Asa terkejut saat membuka matanya semua orang justru memanggilnya dengan nama Zia Anggelina, sosok tokoh jahat dalam sebuah novel best seller yang menjadi trending topik paling di benci seluruh pembaca novel.
Zia kehilangan kasih sayang orang tua serta kekasihnya, semua terjadi setelah adiknya lahir. Zia bukanlah anak kandung, melainkan anak angkat keluarga Leander.
Asa yang menempati raga Zia tidak ingin hal menyedihkan itu terjadi padanya. Dia bertekad untuk melawan alur cerita aslinya, agar bisa mendapat akhir yang bahagia.
Akankah Asa mampu memerankan karakter Zia dan menghindari kematian tragisnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22
"Cepat naik."
Suara Leon tampak tenang, seakan sudah sedari tadi menunggu momen pertemuan mereka.
"Nggak! Gue bisa pulang sendiri," tolak Zia dengan wajah datar.
Leon menghela napas. "Naik sendiri atau perlu gue gendong?"
Sorot mata pemuda itu menunjukan bahwa ia tidak main-main dengan perkataannya, namun bukan Zia namanya kalau langsung menurut begitu saja.
Zia menatap pemuda itu tidak paham. "Gue udah bilang nggak mau! Jangan maksa dong."
Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya mengabaikan Leon yang masih saja melemparkan tatapan rumit padanya. Namun, baru sekitar lima langkah tiba-tiba kakinya tidak lagi menampak pada tanah. Kepalanya berputar ke bawah.
"Sialan, Leon! Turunin gue!" Zia memukul punggung Leon berkali-kali.
Ia tak habis pikir kenapa Leon membawanya seperti karung beras? Jelas-jelas ada cara gendong lain yang lebih efisien dan tidak membuat kepalanya pusing.
"Kepala gue pusing, bajingan! Turunin gue!"
Leon sama sekali tidak menanggapi perkataan Zia. Ia malah mendudukkan gadis itu di jok belakang motornya kemudian pemuda itu menatap Zia tanpa ekspresi.
"Nurut dikit bisa nggak sih?!" tanya Leon lelah. "Bawel banget jadi cewek."
"Mana bisa gue nurut? Cowok sinting kayak lo nggak pantes di turutin!"
"Terserah," Leon meraih helm berwarna biru muda dan memberikannya pada Zia. "Pake."
Belum sempat Zia menolak, helm itu sudah lebih dulu terpasang di kepalanya dan terkunci dengan sempurna. Saat Zia hendak protes, pemuda itu sudah menaiki motornya kembali dan menjalankan motor itu dengan kecepatan rata-rata.
Wajah Zia tampak memerah menahan emosi yang meradang. Ia merengut kesal dan memandang punggung Leon di depannya dengan tatapan penuh permusuhan.
"Bangsat emang!" Umpat Zia jengkel.
Leon melirik kaca spion motornya, ia menangkap wajah cemberut Zia yang dibalut helm berwarna biru tersebut. Terlihat bibir gadis itu sibuk menggerutu tentang namanya, tanpa sadar sudut bibir Leon terangkat sedikit melihat berbagai ekspresi unik di wajah Zia.
Leon berdehem pelan, ia kembali mengalihkan pandangannya dari kaca spion ke arah jalan raya yang di terangi lampu jalan dan cahaya bulan separuh.
"Cepet banget bawa motornya! Lo kira gue robot apa?!" Zia berseru sambil memukul pelan bahu Leon dari belakang.
"Gue gas pelan, Zia. Lo aja yang mentalnya goyang," balas Leon santai tanpa menoleh.
"Goyang apaan?! Ini helmnya kejepit dagu gue, bego!"
Leon mendesah panjang, tapi nada suaranya justru terdengar terlalu tenang untuk seseorang yang sedang membawa penumpang yang meludah kata-kata seperti anak petasan.
"Lo bisa diam lima detik nggak sih?"
"Nggak bisa! Lo yang bikin gue begini!" Zia bersungut-sungut sambil mengatur duduknya yang terasa tidak nyaman. "Bokong gue kayak diseret ke dunia lain!"
"Kalo lo nggak goyang-goyang gitu, mungkin bokong lo baik-baik aja," sahut Leon.
Zia menganga tidak percaya. "Lo nyalahin gue?!"
Leon hanya mengangkat bahu, tetap memelototi jalan seolah ucapan Zia tidak lebih dari suara kipas angin lama yang berisik. "Gue cuma nyetir."
"Gue sumpahin lo jatuh ke selokan," gumam Zia.
"Kalo gue jatuh, lo ikut juga, Zia."
Gadis itu terdiam. "Yaudah, sumpahin dikit aja deh… ban lo bocor."
Leon mendecak pelan. "Makasih doanya."
Motor berhenti tepat di lampu merah. Leon sedikit memutar kepalanya untuk melihat Zia, dan tampak Zia masih delapan puluh persen siap meledak.
"Lo kalo marah imut juga ya," ujar Leon datar, tapi jelas ingin menggoda.
Zia refleks menendang betis Leon. "Imut apaan?! Lo buta ya?!"
Leon meringis kecil. "Tuh kan, kalo ada lomba cewek paling pemarah, lo juara satu."
"Gue bangga," Zia membalas ketus. "Lo jangan sok akrab, Leon. Abis ini gue blok nomer lo."
"Belum punya nomer gue aja lo udah mau blok," Leon mengulas senyum tipis. "Kalo nanti gue kasih, lo simpen yang bener."
Zia mendesis kesal. "Lo tuh ya… penyakit!"
"Berarti lo obatnya."
Zia hampir membantah, tapi lampu sudah hijau, dan motor kembali melaju. Angin malam menerpa wajahnya, meredakan sedikit panas kepalanya, meski suara Leon terus memancing amarah.
"Lo pegang aja pinggang gue biar nggak jatuh," ujar Leon pelan.
"Bodo amat."
"Serius."
"Enggak."
"Nanti jatuh."
"Trus gue gelinding. Biarin."
Leon mendecak, kemudian tanpa basa-basi meraih tangan Zia dan meletakkannya di pinggangnya.
Zia langsung meledak. "LEON!!!"
"Diam, Zia. Fokus nafas. Lo heboh mulu," katanya santai.
Zia ternganga, wajahnya memanas seperti kompor. "GUE BENCI LO!"
Leon hanya tersenyum tipis, suara mesin motor mengiringi ketidaksabaran Zia yang sudah naik tingkat jadi level dewa.
Namun di balik helmnya, Zia menggigit bibir menahan sesuatu yang… entah malu, kesal, atau keduanya.
"Tenang aja," suara Leon terdengar samar diterpa angin. "Selama gue yang bawa, lo bakal aman."
Zia mendengus. "Aman apanya… hati gue rusak gara-gara lo."
Leon terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. "Bilang aja lo seneng digendong tadi."
"Gue lempar lo dari motor ini sekarang juga."
"Coba aja."
Zia mengetukkan helmnya ke kepala Leon. Tok!
"Aduh!" Leon meringis. "Zia! Lo kira kepala gue wajan?!"
Zia tersenyum puas untuk pertama kalinya malam itu. "Nah, gitu dong. Biar gue seneng."
Leon menghembuskan napas pasrah. "Gue nggak nyangka lo bisa KDRT, padahal kita belum nikah loh?"
"Sialan, mulut lo minta di lakban?!" balas Zia sinis.
Leon tertawa kecil, sementara motor terus melaju menembus angin malam menemani pertengkaran kecil mereka.
***
Damian berjalan mondar-mandir di depan pintu rumahnya, terlihat pria itu berkali-kali melihat ke arah jendela rumahnya hingga netranya melihat motor sport berhenti di depan gerbang rumahnya.
Beberapa saat kemudian ia melihat putri sulungnya memasuki halaman, saat itulah Damian menunggu di depan pintu utama sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Saat pintu terbuka, Zia yang awalnya tidak menyadari keberadaan ayahnya langsung saja mundur beberapa langkah karena terkejut.
"Papi?" Ucap Zia heran.
Tidak biasanya pria itu akan menunggunya di depan pintu seperti ini, terlebih waktu sudah malam biasanya ayahnya itu sudah ada di kamar atau ruang kerjanya.
"Dari mana kamu jam segini baru pulang?!" Sentak Damian.
Zia mengerjapkan mata. "Tadi… aku dari sek–"
"Dengan siapa?!" potong Damian keras.
Zia terdiam. "Teman."
"Teman?!" Damian hampir tertawa sinis. "Teman macam apa yang bikin kamu pulang hampir jam sembilan malam?!"
"Tapi HP aku mati, jadi aku—"
"Jangan berbohong!" bentak Damian.
"Aku nggak bohong! Kenapa sih Papi langsung nuduh aku kayak gini?!"
"Karena kamu selalu begini! Kepala batu! Kamu pikir Papi nggak lihat siapa yang ngantar kamu?! Motor besar itu, siapa dia?!"
"Itu Leon. Dia cuma nganter. Aku nggak minta—"
"Leon? Jangan bohong?! Kamu mau cari alasan basi hah?!" Damian menyela. "Kamu itu perempuan, bisa nggak sih kamu bergaul sewajarnya saja jangan seperti anak laki-laki?!"
"Kenapa semuanya selalu salah di mata Papi?! Aku cuma pulang mau istirahat! Itu aja! Aku nggak pernah melewati batas."
Damian mengusap wajahnya kasar. "Zia, kamu itu perempuan! Kamu harus jaga diri! Dan kamu sama sekali nggak ngerti omongan Papi, nggak kayak adikmu!"
"Aku ngerti! Tapi Papi nggak pernah mau denger penjelasan aku! Papi cuma bisa marah, dan nuduh aku!"
"Karena kamu memang selalu salah, Zia!" bentak Damian.
Zia membeku. "Papi… Kalau menurut Papi aku selalu salah, ya sudah. Aku memang nggak bakal pernah bener di mata—"
PLAK!
Tamparan itu terdengar nyaring. Kepala Zia terpelanting ke samping, pipinya panas dan sakit di saat bersamaan.
"Kamu benar-benar membuat Papi hilang kesabaran!" geram Damian. "Papi capek ngurusin anak yang nggak pernah bisa diatur! Selalu melawan!"
Zia mengangkat wajahnya perlahan, matanya bergetar. "Aku cuma mau jelasin…"
"Papi cuma mau kamu menurut, Zia! Tapi ternyata begini sifat kamu dari awal. Susah diatur. Kepala batu. Dan Papi—"
Ia berhenti sejenak.
"... Papi menyesal, Zia. Menyesal sudah memungut kamu dari panti asuhan yang jelek itu."
Dunia Zia seakan berhenti secara mendadak.
"Aku…" Zia membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar.
"Papi kira membawa kamu ke rumah ini akan membuat hidup kamu lebih baik. Tapi Papi salah. Kamu malah jadi beban keluarga!"
Zia menggigit bibir gemetar. "Jadi… begitu ya. Itu yang Papi pikirkan selama ini…"
"Kalau kamu mau terus memalukan keluarga ini, silakan. Tapi jangan harap Papi bakal terus bersabar."
Zia menarik napas tersengal. "Terima kasih, Papi. Sudah jujur."
Ia berbalik, berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang.
"ZIA!" Damian memanggil.
Namun gadis itu terus melangkah menuju kamarnya, mengunci pintu, dan akhirnya membiarkan air matanya jatuh tanpa henti.