Jia dan Liel tidak pernah menyangka, bahwa dimulai dari sekotak rokok, pertemuan konyol di masa SMA akan menarik mereka ke dalam kisah penuh rahasia, luka, dan perjuangan.
Kisah yang seharusnya manis, justru menemukan kenyataan pahit. Cinta mereka yang penuh rintangan, rahasia keluarga, dan tekanan dari orang berpengaruh, membuat mereka kehilangan harapan.
Mampukah Jia dan Liel bertahan pada badai yang tidak pernah mereka minta? Atau justru cinta mereka harus tumbang, sebelum sempat benar-benar tumbuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Avalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu dan Danau adalah Saksinya
Sejenak, Jia ragu, namun akhirnya dia mengikuti Liel, seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Dia membawa Jia ke tempat yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Matanya menjadi liar, menjamu ke setiap sisi danau tersembunyi, yang dikelilingi pepohonan pinus yang tenang. Airnya jernih, memantulkan cahaya oranye keemasan yang disebut senja.
Perlahan Jia melangkahkan kakinya menuju tepi danau. “Apa kamu menyuruhku untuk bunuh diri?” Tanya Jia sambil menunjuk ke air danau.
“Jangan bodoh, aku hanya ingin memperlihatkan padamu bagaimana keindahan alam bekerja, duduklah sebelum aku benar-benar mendorongmu.”
Jia terkekeh, suara tawanya yang renyah itu membuat jantung Liel terasa lebih cepat tidak, tidak seperti biasanya. Dia pun memutuskan untuk sengaja bertingkah menyebalkan, menutupi rasa gugupnya.
Jia pun segera menuruti kemauan Liel untuk duduk di sampingnya. Cahaya senja tanpa ragu menyapa wajah Liel, membuatnya tampak bersinar.
Kenyataan itu membuat Jia bimbang. Dia merasa bahwa tidak dapat terhanyut dalam kesempurnaan Liel, sebab suasana hatinya saat ini sangatlah buruk. Padahal, paras Liel seindah senja.
“ini adalah tempat rahasia ku, apabila pikiranku sedang kalut, aku selalu ke tempat ini,” ucap Liel memecah lamunan Jia.
“Aku tidak tahu bahwa ada tempat seindah ini di sekitar tempat tinggal ku,” kata Jia takjub seraya melihat panorama yang indah.
Wajah Liel berubah menjadi serius “Apa kamu pernah menangis?”
Mulut Jia setengah terbuka, merasa heran dengan pertanyaan Liel. “Tentu saja, waktu bayi aku sering menangis,”
“Kamu benar-benar menguji kesabaranku. Bukan itu, tapi saat kamu mulai beranjak dewasa,” balas Liel menahan rasa kesal.
“Hm … tidak tahu, aku tidak ingat kapan terakhir kali aku menangis.”
Wajah Liel berubah serius. “Maka menangislah.”
Jia menatap Liel, bingung dengan perkataannya. “Hei, mengapa kamu menyuruhku menangis?”
“Bukankah selama ini kamu selalu menahannya?
Ini pertama kalinya ada yang menyuruhnya untuk menangis, disaat yang lainnya menyuruhnya untuk tetap kuat.
Bibirnya bergetar, berusaha menahan isak tangis. Namun sia-sia, matanya mulai berkabut oleh air mata yang tidak berhenti mengalir.
Kemudian Jia menangis seperti anak kecil di hadapannya. Liel segera menepuk lembut pundak Jia.
Terbawa suasana, tanpa sadar Jia meletakkan kepalanya ke pundak Liel yang lebar. Seketika mata Liel melebar, dia terkejut, seakan tidak percaya bahwa Jia akan bersandar di pundaknya.
“Jangan sampai ingusmu menetes di bahuku,” ujar Liel seraya menutupi rasa gugupnya.
“Diam! Mengapa kamu sangat menyebalkan!” balas Jia seraya mendorong Liel pelan.
Mereka kembali terdiam, hanyut dalam kesunyian. Liel membuka pembicaraan mengapa Jia dan ibunya bertengkar.
Meski Jia benci akan tatapan ibanya, dia tidak bisa membenci Liel begitu saja. Menurutnya, Liel adalah orang pertama yang mengetahui dasar luka dihatinya.
“K–karena ambisi ibuku, ayah dan Jad pergi ke luar negeri meninggalkanku yang masih berusia 10 tahun,” serunya dengan suara yang bergetar.
Wajah tenangnya Liel berubah menjadi serius, bahkan dia memberi saran untuk Jia. “Lantas mengapa kamu tidak ikut mereka saja?”
“Liel … ketahuilah, s–saat itu, aku melihat ibu menangis tersedu-sedu karena ayah dan Jad pergi, a–aku merasa kasihan jika ibu sendirian, sehingga aku memutuskan untuk tinggal bersamanya,” ungkapnya seraya terisak-isak.
Liel menghela napas, sebelum bicara. “Itu artinya kamu masih menyayangi ibumu.”
Sejenak Jia ragu untuk menjawabnya, namun pada akhirnya dia putuskan untuk menjawab pendapat Liel. “Awalnya begitu, tetapi seiring berjalannya waktu, ibu jarang bicara padaku sampai saat ini, yang dia lakukan hanyalah bekerja, tanpa tahu aku juga butuh sedikit perhatian darinya.”
Jia juga menceritakan pada Liel bagaimana ibunya memperlakukan dirinya dan Jad dengan sangat keras. Namun Jad diperlakukan lebih buruk daripada Jia.
Dia diharuskan kan belajar tanpa boleh bermain bersama teman-temannya. Jika nilainya turun, ibunya akan memukul dan menghukumnya.
Jika melawannya, Jad tidak diberi makan, sehingga terkadang diam-diam Jia memberikannya makanan.
Pernah beberapa kali ibunya memergoki dirinya karena memberi makanan untuk Jad, lalu ibunya melempar piring tersebut ke lantai dan memukulnya.
“Terlalu kejam Jika kukatakan memilih ibumu adalah bagian dari konsekuensi yang harus kamu jalani. Aku tidak akan menyalahkanmu! Kamu hebat, di usiamu yang ke-10 tahun sudah berani memilih dan punya pendirian.”
“Terima kasih karena menghiburku sekaligus menyindirku Liel.”
“Hm … ibumu perfeksionis ya?”
“Ya, ibuku seorang wanita yang cerdas, penuh ketelitian dan keras pada dirinya sendiri. Semasa muda dia selalu berprestasi memenangkan banyak perlombaan dan olimpiade. Itu sebabnya dia mengharuskan kami seperti dirinya.”
“Namun, karena tidak sesuai ekspektasi nya, dirimu dan Jad menjadi sasaran amukannya, apa ayahmu mengetahuinya?” ucap Liel menghela napas panjang
”Ya, pada akhirnya ayahku tahu. Dia sangat marah kepada ibu, terlebih lagi setelah melihat kesehatan mental Jad yang semakin memburuk. Perkelahian antara ayah dan ibuku tidak terhindarkan. Bahkan semakin hari semakin parah.”
“Really?” balas Liel seakan tidak percaya pada perkataan wanita yang ada di depannya.
Alis Jia bertautan, dagunya bergetar menahan air mata yang ingin keluar lagi. “Ya!! Puncaknya adalah ketika Jad meminum banyak obat penenang hingga overdosis, beruntungnya nyawa Jad selamat. Pada akhirnya, ayah ku tidak tahan lagi dengan tingkah laku ibuku. Sehingga dia memutuskan untuk berpisah.”
“Berpisah? Berarti kedua orang tuamu sudah bercerai?” ucap Liel seraya mengernyitkan dahinya.
“Mereka tidak bercerai, hanya berpisah seperti itu saja.”
Wajah Liel tampak serius seraya tersenyum getir. “Semoga suatu hari nanti, semuanya berakhir baik, bagaimanapun juga, mereka orang tuamu.”
Kemudian Jia mengamati lagi bagaimana langit berubah menjadi gelap, sebelum bulan datang. Dia mengakhiri tangisannya karena Liel segera mengajaknya pulang. Liel sangat takut jika ibunya mencari Jia.
“Selama ini, aku selalu merasa kuat, terima kasih Liel, karena menyadari bahwa ternyata aku cukup rapuh.” ucap Jia dengan mata yang masih membengkak.
Kemudian dengan kesadaran penuh Jia memeluknya. Jia melihat tangan Liel yang ingin memeluknya kembali, namun tidak dia lakukan. Terlihat Liel menghempaskan kembali tangannya tanpa menyentuh Jia sedikit pun.
Ketika Jia akhirnya melepaskan pelukannya dan mengusap matanya yang sembab, Liel langsung berdiri. Dia mengalihkan pandangannya, tidak mampu menatap wajah Jia yang baru saja rapuh di depannya. Liel terdiam, bahkan setibanya di depan rumah Jia, dia masih terdiam membisu.
“Mengapa diam saja? Kamu terlihat gugup, apa mungkin kamu kesurupan? ucap Jia dengan nada bercanda.
Liel memicingkan matanya, memberikan senyum tipisnya ke arah Jia. “Jelas bukan. Masuklah, besok kita harus pergi ke sekolah. lagipula, orang gila mana yang baru keluar dari rumah sakit malah keluyuran di Minimarket.”
“Lantas, mengapa mengajakku ke Danau? Jika tahu begini, seharusnya tadi aku pulang saja.”
“Bukan begitu ... beristirahatlah, karena besok kamu harus berhadapan dengan rumor palsu yang belum mereda.” balas Liel tanpa melihat ke arahnya.
Jia bingung, dengan perubahan sikap Liel yang begitu drastis. “Lihatlah sikapmu, sok perhatian! Jika sebelumnya sangat hangat, mengapa sekarang bersikap dingin padaku?”
Rasa kesal Jia memuncak, sehingga dengan cepat dia keluar dari mobilnya, sebelum Liel sempat menjawab perkataannya.
“Mengapa seseorang menjauh dariku saat aku mulai merasa aman?” bisik Jia lirih, nyaris tidak terdengar.
,, suka deh puny sahabat macam Nata