JAKARTA 2003
"your mom is dead, you can't do anything."
kalimat terburuk yang pernah aku dengar. lebih sakit, karena terucap dari mulut seorang ayah.
dari umur 5 tahun, aku sudah tidak pernah lagi melihat ibu, yang lebih akrab ku panggil "mama". foto mama bahkan sudah tidak ada di rumah yang ku tinggali. wajahnya samar samar dalam ingatanku. Dan aku minta maaf, aku sudah lupa bagaimana rupa orang yang sudah melahirkan ku.
Hestia seraphic, aku berumur 17 tahun. aku tidak terlalu menonjol dari pada yang lain. seperti misalnya tidak pintar, dan hanya sering berdiam diri di rumah, tepatnya di kamar. padahal banyak anak seusia ku yang sudah berkeliaran dan pulang malam untuk menikmati masa muda mereka. bahkan aku hanya memiliki 1 teman laki laki dan 1 teman perempuan(anjing betina kesayanganku, bella). sepertinya, itu lebih dari cukup untuk saat ini.
aku juga tidak terlalu suka melakukan perawatan diri. rambut ku panjang tak terurus dan bercabang. muka yang kusam. tidak ada yang peduli. atau mungkin ada? Yap, benar saja, beberapa masalah remaja tadi sudah tidak separah dulu. semenjak seseorang selalu mengirimkan paket skin care yang cukup terkenal. namun aku tidak pernah tahu siapa yang mengirimnya. Aku bisa saja membeli skincare sendiri karena orangtuaku termasuk orang tepandang. hanya saja masalahnya adalah ayah ku tidak pernah memberikanku uang tunai, dia selalu mengatakan "sudah ku transfer, kamu bisa cek rekeningmu". Aku malas sekali berkeliaran dan mencoba belajar bagaimana cara menarik uang tunai di ATM. Aku tau kita bisa membeli skincare di internet atau online shop, namun tetap saja aku tidak tahu cara membayarnya. kalian boleh tertawa.
.....
beberapa tahun berlalu, semenjak kalimat pahit itu.
aku sudah beranjak dewasa, sudah cukup matang untuk memiliki keputusan sendiri. hingga suatu hari keputusan besar terlintas di pikiran ku.
hari itu hujan lebat, hanya ada aku di rumah. ku tatap hujan lebat melalu jendela kamarku. tidak ada yang bisa ku lakukan selain melihat ke arah luar jendela dan mulai memutar musik kesukaan ku. hingga seseorang datang diam diam dan memelukku dari belakang. tangannya melingkar di leherku. suara langkah kakinya benar benar teredam karena hujan lebat dan musik di telinga. aku menoleh kearahnya dan ya, aku mengenalnya.
dia pria. pria yang selalu ada di samping ku dalam keadaan apapun. dia..... aku suka padanya. dia berjalan duduk di kasurku. "hay— sedih lagi? free hug" ucapnya sambil merentangkan tangan. kubalas dengan senyuman. "naik apa?" rumahnya cukup jauh bila dia datang kemari dengan berjalan kaki.
"mobil"
"sendiri?" tanyaku sambil menopang wajah dengan tangan dimeja belajar.
"sama ayah" aku hanya mengangguk.
"ngapain natap aku kaya gitu?"
"gak— Hestia, aku mau tanya sesuatu deh"
fokus ku tertuju padanya "silahkan Zion"
"kalau pindah ke negara lain, mau ke negara apa?" pertanyaannya acak sekali.
"mungkin New York(?)"
"ngapain ga pindah aja?"
"gak ada siapa siapa di sana, aku takut"
"aku kan tinggal di sana— tinggal aja di rumah ku" aku benar benar lupa bahwa dia hanya berlibur ke Indonesia.
"andai saja"
2 hari selanjutnya,
aku benar benar melakukannya. aku memutuskan untuk pindah ke New York. awalnya aku takut untuk berdiskusi tentang ini bersama ayah. tapi ya mau bagaimana lagi, uang dan keputusan ada padanya. ayah awalnya menanyakan alasanku mengapa ingin pindah ke sana & sempat menolak, namun akhirnya ayah mengizinkan ku untuk pergi. "disana ada yang akan menjemput mu— seorang perempuan"
"siapa?"
"saudara perempuan mu"
"saudara jauh ya?"
"saudara kandung yang di bawa lari oleh wanita sialan itu." ayah memang sedikit kasar.
"wanita sialan?"
"ibu mu" pantas saja aku tidak pernah tahu bahwa aku memiliki saudara, tapi mengapa ayah tidak pernah memberitahunya pada ku bahwa aku memiliki seorang 'kakak'?
"berhenti menyebut mama dengan 'wanita sialan'." aku langsung pergi meninggalkan ayah, menangis di kamar, dan tertidur.
NEW YORK
10 A.M
MUSIM PANAS.
Ya Tuhan badan ku terasa remuk setelah duduk dan tidur berjam jam di pesawat. sekarang aku benar benar seperti remaja jompo. aku di bantu dan di jemput oleh sepasang suami istri yang istrinya sedang mengandung seorang penerus bangsa. benar, kakak ku sudah menikah dan mengandung anak pertamanya. jangan tanya aku kapan mereka menikah dan berapa bulan usia kandungannya.
Selama perjalanan aku melihat ke arah luar kaca mobil, New York begitu ramai, sibuk, dan bebas(?). mereka mengajakku ke suatu perumahan di New York. biar ku tebak, itu adalah perumahan tempat mereka tinggal. dan akhirnya kita sampai di suatu rumah yang besar dan berada di komplek perumahan yang terbilang... elit(?). "hey, aku tau kamu ga kenal aku kan, bahkan ga tau nama ku" ucapnya sambil memegang bahuku. "namaku adalah hera— Hera Belamour" aku hanya tersenyum, dan membalas "senang bertemu dengan mu. dan kamu— kamu tau namaku?", dia mengangguk. mungkin ayah memberi taunya.
kami masuk dan membereskan barang barang ku, di bantu beberapa orang yang ada di rumah Hera. kamarku berada di lantai 2. rumahnya indah dan besar sekali. ada 3 orang yang mengurus rumah ini. 1 tukang kebun dan 2 ART. mereka semua TKI, mereka ramah (mereka sempat menyapaku juga) dan Hera mengatakan bahwa dia sudah menganggap ART ini seperti teman maupun keluarga sendiri.
1 P.M
aku baru selesai mandi dan ingin membaca buku novel yang baru ku beli saat masih di Jakarta. Laut bercerita. novel ini sangat terkenal. namun aku belum sempat membaca bahkan membuka segel bukunya.
aku duduk di dekat jendela. memutar playlist lagu kesukaan ku dan mulai membaca beberapa bab hingga fokus ku buyar karena mengantuk. aku tidak dapat tidur dengan nyenyak belakangan ini. aku alihkan perhatianku keluar jendela. melihat sekitar, banyak pohon yang hidup, bunga yang bermekaran dan burung ya bernyanyi. sekitar rumah Hera benar benar hijau dan tenang.
hingga, samar samar aku melihat ada seorang pria di sebelah rumah kakakku yang menatap ku dari jendela kamarnya.