Perjalanan NusaNTara dan keluarga didunia spiritual. Dunia yang dipenuhi Wayang Kulit dan Hewan Buas yang menemani perjalanan. Mencari tempat-tempat yang indah dan menarik, demi mewujudkan impian masa kecil. Tapi, sebuah tali yang bernama takdir, menarik mereka untuk ikut dalam rangkaian peristiwa besar. Melewati perselisihan, kerusuhan, kelahiran, kehancuran dan pemusnahan. Sampai segolongan menjadi pemilik hak yang menulis sejarah. Apapun itu, pendahulu belum tentu pemilik.
"Yoo Wan, selamat membaca. Walau akan sedikit aneh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketenangan Dua Saudari Terancam. Amukan Reog.
#Cover Story; Perjalanan Tuan Dodi
Tuan Dodi menyalami laki-laki bertopeng Orang Utan sambil menggaruk kepalanya. Dia menundukkan kepalanya dan meminta maaf.
Anak-anak nya datang dengan membawa gula kapas. Salah satu anaknya terjatuh tersandung paping blok. Ibu di belakangnya terkejut dan berlari menghampiri.
Laki-laki itu hanya diam dan menerima jabat tangan.
Laki-laki yang memakai topeng Bekantan mengambil benda kotak yang terjatuh dari kantung temannya.
##
Dalam kamar Tara, di atas tempat tidur
Tara menceritakan semua kejadian kepada Barni saat mereka menyelamatkannya.
Barni mendengarkan dengan seksama dan terkejut dengan beberapa hal.
"Sudah berapa lama sejak menyelamatkan ku?" tanya Barni dengan raut wajah serius. Setelah mendengar cerita dari Tara, dia memikirkan kemungkinan yang akan terjadi kepada mereka.
"Lima hari. Enam hari dengan hari saat menyelamatkan mu," jawab Tara yang bingung dengan Barni yang berwajah serius.
"Windi, buka bajumu," pinta Barni.
"Hah? Kenapa tiba-tiba kau memintaku membuka baju?" tanya Bu Windi bingung dan pipinya memerah.
"Sudah buka saja. Tara ambil buku Aksara."
Bu Windi menuruti permintaan Barni dan membuka bajunya.
Tara segera pergi mengambil buku Aksara tanpa bertanya.
"Berbaringlah."
"Ini dia." Tara mengulurkan buku ke Barni.
Barni mencabut bulu miliknya di bagian sayap. Dia membalikkan bulu itu agar darah yang keluar tidak tumpah.
"Buka tentang bab segel. Dan gunakan ini untuk membuat segel di perut Ibumu."
Tara segera mencari bab tentang segel dan menemukannya. Ada berbagai bentuk segel di bab itu.
Tara meraih bulu Barni dan segera menulis segel berbentuk lingkaran. Dia menulis 2 lingkaran mengelilingi pusar dengan tinta dari darah Barni.
Tara melakukannya tanpa mempertanyakan tujuan Barni memintanya menulis Aksara. Dia seakan paham dengan permintaan Barni.
Tubu Bu Windi bergetar dan wajahnya terlihat menahan tawa karena geli.
Segel itu bersinar dan mulai menyerap Aji di dalam tubuh Bu Windi.
"Uugghh." Bu Windi meringis kesakitan karena Aji dalam tubuhnya berkumpul di lingkaran Aksara. Tubuhnya penuh keringat. Nafasnya menjadi cepat.
"Ibu tidak apa-apa?" tanya Tara merasa hawatir dengan ibunya. Wajahnya menunjukkan kegelisahan.
Bu Windi hanya mengangguk pelan. Segel meredup dan menciptakan lingkaran sempurna. Nafasnya kembali normal.
Tara membantu ibunya duduk.
Bu Windi memutar kepalanya untuk memeriksa tubuhnya. Dia merasa seakan ada yang hilang dari tubuhnya.
"Aku tau kau pasti bisa melakukannya dalam sekali coba," puji Barni dengan bakat Tara yang mudah belajar.
"Sekarang, kita pergi ke rumah Nusa. Kita lakukan juga pada ibunya Nusa," ajak Barni.
"Tunggu, bisa kau jelaskan alasan kita melakukan ini? Aku tau tujuan mu memintaku melakukan ini untuk menyegel kekuatan Ibu. Tapi untuk apa?" tanya Tara yang tidak bisa menahan rasa penasaran dan bingungnya.
"Ku jelaskan nanti saat di perjalanan. Sekarang, ayo segera pergi."
Barni terbang ke pundak Tara yang ada Kandar.
Tara beranjak pergi meninggalkan ibunya.
"Hei, apa kalian tidak mengajakku?" ucap Bu Windi dengan wajah cemberut. Bibirnya mecucu dan alisnya keriput, tangannya berdecak pinggang.
"Istirahat saja dulu. Kau perlu penyesuaian dengan kondisi tubuh yang baru."
"Aku tetep pengen ikut. Kalau kamu tidak mengajakku, nanti aku bakal marah," ancam Bu Windi dengan tingkah seperti anak kecil.
"Terserah. Ayo Tara."
Tara lanjut berjalan.
Kedua tangan Bu Windi mengepal dan wajahnya terlihat sangat marah. Matanya juga menjadi berair. Dia membentangkan tangan kanannya ke depan dan ingin mengeluarkan kekuatannya.
Dia merasa bingung karena kekuatannya tidak bekerja. Dia teringat bahwa kekuatannya sudah tersegel. Airmata mengalir dan diapun akhirnya menangis, sebagai langkah terakhir anak kecil saat memaksa ikut.
Barni tau kekuatan Bu Windi tersegel, jadi dia berani mengabaikan ancaman Bu Windi.
"Cepatlah."
Seketika, wajah Bu Windi berubah menjadi ceria. Dia berlari dengan riang menyusul mereka.
"Pakai bajumu. Jangan berkeliaran di luar rumah dengan dada yang bergoyang kesana kemari."
...****************...
Tara memacu kudanya. Barni duduk di pelukan Bu Windi. Dia belum bisa terbang karena baru pulih.
"Bisa kau beri alasan kita melakukan ini?" tagih Tara.
"Mendengar penjelasan mu kemarin, kemungkinan para pemburu melaporkan semua apa yang mereka lihat. Bisa jadi identitas Ibu dan bibimu terbongkar."
"Dan hal yang paling aku takutkan ...."
Tara sudah dekat ke rumah Nusa. Dia melihat ada tiga kereta kuda berada di luar pekarangan rumah Nusa. Ada lambang Ormas Tukang di kereta itu.
"Sepertinya sudah terlambat," ucap Barni seakan pasrah.
"Kenapa Ormas Tukang data ...." Tara terbelalak karena menyadari sesuatu.
"Apakah mereka penyidik anti Siluman?" sangka Tara.
"Iya. Dan Bibimu dalam bahaya."
...********Sisi Yudha********...
Malam hari.
Yudha dan Supa sedang menaiki kereta kuda. Mereka melakukan perjalanan menuju rumah Yudha. Saat ini, mereka melewati area persawahan yang berada di kaki gunung Liman.
"Kenapa tidak pakai lingkaran Aksara saja? Ini sangat membosankan," keluh Supa karena malas melakukan perjalanan.
"Yaa ... karena aku tidak mau melewatkan sesuatu saat berpergian. Tugasku mencari Pisang Raja dan mencari pemiliknya."
"Kalau aku selalu berpindah tempat dan memotong jalan, bisa jadi jalan yang aku potong merupakan tempat Pisang Raja berada."
"Jadi ... nikmati saja perjalanan ini."
"Haaaahhh, bosaaan," keluh Supa yang telungkup di bangku penumpang.
"Tidur saja kalau bosan. Biar perjalanannya terasa singkat—"
Tiba-tiba kereta berhenti.
Yudha pergi keluar dan melihat sekeliling. Banyak orang yang berlari dari arah berlawanan.
"Ada apa pak?" tanya Yudha ke pak Kusir.
"Tidak tau. Orang-orang pada lari semua dari sana. Sepertinya terjadi sesuatu di depan sana," jelas pak Kusir.
"Sepertinya terjadi sesuatu. Bapak tunggu di sini saja. Saya mau memeriksa."
"Oke. Hati-hati."
"Wuushh." Sebuah bayangan lewat di belakang Yudha dengan cepat. Ternyata itu Supa yang bersemangat karena tau ada sesuatu yang terjadi.
"Dasar! Awas hilang! Susah mencarimu karena kau menyatu dengan kegelapan?" sarkas Yudha.
Dia pun ikut menyusul Supa yang sudah tidak terlihat.
...****************...
"Cepat! Cepat! Lewat sini! Tidak perlu bawa barang! Amankan saja diri kalian!" teriak seorang perwira yang mengatur warga untuk evakuasi.
Perwira itu melihat Yudha malah datang ke arahnya, bukannya melarikan diri.
"Hei! Kenapa kau malah kesini? Di sini berbahaya," teriak Perwira.
"Aku ingin membantu," jawab Yudha.
"Apa kau seorang Tukang?"
"Iya."
"Apa keahlian mu?"
"Bertarung."
"Kalau begitu, tolong bantu jaga pertanian yang berada di sekitar kaki gunung."
"Kapten!" teriak seorang prajurit yang sedang berlari.
"Ada Jathilan dan Ganongan yang sudah berada di dekat pertanian! Kami kekurangan orang!"
"Apa?" sahut Perwira terkejut.
Dia langsung meminta Yudha untuk segera bergegas.
"Cepat! Tolong bantu prajurit mempertahankan pertanian," pintanya kepada Yudha.
Yudha mengangguk dan pergi bersama prajurit itu.
"Kapten!" Seorang prajurit lain berlari mendekat.
"Pejabat daerah Ponorogo meminta pengawalan untuk melarikan diri!"
"Biarkan saja! Evakuasi saja para petani!"
"Tapi—"
"Sudah, lakukan saja! Pejabat belum tentu mau bercocok tanam kalau mereka selamat! Yang terpenting sekarang adalah mengamankan bahan makanan dan orang yang mengelolanya."
"Tapi, dia mengancam akan menuntut kita kalau tidak memprioritaskan mereka!"
"Bukankah mereka sudah punya pengawal pribadi? Kenapa masih minta?" ucap Kapten yang sudah jengkel. Di tambah kondisi saat ini yang sangat kacau akibat para pemain Reog yang kesurupan.
Prajurit itu menunjukkan wajah kebingungan dan takut. Dia diam dan tidak tau harus berbuat apa.
Kapten yang melihat itu semakin geram.
"Cih! Kirim lima orang prajurit. Cepat!" perintah Kapten.
Prajurit itu memberi hormat dan segera pergi.
"Cok! Kapten lain sibuk melawan Reog dan Kuda Lumping! Dan aku sendirian mengatur prajurit untuk membantu evakuasi warga."
"Haaahh! Terserah!"
...****************...
Supa terus berlari dan mengabaikan Warok yang menurutnya lemah. Dia mencari yang memiliki kekuatan paling besar.
Di perjalanan yang dia lewati, banyak prajurit yang melawan para Reog. Ada yang di tengah jalan dan ada yang kejar-kejaran. Mereka semua bekerja sama untuk menghentikan Reog.
Supa merasakan energi yang besar tidak jauh darinya. Dia bergegas menghampirinya.
Sekelompok prajurit dan kaptennya sedang melawan Barongan. Mereka terlihat sedikit kewalahan.
"Arrgghh, sial! Kenapa keributan ini terjadi di malam hari? Kita jadi tidak bisa menggunakan Wayang kita," keluh salah seorang kapten–Ganang– yang memegang panah. Dia sedang mencari celah untuk melakukan serangan.
"Itu normal melihat yang kita lawan. Reog memang sering di mainkan di malam hari," balas seorang kapten–Ateng–di sampingnya yang juga menggunakan panah.
"Tapi ini aneh. Biasanya pemain Reog sudah terlatih dan tidak akan mudah kesurupan. Apalagi hilang kendali," pikir Ateng.
"Pasti ada sesuatu yang membuat hilang kendali. Lihat, di kepalanya ada Akik. Pasti itu yang membuat mereka hilang kendali," balas Ganang.
"Apakah mereka juga menggunakan Akik saat melakukan pertunjukan?" sahut Ateng.
"Wuushh."
Ganang melihat bayangan hitam yang bergerak cepat ke arah Barongan.
"Apa itu?" ucap Ganang.
...****************...
Supa melompat dan mengarahkan tendangan tepat di kepala harimau. Serangannya tepat mengenai kening harimau dan membuat Barongan terdorong mundur.
Karena bentuk Barongan yang besar, gerakannya menjadi lambat dan mudah di serang. Tapi bulu merak membuat pertahanan Barongan menjadi kuat.
"Heh, boleh tahan," puji Supa.
"Hei, siapa kau?" teriak prajurit yang terkejut dengan Supa yang datang dengan serangan.
"Aku? Sebut aku Pelompat Surga," ucap Supa memperkenalkan diri.
"Eh, bukankah dia orang yang ikut dalam menghentikan pertarungan Sura dan Baya?"
"Setelah dilihat-lihat, itu benar."
"Apa kau datang membantu kami?"
"Membantu? Heh!" Supa tersenyum sinis dan kembali melompat.
"Aku datang untuk memacu adrenalin!"
Supa terus menerus melakukan serangan dengan kakinya.
Gerakan Barongan yang lambat menjadikannya tidak bisa menghindari serangan Supa. Dia menjadi samsak hidup bagi Supa.
"Kuat sekali!"
"Itu wajar. Dia orang dari timur."
"Tetap bersiap. Bantu dia saat ada kesempatan!" teriak Ganang.
Mereka memasang posisi siaga dan membuat barisan bertahan dan menyerang.
Tiba-tiba, Supa berhenti menyerang.
"Kenapa? Apa kau kelelahan?" tanya Ganang. Itu wajar bagi petarung untuk cepat lelah di pertarungan malam hari.
"Hewan ini tidak melawan. Ini terasa membosankan. Apa ada hewan lain yang lebih kuat?" tanya Supa yang tidak puas dengan lawannya.
"Di sana ada Raja Klono. Kau bisa pergi kesana kalu ingin melawannya," balas Ateng sambil menunjuk lokasinya.
"Raja? Kedengarannya kuat." Supa tersenyum lebar dan langsung pergi.
"Hei, kenapa kau membuat dia pergi? Dia bantuan besar bagi kita," keluh Ganang yang tidak senang dengan tindakan Ateng.
"Lihat! Akik di kepala Barongan sudah hancur. Pasti kekuatannya melemah," jelas Ateng.
"Semua prajurit! Bersiap menyerang."
...****************...
Supa melompat dari pohon ke pohon yang ada di depan tiap rumah. Rumah-rumah yang di lewatinya sudah hancur sebagian dan ada yang terbakar.
Aura kuat dirasakan Supa saat mendekati lapangan terbuka yang ada di tengah desa. Lapangan itu tempat Reog di mainkan.
Sesampainya di sana, Supa melihat banyak prajurit yang sudah berjatuhan. Mereka tidak bisa menangani Raja Klono karena perbedaan kekuatan.
"Ini baru lawan yang kuat."
Supa melihat Raja Klono yang sedang menari di antara para prajurit yang terkapar. Dia melancarkan serangan dadakan dan mengincar kepalanya.
Mengetahui ada serangan datang, Raja Klono membungkuk dan membuat serangan supa lewat begitu saja.
Tidak memberi kesempatan, Raja Klono mengambil pecut miliknya dan memanjangkan pecutnya untuk melilit leher Supa.
Dia menarik kembali Supa sebelum kaki Supa menyentuh tanah, membuat Supa tercekik.
Raja Klono mengayunkan dan memutar Supa di udara. Dia melakukannya sambil menari, seolah memutar Supa merupakan bagian dari tarian.
Supa meringis kesakitan karena lilitannya sangat kuat dan memblokir nafasnya. Apalagi dia dalam kondisi berputar di udara, semakin membuatnya kekurangan oksigen.
Raja Klono berjingkat pelan dan melompat lurus ke atas. Dia memutar pecut dan membelokkan gagang pecut saat berada di belakang kepala. Pecut di ayunkan kedepan dan membuat Supa terbanting dari belakang ke depan.
Tubuh Supa menghantam tanah dengan keras dan membuat sebuah lubang berbentuk tubuh. Supa meringis menahan hantaman pada tubuhnya.
Lilitan pecut terlepas dan membuat Supa kembali bisa bernafas. Supa duduk dan sedikit batuk dar**. Dia mengusap darah itu dan tersenyum.
Raja Klono masih menari dengan tarian khas miliknya.
"Kukira kau pesilat ... hah ... hah .... Ternyata kau pendekar ... hah ... hah ... hoouuupp."
Supa menarik nafas panjang dan memukul dadanya. Segumpal dar** keluar dari mulutnya.
"Dar** di balas dar**."
Supa melepas bajunya dan isyarat melempar kebelakang. Bajunya tiba-tiba menghilang.
"Kreeekk, kreeekk." Supa meregangkan tulang leher.
Dia mengambil posisi seperti melempar tombak. Tiba-tiba di tangannya ada tombak dan Supa langsung melemparkannya ke arah Raja Klono.
Raja Klono melilitkan pecutnya ke tombak, berusaha merubah arah serangan.
Supa tiba-tiba muncul di belakang tombak dan menendang pangkalnya, membuat tombak melesat lebih cepat dan mengarah ke kepala Raja Klono.