NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kemunculan Ida

Halaman depan panti penuh dengan kemeriahan. Padahal kegiatan utama ada di aula yang letaknya agak di dalam kawasan panti. Anak-anak berlarian riang. Ada yang asyik bermain dengan teman-temannya. Ada pula yang ikut sibuk meniup balon aneka warna, bentuk dan ukuran. Sebagian lagi membaur bersama para relawan menghias beberapa sisi dan sudut panti dengan aneka aksesoris dekorasi. Anak-anak lainnya yang lebih besar ikut bersama staf panti beramah-tamah menyambut sebagian tamu undangan yang datang awal.

Sebuah mobil putih melambat lalu berhenti agak jauh dari gerbang. Tak lama, seorang perempuan dengan riasan lengkap turun dari mobil. Pakaiannya trendi, bernuansa hitam, sedikit ketat. Lekuk-lekuk tubuhnya yang lumayan sintal jadi semakin kentara. Dari matanya terpancar ketidaksukaan.

'Panti Asuhan? Nggak salah, mereka mengirim semua barang itu ke sini? Coba aku cek lagi. Emm....'

Perempuan itu masih diam, tampak keheranan. Dari dalam halaman panti, Dion mengamatinya. Namun, perempuan itu sepertinya tidak menyadari bahwa ia diperhatikan. Masih dengan raut wajahnya yang 'bete' perempuan itu membuka tas kecil bertali panjang yang tergantung di bahu kirinya. Secarik kertas kecil ia ambil dari tasnya lalu ia baca.

'Benar, kok, ini alamatnya. Kenapa aku iya-iya aja dititipi paket sebegitu banyak? Salahku, aku nggak tanya apa isi kotak-kotak besar itu. Ahh, sial! Kena, deh, aku dikerjai mereka.'

"Selamat... siang, Ibu. Mencari siapakah?" Dion menyapa ramah.

Perempuan itu tampak kaget mendengar dirinya disapa orang. "Oh, nggak, nggak. Sepertinya saya salah alamat, Pak."

"Bisa saya bantu? Mari saya bantu cek alamatnya," tawar Dion.

Perempuan itu memperlihatkan kertas kecil yang dipegangnya kepada Dion.

"Oo, ya ini benar, alamatnya sini, Bu. Ibu ada perlu dengan siapa?"

Dalam hati Ida mendecak kesal. 'Ck! Ahh. Sial! Ngapain aku berurusan dengan panti asuhan. Padahal aku paling anti sama yang beginian. Ish! Awas saja kalau ketemu begundal-begundal itu. Kubikin perkedel mereka nanti.'

"Bu? Gimana?" tanya Dion lagi karena Ida tak segera memberi tanggapan.

"Oh, em, saya hanya dititipi paket ke alamat ini, Pak," jawab Ida akhirnya dengan keramahan yang dipaksakan.

"Oo, mau antar paket? Maaf, titipan paket dari mana ya, Bu? Kantor, komunitas, lembaga amal, atau ...?"

"Personal, Pak. Dari teman-teman saya," terang Ida cepat. "Ini panti asuhan, 'kan? Kalau boleh tahu, kantor pengelolanya di sebelah mana, ya, Pak?"

"Mari, Bu, saya antar. Barang-barang ini bisa ditinggal di sini dulu. Tenang saja, Bu, aman. Ada petugas yang akan menjaga."

"Gitu, ya? Ya sudah. Oke. Em, maaf, Bapak ini siapa, ya?"

Dion tersenyum. "O iya, maaf, Bu, sampai lupa mengenalkan diri. Saya Dion. Saat ini saya yang ditugaskan mengelola panti asuhan ini."

"Ooh, gitu? Jadi pengelola panti ini Bapak?"

"Iya, Bu," tegas Dion ramah, masih tersenyum.

Ida nyaris tak percaya. Laki-laki di hadapannya mungkin memiliki usia yang tak jauh berbeda dengannya. Penampilannya rapi namun terlalu sederhana. Orangnya bersih, terkesan berwibawa dan berkelas meski tidak ada barang bermerek yang dapat dikenali mata Ida melekat pada laki-laki itu. Laki-laki ini bukan orang sembarangan, nilai Ida.

"Boleh saya tahu ini dengan Ibu siapa?" Dion bertanya sopan.

"Saya, Ida, Pak," Ida mengenalkan diri. "Maaf kalau tadi saya kurang sopan. Sebab, saya bingung. Teman-teman yang menitipkan barang tidak bilang pada saya bahwa tempat yang dituju adalah panti asuhan. Tidak ada nama tempat, hanya alamat sekenanya."

Ida mengatakan yang sesungguhnya. Dia memang tidak tahu tempat yang dimaksud oleh teman-temannya ternyata sebuah panti asuhan.

"Tidak apa-apa, Bu. Toh Ibu akhirnya sampai juga di sini. Paketnya ada di...?"

"Masih di mobil, Pak. Ada banyak banget. Kayaknya saya perlu bantuan, deh, untuk menurunkan paket-paket itu. Ada yang bisa bantu saya, nggak, ya, Pak?"

"Ada, Bu. Ada. Mari, mobilnya dimasukkan saja ke halaman panti, langsung menuju jalan masuk lobi. Itu, yang di sebelah sana," kata Dion. Meski dongkol, terpaksa Ida mengikuti Dion. Mobil yang dia sewa pun masuk ke halaman panti sesuai arahan Dion, sementara dia mengikuti Dion berjalan kaki di belakang mobil.

"Maaf ya, Bu, kita terpaksa berjalan memutar. Karena hari ini ada kegiatan. Ada perayaan ulang tahun berdirinya panti asuhan ini. Maka, ya seramai inilah. Nanti kalau Ibu mau berkeliling, saya bisa mengantar."

"Ehehehe. Iya, Pak. Terimakasih," kata Ida. Lagi-lagi pura-pura ramah. Formalitas saja. Namun kembali Ida mengomel dalam hati. 'Cih! Ngapain juga aku keliling? Nggak tertarik aku sama panti asuhan. Paling ya gitu-gitu aja. Andai aku tahu sebelumnya, mana mau aku dititipi? Terpaksa deh aku menginjakkan kaki di tempat seperti ini.'

...*...

Lima menit berselang mobil lain mendekat lalu berhenti di luar gerbang panti. Pintu-pintu mobil dibuka. Langsung terdengar lagi riuh suara anak-anak bermain dan berlarian gembira. Suaranya dari pelataran panti. Yones dan ayahnya tersenyum senang dengan perasaan dan kenangan masing-masing.

"Wah, udah ramai tuh. Acaranya masih nanti siang, 'kan, Yah?"

Yunus mengawali jawabannya dengan anggukan yakin. "Setahu Ayah juga siang mulainya. Bisa saja mereka itu relawan yang datang membantu." Yunus lantas melihat waktu pada arlojinya. "Para tamu yang diundang mestinya belum datang. Lha itu, anak-anak saja masih bebas bermain, berlarian di halaman panti. Enggaklah kalau kita telat. Acaranya masih dua jam lagi."

"Nah, itu masuk akal. Kalau begitu Ayah tunggu di mobil saja dulu. Biar aku cari Om Dion, minta pengamanan hehehe. Soalnya kalau semua hadiah ini kelihatan oleh anak-anak, bisa-bisa kacau, pada berebutan."

Di dalam mobil mereka dari tengah ke belakang memang penuh berkotak-kotak bingkisan. Dari mulai mainan, alat tulis, pakaian hingga kebutuhan harian dan kebersihan sudah ditata dan diberi label rapi.

"Oke. Kalau begitu, kamu bawa dua kotak yang isi seragam sekolah dan sepatu. Titipkan di ruangan Om Dion supaya segera didata," kata Yunus.

"Siap, Boss." Yones berjalan memutari mobil, membuka pintu bagasi lalu mengangkat sebuah kotak berukuran sedang. "Ouph! Wih, lumayan berat ternyata. Ooh, iyalah berat, ini isinya buku, ya?" Yones membaca label yang ditempel pada kotak yang dibawanya.

"Hati-hati membawanya. Berat lo, Nak. Yakin, bisa sendiri?"

"Bisa. Ayah tolong kabari Om Dion kalau kita udah sampai, dong," pinta Yones.

"Oke, siap. Ayah tunggu di sini, ya." Yunus pun mengeluarkan ponselnya lalu menelepon Dion. Setelah dua kali nada tunggu, terdengarlah suara orang yang diteleponnya. "Halo, Mas Dion. Kami sudah sampai. Mas Dion di mana?"

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!