Sean, bocah 11 tahun yang berlayar sendirian menuju sebuah negara yang diamanahkan sang kakek. 11 tahun telah berlalu sejak ia dan kakeknya terpaksa meninggalkan sebuah negara, tempat Sean lahir. Di negara inilah, dia akan bertemu dengan orang-orang baru yang menemani kerja kerasnya. Namun kisahnya tidak semenyenangkan itu. Bersamaan dengan pengaruh baik, ada banyak tantangan gila menantinya di depan. Dia hanya bocah 11 tahun!
Apakah Sean dan teman-temannya bisa menghadapi setiap masalah demi masalah yang tak kunjung pergi? Simak dan ikuti perjalanannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuntun
"Sean, bergegaslah! Atau aku akan meninggalkanmu" ketus Marito yang sudah selesai berpakaian.
"Aku sudah selesai sedari tadi, guru saja yang terlalu lama" ledek Sean yang sudah mengenakan sepatunya dan tampak rapi.
Marito menghela nafas. "Berhati-hatilah" pesan Jiali ketika keduanya akan berangkat. "Ya" jawab Marito dan keduanya akhirnya berangkat.
"Oniisan tidak bekerja sama dengan guru?" tanya Zoe terheran. "Tidak, dia ada misi di luar sementara aku harus menyelesaikan tumpukan berkas di kantor" Daisuke merapikan kera bajunya.
"Merepotkan sekali" gumam Chloe kesulitan merapikan dasi yang akan ia kenakan. "Apa kau butuh bantuan?" tanya Jiali segera menghampiri Chloe.
Ia menata ulang dasi yang dikenakan Chloe. Zoe dan Daisuke tampak memasang wajah jahil. "Ada apa?" ketus Chloe ketika melihat ekspresi Zoe dan Daisuke.
"Sudahlah, kau harus mengurangi jiwa-jiwa emosimu" saran Jiali terkekeh. Chloe mulai salah tingkah. "Di mana, James?" tanya Daisuke terheran.
"Dia sudah pergi sejak dini hari tadi" jawab Chloe setelah ia rapi dengan seragamnya.
"Siang nanti kepala akademi memanggilku ke kantor bawah tanah. Apa kalian juga?" tanya Jiali tampak terheran "Ya. Aku juga" jawab Daisuke membenarkan.
"Aku juga, apa guru juga?" gumam Zoe penasaran. "James juga bilang dia dipanggil ke kantor bawah tanah" ujar Jiali teringat laporan James.
"Ada apa kira-kira?" gumam Zoe penasaran. "Sudahlah, pagi ini kita selesaikan dulu pekerjaan kita" ujar Daisuke segera setelah ia selesai mengenakan sepatu.
Suasana rumah akhirnya sepi. Semua sibuk mengerjakan pekerjaan masing-masing.
"Kemah?" gumam Sean ketika mendengar penjelasan Owein. "Kakak bilang, akademi selalu mengadakan kemah untuk siswa yang baru" Joy tampak antusias ketika mengetahui akademi akan mengadakan kemah.
"Sepertinya menyenangkan"
Di rumah,
"Kemah? Tentu saja kau boleh ikut" jawab Marito ketika mendengar pertanyaan Sean yang meminta persetujuannya. Sean berubah girang.
"Kapan kemah itu akan diadakan?" tanya Daisuke sibuk membaca laporan yang ia bawa ke rumah. "Minggu depan, kemahnya 3 hari 2 malam" jawab Sean segera.
"Bisa saja kau disibukkan lagi, Dai" ujar Chloe terkekeh. "Aku akan menolak jadi panitia, itu hanya kegiatan melelahkan" jawab Daisuke menolak tegas.
"Yang terpenting ketika kemah berlangsung kau harus jaga diri. Jangan melakukan hal-hal aneh" pesan Marito baru selesai mengeringkan piring-piring yang ia cuci.
"Bersiaplah, malam ini aku akan mengajarimu mengendalikan sihir alam" perintah Marito berjalan menuju kamarnya. "Baik!" jawab Sean menurut.
Bocah itu bergegas menuju kamarnya.
"Hey, bocah! Ayo bertukar denganku, maka kau akan menguasai elemen milikku"
Sean menghentikan langkahnya ketika ia mendengar sesuatu yang tidak asing berbicara dari dalam dirinya.
"Tidak" jawab Sean tahu maksud tujuan suara itu. "Hahaha, kau pasti berpikiran yang jelek tentangku. Aku punya elemen langka, kau bisa menggunakannya untuk berlatih atau bertarung"
Sean diam tidak menjawab. "Aku tidak akan mau bertukar denganmu!" ketus Sean segera.
Bocah itu segera tersadar ada seseorang di ambang pintu. Ia berbalik dan menemukan Marito memperhatikannya dengan mata biru menyala, dan kening berkerut.
"Kau berbicara dengan siapa, Sean?" tanya Marito dengan wajah datar dan nada bicara yang tenang. Sean gelagapan. "Katakan saja" dan bocah itu semakin takut untuk mengatakan sejujurnya.
Karena tidak kunjung menjawab, "Baiklah jika kau tidak memberitahunya. Katakan saja jika kau sudah siap. Malam ini kita kosongkan latihan" pesan Marito akhirnya memilih pergi.
Sean diam sejenak. "Dia hewan raksasa, guru!" langkah Marito terhenti. Matanya berubah tajam.
"Hewan... raksasa?" Marito berbalik badan dan ekspresinya tampak bingung. Sean mengangguk ragu. "Apa dia berbicara aneh?" tanya Marito seakan memastikan.
"Ya" jawab Sean membenarkan. Wajah Marito memucat. "Beristirahatlah. Malam ini tidak ada latihan" Marito akhirnya benar-benar menghilang.
Sean masih diam di tempat.
"Seperti biasa, gurumu itu super menyeramkan dan serba tahu"
Sean berdecak kesal. "Kau jagoan kandang saja! Saat guru di sini kau tidak berani bersuara!" ledek Sean kesal. Ia duduk di tepi ranjang.
"Dengar, nak. Takdirmu itu tidak akan berubah. Kau-"
"Aku tidak peduli! Pertanyaanku hanya satu. Mengapa kau tiba-tiba muncul di mimpiku dan sekarang berbicara padaku tapi wujudmu tidak ada?"
Sean tentu terheran kenapa burung phoenix raksasa berbulu biru itu muncul di dalam mimpinya.
"Hahaha. Kau wadahku, bocah"
Sean terdiam mendengarnya. Wadah?
"Apa... maksudmu?"
Burung itu tidak segera menjawab.
"Seseorang sudah menyegel diriku di dalammu. Itu tindakan kurang ajar yang tidak kusetujui sejak awal. Tapi melihatmu bertumbuh, aku jadi merasa sepertinya kita bisa jadi partner yang bagus"
Sean menggigit bibir bawahnya dengan ekspresi memucat ketakutan bercampur khawatir.
"Jangan memasang wajah ketakutan begitu. Aku memang jahat, tapi niatku untuk membunuhmu tidak ada. Dan satu lagi, 90% kekuatanku ada di dalam seseorang yang tidak kau sangka"
Ekspresi Sean berubah jadi penasaran. "Siapa yang kau maksud?" tanya Sean ragu-ragu.
"Hahaha. Kau penasaran bukan? Dia orang yang mengajarimu saat ini"
Sean terdiam kaku. Apa maksudnya, Marito?
"Dia hanya menggunakan energi mataku untuk sihir ciptaannya saja. Sesuatu yang sangat tidak menghargaiku sekali. Padahal dia akan memiliki elemen langka milikku, melihat masa depan, dan menangkis semua jenis sihir. Dia jenius, tapi tidak menggunakannya dengan baik"
Fakta itu tentu mengejutkan Sean. Artinya selama ini, kekuatan asli sihir mata Marito bukan untuk memberikan halusinasi pada lawannya.
Kekuatan asli sihir mata Marito itu ialah mengendalikan elemen langka, melihat masa depan, dan menangkis semua jenis sihir. Apalagi, kekuatan itu tertanam di tubuh Marito sebanyak 90%.
"Jika kau sendiri mengenal guruku, seharusnya kau tahu siapa orang tuaku bukan?" tanya Sean. Namun setelahnya tidak ada jawaban.
"Cih, selalu saja!" gerutu Sean kesal. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Matanya memperhatikan langit-langit kamar. Pikirannya begitu berisik dengan ribuan pertanyaan yang jawabannya tidak pasti.
Perlahan ia mengantuk. Kantuk itu berhasil membuat matanya mulai terpejam. Dan akhirnya, ia tertidur.
Ketika tengah malam, Sean terbangun. Haus menyerangnya dan berhasil mengganggu tidur nyenyak bocah itu. Ia berjalan menuju dapur.
Tidak ada seorang pun yang berada di dapur. Semua pasti tidur nyenyak malam ini, atau mungkin beberapa ada misi di malam hari.
Sean mulai menuangkan air ke dalam teko. "Aduh, terang sekali" gumam Sean menutup matanya segera ketika sebuah cahaya kuning menyerangnya.
Ia kembali membuka matanya dan memperhatikan sekitar. Entah kenapa, Sean mulai mengikuti cahaya itu. Ia masih setengah mengantuk tapi ia tetap berjalan mengikuti cahaya kuning itu.
Lalu, "Aww" gumam Sean tersadar. Ritter. Ia mematuk Sean dan berhasil menyadarkan bocah itu.
"Astaga, aku lupa burung hantu itu beraksi di malam hari begini" gumam Sean terkekeh. Burung hantu itu mencengkram pundak kanan Sean.
"Eh? Di mana cahaya tadi?" Sean tentu mulai mencari keberadaan cahaya tadi. Lagi-lagi Ritter mematuknya.
"Ada apa denganmu? Patukanmu sakit sekali" ketus Sean terheran. Burung itu menggeleng seakan ia memberitahu Sean, bocah itu tidak perlu mencari cahaya kuning tadi.
"Baiklah, aku akan tidur" gumam Sean dengan malas dan memutuskan untuk menghabiskan air di gelasnya lalu kembali ke kamar.
Tanpa Sean sadari, Marito memperhatikan bocah itu sedari tadi. Marito mengerutkan keningnya tampak begitu serius. "Tidak perlu mencoba mengejutkanku, Dai" ujar Marito tahu.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Daisuke terheran. "Dengan ini" Marito menunjukkan mata biru menyalanya. "Kenapa kau tidak tidur?" tanya Daisuke terheran dan menuju dapur.
"Dia punya kekuatan aneh, Dai" jawab Marito segera. "Apa maksudmu?" tanya Daisuke terheran. "Dia berbicara sendiri, Dai. Seolah seseorang berbicara dengannya" jawab Marito duduk di sofa.
"Jadi itu yang membuatmu tidak bisa tidur?" tanya Daisuke tentu terkejut mengetahui Sean yang berbicara dengan seseorang tanpa wujud.
Marito menatap lurus tanpa menjawab. "Apa dia... berbicara dengan hantu?" tanya Daisuke segera.
"Bodoh"
"Kejam sekali!"
...****************...
"Hoam" Sean menguap. Sejak terbangun tengah malam tadi, ia tidak bisa kembali tidur. Alhasil bocah itu tampaknya kurang tidur.
"Astaga, tidak bisakah hari ini jadi libur saja? Aku benar-benar mengantuk" keluh Sean merebahkan kepalanya di atas meja makan.
"Jika kau mengeluh, aku akan mengasingkanmu ke pulau di tengah samudra" ujar Marito segera. "Marito, sepertinya dia kurang tidur" bisik Jiali tidak tega.
Marito menghela nafas lelah. "Kau bisa tidur nyenyak ketika pulang belajar. Tahanlah sejenak rasa kantukmu" ujar Marito akhirnya membebaskan Sean.
"Akhirnya! Baiklah, aku pamit!" kantuk si tokoh utama mendadak hilang. "Lihat, kalian terlalu lembut" gumam Marito menghela nafas memaklumi.
Di sisi lain, Sean berangkat ke akademi seperti biasa. Ia tidak mau ketinggalan materi untuk keperluan kemah. "Sean!" panggil Joy memanggil Sean dari kejauhan.
Sean menoleh. "Selamat pagi, Joy" sapa Sean segera sambil tersenyum. "Pagi sobat!" Joy membalasnya. "Sean, apa kau kurang tidur?" tanya Joy memperhatikan wajah Sean.
"Begitulah. Burung hantu peliharaan guru terus berbunyi di kamarku" keluh Sean terkekeh. "Burung hantu?" tanya Joy terkejut.
"Guru punya peliharaan burung hantu. Sepertinya dia bukan burung hantu biasa. Beberapa kali aku sering melihatnya membawa burung itu ikut misi"
Joy tertawa kecil mendengarnya. Mereka akhirnya tiba di akademi. Pelajaran dimulai seperti biasa. Kelas mereka berjumlah 35 orang dalam satu ruangan.
Meja dikelas itu bertingkat. Meja paling belakang adalah meja di tangga teratas.
"Baiklah. Sebelum pelajaran berakhir, kita akan bentuk kelompok. Satu kelompok berjumlah lima orang" ujar Owein sebelum ia menyudahi.
Satu persatu nama kelompok disebutkan. "Kelompok 7! Dao Viking, Eleanor Kidlet, Gabriel Noah, Joy Nicolo..." Owein mencoba memperjelas penglihatannya.
"Sean Colbert. Baiklah, saat kemah nanti kalian akan menghadapi berbagai tantangan. Jadi kelompok harus bekerja sama, dan jangan egois. Tidak ada perlombaan, yang terpenting kalian tetap bersama"
Sean dan Joy saling memberi tos. "Untung saja kita satu kelompok" ujar Joy antusias. "Hey, Gabriel! Semoga kita bisa bekerja sama!" sapa Sean pada seorang teman sekelas yang duduk di bawah mereka.
"T-Tentu" jawabnya gugup. Ketika makan siang tiba, "Sean!" panggil seorang anak perempuan dengan temannya. Struktur wajah mereka mirip dengan Marito. Mereka pasti dari benua kuning.
Merekalah Dao dan Eleanor. Kulit keduanya ialah kuning langsat, dan rambut mereka hitam lebam. Dao dari negara Chāng sementara Eleanor dari negara Kamalig.
"Dao, Elenaor. Ada apa?" tanya Sean terheran. "Mengenai kelompok kemah" jawab Dao memilih duduk di depan kedua teman sekelasnya, dan Eleanor di samping kirinya.
"Aku yakin kita akan menjadi tim yang hebat" ujar Joy antusias. Kedua gadis itu saling memberi pandangan. "Bisakah kalian mendorong Gabriel untuk lebih terbuka? Dia itu pemalu dan tertutup"
Kedua bocah itu tentu terkejut mengetahuinya. Kebetulan sekali, Gabriel melewati mereka.
Rambutnya cukup panjang, dan menutupi mata kanannya. Kulitnya putih pucat, tubuhnya cukup tinggi. Dan dia selalu berjalan menunduk.
"Astaga, maaf" Gabriel tentu terkejut ketika ia tidak sengaja menabrak tubuh seseorang. "Apa kau buta? Mengapa kau menutup mata kananmu, bodoh?!" orang yang ditabraknya tentu bersikap ketus.
"M-Maafkan aku..." Gabriel mulai mundur karena takut. Bocah di hadapannya bertubuh tinggi dan gemuk. Berbanding terbalik dengannya.
"Kau-"
"Hey!"
Sean menghentikan langkahnya ketika seorang anak perempuan menengahi mereka. Hanare. Joy dan Sean tentu terkejut melihat teman sekelompok mereka saat seleksi berada di sana.
"Dia sudah meminta maaf! Tidak bisakah kau menyudahinya?!" ketus Hanare dengan tatapan tajam. Bocah itu tentu terkejut, namun ia tidak goyah.
"Perempuan tidak perlu ikut campur! Memangnya kau tahu apa soal urusan laki-laki?!" tanya bocah itu dengan sombong. Hanare mendongak ke atas dan mendekatkan wajahnya pada bocah gemuk ini.
"Kau mau mengajak bertengkar? Aku akan melaporkanmu pada guru!" ketus Hanare segera. Bocah itu berdecak kesal dan memutuskan pergi.
"T-Terimakasih, Hanare..." ucap Gabriel setelah mereka jauh. "Kau harus melawan mereka! Jangan takut" pesan Hanare dengan tegas lalu pergi.
Gabriel menatap kepergian Hanare dengan tatapan berbeda. "Gabriel!" panggil Sean segera. Ia menoleh. "Ayo makan siang di sini! Duduklah di sampingku"
Gabriel tampak ragu. "Kita sekelompok, tahu. Kita harus membuat strategi" ujar Joy terkekeh. Gabriel akhirnya duduk di samping Sean.
"Tenang saja. Kita satu kelas, jadi kami akan melindungimu dari si gemuk itu!" Dao meyakinkan Gabriel. "Benar! Seharusnya Hanare memberinya pelajaran" Eleanor menatap si gemuk dengan sinis.
Sean terkekeh mendengarnya. Gabriel menunjukkan tatapan terkejut. "Jika dengan kami kau tidak perlu takut. Kita ini teman satu kelas, kami akan menolongmu" ujar Sean tersenyum.
Gabriel menunduk menatap makan siangnya. "Terimakasih" ucapnya tanpa ragu sambil tersenyum.
Setelah makan siang, semuanya kembali belajar. Semua tampak fokus dengan materi yang diberikan.
"Baiklah, besok kita ada ulangan harian... jadi mohon siapkan diri" pesan Owein pada mereka. "Yes, sir!" jawab murid-murid di kelas.
Ketika sore tiba, mereka akhirnya pulang. "Aduh! Besok kita ulangan. Pak guru mendadak sekali" keluh Joy dengan malas berjalan pulang.
"Astaga, belajar saja. Pasti kau bisa" ujar Sean terkekeh. "Kakak bilang kalau guru Owein yang membuat soal, itu sulit sekali. Dia berteman dekat dengan orang-orang jenius"
Sean tentu tertawa kecil mendengarnya. "Jika kau belajar malam ini, kau bisa menghadapinya besok" Joy tampak berpikir sejenak. "Baiklah! Aku akan belajar dengan kakak"
................
"Aku pulang" gumam Sean memasuki rumah sambil melepas sepatunya. "Bagaimana hari ini?" tanya Jiali menyambutnya. "Kelompok kemah kami dibentuk dan besok aku ada ulangan harian" jawab Sean menyusun sepatunya pada rak.
"Ulangan? Belajarlah dengan Marito. Tiga kali dia ulangan, nilainya sempurna dan karena itulah dia mengikuti kelas akselerasi"
Sean yang mendengarnya terkejut. "Di mana guru?" tanya Sean segera. "Entahlah. Ritter tidak terlihat sejak tadi. Dia pasti ikut Marito menjalankan misi" jawab Jiali tampak khawatir.
"Bukankah guru biasa pulang terlambat?" tanya Sean tidak heran dengan jam pulang Marito. "Dia itu kalau berjanji selalu ditepati. Hari ini dia berjanji pulang sebelum matahari terbenam"
Sean mengerutkan keningnya. Pintu tiba-tiba terbanting keras. "Siapa itu?" gumam Jiali menghampiri pintu.
Jiali membuka pintu. "Oniisan!" Zoe mengenali siapa yang sedang terkapar di depan pintu.
"Astaga, apa yang terjadi?!" Jiali segera meraih Daisuke yang lemas. "L-Leon, dia... dia masih di sana... di gerbang... kota..." Daisuke menunjuk ke sebuah arah.
Keningnya mengeluarkan darah, dan keadaannya sangat berantakan.
"Guru?!" Sean tanpa pikir panjang berlari meninggalkan mereka. "Sean!" Zoe tentu terkejut.
"Zoe, kejar dia!" perintah Jiali segera. Zoe menurut dan berlari menyusul Sean yang sudah jauh.
Sean berlari menuju gerbang kota. "Sean-" Ange tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika Sean berlari secepat kilat menuju gerbang.
"Apa yang terjadi?" tanya Joy di sebelah Ange. "Entahlah" jawab Ange. Namun setelahnya, suara ledakan terdengar dari arah gerbang kota.
"Ini tidak beres" gumam Ange akhirnya ikut menyusul. "Hey, Ange!" Joy akhirnya ikut menyusul.
Para tim medis juga banyak yang bergegas, beserta beberapa anggota militer jurusan sihir. "Semua segera lari ke gedung pusat!" perintah Zoe di sana.
Di sisi lain, "TUTUP GERBANGNYA!" teriak Marito menahan beberapa raksasa dengan rambut panjangnya. Kilatan petir mengalir di rambut gadis itu.
Dan seketika raksasa-raksasa itu terkena sengatan listrik. Marito melepas rambutnya segera. Keningnya terus menerus mengeluarkan darah.
Ia mengatur nafas sejenak.
Pagi harinya, Marito, Ritter burung hantu, dan Daisuke pergi menjalankan misi memecahkan kisi-kisi dari diary milik kakak Marito yang menjelaskan beberapa peninggalan leluhur dan sumber iblis raksasa yang akhir-akhir ini menyerang.
Namun, setelah sampai di sebuah desa, mereka mendapati seseorang sudah menculik beberapa anak-anak yatim piatu dan menjadikan mereka iblis raksasa yang kini menyerang gerbang kota.
Mereka berjumlah 20, dan keduanya terus menahan para raksasa itu. Daisuke yang kehabisan energi dan kepalanya seakan-akan digigit binatang buas.
Ritter si burung hantu, menunjukkan kemampuan sihirnya. Ia membuka portal tempat, lalu berhasil memindahkan dirinya dan Daisuke di depan rumah.
Sementara Marito, menjadi umpan dan melawan sendirian para raksasa. Kini ia menahan para raksasa itu, yang akan memasuki gerbang kota dengan sebuah sihir keturunan keluarganya.
Para raksasa mulai tumbang. Beberapa anggota militer sudah bersiap di depan gerbang, dan sisanya menutup pintu gerbang ke kota.
"Tidak ada gunanya jika aku memotong tubuh mereka. Sial sekali Chloe tidak di sini. Hanya sihir kutukan dan ruang yang bekerja pada mereka. Energi sudah mau habis. Aku bisa mati di sini karena mereka" batin Marito terus menerus menghindari para raksasa.
Marito tersadar ketika Ritter mencengkramnya. "Ritter, apa energimu cukup untuk memindahkan mereka?" tanya Marito memastikan.
Burung hantu itu mengangguk. "Baiklah, aku akan mencoba mengumpulkan mereka. Pindahkan mereka ke lautan, aku akan meledakkan mereka di sana"
Marito bersiap dan Ritter segera terbang tinggi. Ketika Marito mulai memancing mereka, "Sial!" Marito tersandung. Ketika salah satu tangan raksasa itu hendak meraihnya, "Apa ini?!" gumam Marito terkejut.
Sean menggunakan kakinya untuk menghancurkan tangan raksasa itu. "Guru! Apa kau baik-baik saja?" tanya Sean menghampiri Marito.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" ketus Marito segera dan tampak panik. "Sean!" Marito berdiri di depan Sean dan hendak menggunakan tubuhnya sebagai tameng.
"Apa yang-"
Marito tidak bisa melanjutkannya ucapannya ketika seseorang berhasil menahan gerakan raksasa itu. "Ange! Aku tidak bisa menahannya!" ujar Joy yang menahan raksasa itu.
Ange meninju raksasa itu hingga terlempar jauh. "Kalian baik-baik saja?!" tanya Joy diikuti Ange menghampiri Sean dan Marito.
"Di mana Ritter?" tanya Sean teringat burung hantu peliharaan gurunya. "Dia di atas menyiapkan portal, kalian kembalilah. Aku akan meledakkan mereka di laut" perintah Marito maju ke depan.
Mata birunya mulai menyala. "Tidak bisa! Jika guru meledakkan mereka di sana, guru juga ikut di dalamnya. Tubuhmu akan hancur" ketus Sean bangkit berdiri.
"Kalian bisa terkena masalah jika ikut campur urusan militer begini" ujar Marito segera. "Tidak! Aku tidak akan meninggalkan guru di sini. Oniisan akan sangat bersedih jika kau mati lebih awal"
Marito terkejut mendengarnya. "Nona, aku bisa menggunakan kipas raksasa sebagai alas terbang. Ange akan menahan mereka sebentar dengan bayangannya, lalu Sean akan menjadi umpan, kau bisa menempel setiap peledak di tubuh mereka"
Marito menatap Ange dengan tenang. "Apa kalian yakin ini akan berhasil?" tanya Marito memejamkan mata.
"Ya! Raksasa itu beregenerasi. Tetapi jika kita meledekkan seluruh tubuhnya, maka mereka akan hancur. Kesempatan memang hanya satu kali, tapi aku yakin kita berhasil. Guru pernah bilang, kerja sama lebih membantu daripada sendirian"
Marito menatap Sean terkejut. Ada seseorang yang dikenalinya di dalam bocah itu.
"Baiklah, Sean kau menjadi umpan dan kumpulkan mereka di tengah. Aku akan menempel peledak di telinga mereka. Ingat, kesempatan hanya satu kali"
Marito bergerak secepat kilat. Ange mengendalikan kipas raksasa Daisuke yang tertinggal dan ia menaikinya. "Jaga dirimu, Sean!" pesan Joy berlari ke arah lain. "Baik!" jawab Sean tersenyum.
Ia menyerang salah satu raksasa untuk mengambil perhatian mereka. Bocah itu berlari menjauh dari gerbang kota. "Apa yang dilakukan mereka?" tanya Jiali tampak khawatir.
"Tenang saja. Guru di sana" jawab Zoe tersenyum yakin. Ketika para raksasa sudah berkumpul di tengah. "Ritter!" panggil Marito selesai memasang peledak.
Sebuah lubang hitam terlihat. Ange menarik mereka naik ke atas kipas raksasa. Ritter berhasil memindahkan mereka di tengah laut.
Marito duduk bersilang di atas kipas, dan memejamkan matanya. "Guru, di sana ada kapal!" ujar Sean memperhatikan sekitar.
Raksasa mulai terjun menuju lautan. Marito membuka matanya, dan mata birunya menyala.
"Meledak" gumam Marito. Kilatan petir akhirnya bermunculan. Tubuh para raksasa satu persatu mulai meledak. Ange sebisa mungkin menahan kipas agar tetap terbang.
"Ritter!" burung hantu akhirnya memindahkan mereka kembali ke dalam kota. "Akhirnya..." perlahan keempatnya mulai tidak sadarkan diri.
Akibatnya, mereka mulai terjun bebas.
"Mereka jatuh!"
"Tangkap mereka!"