Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Kecoak Kampung Belum Bayar Adat
Dion dan Wina menjalani hari, minggu dan bulan-bulan berikutnya dengan bahagia. Keduanya selalu memanfaatkan waktu luang untuk bersama. Hampir setiap hari Dion selalu mencari waktu untuk bertemu kekasihnya itu meskipun cuma untuk menjemput atau mengantarnya kuliah dengan sepeda motor pinjaman kantor.
April 2000, paman Wina, Reinhard, mendapat promosi dan pindah tugas ke Kota Medan. Ia tinggal bersama orang tuanya, nenek Wina. Sebagai anak lelaki satu satunya, ia adalah pewaris rumah itu.
Reinhard adalah pria berusia 45 tahun sudah menikah dan memiliki tiga anak yang tinggal di ibukota.
Ibu Wina pun memanfaatkan kepindahan adik lelakinya itu untuk mengawasi Wina. Seperti kakak perempuannya, Reinhard pun memiliki karakter keras.
“Selamat pagi!” sapa Dion pada Reinhard yang berdiri di depan rumah Oppung. Pria berbadan gempal itu sedang berdiskusi dengan seorang pria paruh baya yang ia pekerjakan sebagai sopir.
Tak mendapat sahutan, Dion menunggu sesaat karena merasa tak sopan menyapa seseorang yang sedang berbicara serius dengan orang lain. Ia hanya memperhatikan pria tegap itu.
“Pasti tulang-nya Wina,” pikir Dion karena beberapa malam sebelumnya Wina bercerita pamannya yang bekerja di salah satu BUMN mendapat promosi dan pindah tugas ke Medan.
Setelah merasa mendapat kesempatan, Dion kembali menyapa Reinhard. Pria itu menoleh dan melirik ke arah gerbang pagar di mana Dion berdiri. Reinhard lalu berteriak memanggil Mbak Ria untuk membukakan pintu pagar.
“Mbak Wina sedang siap-siap. Tadi berpesan Mas Dion tunggu di teras saja,” ujar Mbak Ria tersenyum.
“Suwun Mbak!” balas Dion dan Mbak Ria pun kembali ke dalam rumah.
Dion kemudian hanya berdiri di depan teras karena merasa tak dipersilahkan duduk apalagi pada kursi kedua terdapat tas kantor dan berkas-berkas.
Reinhard tampak tak memedulikan kehadiran Dion. Ia kemudian sibuk berbicara melalui ponselnya dengan suara keras.
Akhirnya Dion pun memutar badan memandangi sopir yang sedang membersihkan mobil yang tampaknya akan digunakan oleh paman Wina.
“Cari siapa?” tanya Reinhard tiba-tiba dengan memasang wajah tegas sambil mengangkat alisnya.
“Mau ketemu Wina, Tulang! Sekalian antar madu untuk Oppung,” jawab Dion coba bersikap ramah sambil mengangkat plastik hitam yang berisi dua botol madu pesanan Oppung.
“Hmmm! Sudah bayar adat rupanya kau panggil-panggil aku tulangmu?” hardik Reinhard ketus membuat Dion kaget.
“Maaf kalau salah. Kalau begitu saya panggil bapak saja,” ujar Dion.
Pria itu sepertinya tak tertarik berinteraksi dengan Dion. Ia kembali sibuk dengan ponselnya. Sembari memberi tatapan tajam pada Dion, Reinhard lalu menunjuk meja teras dan kemudian mengeluarkan suara keras untuk menyapa seseorang lewat ponsel.
Dion yang mengerti maksud Paman Wina lalu meletakkan kantung plastik di meja dan kembali menunggu.
Tak lama kemudian Wina turun dari kamarnya. Tampaknya ia baru saja mandi dan belum sepenuhnya siap untuk berangkat ke kampus.
“Dion sudah lama?” tanyanya setelah bertukar sapa dengan Dion.
“Baru saja. Aku bawa madu untuk Oppung,” sahut Dion sambil menunjuk bungkusan plastik di atas meja teras. Wina kemudian meraih bungkusan itu.
“Wina masih akan bersiap-siap. Dion tunggu di depan jalan saja yah atau di restoran Nita kalau sudah buka,” ujar Wina yang tak ingin Dion mendapat masalah dari pamannya.
“Oke. Dion tunggu di sana yah,” Dion tersenyum coba menyembunyikan kecanggungannya.
“Saya permisi Pak!” Dion pamit pada Reinhard, tapi pria paruh baya itu tak menggubris seruan itu. Ia tetap saja menatap layar ponsel lalu mendekatkannya ke telinga.
“Ah, pasti seorang pejabat yang super sibuk,” pikir Dion sambil melangkah menuju gerbang dan melambaikan tangan pada Wina.
Sementara Wina sedikit bingung dengan cara Dion menyapa Tulang-nya. Tak biasanya sesama orang Tapanuli menggunakan panggilan bapak, kecuali di kantor untuk alasan profesionalisme. Biasanya tulang, amangboru, bapatua atau uda.
Dion memarkirkan sepeda motor di halaman restoran tempat Nita bekerja yang tepat berada di depan lorong rumah Oppung. Sekitar 30 menit Dion menunggu, tapi Wina tak kunjung datang.
“Dion, pagi-pagi sekali,” sapa Nita yang baru tiba mendapati Dion menunggu di depan restoran.
Dion mengatakan ia sedang menunggu Wina. “Duduk di dalam saja. Aku bikinin kopi. Kalau mereka tanya, bilang saja Dion saudara sepupu Nita,” ajak Nita.
Dion pun mengikuti Nita memasuki restoran. “Lagipula Wina tadi menyarankan aku menunggunya di restoran,” Dion meyakinkan dirinya.
Hampir dua jam menunggu, Wina tak juga datang. Akhirnya Dion yang merasa tak enak duduk di sana tanpa memesan makanan memutuskan untuk makan siang lebih dini. Meskipun harga menu di sana terbilang mahal untuk kemampuan Dion.
Satu jam lagi berlalu. Sudah tengah hari dan pelanggan sudah berdatangan ke restoran itu.
“Wina masih belum datang. Apa ada yang salah?” batin Dion karena Wina biasanya selalu tepat waktu.
Perhatian Dion kemudian tertuju pada tiga wanita yang baru saja melangkah masuk ke restoran. Mbak Sari dan Mbak Ria berjalan berdampingan, sementara di belakang mereka, seorang wanita paruh baya dengan dandanan mencolok tampak melangkah dengan anggun. Kacamata hitam besar bertengger di wajahnya, memberikan kesan misterius dan sedikit arogan.
Wanita itu menunjuk ke meja lain ketika Mbak Sari dan Mbak Ria duduk di meja yang sama. Tampaknya wanita itu meminta agar keduanya duduk di meja terpisah.
"Bah, di sini kau, Amang!" seru suara berat yang begitu dikenalnya. Dion menoleh, mendapati Oppung berdiri di dekatnya dengan ekspresi heran.
"Eh, iya, Oppung," sahut Dion, masih terkejut dengan kehadiran Oppung yang tiba-tiba muncul di restoran itu. Mbak Sari dan Mbak Ria yang mendengar suara Dion jadi senang dan pindah ke meja pemuda itu dan duduk bersama di sana tanpa rasa canggung.
“Kok Mas Dion di sini? Mbak Wina kan sedang kuliah,” Mbak Ria heran dengan kehadiran Dion di tempat itu. Mbak Ria kemudian menjelaskan kalau Wina pergi ke kampus diantar oleh pamannya.
“Iya tadi sehabis mengantar madu untuk Oppung, Wina memintaku menunggu di sini, katanya ingin diantar ke kampus,” jelas Dion.
“Kenapa menunggu di sini? Segan kau rupanya sama si Reinhard, tulang si Wina itu?” tanya Oppung menyebut nama anaknya yang merupakan paman Wina.
“Bapak tadi sepertinya sangat sibuk, Dion nggak mau mengganggu Oppung. Lagipula, Nita yang bekerja di sini teman sekolahku. Jadi sekalian berkunjung saja,” jelas Dion.
“Bah kenapa panggil Bapak? Tulang-nya Wina memangnya bukan tulang-mu juga?” tanya Oppung heran. Tapi Dion hanya diam saja sambil tersenyum.
“Itu nantulang-mu! Salam lah!” tambah Oppung sambil menunjuk pada wanita berkacamata hitam penuh gaya yang sedang duduk memperhatikan mereka.
Dion pun beranjak menuju meja bibi Wina yang berjarak dua meja dari tempatnya.
Dion baru akan menyodorkan tangan untuk menyalami, tapi wanita itu hanya mengangguk pada Dion sambil mengangkat tangannya. Bibi Wina itu kemudian sudah terdengar menjawab panggilan di ponselnya sambil membalikkan badan ke arah lain.
Merasa sapaan Dion sudah dijawab, Dion kembali ke mejanya. Sementara Oppung yang merasa malu akan sikap menantunya itu hanya bisa menghela napas panjang.
Dion sebenarnya tak mempermasalahkan sikap arogan itu. Ia hanya merasa geli kenapa wanita itu masih mengenakan kacamata hitam di ruangan.
“Mungkin kelamaan tinggal di kutup jadi gak terbiasa dengan sinar terang. Norak!” pikir Dion dalam hati.
“Oppung, Dion duluan lah ya. Lagipula Wina ternyata sudah di kampus,” Dion pamit pada Oppung.
“Ayo lah kita makan sama-sama,” ajak Oppung.
“Aku baru habis makan waktu Oppung datang tadi,” kilah Dion.
“Dion pamit duluan yah Mbak Ria, Mbak Sari,” kata Dion pamit pada kedua wanita yang duduk di sampingnya.
“Mari Mas! Ati-ati ndek dalan yo!” jawab Mbak Sari.
...***...
Hari-hari berikut, Dion membatasi kunjungannya ke rumah Wina karena merasa kehadirannya di sana tidak disukai oleh paman dan bibi kekasihnya itu.
Semula Dion masih berusaha bersikap positif karena mengira Reinhard hanya mencobai mentalnya. Bukan hal tidak lazim pada masyarakat Tapanuli ketika keluarga seorang gadis bersikap keras untuk mencobai kesiapan mental pria yang coba mendekati gadis dari keluarga mereka.
Dion kemudian sudah merasa bahwa penolakan dari keluarga Wina atas hubungan mereka sudah semakin kuat. Apalagi pada suatu Sabtu pagi, Dion yang bermaksud menjemput Wina yang ingin menghabiskan day off bersamanya diusir oleh paman Wina.
“Wina sibuk belajar, kuliahnya padat. Kau carilah gadis lain saja. Tak cocok kau dengan si Wina, tahu diri, lah!” sergah Reinhard kasar melalui pintu pagar yang masih tertutup. Reinhard yang rajin berolahraga kala itu sedang melakukan pendinginan ketika melihat Dion tiba di depan pagar rumah.
Mendengar kata-kata Reinhard, Dion pun berlalu dari tempat itu dengan kesal. Ia kesal bukan karena kata-kata paman Wina yang kasar, tapi karena merasa tidak akan bertemu dengan Wina hari itu.
Dion masih berputar-putar dengan sepeda motornya ketika akhirnya berhenti di sebuah telepon umum. Dia lalu menelepon rumah Wina.
“Lho, malah telepon. Dion nggak jadi jemput?” suara Wina terdengar di ujung sana.
“Tadi so sampe depan na pe rumah mar Om bilang Wina sibuk belajar,” jawab Dion.
Wina segera memahami apa yang terjadi. Ia tahu paman dan bibinya mendapat perintah dari maminya untuk mengusir Dion kalau datang ke rumah.
Hal itu ia ketahui dari Mbak Ria yang tidak sengaja mendengar pembicaraan bibi dan maminya lewat speaker ponsel di ruang tamu lantai dua.
Bibinya itu memang selalu menggunakan bahasa Indonesia meskipun bisa berbahasa Tapanuli dan lahir di pedalaman Tapanuli Utara.
“Dion tunggu di restoran Nita yah. Kalau Wina gak muncul dalam 30 menit, Dion tak usah tunggu lagi,” ujar Wina yang tidak ingin kejadian menunggu seperti sebelumnya terjadi. Ia kasihan juga mendengar Dion menunggunya berjam-jam ketika itu.
“Wina mau ke mana?” tanya Reinhard pada keponakannya yang tampak akan meninggalkan rumah dengan tas jinjing.
“Mau pergi pacaran!” jawab Wina ketus pada pamannya. Wina sangat kesal dengan sikap pamannya yang arogan pada Dion.
“Oppung! Wina pergi dengan Dion!” Wina pamit pada Oppung yang juga berada di teras. Wina lalu melangkah tanpa menoleh lagi pada pamannya.
Oppung yang sejak tadi duduk di teras hanya menghela napas panjang. Namun, berbeda dengan Reinhard, ia tersenyum kecil dan berpesan, "Hati-hati kalian. Jangan pulang terlalu malam.”
...***...
Dion dan Wina akhirnya menghabiskan sisa pagi itu di rumah kontrakan. Sebenarnya Wina mengharapkan kehadiran si kembar di sana. Tapi kakak beradik itu sedang mengikuti kegiatan di sekolahnya. Juli dan suaminya pun masih di kantor.
Wina yang ingin menggunakan kamar kecil mendapati setumpuk pakaian tertumpuk dalam keranjang di samping dipan Dion. Wina kemudian mengangkat keranjang itu ke dapur di mana meja setrika berada.
“Wina mau dibawa ke mana pakaianku?”
“Mau disetrika, noh!”
Dion mencoba meraih keranjang itu dari tangan Wina. “Jangan! Nanti Wina lelah. Lagipula ada pakaian dalam di situ.”
Tapi Wina menjauhkan keranjang itu dari jangkauan Dion dan terus saja melangkah menuju dapur.
“Memangnya nanti kalau sudah menikah Dion masih menyetrika pakaian sendiri? Nggak toh?” kilah Wina sebelum mulai menyetrika. Dion pun akhirnya membiarkan Wina dan menemaninya ngobrol di dapur itu.
Dion sangat senang memandangi gadisnya yang dengan telaten menyetrika pakaiannya. Sepertinya Wina sudah terbiasa meskipun mempunyai asisten rumah tangga. Sesekali Wina tampak menyeka peluh di keningnya. Maklum ruang dapur sempit dan lumayan panas di siang hari.
Memandangi Wina kembali membuat hati Dion berdebar. Entah kenapa ia melihat Wina di masa depan; Wina sebagai istrinya, ibu dari anak-anaknya.
“Apa aku akan mampu membahagiakanmu? Apakah masa depanku memang secerah itu?” tanya Dion dalam pikiran yang larut dalam lamunan.
“Hei Dion! Dion!” seru Wina yang mendapati kekasihnya itu melamun sambil menatap ke arahnya.
“Eh, iya?” Dion tersadar dan menoleh.
“Katanya mau temenin Wina, malah melamun,” ujar Wina. Tapi Dion hanya diam sejenak memandang ke arah lain.
“Aku berpikir, apa aku bisa membahagiakanmu kelak?”
“Ih, itu gampang. Asal sesekali diajak nyanyi duet.”
“Iya deh. Tapi aku tak pandai memainkan gitar.”
“Dan tanganku belum terbiasa kembali menggunakannya. Bagaimana kalau setelah ini kita pergi karaoke-an,” usul Wina.
“Boleh, tapi… Kita tunggu si Kembar saja, habis makan siang juga pasti sudah kembali.”
“Wina lagi ingin berdua saja. Lagipula sudah seminggu Dion nggak ajak Wina kencan.”
“Oh, baiklah,” ucap Dion senang ia sebenarnya juga sangat merindukan saat berduaan dengan gadisnya itu.
“Kali ini Wina yang bayar. Nggak enak Dion terus yang bayarin.”
“Ih, bukannya uang Dion juga uang Wina?”
“Benar. Berarti uang Wina juga uang Dion juga kan?”
“Bukan atau belum. Itu uang orang tuamu atau uang Oppung,” sanggah Dion membuat Wina terdiam.
“Maaf Win. Aku tak bermaksud menyinggungmu. Sama sekali tak berniat begitu,” Dion merasa bersalah.
“Aih, aku bukannya tersinggung. Tapi yang Dion katakan itu benar juga. Sebaiknya tak menggunakan uang pemberian mami untuk pacaran.” Wina lalu melanjutkan kegiatannya menyetrika pakaian Dion.
“Kita tetap ke karaoke yah! Aku juga kepingin. Lagipula bulan ini aku dapat uang tambahan. It’s not a big deal,” ajak Dion menghibur Wina yang merasa sedih.
Dion dan Wina pun menghabiskan hari libur itu berduaan. Setelah makan siang, mereka menuju pusat perbelanjaan dekat rumah Wina karena di tempat itu terdapat karaoke keluarga.
Wina sangat bahagia berduaan dengan Dion di tempat itu. Apalagi menurut Wina, Dion punya bakat menyanyi luar biasa. Wina pun memilihkan beberapa lagu latihan untuk berduet.
“Sebagai pasangan kita harus membiasakan bernyanyi duet,” cetus Wina sedikit memaksa agar Dion mau menyanyikan lagu-lagu romantis mendayu-dayu bahkan cengeng.
Hari belum terlalu sore ketika keduanya keluar dari karaoke itu. “Yuk lihat-liat film!” ajak Wina.
“Kita nonton yah! Aku bayarin pakai uang oppung, bukan uang mami lho,” sambung Wina membuat Dion tertawa.
Keduanya sebenarnya tak sepenuhnya menikmati film yang mereka tonton. Mereka hanya ingin berduaan dan bermesraan. Saling menggenggam tangan.
“Dion kalau mau cium, sekarang saja. Nanti tidak bisa lagi,” bisik Wina yang menyadari film sudah mendekati bagian akhir. Mendengar kata-kata Wina, tanpa pikir panjang Dion pun segera melancarkan serangannya.
...***...
Setelah sebulan tak menampakkan diri, Oppung mulai mencari-cari Dion teman ngobrolnya.
“Dion tak mau Oppung pada posisi sulit. Makanya tak mau datang, bukannya tak berani,” kata Wina suatu sore menjawab Oppung yang menanyakan mengapa Dion tak pernah datang ke rumah itu lagi.
“Suruh dia datang. Bilang aku mencarinya. Dia belum laporan bulan ini,” ujar Oppung setengah bercanda. Selain ingin ngobrol, ia memang ingin tahu perkembangan hubungan cucunya dengan Dion.
Akhirnya sore itu Dion mengunjungi rumah Wina. Meskipun mendapati Bibi Wina di teras itu, Dion tetap menekan bel di pintu pagar.
Melihat pemuda itu berdiri di depan pagar, Rospita, nantulang atau bibi Wina memanggil Mbak Ria. “Bilang sama dia Wina sedang kuliah. Ngapain pulak datang-datang dia ke sini lagi,” katanya pada pekerja di rumah itu.
“Mas Dion ada janji ketemu sama Oppung, Bu,” jelas Ria sambil berlalu membukakan pintu pagar.
“Selamat siang, Bu!” sapa Dion ketika berjalan melalui Rospita.
“Siang!” jawabnya pendek sambil memainkan ponsel di tangan.
Dion kemudian berjalan menuju ruang tamu sesuai petunjuk Ria. Sesaat duduk di sana, Oppung sudah keluar dari kamarnya.
“Datang kau amang? Di teras belakang lah kita ngomong. Enak di sana angin sejuk,” ajak Oppung yang sebenarnya ingin menjauh dari menantunya yang sedang duduk di teras depan.
“Kami baik-baik saja Oppung. Dion selalu ingat janji dan semua pesan nasihat Oppung. Dion takkan lupa,” jelas Dion menjawab nenek Wina yang mulai mengkhawatirkan keduanya.
“Kalau ada waktu, aku selalu antar Wina ke kampus. Sebisanya juga setiap pulang kampus aku jemput dia. Tapi cuma sampai depan lorong itu. Nggak enak sama Bapak dan Ibu,” tambah Dion lagi.
“Sudah jangan kau panggil anak sama menantuku dengan bapak-ibu. Cukup si Sari, Ria, anak-anaknya sama kawan-kawan di kantornya yang panggil begitu. Dion tidak boleh,” ujar Oppung.
“Wina sudah cerita apa yang disampaikan anakku si Reinhard padamu waktu itu. Anakku itu terkadang kasar sekali. Dia tak tahu yang diucapkannya itu sebenarnya sangat kasar bagi orang Tapanuli.”
“Orang menolak dipanggil Tulang karena merasa panggilan itu terlalu mulia. Ketika seseorang dipanggil Tulang, harusnya dia langsung mengerti orang itu memiliki maksud tertentu dan memuliakannya.”
“Pantang langsung bilang bayar adat. Justru dia itu tak tahu adat!” kata Oppung tiba-tiba dengan nada lumayan tinggi karena Rospita saat itu sedang berada di dapur untuk mengambil air minum. Oppung ingin kata-katanya di dengar oleh menantunya itu.
Hampir dua jam Dion dan Oppung ngobrol di teras belakang ketika Wina kembali dari kampus. Oppung sangat antusias ketika Dion memintanya untuk menceritakan masa muda dan keadaan kota Medan pada awal-awal kemerdekaan.
“Enak kali kalian cerita di sini. Bagi lah gosipnya Oppung!” seru Wina yang baru saja tiba dari kampus dengan manja. Ia kini duduk di samping neneknya.
“Yang Oppung cerita ini bukan gosip. Tapi kisah nyata masa lalu. Ah aku nggak bisa seperti kalian manusia jaman sekarang, pagi siang malam, menggosip terus, lewat telepon pun jadi,” kata Oppung kembali dengan nada agak keras karena ia melihat menantunya berusaha menguping dari dapur.
Merasa sindiran ditujukan padanya, Rospita kemudian berjalan kembali ke kamarnya di lantai dua.
“Kalian lihat lah itu. Terutama kau Wina. Belajarlah untuk bijak. Bukannya beramah tamah dengan tamu mertuanya, malah cuek. Mentang-mentang aku sudah tua tidak dihormati lagi. Anak sama menantuku itu sama saja. Masih ada aku di sini sudah dianggapnya rumah ini sebagai rumahnya sendiri, atur sana atur sini,” keluh Oppung yang emosional karena sikap menantunya.
Mendengar itu Dion jadi kasihan juga. “Ah gak apa-apa. Janganlah marah Oppung! Lagipula tamunya kan Dion, bukan siapa-siapa,” Dion coba menghibur.
Mereka masih melanjutkan obrolan untuk beberapa saat sebelum Dion pamit karena harus bekerja.
Wina yang masih rindu kekasihnya masih sempat menahan Dion beberapa menit di depan pagar. Akhirnya dengan bujukan Dion akan menjemputnya pagi-pagi untuk sarapan bersama, Wina pun melepas Dion.
Malam harinya, Reinhard yang menerima laporan dari istrinya tentang kedatangan Dion menjadi emosi. Reinhard merasa pemuda itu telah terang-terangan menantangnya dengan berani mendatangi rumah setelah ia larang. Apalagi ketika Rospita membumbui kisahnya dengan mengatakan Dion membujuk Oppung untuk membenci Rospita, Reinhard jadi murka.
Kemarahan Reinhard makin memuncak ketika pagi itu Dion kembali menunjukkan batang hidungnya di depan rumah. Dion menjemput Wina yang sudah menunggunya di depan pagar.
Dion masih sempat mengangguk pada paman Wina sebelum meninggalkan rumah itu dengan motor yang diboncengi oleh Wina. Reinhard menganggap anggukan Dion sebagai ejekan dan hinaan mengingat sebelumnya ia sudah melarang pemuda itu datang ke rumahnya.
“Kecoak kampung kurang ajar! Kau akan kenal siapa Reinhard,” makinya dalam hati setelah menyelesaikan pendinginan.
Semula Dion menduga mereka akan mencari sarapan tapi ternyata Wina telah membuatkan nasi goreng.
Ia pun membawa Wina ke rumahnya untuk sarapan berdua. Dion sengaja memperlambat motornya karena berharap setiba di rumah, semua penghuni sudah meninggalkan kontrakan dalam keadaan kosong.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Dion dan Wina bertemu di persimpangan jalan menuju rumah Wina. Kadang-kadang Dion menunggu di pos keamanan membuatnya kian akrab dengan para petugas di sana.