"Aku istrimu, Aditya! Bukan dia!" Aurelia menatap suaminya yang berdiri di ambang pintu, tangan masih menggenggam jemari Karina. Hatinya robek. Lima tahun pernikahan dihancurkan dalam sekejap.
Aditya mendesah. "Aku mencintainya, Aurel. Kau harus mengerti."
Mengerti? Bagaimana mungkin? Rumah tangga yang ia bangun dengan cinta kini menjadi puing. Karina tersenyum menang, seolah Aurelia hanya bayang-bayang masa lalu.
Tapi Aurelia bukan wanita lemah. Jika Aditya pikir ia akan meratap dan menerima, ia salah besar. Pengkhianatan ini harus dibayar—dengan cara yang tak akan pernah mereka duga.
Jangan lupa like, komentar, subscribe ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Aksi yang Gagal
"ALARM GAS BERACUN AKTIF! MOHON SEGERA EVAKUASI!"
Suara nyaring alarm bergema ke seluruh penjuru rumah sakit, membuat para petugas medis berlarian sambil mendorong ranjang pasien. Lampu merah berkedip-kedip. Asap tipis terlihat di ujung lorong, meski belum tercium bau apa pun yang mencurigakan. Reyhan, yang tengah berdiri di luar ruang rawat Aditya, langsung waspada. Sementara itu, Aurelia yang berada di ruangan pengawasan segera keluar, menutupi hidung dengan tangan, menyipitkan mata karena kepulan kabut putih mulai menghalangi pandangan.
"Itu bukan kebocoran biasa. Ada yang sengaja!" ujar Reyhan cepat, memberikan sinyal kepada Raka lewat alat komunikasi kecil di sakunya.
Raka yang tengah berada di lantai bawah, segera bergerak bersama tim keamanan rumah sakit. "Kunci semua akses keluar-masuk! Kita cari tahu siapa pelakunya. Jangan biarkan orang itu lolos!"
Sementara kekacauan berlangsung, Aditya yang masih lemah karena kecelakaan sebelumnya, terkejut saat alarm berbunyi. Dalam kepanikan, ia mencoba bangun dari ranjang tanpa bantuan siapa pun. Kalina masih belum sadar, tergeletak di ranjang sebelah.
"Sial... Apa lagi ini! Siapa yang mau buat celaka gue kali ini?!" Aditya menggeram, berusaha berdiri. Kakinya yang sudah tak berfungsi sepenuhnya membuat tubuhnya oleng, dan tanpa sempat mengimbangi, ia terjatuh menghantam lantai.
Brak!
Kepalanya membentur keras, dan kesadarannya menghilang dalam sekejap.
Beberapa menit kemudian...
"Pasien laki-laki kamar 312 ditemukan tidak sadarkan diri di lantai! Cepat, siapkan tandu dan alat bantu pernapasan!" teriak seorang perawat.
Dokter berjaga langsung datang, memeriksa denyut nadi Aditya. "Masih hidup! Bawa ke ruang IGD sekarang!"
Reyhan dan Aurelia yang mendengar kabar itu langsung turun. "Bagaimana bisa dia jatuh?! Siapa yang mengatur semua ini?!" tanya Aurelia, suaranya tajam, tapi sorot matanya justru menunjukkan ketenangan yang sangat mencurigakan.
Sementara itu, tim keamanan telah mendapatkan sesuatu dari CCTV. Mereka mengulang rekaman dari lorong belakang dekat ruang panel alarm.
"Perhatikan ini," kata Raka sambil menunjuk layar.
Seseorang dengan hoodie gelap tampak masuk ke ruang kontrol alarm. Gerakannya cepat dan terlatih. Tak ada keraguan, orang itu tahu persis letak sistem pengaktifan alarm.
"Wajahnya? Bisa diperbesar?" tanya Reyhan.
Operator mencoba menyaring gambar, mengubah kontras, dan... terlihat samar-samar wajah perempuan dengan dagu tegas dan rambut diikat tinggi. Saat wajahnya menghadap kamera...
Aurelia mendekat.
"Tunggu... itu—itu Vania?" suaranya pelan, hampir tercekat.
"Mantan Aditya yang dulu pernah bekerja sebagai desainer interior?" Reyhan menoleh.
"Ya... dan kabar terakhir yang kuterima... dia tengah hamil, Reyhan. Hamil anak Aditya," jawab Aurelia.
Seketika ruangan menjadi hening.
"Jadi bukan hanya aku yang menyimpan dendam pada Aditya. Tapi ternyata, dia menyisakan lebih banyak luka dari yang kuduga," lanjut Aurelia, tatapannya tajam.
Raka mencatat sesuatu di tablet digitalnya. "Kita harus cari tahu keberadaan Vania secepatnya. Jika benar dia pelakunya, ini bukan lagi sekadar kasus sabotase. Ini pembunuhan terencana."
Reyhan menatap layar yang memperlihatkan Vania berjalan cepat keluar dari ruang kontrol alarm, sebelum menghilang di lorong.
"Kita punya petunjuk. Tangkap dia sebelum dia lenyap lagi."
Sementara itu, di ruangan IGD...
Kalina akhirnya siuman. Ia menoleh ke kiri dan kanan, panik saat melihat dirinya sendiri terpasang infus dan kakinya kembali dibalut tebal.
"Dimana... Aditya? Mana dia?!"
"Dia di ruangan sebelah, Bu. Baru saja dipindahkan ke ruang pemulihan. Kepalanya terbentur," jawab seorang perawat.
Kalina ingin bangkit, tapi tubuhnya terasa sangat lemah.
"Kenapa semua ini selalu terjadi pada kami... siapa yang melakukan ini?!" ia menangis, menggigit bibir menahan nyeri.
Di sisi lain, Aurelia duduk di ruang monitor bersama Reyhan dan Raka. Mereka menyusun strategi baru, karena kini ada pihak ketiga yang ikut dalam permainan.
"Permainan ini... tidak sesederhana dulu. Dan aku akan pastikan, siapa pun yang ikut bermain api, akan kubakar habis." kata Aurelia pelan, lalu berdiri dan menatap layar yang masih memperlihatkan wajah Vania.
"Permainan ini... baru saja dimulai lagi."
Saat malam tiba, sebuah pesan anonim masuk ke ponsel Raka.
"Vania bukan satu-satunya. Akan ada lebih banyak yang akan datang. Jika Aurelia tak segera membereskan Aditya, bersiaplah kehilangan lebih banyak nyawa."
Raka menatap layar ponsel itu, wajahnya memucat.
"Reyhan... kita punya masalah lebih besar dari yang kita duga."
Suasana rumah sakit yang semula tenang mendadak meNcekam. Rekaman CCTV yang menunjukkan Vania, mantan Aditya yang tengah hamil, memasuki area staf rumah sakit dan berinteraksi dengan panel alarm menjadi bukti yang tak terbantahkan. Tim keamanan memperbesar gambar, memperlihatkan wajah Vania yang tampak tegas namun menyimpan raut kebencian.
Raka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Dia sedang hamil. Tapi kenapa dia melakukan ini? Apa motifnya?”
Reyhan yang berdiri di sebelahnya hanya menggeleng pelan. “Kita sedang menghadapi lebih dari satu musuh di sini. Ini bukan cuma soal balas dendam Aditya terhadap Aurelia. Ini tentang bayang-bayang masa lalunya yang kini menyerang balik.”
Sementara itu, di dalam ruangan perawatan intensif, Aditya belum siuman. Tubuhnya penuh luka dan selang infus menempel di tangannya. Kalina masih tertidur karena efek obat penenang yang diberikan oleh tim dokter asing yang datang menjemputnya.
Namun di balik semua itu, sebuah pesan suara masuk ke ponsel Reyhan. Suaranya disamarkan, berat dan menyeramkan.
“Jika kalian pikir ini semua tentang cinta dan balas dendam, kalian salah besar. Aditya harus membayar semuanya. Ini baru permulaan.”
Reyhan memperdengarkan rekaman itu pada Raka dan Aurelia yang kini duduk di ruang keamanan. Wajah Aurelia menegang, tapi tidak goyah.
“Aku yakin ini bukan hanya soal Vania,” gumamnya pelan. “Ada yang lebih besar sedang bermain di sini.”
Belum sempat mereka mencerna pesan itu, seorang perawat tergopoh-gopoh masuk ke ruang keamanan.
“Maaf, kami baru saja kehilangan sinyal dari kamera lantai dua! Seseorang mematikan sistemnya secara manual dari dalam!”
Raka langsung berdiri. “Kita ke sana sekarang!”
Reyhan, Aurelia, dan beberapa tim keamanan bergegas menuju lantai dua. Tapi saat tiba, lorong tampak kosong, hanya terdengar suara alat medis yang berdetak pelan dari balik pintu ruangan.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu lift terbuka dari ujung lorong.
Reyhan mengangkat tangan, memberi sinyal semua untuk bersiaga. Pintu lift terbuka sepenuhnya—kosong.
Namun, di dinding lift, ada cat merah menyala yang baru saja dituliskan:
"Kau pikir kau menang, Aurelia? Kami belum selesai."
Aurelia menarik napas panjang, matanya menatap tajam ke tulisan itu. Raka menatap Reyhan dengan serius.
“Kita harus kumpulkan semua nama wanita yang pernah dekat dengan Aditya. Ini bukan hanya balas dendam. Ini gerakan yang terorganisir.”
Di tempat lain, seseorang menonton seluruh kejadian itu dari layar monitor gelap. Jari-jarinya menari di atas keyboard, lalu ia mengirimkan pesan ke satu nomor tak dikenal.
"Tahap satu selesai. Vania telah dimainkan. Berikutnya, kita buka file tentang Lia."
Wajah yang tersembunyi di balik bayangan itu tersenyum miring.
“Aurelia takkan pernah menduga kalau ini dimulai dari kejatuhan Aditya... tapi akan berakhir dengan kejatuhannya juga.”
Layar mati. Gelap.
(BERSAMBUNG KE BAB SELANJUTNYA)
kadang dituliskan "Aurelnya pergi meninggalkan ruangan tsb dengan Anggun"
Namun.. berlanjut, kalau Aurel masih ada kembali diruangan tsb 😁😁🙏