NovelToon NovelToon
Dunia Larashati

Dunia Larashati

Status: sedang berlangsung
Genre:Mata Batin / Pihak Ketiga / Tumbal / Kutukan / Spiritual / Iblis
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Adiwibowo Zhen

perjalanan wanita tangguh yang sejak dalam kandunganya sudah harus melawan takdirnya untuk bertahan hidup

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adiwibowo Zhen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam berbisik maut

Kokok ayam jantan memecah keheningan pagi. Namun, alih-alih lantunan azan Subuh yang menenangkan, suara dari masjid justru mengabarkan berita duka. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Telah berpulang ke Rahmatullah, Akbar, putra dari Bapak Anton dan Ibu Aminah, tadi malam pukul 00.00."

Yati dan Manto terkejut mendengar pengumuman itu. Mata mereka membelalak tak percaya.

"Mas, bukankah itu Akbar, anaknya Aminah?" tanya Yati dengan nada khawatir. Ya Tuhan, kenapa harus dia? batin Yati.

"Iya, Ti, betul. Kira-kira apa yang terjadi?" Manto menjawab dengan kerutan di dahi. Kenapa bisa secepat ini? Apa yang sebenarnya terjadi? pikir Manto.

"Tapi, Mas, kemarin kelinci abu-abu yang diceritakan Ko Acun memang masuk ke halaman rumah Aminah," sahut Yati, suaranya bergetar.

Mendengar itu, tubuh Manto meremang. "Ti, ini kebetulan atau ada sesuatu yang lebih dalam?"

Tidak mungkin ini hanya kebetulan. Kelinci itu... pikiran Manto berkecamuk.

"Aku juga tidak tahu, Ti. Masalahnya, Ko Acun tidak memberi banyak penjelasan. Dia hanya bilang kita harus waspada," jawab Manto kebingungan.

"Iya, Mas, kenapa jadi begini?" Yati bertanya dengan nada gugup.

"Ah, aku juga tidak tahu, Ti. Kita hanya bisa mengikuti instruksi Ko Acun," jawab Manto pasrah. Semoga saja Ko Acun tahu apa yang harus kita lakukan, harap Manto dalam hati.

"Iya, Mas. Oke, nanti pas kamu melayat, coba cari tahu kenapa Akbar bisa meninggal," kata Yati.

Pagi itu, Desa Kedung Dadap berduka. Warga berbondong-bondong melayat ke rumah Aminah untuk menyampaikan belasungkawa.

Manto mengenakan kemeja hitamnya dan bergegas menuju rumah duka. Harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ini tidak bisa dibiarkan, tekad Manto dalam hati. Setelah menyampaikan ucapan duka kepada Aminah dan suaminya, ia duduk di kursi yang telah disediakan. Telinganya mencuri dengar bisik-bisik tetangga.

"Pon, katanya Akbar meninggal dalam keadaan aneh," bisik seorang warga.

"Aneh bagaimana?" tanya yang lain penasaran.

"Iya, aneh. Tengah malam tadi, tiba-tiba badannya membiru, menggigil, lalu meninggal," jawabnya.

Mendengar itu, tubuh Manto bergetar hebat. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Membiru? Seperti Larashati? pikiran Manto semakin kalut. Ia teringat kejadian yang menimpa Larashati beberapa waktu lalu. Jantungnya berdegup kencang. Manto hanya bisa diam, rasa khawatir membuatnya kelu.

Sekitar pukul 10 pagi, jenazah Akbar dikebumikan. Manto pulang melalui pintu belakang, langsung mandi dan merendam pakaian yang dikenakannya saat melayat. Semoga saja ini tidak menular. Semoga Larashati baik-baik saja, doa Manto dalam hati. Setelah itu, ia menemui Yati dan Larashati.

"Mas, bagaimana? Sakit apa Akbar?" tanya Yati penasaran.

Manto terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri. "Itu, Ti, sama seperti yang dialami Larashati. Tengah malam menggigil, lalu tubuhnya membiru. Selang satu jam, meninggal. Begitu kata orang-orang."

Mendengar cerita suaminya, bulu kuduk Yati meremang. Ia menatap Larashati yang berada dalam gendongannya, matanya berkaca-kaca. "Berarti kalau kemarin Larashati tidak bertahan, dia yang akan mati, Mas?" tanyanya dengan suara serak.

Ya Allah, lindungilah anakku, doa Yati dalam hati.

"Ti, tenang. Jangan panik. Ko Acun bilang Larashati akan baik-baik saja. Kita percayakan pada beliau," jawab Manto berusaha menenangkan istrinya.

"Iya, Mas," jawab Yati sambil terisak.

Di tempat lain, Suharti duduk santai di rumah mewahnya, membaca laporan CV-nya yang sedang naik daun. Tiba-tiba, suara suaminya, Ratmono, terdengar.

"Har!"

Suharti menoleh. "Ada apa, Mas?"

Ratmono duduk di samping Suharti. "Sepertinya ada kabar gembira."

"Apa itu, Mas?" jawab Suharti.

"Hari ini bayi Aminah meninggal," kata Ratmono.

"Oh..." Mata Suharti berbinar, dan senyum sinis terukir di bibirnya. Akhirnya! Satu langkah lebih dekat menuju kekayaan, batinnya. "Benarkah?"

"Iya, benar, Har," jawab Ratmono.

"Hahahaha... Akhirnya umpan-umpan kita mulai dimakan, Mas. Kita akan tambah kaya lagi!" seru Suharti.

"Iya, Har, benar sekali. Hahahaha..." Mereka berdua tertawa bahagia.

"Lalu bagaimana dengan Larashati, anak Yati?" tanya Ratmono.

"Ah, biarkan saja dulu. Jika dia bisa besar, kita suruh dia tinggal di sini. Kita kasih makan dan buat dia jadi tumbal abadi. Kita jual ke mana pun ada tempat pesugihan sampai ada yang berhasil mengambilnya," kata Suharti. Anak itu akan menjadi investasi yang sangat menguntungkan, pikirnya dengan kejam.

"Yang penting kita kaya, Mas."

"Gampang. Besok kita tinggal bikin acara pengajian atau apa gitu. Kita undang kyai terkenal, nanti banyak yang datang. Makanan yang kita sajikan, kita serahkan kepada penguasa gelap, agar yang makan bisa dijadikan tumbal untuk kita," usul Ratmono.

"Betul sekali, Har. Dengan begitu, kita terlihat alim dan tidak ada yang curiga," sahut Suharti. Mereka semua bodoh dan mudah dikendalikan, pikirnya sambil tersenyum licik.

"Iya, begitu, Mas," jawab Suharti dengan senyum lebar.

"Hahaha... Betul sekali. Kita juga sering bertemu para pengusaha besar dari Jakarta, pemilik perusahaan terkenal. Mereka kan sama, sering bikin acara amal. Di depan amal, di belakang... hahha... mereka menjaring tumbal."

"Memang orang-orang kita ini bodoh, ya, Mas. Gampang ditipu dengan baju putih, kata-kata manis, dan sedekah," kata Suharti sinis.

"Iya, betul sekali, Har. Biar kita terlihat lebih suci, kita daftar umrah. Bagaimana dengan daftar haji?"

"Oh, betul sekali, Har! Ketika kita mau berangkat, kita bikin pengajian, sekalian kita jaring tumbal warga sekitar," jawab Ratmono.

"Iya, betul sekali, Har. Haha... Satu dayung, dua, tiga pulau terlampaui."

"Mas, aku dengar di Arab itu Kabahnya ada dua. Satu untuk ibadah, satu lagi untuk pesugihan," kata Suharti sambil tersenyum sinis. Kita akan pergi ke tempat yang benar-benar bisa memberikan kita kekayaan, batinnya.

"Hehehe..." Suharti tersenyum sinis. "Kita pergi ke Kabah yang satu itu saja. Kita pergi ke pesugihan, tapi warga di sini tahunya kita umrah atau haji. Hahha... itu keren, Har! Aku setuju!"

Waktu terus berjalan, bagai sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Namun, di Desa Kedung Dadap, waktu terasa seperti momok yang menghantui. Setiap sebulan sekali, kabar duka kembali menyelimuti desa, dan hingga saat ini sudah empat bayi yang meninggal. Bayi-bayi tak berdosa meregang nyawa satu per satu, meninggalkan luka yang menganga di hati orang tua mereka.

Di balai desa, kerumunan orang tampak tegang dan marah. Wajah-wajah mereka dipenuhi kesedihan dan dendam. Di tengah kerumunan, berdiri seorang pria dengan mata merah dan tangan mengepal. Dialah Pak Sadran, salah satu orang tua yang kehilangan bayinya.

"Kita bakar rumah Mbok Yam!" teriak Pak Sadran dengan suara lantang yang memecah kesunyian. "Saya sudah bertanya kepada orang pintar tentang kematian anak saya, dan juga bayi-bayi lainnya. Katanya, di desa kita ada yang melakukan pesugihan. Jika bukan Mbok Yam, siapa lagi yang layak disalahkan?"

Kerutan di dahi salah seorang warga semakin dalam. "Memangnya bagaimana kata orang pintar itu? Jangan sampai kita membakar orang yang salah."

"Orang pintar itu menyebutkan ciri-cirinya, dan itu sama persis dengan ciri-ciri fisik Mbok Yam!" jawab Pak Sadran dengan nada meyakinkan.

"Oh, kamu yakin?" tanya warga itu lagi.

"Aku yakin! Orang pintar itu sudah sangat terkenal dengan ketepatan terawangannya!" jawab Pak Sadran dengan emosi yang meluap-luap.

Mereka tidak tahu bahwa dalang di balik semua ini bukanlah Mbok Yam, melainkan adiknya, Suharti. Kakak beradik itu memang memiliki kemiripan fisik, tetapi nasib mereka sangat berbeda. Pak Sadran yang sedang dikuasai amarah tidak berpikir panjang. Ia hanya mengingat Mbok Yam yang sering dilihatnya menjajakan sayur keliling desa. Sementara Suharti, wanita kaya raya pemilik CV distributor minyak dari Pertamina Cilacap, telah lama meninggalkan Kedung Dadap dan tinggal di kota kecamatan. Suharti jarang keluar rumah, sehingga tak banyak warga desa yang mengenalnya.

1
penguasa univers
menyedihkan
Aura Angle
wuih ad hot hotnya
Ninik Listiyani
/Sweat//Sweat//Sweat/
Ninik Listiyani
ad y orang kaya Suharti kejam
Ninik Listiyani
kisahnya kya beneran terjadi
Ninik Listiyani
lanjutkan menulisnya
Ninik Listiyani
penasaran untuk cerita selanjutnya
penguasa univers
tak menyangka ,tapi masuk akal 🤭
penguasa univers
💪
cakrawala
terimakasih suportnya/Pray/
penguasa univers
seperti itukah hasil dari kehidupan manusia yg di tumbalkan ?
Ninik Listiyani
makin seru sepertinya. akan jadi wanita tangguh👍
Ninik Listiyani
semangat nulisnya kk aku akan jadi pembaca setiamu please jangan berhenti di tengah jalan
Ninik Listiyani
sungguh tragis💪
Ninik Listiyani
berkaca kaca
Ninik Listiyani
kisah yg bagus sepertinya mengerikan penderitaanya
Ninik Listiyani
kasihan sekali 🤣
Ninik Listiyani
semangat aku suka 🤣kisahnya
Ninik Listiyani
membuat terharu kisahnya🤣
Ninik Listiyani
mengharukan🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!