Kesedihan Rara mencapai puncak hanya dalam waktu satu hari.
Setelah orang tuanya batal menghadiri acara wisudanya, Rara malah mendapati kekasihnya berselingkuh dengan sepupunya sendiri.
Rara mendapati kenyataan yang lebih buruk saat ia pulang ke tanah air.
Sanggupkah Rara menghadapi semua cobaan ini?
Ig : Poel_Story27
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Poel Story27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehadiran Baby Rio
"Aku nggak bisa Lun! Apa kata orang nanti, dan saat anak ini sudah tumbuh besar, dia hanya akan jadi ejekan teman-temannya." Rara menolak saran Luna, meski hati kecilnya sangat menyayangi janin yang sedang ia kandung.
"Ra, kita ini tinggal di kota metropolitan, nggak akan jadi masalah apa-apa, orang-orang nggak akan peduliin itu, bahkan di luar negri ada banyak wanita mandiri yang tidak ingin menikah, tapi mereka ingin memiliki anak. Mereka bahkan melakukan inseminasi buatan untuk memiliki anak. Dan bukan cuma itu, kamu juga harus pikirin dosanya, apa kamu tega ngebunuh anak kamu," geram Luna.
"Tapi Lun ...."
Luna menggeleng kesal, ia geram melihat Rara yang keras kepala.
"Ra, ini terserah bagaimana kamu akan menanggapinya, tapi aku nggak bakal izinin kamu gugurin janin itu, kalau kamu masih nekat, aku nggak bakal segan ngelaporin kamu ke pihak berwajib!" Luna berdiri dari tempat duduknya, lalu pergi meninggalkan Rara dengan langkah kesal.
Rara terdiam mendengar ancaman Luna, ia merebahkan kepalanya di atas meja makan. Rara tahu, niatnya bukan hanya membuat dirinya berlumur dosa, tapi juga melanggar hukum.
"Ah ... entahlah!" Rara mendesah berat, ia tenggelam dalam kebingungannya sendiri.
Cukup lama Rara merenungkan niatnya di sana, sampai akhirnya ia pun mendahulukan permintaan hati nuraninya. Rara melangkah menyusul Luna ke kamar.
"Lun ... maafin aku!" ucap Rara tulus.
Luna yang sedang sibuk membuat desain sebuah gaun, melirik ke arah datangnya Rara.
"Kamu minta maaf buat apa? Aku cuma minta kamu jangan gugurin janin itu!" ketus Luna.
Rara menghela napas dalam, lalu mengangguk pelan. "Iya Lun! Aku janji akan pertahanin janin ini, aku akan membesarkannya, meskipun tanpa seorang ayah!"
Raut kemarahan di wajah Luna menghilang, berganti senyum kebahagiaan yang menyungging dari bibirnya. Luna merentangkan tangan, lalu mengangguk, agar sahabatnya itu mendekat. Rara memeluk Luna.
Luna melepaskan pelukan haru itu. "Ra, kamu nggak akan sendirian merawat anak itu. Aku di sini sama kamu, kita bisa pastikan anak itu nggak akan kekurangan kasih sayang!"
Air mata bahagia menetes di pipi Rara, ia bersukur memiliki sahabat seperti Luna. Rara sudah merasakan pengkhianatan dari orang terdekatnya, dan itu sakit sekali. Ditambah Rara juga sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi.
Papanya? Rara sudah mengubur dalam-dalam, nama lelaki yang sudah membuat ia kehilangan mamanya itu. Entah rasa ini salah atau tidak, Rara tidak peduli, bahkan jika dia dianggap anak durhaka sekali pun. Rara hanya ingin membuang rasa sakit itu sejauh-jauhnya.
Rara teringat mantan asisten rumah tangganya, yang kini bekerja dengan orang lain. Rara berniat meminta bi Eni untuk datang, dan tinggal bersamanya. Dulu sebelum Rara pindah, ia memang pernah berjanji akan serta bi Eni, setelah kehidupannya lumayan membaik.
Ditambah lagi kehadiran bi Eni akan sangat membantu bagi Rara, dari pada harus menyewa seorang babysitter saat ia lahiran nanti.
Hari berlalu dengan cepat, kandungan Rara sudah semakin membesar dan kini Rara sedang bersiap untuk menjalani persalinan.
Luna dan bi Eni menyiapkan segala keperluan untuk Rara, mereka pun berangkat menuju sebuah rumah sakit bersalin.
Luna memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit. Luna memanggil suster, ia menyuruh suster tersebut membawakan kursi roda untuk Rara. Tak lama kemudian suster itu kembali, Rara pun di minta untuk duduk di kursi rodanya.
"Ra, setelah ngurus pendaftaran kamu, aku mau ke butik, setelah itu baru ke sini lagi," ujar Luna sembari berjalan di samping Rara.
Rara menganggukkan kepalanya. "Makasih ya Lun."
"Kamu tenang aja! Ada bi Eni yang jagain kamu," Luna mengusap pucak Rara sebelum berlalu meninggalkan sahabatnya itu.
Rara segera di bawa ke ruang bersalin. Dokter mempersiapkan segalanya, selanjutnya segera melakukan operasi persalinan.
Airmata bahagia Rara mengalir dengan sendirinya, saat mendengar suara tangisan bayinya, ia sudah berhasil melewati proses hidup mati persalinan.
Mata Rara kini menatap pada apa yang ada di tangan dokter.
"Selamat Nyonya, bayi Anda laki-laki, ia lahir dalam keadaan sehat." Dokter memprelihatkan bayi Rara yang sedang menangis.
Rara tersenyum menatap pada babynya yang terlihat sangat kecil dan lucu, setelah itu dokter pun membawa bayi Rara untuk dibersihkan.
"Aku sudah jadi seorang ibu, Bi!" lirih Rara pada bi Eni yang sedari tadi terus menggenggam tangannya.
"Iya Non! Bibi juga turut bahagia, nyonya di sana juga pasti karena sudah memiliki seorang cucu," balas bi Inah penuh haru.
Meskipun sangat disayangkan, nyonya Maira tidak dapat bertemu cucunya.
Tak lama kemudian dokter kembali datang, membawakan bayi Rara, dokter meletakkan bayi tersebut di samping Rara.
Bayi Rara berkulit putih, hidung mancung dan memiliki rambut kemerahan, berbeda dengan dirinya memiliki rambut hitam khas orang Asia.
"Bayiku tampan sekali Bi!" ucap Rara.
Bi Eni menganggukkan kepalanya. "Non, sudah menyiapkan nama untuknya?"
"Iya Bi, namanya Mario!" jawab Rara mengusap lembut bayinya.
Rara memiringkan tubuhnya untuk mengecup Rio, ia belum bisa bergerak leluasa karena baru saja operasi. Rara sangat bahagia bisa menjadi seorang ibu, Rara sudah tidak memusingkan lagi anaknya yang lahir tanpa memiliki seorang ayah, Rara berjanji akan melakukan apapun untuk membesarkan dan mebahagiakan anaknya sendiri.
Baby Rio terus menangis, Rara belum memilki ASI, suster membawa baby Rio ke baby box, lalu memberikan pengganti ASI, untung saja baby Rio tidak rewel, sesaat kemudian ia pun tertidur.
Tak lama kemudian Luna datang, dari deru napasnya terlihat, bahwa Luna sangat tergesa-gesa. "Di mana keponakanku?" tanyanya.
Rara berdecak pelan dengan wajah memberengut, karena Luna tidak menanyakan kondisinya, tapi malah langsung menanyakan babynya. sahabatnya itu memang tidak suka basa-basi. Bi Eni menunjuk ke arah baby box yang ada di sebelah kanan ruang rawat.
Luna langsung melangkah menuju baby box, ia tersenyum sumringah melihat baby Rio yang terlihat tampan dan sangat lucu. Luna pun mengambil baby Rio, ia mengendong baby Rio dan mengecupnya berkali-kali, sehingga bayi itu terbangun dan menangis.
Luna berusaha menenangkan Rio, tapi bayi itu tidak berhenti menangis, Luna kebingungan, ia membawa Rio ke ibunya. Seperti merasa nyaman di samping ibunya, tak lama kemudian baby Rio pun kembali tertidur.
"Siapa namanya?" tanya Luna.
"Rio, Mario! Aku belum bisa memberikan nama belakangnya," jawab Rara.
Tiga hari kemudian Rara sudah diperbolehkan pulang, Luna dan bi Eni membantu mengemasi semua barang-barang Rara. Mereka pun meninggalkan rumah sakit.
Mereka tiba di apartemen, semua perlengkapan Rio sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. Kini Rara punya penyemangat baru dalam hidupnya, apartemen Rara semakin Ramai dengan kehadiran Rio.
Bersambung.
Terima kasih masih setia membaca cerita ini!