Season 2 novel SANG PENGASUH
Arya, Ricky, Rendi, dan Wiliiam, adalah empat pria tampan sold out yang telah menjalani senasib sepenanggungan gagal malam pertama karena kejahilan diantara mereka. Menjalani kehidupan rumah tangga tidak selancar jalan tol. Keempatnya mengalami ujian.
Diantaranya, Arya. Kemunculan salah satu keluarga yang dikira telah meninggal, hadir mengusik ketenangan rumah tangganya.
Pun dengan Rendi. Kedatangan adiknya dari Turki dan kini tinggal bersamanya malah membuatnya was-was.
Kisah kehidupan keempatnya, author kemas dalam satu bingkai cerita.
Kisah ini hanya fiksi. Jika ada kesamaan nama, tempat/perusahaan itu hanya kebetulan semata.
Selamat menikmati kisah yang bisa membuatmu senyum-senyum sendiri.
Cover free by pxfuel
Edit by me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pindah Kamar
Pintu ruang pemeriksaan dibuka dari dalam. Dokter Rendi dan Marisa keluar dari ruang dokter spesialis kandungan usai cek kehamilan Marisa. Dokter Ai, adalah dokter yang merawat Andina sejak hamil sampai melahirkan. Dan juga rekan seprofesi dokter Rendi yang bertugas di rumah sakit ibu dan anak Aminah.
Tak perlu mengantri untuk menebus resep. Nanti perawat akan mengantarkannya ke ruangan dokter Rendi.
"Ayang, tunggu di ruanganku dulu ya. Kita pulangnya sama-sama." Rendi menggenggam tangan Marisa, berjalan di koridor rumah sakit, untuk menaiki lift menuju ruang prakteknya di lantai 2. Prakteknya terjeda dulu demi menemani sang istri memeriksakan kandungannya.
"Masih lama gak, hubby? Aku mual dengan aroma rumah sakit. Aku pulang sekarang aja ya." Marisa mengusap perutnya yang masih rata. Berada di rumah sakit baru setengah jam namun membuat perutnya gak nyaman, mual.
Rendi tampak menghubungi asistennya, meminta konfirmasi sisa daftar pasien yang menunggu.
"Masih 2 jam, yank. Mau nunggu atau pulang sekarang?" ujar Rendi, usai menyimpan hp nya di saku celana.
"Aku pulang aja deh."
Rendi menghubungi sopir rumah sakit agar membawakan mobilnya, mengantar Marisa pulang. Ia mengantar sang istri sampai lobby berpapasan dengan sopir yang akan meminta kunci mobil.
Dari dalam mobil dengan kaca terbuka, Marisa melambaikan tangan begitu melewati suaminya yang masih berdiri mengantar kepulangannya.
Dengan langkah tergesa, Rendi kembali masuk menyusuri koridor. Tugasnya memeriksa pasien anak sudah menanti usai break 30 menit.
****
"Mana lagi neng, yang mau diangkut?" Ceu Edoh melongok ke dalam kamar yang mulai lengang karena sebagian barang sudah dipindahkan. Mulai hari ini, Andina memutuskan untuk pindah kamar lagi ke lantai atas.
Baby Aqila sudah berusia 40 hari. Andina akan membiasakan lagi Athaya tidur sendiri.
"Ini pakaian Aqila, Ceu. Simpan aja di atas sofa. Nanti aku yang membereskannya. Terakhir box bayi, harus minta bantuan Kang Adang." Andina menyerahkan keranjang berisi pakaian bayi.
Dengan cekatan Ceu Edoh menjinjing keranjang itu. Sudah empat balikan dirinya naik turun tangga. Andina menyuruh minta bantuan lagi sama Bi Idah tapi Ceu Edoh menolak. Hitung-hitung olahraga biar langsing, katanya.
Usai menyimpan keranjang di kamar utama, Ceu Edoh duduk di tangga paling atas, sambil ucang-ucang. Ia mengeluarkan HT dari saku celananya untuk memanggil Kang Adang, suaminya.
"Bravo 1 dimonitor. Bravo 2 memanggil--"
Tak berselang lama, terdengar sahutan suara laki-laki dari sebrang.
"Di sini Bravo 1. Ada apa Bravo 2?"
"Ada tugas dari Alpha 2. Segera masuk ke rumah. SEKARANG!"
"Ashiap! Bravo 1 meluncur--"
Percakapan keduanya berakhir. Ceu Edoh menuruni anak tangga untuk kembali ke kamar bawah.
"Ada apa Edoh?" Kang Adang mendekati istrinya yang berdiri di ambang pintu kamar.
"Ini Kang, bantuin angkat box bayi ke kamar atas." jawab Ceu Edoh.
Andina yang mendengar percakapan keduanya, menoleh ke arah mereka.
"Kang Adang. Biar gak berat, kelambu sama jerujinya dilepas dulu. Sama laci-lacinya dikeluarin jadi mudah diangkat sendiri juga. Tinggal panggul." Andina memberikan saran karena tidak ada pria lagi untuk membantu menggotong. Box bayi berwarna putih itu akan lebih ringkas dibawa dengan membongkar pasang komponennya.
Dengan mengangguk, Kang Adang mèngikuti saran majikannya itu.
Jam 12 siang, acara beres-beres pindah kamar akhirnya tuntas. Andina merebahkan badannya di atas ranjang yang sudah berganti seprai dengan warna hijau motif bunga. Satu set bersama bed covernya. Kamar utama yang penuh kenangan manis bersama sang suami, kini kembali ditempatinya.
Andina menyunggingkan senyum, membayangkan suaminya nanti yang akan terkejut. Memang sengaja Arya tidak diberitahu. Untuk memberikan kejutan manis saat suaminya pulang nanti.
Mumpung Baby Aqila bobo dan Athaya masih di rumah Mama Rita, Andina segera ke kamar mandi untuk luluran dan mandi besar.
****
Mobil yang dikendarai Pak Asep perlahan memasuki pekarangan rumah, usai pintu gerbang dibuka dengan sigap oleh Kang Adang.
Adzan magrib baru saja usai berkumandang. Arya turun dari mobil dengan terburu-buru, berharap masih bisa mengejar sholat berjamaah di masjid kompleknya.
Ia setengah berlari menuju kamar. Namun terkaget saat membuka pintu. Di dalam kamar tidak ada siapa-siapa dan box bayi tidak ada di tempatnya. Kamar itu seperti kembali ke suasanaa awal.
"Bi Idah, kenapa kamar kosong?" Arya yang urung masuk ke kamar, berpapasan dengan Bi Idah yang turun dari tangga menuntun Athaya.
"Papi-" Athaya berteriak girang melihat Papinya sudah pulang. Ia merentangkan tangan minta digendong. Arya langsung mengangkatnya dan mencium pipi gembul yang wangi.
"Tadi siang sudah beres-beres, Den. Kamarnya pindah lagi ke kamar atas." jawab Bi Idah apa adanya.
"Den Thaya ayo sama Bi Idah ya. Papinya mau istirahat dulu--" ujar Bi Idah membujuk Athaya yang nemplok di dada sang ayah.
Athaya hanya menjawab dengan gelengan kepala sambil mempererat pegangannya di leher Papi Arya.
"Gak pa pa, Bi. Biar sama saya aja." Arya menaiki anak tangga dengan santai. Karena iqomah sudah terdengar dari toa masjid. Sudah gak mungkin untuk berjamaah di masjid.
"Mama di mana, sayang?" Arya mengecup rambut anak sulungnya itu. Yang tak mau turun dari gendongan.
"Mama lagi solat. Telus kaka disuluh ditemani Bi Idah dulu. Nda boleh ganggu ade lagi bobo--" Athaya menceritakan perintah Mama Andin tadi.
"Hah. Sholat??!!!" Tanpa sadar Arya berucap keras saat menaiki tangga terakhir.
"Ihh Papi napa kelas-kelas-- telinga kaka sakit." Athaya spontan memegang kedua telinganya yang merasa terganggu dengan pekikan Papinya itu.
Arya tertawa dengan reaksi anaknya itu. Saking gembiranya, ia seperti anak kecil yang mendapat hadiah. Girang bukan kepalang.
Arya menatap sekeliling suasana kamar utama. Wangi segar aromateraphy dari pengharum ruangan menusuk indra pembaunya. Ia senyum-senyum menatap ranjang king size dengan seprai baru dengan bantal guling tertata rapih.
Ia menyaksikan Andina yang berbalut mukena sedang menengadahkan tangannya tengah berdoa. Benar saja apa yang dikatakan si sulung. Membuatnya tersenyum lebar.
Andina menoleh ke arah sofa. Ia merasa ada seseorang yang memperhatikannya. Senyum manisnya terkembang namun pura-pura tak faham dengan tatapan Arya yang wajahnya tampak semringah. Ia menghampiri sang suami yang tengah duduk bersama Athaya. Mencium tangannya dengan takzim.
"Papi jangan senyum-senyum terus. Lekas mandi dan sholat. Keburu akhir."
"Siap, sayang. Aku gemes ihh--kemarin dapat surprise di pestanya Mauren. Sekarang dikasih surprise lagi." Arya benar-benar merasa gregetan. Ia hanya bisa mencolek hidung mancung sang istri dengan gemas. Inginnya mencium, namun ada satpam cilik yang tidak mau jauh dari keduanya.
"Malam ini bisa buka puasa kan, sayang?" bisik Arya di telinga Andina yang sedang menyiapkan baju ganti.
Andina hanya menjawab dengan kedipan mata. Singkat tapi bermakna.