NovelToon NovelToon
MAN FROM THE ABYSS

MAN FROM THE ABYSS

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Isekai
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nur

Seorang pembunuh yang dapat menerima konsekuensinya atas seluruh tindakannya adalah suatu keberadaan yang paling berbahaya.

Di antara seluruh sejarah umat manusia di muka bumi terdapat beberapa orang yang mendominasi kejahatan dalam setiap era sejarah, dengan tujuan menyebarkan ideologi gila mereka untuk melahirkan generasi kejam yang tak mengenal rasa takut.

Di tahun 2017 sedikit banyaknya dari mereka yang telah menanamkan jiwa seorang pembunuh berakhir di era teknologi sehingga angka kejahatan semakin menurun. Namun hal itu tidak mengungkit fakta bahwa masih ada satu orang yang bekerja secara indepent di balik bayang-bayang hanya untuk sekedar menjadikannya kesenangan dengan meninggalkan kasus paling banyak dalam sejarah umat manusia.

Kisah ini menceritakan seorang pembunuh profesional yang terjebak dalam permainan Dewa setelah kematiannya telah di tetapkan, jauh dari surga maupun neraka di dalam dunia tersebut hanya ada keajaiban sihir dan segala kemungkinannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Eps 28:Pemusnahan Massal

"Jadi ... Apa yang kau pikirkan sekarang?"

"Kau itu banyak omong ya, tapi aku tidak bosan dengan perhatianmu. Kau tau aku sama sekali tidak membenci momen saat ini ketika ada seseorang yang terus menanyakan nasibku di ambang hidup dan mati. Itu seolah aku membutuhkannya saat aku sudah mengetahui kematian di dekatku."

Pria tersebut mulai menegakan diri dari tempat duduknya dan perlahan menunjukan perasaan antusias melalui senyuman di wajahnya, walau terkadang air keringat terlintas yang menjadi pertanda sebuah keraguan tetapi hal itu sama sekali tidak menggoyahkan tekadnya.

"Apa ... Yang kau kata-"

*Doommm!!*

Seiring dari kebangkitan pria tersebut, secara mengejutkan mereka berdua serentak di kagetkan oleh reruntuhan yang melindungi mereka hancur di depan mata.

Tanpa menyisakan apapun mereka terang-terangan menunjukan keberadaan mereka di hadapan Izaya.

"Sebuah ledakan? Aku yakin itu bukan ulahnya pria ini, dan ... "

Saat itu Visca menyadari bahwa ia tengah dalam perlindungan sihir, melihat segumpal gelembung perisai yang mengitarinya sama persis dengan pria tersebut membuktikan bahwa ia telah di lindungi oleh sebuah sihir.

Visca sangat menyakini sihir yang berhasil melindunginya adalah milik pria tersebut karena hanya itulah satu-satunya yang masuk di akal, namun perasaan heran tak berhenti mengalir ketika memikirkan intuisi pria tersebut berhasil mengantisipasi ledakan sebelum hal itu terjadi.

"(Ternyata ... Memang ada ya pria sekuat ini.)"

Terbayang wajah memerah Visca yang tampak terpukau melihat tindakan pria tersebut dan kata-kata dari perasaan itu tersampaikan melalui batinnya.

"Untuk inilah aku tidak merencanakan apapun. Karena masa depan apapun yang kulihat, aku sama sekali tidak bisa menemukan kelemahannya. Sial, baru kali ini aku menemukan seseorang yang tak dapat kupengaruhi masa depannya. Siapapun dia ... Kekuatannya selevel dengan makhluk tingkatan."

Pria tersebut mulai tampak berkeringat saat mengetahui penglihatan masa depannya sebagai kekuatan utama, tidak mampu memperlihatkan garis takdir apapun di hadapan lawannya.

"Tidak mungkin-"

"Visca!."

"Huh?"

Visca tersentak mendengar namanya di panggil oleh pria tersebut dengan nada suara yang tinggi terlebih sebelum ucapannya selesai di katakan.

Jelas hal itu membuat Visca tersentak dan kebingungan dengan cara bicara yang spontan seolah pria tersebut menginginkan sesuatu.

"Gunakanlah batu itu sekarang juga."

Dengan nada yang tegas serta mata yang hanya fokus kepada lawan di depannya, pria tersebut terkesan memaksa Visca untuk menggunakan batu yang telah berada di genggaman tangannya.

"He?"

Ucapan yang secara spontan keluar itu memperlihatkan respon terkejut dengan alis terangkat, menunjukan Visca yang tidak salah mendengar dengan perkataan pria tersebut yang menyuruhnya untuk menggunakan batu miliknya di waktu yang salah.

"Ta .. Tapi... "

"Cepatlah!!."

*Tak!*

Teriakan itu menekan Visca untuk menggerakan niatnya dan tanpa ia sadari batu tersebut telah hancur di genggaman tangannya sendiri.

Setelahnya secara magis tubuh Visca memperlihatkan perubahan dalam kilauan cahaya lalu perlahan ia menyadari seluruh raganya mulai memudar dan menghilang.

"Aku ... Aku ... "

Tak sempat menyampaikan kata-kata terakhirnya kepada pria tersebut, sekejap cahaya itu telah membawa Visca pergi dari sisinya dan meninggalkan mereka berdua yang tersisa.

Kini di area kerajaan hanya menyisakan dua orang pria yang saling menatap dari jarak pandang yang jauh, tidak ada dari mereka yang memulai bergerak namun melalui aura energi sihir mereka terlihat sedang menaruh kesiapan untuk bertarung.

"(Syukurlah dia pergi secepatnya, akan lebih buruk jika aku tidak segera langsung memaksanya pergi. Saat, wanita itu menjadi target utamanya padahal jelas-jelas akulah yang sedang berdiri di sini. Seolah ia hanya tertarik kepada wanita, lebih dari itu ... Sepertinya aku memang menemui sesosok monster.)"

Ucapan batin itu menunjukan perasaan ragu ketika yang menjadi lawannya memiliki sejumlah aura energi sihir yang sangat besar. Dengan tubuh berkeringat yang memperjelas emosinya pria tersebut justru menutupinya dengan memberikan senyuman terhadap lawannya dan mengabaikan apa yang ia alami.

"Kau terlihat berbeda dari para korban yang lain, aku merasa kau memiliki sesuatu yang istimewah dalam dirimu. Kau mencegahku agar aku tidak mendekati wanita tadi ya? Karena kau mengetahui bahwa dia akan menjadi target utamaku."

*Gleg*

Pria itu hanya menelan ludahnya saat Izaya memulai membuka suara, bersamaan ia juga semakin mempertajam kewaspadaan.

"Terus terang saja aku lebih suka menjadikan musuh wanita sebagai prioritasku, karena banyaknya pria akan terikat olehnya dan pada akhirnya sang pria akan berakhir di tangan sang wanita dengan berbagai alasan, dalam kehidupan cinta damai menjalin hubungan cinta sangat di butuhkan. Namun ironisnya mereka yang mengenal cinta akan tunduk kepada siapa yang selalu memberikannya kebahagiaan bahkan jika itu harus membuang harga diri mereka. Yang berarti kunci untuk menggerakan raja adalah dengan menyerang ratunya dimana kedua hal itu saling memiliki ikatan. Aku lebih menyukai drama seperti itu, beritahu aku namamu."

Izaya dengan logat santai berbicara kepada pria tersebut.

".... Smith."

Itu di katakan dengan keseriusan.

"Akan ku ingat nama itu sebagai korban terakhirku. Menyeranglah jika kau mau."

"Tidak."

Kata itu keluar secara spontan dari mulut Smith.

"Hm?"

Izaya sedikit terherankan dengan jawaban tersebut.

"Salah satu jarimu, telah terapalkan sihir untuk menjebakku."

Seketika Izaya menegakan alisnya ketika perkataan itu mengejutkannya.

"Hee.. Kau mengetahuinya ya, kenapa bisa?"

Izaya bertanya kepada Smith dengan perasaan sedikit tertarik terhadap jawaban yang ia berikan.

"Aku terlahir dengan penuh bakat, bahkan aku dapat dengan mudah menjalin hubungan baik dengan para Dewa. Salah satu bakatku adalah dapat melihat arus energi sihir yang telah terapalkan sekecil apapun itu."

"Oh .. "

*Swosshh!!*

Tanpa memberikan banyak kata dalam beberapa detik Izaya telah membelakangi Smith yang memisahkan jarak 100 meter ke depan.

Melihat tangan kiri Izaya yang berlumuran darah bersamaan dengan perpindahan tersebut, menjadi bukti ia baru saja memberikan serangan fatal terhadap tubuh Smith secara serentak.

Dan benar saja di bagian perutnya terbecak lubang yang menembus tulangnya.

"Hm?"

Namun justru yang Izaya pikirkan berbeda setelah itu. Ia merasa aneh dengan lawannya melihat tidak ada respon apapun setelah serangan spontan tersebut di lakukan, seolah hal itu tidak berarti apa-apa baginya.

"Sangking berbahayanya dirimu, aku harus mengantisipasi setiap tindakanmu dan untungnya, tebakanku benar. Aku tidak bisa melihatmu dalam takdir, siapa kau sebenarnya?"

Tampak keberadaan Smith melayang berada di atas langit jauh membelakangi Izaya, ia berucap dengan raut wajah yang serius.

"Clone ya? Bisa sempurna seperti ini, kuyakin kau memiliki pengalaman bertarung lebih lama. Namun sayangnya, aku merasa sekarang diriku berkembang jauh lebih pesat setelah melawan Dewi itu, jadi kemungkinan seperti ini tidak membuatku begitu terkejut."

Izaya berbicara tanpa berniat membalikan badan mengarah ke hadapan Smith yang membelakanginya.

"Kau ... Membunuh Dewi Gabriel? Dewi kuno dari masa lalu, entitas yang lebih kuat melebihi gelar Dewa lainnya. Kupikir aku hanya tidak dapat melihat keberadaannya saja saat pertama kali datang kemari."

"Karena kau menjadi korban terakhir aku akan sedikit terbuka untukmu. Aku tidak membunuhnya, namun perasaan saat kau tidak dapat menemukannya adalah sebuah kebenaran bahwa aku menyembunyikan keberadaannya. Dari arah selatan kau bisa melihat sebuah pilar cahaya ungu membentang menembus langit."

"Huh?"

Segera Smith menoleh dan memperhatikan apa yang baru saja Izaya katakan, dari arah selatan jauh dari tempat mereka berdua sekarang, terlihat sebuah pilar terbentuk dari cahaya membentang di atas langit-langit itu dapat di amati dari sudut manapun. Menanggapinya sebagai bukti membuat Smith merasa tidak dapat kabur dengan situasi yang ia hadapi saat ini.

"Aku membuatnya tidak berdaya di balik cahaya itu. Kau tau? Aku bisa melakukan apa saja terhadapnya jika aku mau."

Dalam ucapannya tersebut tersirat maksud jahat di balik senyuman Izaya, dengan jelas ia tolehkan sedikit wajahnya ke arah Smith yang mulai tampak ragu.

"(Dia ... Gila. Dia seolah memperlakukan korbannya untuk mewujudkan hasratnya. Sekelas Dewi kuno pun ia anggap enteng dengan tidak membunuhnya. Sial, aku benar-benar menyesal berurusan dengannya. Tch.)"

Saat ucapan terakhir dalam batin tersebut di katakan, terlihat Smith yang kembali tersenyum walau detak jantung berdetak sangat kencang dan keringat semakin memperjelas keraguannya, sebisa mungkin ia mempertahankan kewarasannya yang perlahan termakan oleh rasa ketakutan.

"Ada apa? Kau tampak pucat sekarang. Apakah kau merasa takut dengan kematian?"

"Bukan kematian yang membuatku takut, aku sama sekali tidak pernah ragu dengan kematianku sendiri. Namun ... Perasaan ini. Rasa intimidasi yang kau lakukan, sangat mengacaukan pikiranku. Secara tidak sadar aku seolah terbawa oleh hasratmu, tenggelam dalam lautan berdarah di atas tumpukan jutaan mayat. Tidak, jauh dari artian itu aku seakan menyatu dengan hasratmu membuatku memahami berbagai maksud kejahatanmu. Kau ... Adalah iblis."

Tampak Smith merasa tertekan saat memperhatikan tatapan Izaya yang tertunjuk sebelah mata.

"Jika kau merasakannya seperti itu bahkan sebelum aku bertindak, berarti diriku memang sudah berkembang. Aku sungguh berterima kasih kepadanya berkatnya aku memahami logika sihir. Oh ya kau tampak cerdas dari kebanyakan orang yang kutemui sejak datang kemari. Bagaimana kalau kau menerima tawaranku?"

"Tawaran?"

Sepintas pertanyaan tersebut membingungkan Smith.

"Benar, jadilah salah satu pionku, akan ku ubah dirimu menjadi lebih kuat, jauh dari apa yang kau bayangkan. Aku membutuhkan sosok cerdas sepertimu untuk meruntuhkan kekaisaran para Dewa. Sampai sejauh ini jika kau menolak setelah mendengar informasiku. Akan kubunuh dirimu."

"Aku ... Tidak akan pernah bertekuk lutut kepada siapapun."

*Zaappp!!*

Tepat setelah ucapan itu berhenti, Izaya telah membelakangi Smith dengan memberikan luka tusukan di bagian jantung melalui salah satu tangannya yang membentuk pisau.

"Huaakk!!."

Spontan keadaan itu menyiksa Smith hingga memaksanya memuntuhkan darah.

"Yah ... Aku juga tidak terlalu mengharapkanmu."

*Doom!!*

Tak sebatas berniat memberikan luka, Izaya juga mengakhirinya dengan sebuah ledakan secara langsung di tangannya, hingga menghanguskan Smith bagaikan abu.

****

Jauh dari kata dunia yang di penuhi oleh ekosistem kehidupan, sebuah tempat dimana sangat tidak memungkinkan bagi siapapun untuk di tinggali saat segala yang ada di sana hanya tergambar sebagai hal-hal abstrak.

Pemandangan yang tak memiliki arti apapun dari berbagai sudut pandang selain kekosongan yang erat menyatu dengan warna hitam dan putih tanpa keteraturan yang mengikatnya, terlihat tanah yang sekalipun tidak memiliki keseimbangan untuk membentuk landasan gravitasi sebagai pijakan pembentukan struktur dunia tersebut.

Segalanya tampak terjadi secara naturalis dan hanya tanah-tanah yang teruraikan sebagai hal yang dapat di rasakan.

"Aku? ... Dimana?"

Di dunia tanpa adanya kehidupan tersebut, Visca berdiri dalam luasnya kehampaan.

Ia menyadari bahwa dirinyalah adalah satu-satunya makhluk yang terlihat di sana, saat apa yang ia perhatikan hanyalah sebatas ruang abstrak dengan tanah yang melayang tak beraturan.

"Tempat apa ini? Aku sama sekali tak mengerti. Langit-langitnya juga tampak aneh, hanya ada hitam dan putih. Apa maksudnya?"

Terlepas dari rasa cemas Visca berjalan perlahan sambil menolehkan wajahnya ke berbagai sudut arah untuk mengamati area di sekitarnya.

"Oh iya, aku lupa menanyakan nama pria asing itu. Kira-kira ... Bagaimana kabarnya ya."

Perkataan yang membingungkan dirinya sendiri tersebut semakin membawa ke arah yang tidak mengenakan dengan suasana di depannya.

Setiap langkah kaki yang Visca buat, pemahaman tentang dunia tersebut bertambah luas, ia menyadari tidak ada ujung antara langit dan dataran di bawahnya, semua bagaikan kehampaan yang terselimuti oleh sedikitnya tanah yang melayang-layang.

"Eh? Apa itu? Aku melihat sesuatu di atas langit."

Di antara keanehan yang terus mengikutinya, akhirnya Visca menjumpai hal berbeda dari semua bentuk yang sama.

"Sebuah telur raksasa?"

Dalam luasnya langit yang penuh kehampaan, Visca menemukan sebuah telur raksasa yang terbanting-banting di atas langit-langit itu seperti ia tidak tertarik oleh gaya gravitasi.

"Huh?"

Melalui pengamatan tersebut, sekali lagi Visca tersadarkan oleh kondisinya sendiri, dimana seharusnya dunia ini tidak mendukung gaya gravitasi melihat dari bagaimana semua hal yang berada di sana tidak memiliki poros untuk tetap berada di tempat.

Namun yang meragukan Visca adalah bagaimana ia dapat berjalan dengan normal di saat semuanya tidak terbawa gaya gravitasi, seolah hanya ialah seorang yang tidak terpengaruh oleh cara kerja dunia tersebut.

"Sebentar, apa jangan-jangan .... Dunia ini juga tidak menampung oksigen? Lalu ... Apa yang terjadi dengan keberadaan ku sendiri di dunia ini?"

Sejenak melupakan apa yang terjadi terhadap kondisinya sendiri, Visca mendapati reaksi dari telur tersebut yang perlahan mulai bergerak untuk memisahkan diri dari cangkang.

Terdapat retakan pada telur tersebut yang semakin melebar seiring waktu berjalan.

"Apa aku tidak salah melihat? Telur itu mulai menetas?"

Entah itu sebuah pertanda buruk maupun baik, Visca berada di posisi yang mengharuskannya untuk segera membuat keputusan saat nyawanya terasa terancam melihat bagaimana telur tersebut memunculkan reaksi.

Namun yang ada dalam pikiran Visca saat memperhatikan proses menetasnya telur tersebut, adalah perasaan bingung yang membuatnya sulit bergerak.

"(Aku ... Merasakan firasat buruk. Sejak awal keberadaan telur itu memang tidak masuk akal bersama dengan dunia ini. Tunggu, tunggu sebentar ... Kehadiran telur itu lebih mendahuluiku sebelum aku datang kemari, mungkinkah ... Telur itu adalah penghuni asli dari dunia ini?!.)"

Sekujur tubuh Visca tak berhenti bergetar dengan kecemasan yang ia alami dalam pikirannya.

"(Dan ... Jika memang begitu, apa yang di jelaskan oleh pria pengelana tersebut, artinya .... )"

Sepintas cahaya putih hadir menyinari seluruh tempat tersebut hingga dapat mengganggu penglihatan, membuat Visca spontan mengalihkan perhatiannya dari telur tersebut, namun ia sangat menyakini bahwa itu berasal dari arah dimana telur itu berada.

Tidak berlangsung cukup lama dalam beberapa detik ke depan cahaya itu perlahan meredup dan mengembalikan pandangan dunia ke keadaan semula.

Menyadari hilangnya cahaya yang mengganggu penglihatan mata, Visca perlahan membuka kembali matanya untuk memperhatikan keadaan di sekitar.

"Huhhh!!??."

Namun justru hal pertama yang ia jumpai adalah sesuatu yang benar-benar mengejutkan Visca.

Dimana sesosok entitas aneh menyerupai manusia telah berdiri tepat di hadapan Visca tanpa memberikan kehadiran apapun.

Spontan keberadaannya tersebut menjadi sebuah kejutan yang membuat tubuh tak bergeming, ketika hal itu bersandar di depan mata.

"To ... Tolong."

Ucapan tersebut di katakan dengan lirih sembari melangkahkan kakinya untuk bergerak mundur menjauh dari makhluk tersebut secara perlahan, tak mengungkit kebohongan bahwa perasaan takut penuh tekanan sedang Visca hadapi ketika tindakan itu ia lakukan dengan sangat hati-hati.

Di perhatikan dari manapun makhluk tersebut secara postur tubuh tampak seperti manusia, namun yang membedakannya adalah warna kulit yang cenderung keseluruhannya berwarna perak atau bahkan terlihat bukan sejenis kulit yang sama persis dengan manusia.

Dan bukan hanya mengenai perbedaan kulit, satu hal yang menyakinkan tentang sosoknya sebagai entitas asing adalah bagaimana ia sama sekali tidak memiliki rambut serta mulut untuk melakukan komunikasi.

"A-Apakah kau berniat membunuhku!? La-Lakukan saja aku ... Sa-Sama sekali tidak takut!."

Kedua lutut Visca tak berhenti bergetar dengan raut wajah yang berusaha menahan tangisan ketika rasa takut yang ia alami sangat menekannya.

Namun makhluk yang memiliki tinggi badan dua meter lebih tinggi dari Visca tersebut hanya berdiam diri memandanginya begitu lama.

Visca yang sedari awal memberikan kewaspadaan justru melakukan tindakan yang sama, ia tidak luput untuk terus memperhatikan kedua mata makhluk tersebut yang memperlihatkan tatapan kosong.

"Di-Diamlahhhh!!."

Ketika salah satu tangan dari makhluk tersebut merespon bergerak dengan tujuan menggapai tubuh Visca yang berada di depannya, secara serentak Visca berteriak histeris dengan tangan kanan yang spontan langsung menghalau tindakan makhluk tersebut.

"He!?"

Akan tetapi justru karena perasaan takutnya yang membuatnya tanpa sadar melakukan tindakan tersebut, menjerat Visca ke dalam situasi yang lebih buruk.

Dimana lengan kanannya berakhir dalam genggaman tangan kiri makhluk tersebut, membuat Visca sangat terkejut saat ia tidak dapat lepas dari perhatiannya dan sekaligus menutup kemungkinannya untuk meloloskan diri.

"Sa ... Sakit ... "

Tak segan-segan makhluk tersebut memperlakukan lengan Visca dengan cara yang kasar seperti sedang menggenggam sebuah benda, hingga membuatnya merasakan kesakitan.

"Apakah kau ibuku?"

Sepintas Visca mendengar dengungan suara asing dalam pikirannya, seolah seseorang baru saja mencoba mengatakan sesuatu melalui pikiran.

"(He? ... Apa suara tadi berasal dari makhluk ini? Dia ... Mencoba berkomunikasi denganku lewat pikiran?)"

Rasa yakin dengan apa yang ia dengar berasal dari makhluk tersebut membuat Visca terpikirkan oleh suatu rencana.

"Ka-Kau menanyakan ibumu? Ya .. Ya, kau benar. Aku .... Adalah ibumu."

Satu-satunya cara yang terpikirkan oleh Visca untuk terlepas dari cengkraman makhluk tersebut adalah dengan memainkan kata-kata sebagai senjata.

Ia sangat gelisah saat mengucapkannya kata-katanya terdengar terbata-bata dengan rasa takut, ketika mata besar nan indah sedang memperhatikan dirinya berbicara.

" .... Ya. Siapalagi kalau bukan anda yang menjadi ibuku. Tempat ini adalah pecahan distorsi ruang dan waktu, tidak akan ada makhluk siapapun yang mencapai ruang ini sekalipun itu manusia."

"He?"

Mengetahui tempat tersebut tidak mungkin di jangkau oleh manusia biasa, Visca menyadari jati dirinya yang sebagai manusia sedikit tidak relevan dengan tempat itu.

"(Apa aku? ... Bukanlah manusia lagi? Sejak aku pertama kali menginjakan kaki di sini?)"

Asumsi yang berasal dari logika tersebut mengganggu pikiran Visca.

"Aku terlahir karena keberadaanmu ibu, kehadiranmu adalah tanggung jawabku untuk tunduk dalam setiap perintahmu."

"........."

Visca tak bergeming dengan wajah melongoh memperhatikan setiap kata yang terdengar dari makhluk tersebut.

"Namun ada syarat yang harus kita lakukan. Aku merasakan masih ada sifat-sifat kemanusiaan terhadap anda. Atau memang anda masih dalam ranah manusia, aku tidak bermaksud menghina anda tapi seharusnya anda jauh lebih kuat dari ini."

"(Aku ... Tidak mengerti apa yang di katakannya. Namun yang jelas aku tidak mungkin bisa lagi berpikir untuk kabur dari tempat ini.)"

Wajah Visca tampak berkeringat ketika ia merasa sulit untuk memalingkan wajah darinya.

Namun sejauh kata yang Visca dengar dari makhluk tersebut, beberapa di antaranya menyadarkan Visca bahwa makhluk yang ada di depannya tidak terindentifikasi sebagai musuh berbahaya yang mencoba membunuhnya.

"Syarat itu adalah untuk kebangkitan kita. Aku sebagai cangkang dan anda sebagai telurnya kedua hal itu harus saling mengisi kekosongan yang luas ini. Kita adalah penguasa dimensi ini, selayaknya kita sebagai ibu dan anak memiliki keterikatan kekeluargaan."

"(Aku heran, kenapa ... Cara bicaranya mendadak bukan seperti bayi yang baru lahir. Dan ... Kenapa aku? Tidak lagi merasa terancam? Dengan kata-kata manis- Tidak, tatapan kosong itu ... Adalah bentuk keseriusan.)"

Perlahan ketakutan Visca memudar dengan perasaan yang mulai tenang ketika makhluk tersebut tidak memberikan gerak-gerik ancaman selain tangan yang masih tergenggaminya.

"Apa ... Anda takut denganku?"

"He? Tidak!. Sama sekali tidak, kenapa aku harus takut kepada buah hatiku."

Dengan nada bicara yang tegas, Visca menunjukan bagaimana ia mengekspresikan rasa senang sebagai sesosok ibu bagi makhluk tersebut yang tergambar dalam senyuman.

"Aku bahagia mendengarnya, aku menyayangimu ibu. Maka dari itu kita akan menyatukan jiwa dan raga untuk memperluas ikatan kita, aku ingin mengenalmu lebih jauh ibu."

"Menyatukan? Maksudmu ... "

"Anda tidak perlu terlalu memikirkannya, sebelum itu aku ingin anda memberikan nama untukku. Dengan penuh rasa hormat aku akan sangat bangga menerimanya sebagai buah hatimu."

Sosok makhluk yang memiliki tinggi dua meter melebihi Visca tersebut sedikit merendahkan tubuhnya dengan maksud agar mereka tampak lebih dekat.

"Sebelum itu ... Bisakah kau memegang tangan ibu sedikit lebih lembut?"

Visca mengatakannya dengan cara bicara yang halus.

"Oh? Apakah anda kesakitan dengan ini? Maaf jika itu mengganggumu."

Serentak mendengar keluhan yang di rasakan oleh Visca, makhluk itu spontan menjauhkan tangannya dari lengan Visca.

"(Dia tidak pandai bicara secara formal. Namun dia seolah bersungguh-sungguh ingin membuat ikatan denganku(mengabdi)."

Mengetahui sejauh ini semua masih baik-baik saja, membuat Visca kembali tenang dan lebih dari sekedar ketenangan, ia merasa terobati setelah semua kemungkinan terburuk yang terpikirkannya dalam batin telah terjawab.

"Nama ya, kau tampak sangat jauh berbeda denganku. Tapi di pandang dari mana pun kau tampak sangat kuat. Aku pikir ... Kau juga seorang pria walau kepribadianmu tidak mendeskripsikannya. Mungkin ... "Delta" Cocok untukmu."

"Del ... Ta? Ya, kupikir aku merasa nyaman di panggil seperti itu."

"Baguslah, dan ... Bisakah kau berjanji satu hal?"

Dengan nada bicara yang lembut, Visca seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang mengarah kepada keinginan terdalam hatinya.

"Apa itu? Ibu."

Sontak makhluk yang di namai Delta tersebut merasa heran dengan perubahan perilaku Visca yang cenderung lebih halus kepadanya.

"Kau ... Tidak akan membunuhku kan? Dan kau akan melindungiku selamanyakan? Jika kau memang anakku, kau harus berjanji akan selalu ada melindungi di sampingku."

Visca sedikit memalingkan wajahnya dari perhatian Delta, saat perkataan tersebut terasa sedikit memalukan untuk di ungkapkan.

"Bicara apa anda ini Ibu. Tentu saja kita adalah raga dan jiwa yang saling terpikat antara hubungan istimewah dengan dimensi ini. Tidak akan kubiarkan siapapun menyentuhmu, aku adalah pendangmu yang kapan saja siap untuk menerima perintahmu."

Ucapan tersebut menggerakan Delta untuk meraih wajah Visca dengan tangan besarnya, ketika tangan itu menyentuh bagian pipi secara spontan perhatian Visca kembali kepada Delta.

"Anda tidak perlu mengkhawatirkan hal yang tidak perlu, setelah ini juga anda akan beradaptasi ke sosok yang lebih sempurna bersama dimensi ini. Tepatnya setelah kita menyatukan jiwa dan raga, aku yakin anda sebenarnya lupa dengan sosok sesungguhnya diri anda sendiri dan sekarang hanya menjelma sebagai manusia."

Visca hanya terdiam memperhatikan Delta yang sedang berbicara dan membiarkan tangan besarnya itu terus menyentuh wajahnya.

1
WasRe
semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!