para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Tanpa berpikir panjang, mereka berlari sekuat tenaga, tubuh mereka bagai dihempas angin ribut. Mata mereka terbelalak, tak peduli ranting dan rumput berduri yang merobek kulit kaki. Baskoro, dengan raut wajah tegang, menggenggam erat tangan Queen, menariknya agar tak tertinggal. Suara tawa para penari—jauh di kejauhan—masih terdengar, suara memekik yang mengerikan, menggigil tulang punggung. Sesekali mereka menoleh, kepala berputar cepat, mata membulat waspada, memastikan bayangan mahluk itu tak lagi membayangi.
"Gue... gue udah gak kuat lagi lari," ucap Queen, napasnya tersengal, langkahnya melemah, tubuhnya hampir limbung. Wajahnya pucat pasi, bibirnya gemetar.
Mereka melambat, lalu berhenti. Fahri dan Valo terduduk lemas, dada mereka memburu napas, tangan memegangi lutut yang gemetar. Arin, dengan ekspresi kelelahan yang kentara, mencari tempat untuk duduk, tubuhnya merosot ke tanah.
"Gila! Baru kali ini gue lihat setan seseram itu!" seru Fahri, tangannya bergetar hebat. "Gue kira setan itu cuma mitos!"
"Makanya lu... kalau dibilang jangan sok jagoan, sekarang lu tahu kan kalau setan... itu ada!" sahut Valo, bersandar pada kedua tangannya, wajahnya masih pucat pasi, bibirnya masih bergetar. Ia menghela napas panjang, mencoba memulihkan tenaganya.
Daffa, dengan mata tajam menyapu sekeliling, posturnya tegap,tubuhnya tegang.
"Duduk dulu, Queen, kamu pasti lelah," kata Baskoro, tangannya membantu Queen duduk.
Perlahan, Queen duduk di tengah-tengah mereka. Daffa, Baskoro, dan Arjuna berdiri tegak, berkacak pinggang, mata mereka tajam mengawasi sekeliling, Wajah mereka serius, tegang, penuh kewaspadaan. Tubuh mereka siap siaga, menciptakan benteng perlindungan bagi Queen dan yang lainnya.
"Lalu bagaimana ini? Apa kita akan melanjutkan pencarian Wati? Bagaimana kalau di depan lebih berbahaya?" tanya Arin, Ia menggigil, menarik jaketnya lebih rapat.
"Mau bagaimana lagi? Jika kita kembali, belum tentu kita bisa keluar dari sini," sahut Daffa, suaranya tegas. Ia menatap tajam ke depan. "Jalan satu-satunya adalah maju terus. Kita harus menemukan teman kita!"
"Iya, gue setuju dengan Daffa," ujar Arjuna, Ia menatap satu per satu teman-temannya, memberikan tatapan penuh keyakinan. "Kita harus saling menjaga. Tidak peduli apa pun yang ada di depan nanti, kita harus saling menjaga satu sama lain, ya!" Ia mengulurkan tangan, menawarkan genggaman.
Mereka mengangguk. Lampu senter remang-remang, satu-satunya pencahayaan di tengah kegelapan, Kabut tipis, dingin dan misterius, mulai menyelimuti mereka, mengurangi jarak pandang.
Queen segera bangkit, tangannya gemetar saat berpegangan pada lengan Baskoro. Yang lain pun ikut bangun, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran saat melihat kabut putih yang semakin tebal, suasana mencekam kembali mereka rasakan.
"Lebih baik kita cepat pergi dari sini…" sahut Valo, suaranya berbisik.
"Iya, benar! Ini sudah tidak beres! Gue nggak mau ketemu sama mereka lagi!" kata Fahri.
Tiba-tiba… "Auuu…"
Fahri meringis kesakitan, tubuhnya terhuyung. Ia memegangi kakinya yang terasa nyeri. Baskoro dengan sigap mengarahkan sinar senter ke kaki Fahri. Segaris luka menganga, darah segar mengalir membasahi tanah.
"Lu berdarah!" seru Queen.
Fahri memegangi kakinya yang tergores ranting tajam. "Aduh, sial banget! Tadi nggak kerasa sakit, padahal… kapan kaki gue terluka?"
Dahi Fahri berkerut menahan sakit. Ia menggigit bibir, menahan rasa sakit yang menusuk.
Queen dengan sigap membuka sapu tangan yang diikat di pergelangan tangannya, memperlihatkan ekspresi tenang dan terampil. Dengan hati-hati, ia membalut luka Fahri, menekan lembut agar pendarahan berhenti. Gerakan tangannya terampil dan tegas, memberikan rasa nyaman bagi Fahri.
"Udah, untung aja cuma tergores, jadi lukanya nggak begitu dalam," ucap Queen. Ia mendongak, memandang Fahri dengan hangat. "Lu bisa jalan, kan?"
Fahri mengangguk, walaupun masih sedikit terpincang. Ia mengatupkan giginya, mencoba melupakan rasa sakitnya.
"Ayo, kita jalan lagi," ujar Arjuna, mencoba menyemangati. "Valo, tolong bantu Fahri jalan. Kita harus saling menjaga."
Valo dengan sigap menawarkan pundaknya kepada Fahri. Fahri memegang erat pundak Valo, langkahnya tertatih namun teguh. Mereka berjalan perlahan, mencari jejak samar bunga melati, satu-satunya petunjuk di tengah kegelapan yang mencekam.
"Sampai kapan kita akan jalan seperti ini? Seakan tak ada ujungnya…" gumam Valo, suaranya penuh kelelahan. Ia menatap ke depan, pandangannya kosong, mencoba melihat lebih jauh dari jangkauan cahaya senter mereka.
Baskoro, yang berjalan di depan, melambatkan langkahnya. Ia menyadari kelelahan yang mulai menyelimuti teman-temannya. Ia melihat raut wajah mereka, wajah-wajah yang penuh keputusasaan.
"Gue juga gak tahu," jawab Baskoro, suaranya berat. Ia menghela napas panjang. "Gue juga udah ngerasa frustrasi. Kita dari tadi jalan, tapi terasa seperti berputar-putar, tanpa ujung."
Ia mengusap wajahnya, menunjukkan kelelahan fisik dan mentalnya.
Keputusasaan tampak jelas di wajah mereka: warna kulit pucat pasi, mata yang sayu dan penuh ketakutan, langkah tertatih-tatih. Di kejauhan, sesuatu menarik perhatian mereka. Pantulan cahaya, tampak samar di balik kabut, tersorot samar oleh sinar senter Baskoro.
"Eh, ada sesuatu di depan… ada pantulan cahaya!" seru Baskoro. Ia menunjuk ke arah sumber cahaya itu, matanya terpaku menatapnya.
"Jangan-jangan…" bisik Valo, suaranya hampir tak terdengar, matanya melebar.
Fahri memukul pundak Valo, gugup. "Jangan sembarangan, dah! Jangan bikin takut saja lu!" Ia mencoba untuk tenang, namun tidak dapat menyembunyikan rasa takutnya.
Mereka terus berjalan. Cahaya itu semakin terang. Di bawah pohon besar yang rindang dan menyeramkan, asal cahaya itu tampak.
Mereka berhenti sejenak, ketakutan dan keraguan memenuhi hati mereka. Bayangan-bayangan aneh bermain-main di sekeliling, meningkatkan rasa takut mereka akan bertemu makhluk astral lagi. Mereka enggan melangkah lebih jauh.
Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Baskoro melangkah lebih dekat, detak jantungnya berdebar kencang.
"Queen, pegangkan dulu senternya, ya. Gue mau lihat itu cahaya apaan," katanya, suaranya sedikit gemetar.
Ia menyerahkan senter kepada Queen, tangannya sedikit bergetar.
"Lu jangan aneh-aneh, deh, Bas!" sahut Queen.
Ia memegang erat senter, cahaya yang dikeluarkannya seakan-akan menjadi satu-satunya penjagaan mereka.
"Iya, jangan sembarangan, deh, Bas! Kalau itu setan gimana?" ujar Fahri, ia merasa khawatir.
Ia merapatkan tubuhnya pada Valo, mencari perlindungan.
"Udah, sebentar aja, kok. Kalian tunggu aja di sini dulu, ya!" sahut Baskoro, suaranya mencoba terdengar tenang, namun sedikit gemetar. Ia melangkah cepat menuju sumber cahaya itu, meninggalkan teman-temannya di balik kegelapan.
"Ati-ati, Bas!" teriak Arin. Ia menatap Baskoro yang semakin menjauh, rasa takut merayap di hatinya.
Baskoro mengacungkan jempolnya. Namun, langkahnya tetap perlahan, mata tajamnya mengamati sekeliling dengan waspada. Rasa penasaran yang lain pun tak kalah kuat. Mereka mengikuti Baskoro dari kejauhan, menjaga jarak aman.
Mata Baskoro membelalak. Di bawah akar pohon yang rindang, tergeletak sebuah batu delima, besarnya seperti telur ayam, memantulkan cahaya kemerah-merahan yang berkilauan. Ia segera mengambilnya, matanya berbinar-binar, takjub akan keindahan dan nilai batu mulia di tangannya.
"Sugeh aku…" teriaknya, suara penuh kegembiraan yang meledak-ledak.
Ia mengangkat batu delima tinggi-tinggi, menunjukkannya kepada teman-temannya. Wajahnya sumringah tak terkira.
"Kenapa dia?" tanya Arin, bingung. Ia tidak mengerti reaksi berlebihan Baskoro.
Arjuna dan Fahri menggeleng, wajah mereka dipenuhi tanda tanya. "Entahlah… dia kayak girang banget. Emang nemu apaan, sih? Emang nggak punya rasa takut dia," kata Fahri.
"Udah, cepet balik!" teriak Queen, gelisah. Ia melambaikan tangan, meminta Baskoro segera kembali.
Saat Baskoro hendak kembali, matanya menangkap sesuatu yang lebih menakjubkan. Sebuah keris berkerangkakan emas, berkilauan memikat di bawah terpaan cahaya senter, tersandar di ranting pohon. Tanpa ragu, Baskoro segera mengambilnya. Ia melompat kegirangan, mendapatkan harta karun yang begitu berharga, melebihi bayangannya. Ia sudah menemukan dua harta karun sekaligus!
Sesaat kemudian, teriakan histeris menggema, memecah kesunyian malam. Dari balik pohon besar itu, muncul sesosok tangan hitam besar, sebesar batang pohon kelapa, menyergap Baskoro dengan kekuatan dahsyat. Teman-temannya berteriak histeris, suara mereka nyaris terputus-putus karena panik dan ketakutan. Baskoro pun menjerit, suaranya penuh keputusasaan.
"Baskoro… Bas!" teriak Queen, suaranya terputus-putus.
Air matanya membanjir, mengalir deras di pipinya. Tubuhnya gemetar hebat, seakan-akan akan runtuh.
"Baskoro!" teriakan-teriakan lain ikut menggema, menyerukan nama Baskoro, nama sahabat mereka yang tengah berjuang melawan maut.
Namun, teriakan mereka hanya sebuah gema kosong, tak mampu menolong Baskoro yang semakin terhimpit dalam cengkeraman mahluk mengerikan itu. Mereka hanya bisa menyaksikan tanpa daya, kesedihan dan keputusasaan memenuhi hati mereka.
Baskoro terlihat semakin lemas, tubuhnya bergetar hebat. Matanya melotot, dipenuhi rasa sakit yang luar biasa, rasa sakit yang mengoyak jiwanya.
Cengkeraman mahluk itu semakin kuat, semakin menyesakkan napasnya, semakin menghancurkan tubuhnya. Wajahnya memerah, urat-urat lehernya menegang. Ia berusaha melawan, namun kekuatannya semakin melemah, tubuhnya semakin lunglai. Cahaya yang dipancarkan matanya semakin redup.
Queen melompat-lompat, tubuhnya gemetar hebat, cahaya senter yang dipegangnya bergoyang tak karuan.
"Ayo, tolong Baskoro! "
"Tolong… tolong…" teriak Baskoro, suaranya semakin melemah.
Napasnya tersengal-sengal, dihimpit oleh cengkeraman mahluk mengerikan itu.
Makhluk itu muncul sepenuhnya. Tinggi besar, tubuhnya dipenuhi bulu hitam lebat, mata merah menyala bagai bara api neraka, taring panjang dan runcing mencuat dari mulutnya, lidah panjangnya menjalar ke tanah. Aroma busuk menyengat hidung.
"Huuuuaaaa…" suara menggelegar mengguncang bumi, suara yang sangat mengerikan, suara yang mampu menghancurkan jiwa. Suara itu membuat tulang punggung mereka terasa dingin.
Queen dan yang lain hanya bisa berteriak dari kejauhan, tak berdaya. Mereka terpaku di tempat, terlalu takut untuk mendekat, terlalu lemah untuk berbuat apa pun. Tubuh Baskoro diseret masuk ke dalam semak-semak yang gelap dan lebat, menghilang ditelan kegelapan.
"Kabur… kabur! Cepat kabur!" teriak Baskoro, suaranya nyaris tak terdengar. Ia masih sempat memperingatkan teman-temanya agar segera pergi menyelamatkan diri.
Suara penuh keputusasaan sebelum ia menghilang ditelan semak-semak. Itu adalah teriakan terakhir Baskoro, teriakan yang sangat menyayat hati.
Mendengar teriakan Baskoro yang putus asa, dipenuhi kepedihan, mereka tersadar dari keterkejutan. Mereka berlari, berhamburan menyelamatkan diri, namun langkah mereka gontai, dipenuhi kesedihan dan trauma.
Queen dan Arin masih menatap ke arah tempat Baskoro menghilang, air mata mengalir deras membasahi pipi, mengalir tanpa henti. Daffa dan Arjuna menarik mereka berdua, mencoba menenangkan dan menjauhkan mereka dari tempat mengerikan itu.
Tangisan kehilangan dan napas yang memburu bercampur menjadi satu. Mereka berlari dan berlari, tak tahu sudah berapa lama, tubuh mereka lelah, jiwa mereka terluka.
Queen tiba-tiba jatuh tersungkur, kelelahan dan keputusasaan mengalahkannya. Ia menangis tersedu-sedu, tak sanggup lagi berlari, tak sanggup lagi melawan rasa kehilangan yang begitu mendalam.
.
.
BERSAMBUNG...