya emang kenapa kalau dibawa jalan sama Wiwi, Pah? Sama aja, 'kan Dia mau pergi sama siapa?"
"Tapi,.. "
"Tapi kenapa, sih? Nino bukan anak kecil lagi, Pah!"
"Tapi Dia belum punya SIM, Mah! Aduh, anak itu!" Iman mengomel. Ia mengomel tak henti - henti. Nisa sampai pusing mendengarnya.
"Belum pulang, Mah?" lagi - lagi Iman bertanya. Nisa sudah malas melayaninya. Ia hanya menggeleng.
"Aduh, kemana sih anak itu? Coba telphon dong, Mah!"
"Udah, katanya pulangnya nanti sore."
"Nanti sore? Emang Dia kemana, sih?"
"Ke Curug, katanya. Curug mana tau." begitu banyak curug tersebar di bumi nusantara ini. Terserah Iman mau memilih yang mana agar hatinya lebih tenang.
Tapi tidak. Iman tetap misah - misuh sampai sore menjelang. Membuat kepala Nisa menjadi pusing tujuh keliling.
"Ini udah sore, Mah! Kok belum pulang juga?"
"Nino nganterin Wiwi ke rumahnya. Mungkin Dia ngobrol - ngobrol dulu sama calon mertuanya." Iman menghela nafas kasar.
Sudah jam 7 malam saat hp Nisa berbunyi.
Bibibb bibibb!
Nino mengirimkan sebuah foto.
"Apa ini?" gumam Nisa.
Bibibb bibibb!
Ada pesan masuk lagi.
"Mah, waktu Nino mau pulang ternyata mobilnya udah terjebak gini. Nino nggak bisa pulang sekarang, ya. Nungguin mereka bubar dulu."
Ternyata ada hajatan di dekat rumah Wiwi. Mobil mereka sudah tertutup para pedagang yang berjualan di area hajatan itu.
Nisa memberikan foto itu pada Iman seraya menjelaskannya. Bibir Iman mengerucut.
"Ada - ada aja, siiih!"
********