Empat tahun bukan waktu yang singkat. Empat tahun cukup lama untuk mengubah arah hidup seseorang, membangun jarak, dan menutupi luka-luka yang tak bisa disembuhkan dengan kata maaf atau waktu. Namun, tak satu pun dari itu berhasil pada Aruna Adikerta.
Langit Jakarta sore itu tampak murung, seperti menahan hujan yang enggan turun. Mobil yang ditumpanginya meluncur pelan memasuki gerbang besar rumah keluarga Adikerta—tempat yang dulu disebutnya rumah, tapi kini terasa asing, seolah menyimpan sesuatu yang ditinggalkan dengan tergesa.
Aruna memandang ke luar jendela. Pohon kamboja di sudut taman masih berdiri seperti dulu, tapi sudah lebih tinggi, lebih lebat. Langit-langit balkon di lantai dua yang dulu biasa ia pakai untuk menyendiri, kini tampak lebih tua, berlumut di beberapa bagian. Tapi semuanya tetap rapi. Tetap mewah. Tetap tenang. Seperti hidup yang tak terusik.
Yang terusik justru dirinya.
Ia menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Seorang asisten rumah tangga yang dulu sering ia panggil "Mbak Narti" menyambutnya dengan senyum haru.
“Aruna… Ya Tuhan, kamu tambah cantik. Udah lama banget ya…,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Aruna tersenyum kecil. “Halo, Mbak. Aku juga kangen rumah.”
Kata "rumah" itu terasa aneh di lidahnya.
Ia menjejakkan kaki ke dalam rumah dan aroma kayu jati yang familiar langsung menyergap. Hidungnya mencium wangi bunga sedap malam, seperti biasa. Tapi langkahnya terhenti saat ia melihat sosok yang berdiri di ambang ruang tamu.
Tegap. Dingin. Tak tersenyum.
Adrian Raharjo.
Ia tidak banyak berubah—mungkin sedikit lebih dewasa, sedikit lebih kurus, tapi mata itu… mata itu masih sama. Ditambah kacamata bertengger dihidungnya, mata indah yang selalu membuatnya terhipnotis. Wajah itu selalu menjadi kabut terakhir yang ia lihat sebelum ia meninggalkan Indonesia.
Mereka saling memandang. Sunyi. Seolah dunia mengecil, menyisakan hanya detak jantung yang tak teratur dan napas yang tertahan.
“Selamat datang kembali,” suara Adrian terdengar datar, tapi tak kasar.
“Terima kasih,” jawab Aruna, singkat.
Ia ingin mengatakan banyak hal. Tentang betapa aneh rasanya kembali. Tentang betapa ia berharap Adrian tidak menyambutnya duluan. Tentang kenangan yang ia coba kubur dengan keras kepala selama empat tahun terakhir. Tapi tak ada kata yang keluar. Hanya jeda, dan jantung yang berdebar lebih keras daripada biasanya.
“Papa di kantor. Mama lagi ke spa. Mereka minta maaf nggak bisa sambut kamu langsung,” lanjut Adrian sambil menoleh sedikit, memberi isyarat agar Aruna ikut masuk lebih jauh.
Aruna mengangguk. “Aku tahu. Papa nelpon tadi.”
Ruang makan terlihat seperti biasanya. Tertata sempurna, steril, dan sedikit terlalu sunyi. Ia duduk di ujung meja, tempat yang selalu jadi favoritnya karena bisa melihat seluruh ruangan.
Adrian berdiri di seberangnya, tidak duduk, seolah tak betah berlama-lama di ruangan yang sama.
“Aku dengar kamu jadi COO sekarang,” ucap Aruna akhirnya.
Adrian menoleh. “Sementara.”
“Papa percaya kamu.”
“Dia butuh seseorang yang bisa dia andalkan.”
“Dan itu kamu.”
“Untuk saat ini.”
Jawaban-jawaban Adrian tajam dan pendek, seperti garis-garis yang tak mau disambungkan. Tapi Aruna mengenalnya. Ia tahu di balik sikap dingin itu, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, lebih takut untuk disentuh. Ia pernah melihatnya. Pernah memeluknya. Pernah mencium sisa-sisa itu di kening pria itu, di malam yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Aruna berdiri. Ia tidak tahan duduk di bawah tatapan kosong yang terasa terlalu familiar itu.
“Bagaimana keadaan perusahaan?” tanyanya, mengalihkan topik ke sesuatu yang lebih netral.
Adrian menarik napas. “Berantakan. Dua proyek besar dibatalkan karena investor mundur. Beberapa kontrak merger sedang dibicarakan ulang.”
Aruna mengangguk, meski sebenarnya ia sudah tahu semua itu. Papa meneleponnya dua minggu lalu, suara tua itu terdengar lebih lelah dari biasanya. Katanya, hanya Aruna yang bisa menyelamatkan nama keluarga ini.
“Dan aku dibutuhkan untuk… menyelamatkan keadaan?” tanyanya, sedikit sinis.
“Begitu kata Papa.”
“Dan menurut kamu?”
Adrian terdiam lama, lalu akhirnya berkata pelan, “Aku tidak tahu.”
Jawaban itu mengiris lebih dalam daripada yang Aruna harapkan.
Ia ingin bertanya: Kamu tidak tahu karena kamu tidak percaya padaku? Atau karena kamu takut aku kembali? Tapi lidahnya kelu.
“Baiklah,” gumam Aruna, “aku akan coba pelajari semua laporan malam ini.”
“Data lengkapnya ada di kamar kamu. Aku minta sekretaris susun rapi sesuai urutan timeline.”
“Kamu tahu aku suka urutannya begitu?”
Adrian tak menjawab. Ia hanya menatap Aruna sebentar, lalu berbalik meninggalkan ruangan.
Langkah-langkahnya tenang, tapi meninggalkan jejak yang bergema di hati Aruna lebih keras dari suara sepatu di lantai marmer.
---
Di kamar lamanya, Aruna mendapati semua barang miliknya masih sama. Bahkan seprai tempat tidurnya masih bermotif biru langit yang ia pilih sendiri saat SMA. Tapi di atas meja kerjanya, segalanya sudah berubah. Dokumen. Laptop baru. Sticky notes dengan tulisan Adrian.
Rapi. Teliti. Jaraknya pas.
Seperti bagaimana ia mengatur segalanya. Seperti bagaimana Adrian selalu menjaga jarak dari dirinya, bahkan ketika mereka hanya berjarak satu helaan napas malam itu, empat tahun lalu.
Tangannya gemetar sedikit saat menyentuh secarik kertas kecil yang tertempel di folder:
“Kalau ada yang perlu ditanyakan, kamu tahu ke mana harus mencariku.”
— A.
Bukan "hubungiku", bukan "telepon aku". Tapi “mencariku.”
Seolah Adrian tahu Aruna akan mencarinya. Dan bagian paling menyakitkan adalah—ya, itu benar.
---
Malam datang cepat di Jakarta. Hujan akhirnya turun, seperti beban yang tak sanggup lagi ditahan langit. Aruna berdiri di balkon kamarnya, memandang taman yang basah oleh rintik.
Di kamar sebelah, lampu menyala. Cahaya kuning temaram menyelinap di antara tirai. Ia tahu itu kamar Adrian. Masih sama. Masih dekat. Tapi terasa lebih jauh dari sebelumnya.
Aruna memejamkan mata.
Empat tahun lalu, di balkon ini, ia pernah mengatakan satu hal yang mengubah segalanya.
"Kalau aku bukan adikmu, Adrian, kamu akan memilihku?"
Dan Adrian tak menjawab. Hanya mencium keningnya, lalu masuk ke kamar tanpa sepatah kata.
Keesokan harinya, Aruna terbang ke London. Ia tak menoleh ke belakang. Tak berani.
Tapi sekarang ia di sini. Dan pertanyaan itu belum pernah benar-benar hilang.
---
Karena beberapa cinta tidak pernah mati. Hanya tertunda. Hanya disangkal. Hanya menunggu waktu yang cukup kelam untuk kembali muncul ke permukaan.
Tujuh belas tahun lalu, rumah itu menyambut seorang anak laki-laki dengan tatapan kosong dan langkah enggan.
Namanya Adrian Raharjo. Usianya tiga belas. Tingginya hampir sama dengan Aruna yang kala itu baru genap sebelas, tapi cara ia berdiri… membuatnya terlihat jauh lebih dewasa. Terlalu dewasa untuk anak seumurannya. Atau mungkin, terlalu rusak untuk disebut anak-anak.
Aruna masih ingat hari itu dengan jelas. Ia sedang duduk di tangga, membaca komik ketika mobil hitam itu berhenti di depan teras. Dari dalamnya keluar seseorang yang membuat Mamanya tampak gugup—Papa.
Dan seorang anak laki-laki dengan mata yang dingin.
Ia tidak menangis. Tidak juga menunduk. Tidak menyapa siapa pun. Hanya berdiri di samping Pak Bram Adikerta, seperti bayangan yang baru saja dihidupkan.
“Kamu Adrian,” kata Mama, mencoba tersenyum ramah. “Selamat datang di rumah ini, ya, Nak.”
Adrian hanya mengangguk pelan.
Aruna mengamati dari balik pagar tangga. Ia tak tahu harus merasa apa. Anak itu tampak seperti tokoh misterius dalam cerita detektif: pendiam, penuh rahasia, dan tidak menyukai tatapan langsung.
“Kakakmu baru datang,” kata Mamanya kemudian, saat mereka duduk di ruang makan malam itu.
“Dia bukan kakakku,” kata Aruna pelan, tanpa bermaksud jahat.
Tapi kalimat itu menghentikan suasana.
Adrian hanya duduk diam, menunduk ke piringnya. Tak menyentuh makanan. Tak menunjukkan kemarahan. Tapi sorot matanya… kosong. Seperti sudah terlalu sering mendengar penolakan.
Setelah malam itu, segalanya berubah.
Aruna tak diizinkan tidur di kamar sebelah karena sudah diberikan untuk Adrian. Ia pindah ke kamar belakang, yang dulunya gudang kecil. Mama mulai menyebut mereka “anak-anak”—bukan hanya “Aruna”.
Papa sering terlambat pulang, tapi kini ada orang lain yang menunggunya bersama Aruna. Yang diam-diam ikut les privat bersama guru yang sama. Yang masuk sekolah baru, satu tingkat di atas Aruna, tapi diantar dan dijemput oleh supir keluarga yang sama.
Tapi bukan itu yang paling membuat Aruna gusar.
Yang membuatnya gelisah adalah caranya Adrian selalu diam, tapi memperhatikan.
Ia tahu di mana Aruna menyembunyikan cemilan kesukaannya. Ia tahu jam berapa Aruna biasa menangis diam-diam di kamar, dan menyelipkan tisu di bawah pintu tanpa bicara. Ia tahu Aruna tidak suka tomat, dan diam-diam memindahkannya ke piring sendiri saat makan malam.
Dan Aruna… mulai tahu Adrian tidak sekeras yang ia pikir.
Malam-malam saat lampu kamarnya belum dimatikan, ia melihat Adrian duduk sendiri di balkon, menatap langit seperti mencari seseorang. Di hari ulang tahunnya, Adrian memberinya buku sketsa, padahal Aruna belum pernah memberitahu siapa pun bahwa ia suka menggambar.
“Kamu ngintip, ya?” katanya waktu itu, setengah menggoda.
Adrian hanya mengangkat bahu. “Kamu pernah bilang saat ngigau.”
Aruna tertawa kecil, dan itu mungkin pertama kalinya ia tertawa di dekat Adrian tanpa beban.
Lalu, mereka mulai akrab. Dengan cara yang diam, tidak biasa, tapi nyata.
Mereka tidak saling menyebut 'kakak' dan 'adik'. Tidak pernah. Bahkan saat Mama memaksakan panggilan itu, mereka hanya saling tatap, lalu tertawa kecil setelahnya.
Seperti ada kesepakatan yang tak pernah diucap: mereka bukan saudara. Mereka hanya dua anak yang dilempar ke dalam satu atap dan dipaksa belajar bertahan.
---
Masa SMA menjadi lebih rumit.
Adrian semakin cemerlang. Nilainya tak pernah turun. Ia diterima di SMA internasional dengan beasiswa penuh, dan mulai sering menghilang untuk kegiatan akademik. Aruna melihatnya hanya di malam hari, saat makan malam, atau saat ia tertidur di sofa dengan buku di tangan.
Tapi ketidakhadiran itu justru membuat Aruna sadar—ia merindukan kehadiran Adrian.
Dan rasa rindu itu tidak terasa seperti rindu pada kakak. Tidak seperti rindu pada teman. Tapi seperti ada ruang kosong di dalam dada yang hanya bisa diisi oleh satu sosok.
Adrian.
Satu malam, saat listrik padam karena hujan badai, Aruna mengendap ke kamar sebelah. Usianya enam belas, cukup besar untuk tahu apa itu rasa suka, cukup naif untuk tidak tahu cara menyembunyikannya.
Ia masuk pelan, dan mendapati Adrian duduk di lantai, menghadap jendela.
“Kamu ngapain?” bisiknya.
“Nunggu lampu nyala.”
“Kenapa nggak tidur aja?”
“Karena kamu bakal datang.”
Aruna tertegun. “Apa?”
Adrian menoleh. Untuk pertama kalinya, mata itu tak dingin. Ada senyum samar di sana. “Kamu takut gelap.”
Aruna duduk di sebelahnya. “Kamu hafal semua tentang aku, ya?”
“Sedikit.”
“Kenapa?”
Adrian tak menjawab. Ia hanya menoleh ke luar jendela lagi, dan Aruna merasa seolah dirinya sedang mengintip hati seseorang yang sudah terlalu lama terkunci.
Malam itu, mereka duduk berdampingan hingga hujan reda. Tak bicara banyak. Tapi udara di antara mereka terasa begitu padat. Begitu rapuh.
Dan malam-malam seperti itu terus datang. Dalam bentuk berbeda. Dalam percakapan samar. Dalam kehadiran yang pelan-pelan menjadi kebutuhan.
---
Saat Adrian lulus SMA dan diterima di kampus ternama, Papa sangat bangga. Tapi saat Aruna menyusul dua tahun kemudian, masuk universitas yang sama, semua terasa berbeda.
Mereka bukan lagi dua remaja yang tak tahu bagaimana cara bicara satu sama lain. Mereka jadi teman kuliah, satu komunitas, saling antar pulang, bahkan sesekali tertangkap kamera teman-teman karena terlalu sering terlihat berdua.
Dan saat itulah segalanya mulai bergeser.
Ada malam-malam yang terlalu tenang di balkon kampus. Ada tatapan yang terlalu lama bertahan. Ada kecemburuan yang datang saat Aruna mulai dekat dengan pria lain, dan keheningan yang terlalu tajam saat Adrian berpacaran dengan gadis dari jurusan hukum.
Hingga akhirnya datang satu malam, satu malam yang tak pernah benar-benar mereka bicarakan setelahnya.
---
Hari itu, mereka baru saja merayakan kelulusan Aruna. Semua teman sudah pulang. Minuman sudah habis. Musik sudah dimatikan. Hanya mereka berdua di ruang tamu apartemen sewaan teman.
Aruna duduk di lantai, kakinya selonjoran, pipinya memerah sedikit karena alkohol.
“Kamu tahu nggak,” katanya pelan, “aku nggak pernah anggap kamu kakakku.”
Adrian duduk di sofa, satu kaki disilangkan, menatapnya dari atas. Matanya redup.
“Aku juga nggak pernah anggap kamu adikku,” balasnya.
Aruna tertawa pendek. “Bagus.”
Hening.
“Kamu menikmati bekerja di perusahaan Papa?” tanya Aruna kemudian.
"Ya tentu saja, kamu akan ikut bukan? Kita bisa S2 bersama disini."
Aruna menggelengkan kepalanya. “Aku mau ambil S2 di luar negeri.”
“Mama tahu?”
“Belum. Tapi aku akan pergi.”
Adrian terdiam lama. “Kamu lari?”
“Bukan. Aku… takut tinggal.”
“Takut kenapa? Bekerja di perusahaan papa?"
Aruna menoleh padanya. “Bukan, Karena aku nggak tahu gimana caranya mencintai kamu… tanpa merasa bersalah.”
Itulah malam pertama Adrian mencium pipinya. Namun Aruna bertindak lebih, ia mengecup bibir Adrian tanpa rasa malu. Adrian hanya terdiam dan termenung.
Dan pagi harinya, Aruna memesan tiket pesawat ke London.
---
Empat tahun sudah berlalu sejak malam itu. Usia Aruna sudah 28 Tahun dan Adrian sudah 30 tahun. Mereka sudah dewasa.
Tapi kenangan tetap tinggal. Tertanam. Diam. Tak pernah benar-benar mati.
Dan sekarang, dengan jarak yang telah ditebas oleh waktu dan jarak, Aruna kembali ke rumah yang sama. Ke kamar yang sama. Dan kamar di sebelahnya—masih ditempati oleh pria yang dulu ia sebut sebagai segala yang tak boleh.
Adrian Raharjo. Pria yang bukan saudaranya. Tapi juga bukan miliknya.
Belum.
Hidup berputar aneh saat seseorang yang kau coba jauhi justru terus ada di sekitarmu. Seperti orbit yang tak pernah bisa lari dari pusat gravitasinya, Aruna mendapati dirinya tetap saja berputar dalam lingkaran Adrian Raharjo.
Mereka kuliah di universitas yang sama—kampus swasta prestisius di tengah kota. Aruna masuk dua tahun setelah Adrian, tapi dunia mereka seolah tetap saling bersinggungan. Tak peduli berapa banyak bangunan dan orang di antara mereka, entah kenapa langkah mereka selalu menuju arah yang sama.
Mereka bukan pasangan. Bukan juga kakak-adik. Tapi lebih dari sekadar teman. Dan kedekatan semacam itu adalah bencana yang menunggu meledak.
Aruna ingat betul hari pertama masa orientasi. Ia sedang sibuk mengisi formulir di bawah tenda pendaftaran saat suara yang tak asing itu memanggil namanya.
“Aruna.”
Ia menoleh. Adrian berdiri di bawah pohon palem, tangan dimasukkan ke saku celana, ekspresi netral seperti biasa. Tapi mata itu… tetap sama seperti yang ia ingat. Tajam dan dalam.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Aruna sambil menyipitkan mata. “Kamu bukan panitia, kan?”
“Enggak,” katanya, lalu menunjuk coffee shop kecil di seberang lapangan. “Cuma lagi iseng lihat-lihat. Aku baru kelar sidang skripsi.”
“Oh.” Aruna sedikit gugup. “Kamu… sidang sekarang?”
Adrian mengangguk. “Diterima. Lulus.”
Sejenak mereka saling diam, lalu Adrian membuka mulut lagi, “Selamat datang di kampus.”
“Terima kasih,” jawab Aruna. Tapi hatinya tidak tenang.
Itulah awal dari segala kebetulan yang tidak pernah terasa kebetulan.
---
Selama dua tahun berikutnya, Aruna dan Adrian berjalan berdampingan seperti dua garis sejajar. Tidak bersentuhan, tapi terlalu dekat untuk pura-pura tidak saling tahu. Mereka tidak pernah kuliah di kelas yang sama, tapi sering bertemu di lorong, perpustakaan, bahkan kantin.
Adrian sering duduk di pojok ruang baca, dan entah kenapa, Aruna lebih suka belajar di sana juga. Ia sering mengatakan pada teman-temannya, “Di sana lebih tenang,” padahal ketenangan yang ia cari bukan tentang suasana, tapi tentang seseorang yang tidak bicara, tapi membuatnya merasa terlihat.
Lalu ada sore-sore ketika hujan turun mendadak dan Aruna lupa bawa payung. Seolah alam semesta tahu, Adrian muncul dengan jaket atau payung lipat, tanpa diminta.
“Sering banget ya kebetulan kita ketemu?” tanya Aruna suatu malam, saat mereka naik ojek online yang sama karena pulang dari kampus bersamaan.
Adrian hanya menoleh. “Kamu pikir ini kebetulan?”
Aruna terdiam. Tak tahu harus senang atau takut.
Tapi hubungan mereka tidak pernah melebihi batas yang mereka—atau mungkin dunia—telah tentukan. Tak ada genggaman tangan. Tak ada pelukan. Hanya kebersamaan yang tumbuh diam-diam, seperti benih di tanah yang tak pernah disiram, tapi tetap hidup karena embun dan waktu.
Sampai akhirnya datang satu masa ketika Aruna menyadari, bahwa ia mulai membandingkan semua lelaki yang mendekatinya dengan Adrian.
---
Ada seorang mahasiswa tahun akhir, Davin, yang mulai mendekati Aruna di tahun kedua kuliahnya. Cerdas, sopan, cukup lucu, dan berasal dari keluarga baik-baik. Semua orang di sekitarnya menyukai Davin.
Aruna mencoba membuka diri. Mencoba merasa “normal.”
Mereka sempat makan malam bersama. Menonton film. Bahkan Davin sempat mengantarnya pulang ke rumah. Tapi saat tangan Davin menyentuh tangannya, Aruna merasa ada yang salah. Bukan karena Davin kasar. Tapi karena sentuhan itu tidak membekas.
Berbeda dengan ketika jarinya bersenggolan dengan Adrian saat mengambil gelas di dapur. Sentuhan yang begitu singkat, tapi membuat dadanya sesak sepanjang hari.
Sampai akhirnya, di sebuah pesta ulang tahun teman sekelas, Davin bertanya padanya, “Kenapa kamu selalu kelihatan seperti kamu nunggu seseorang?”
Aruna tersentak. “Maksudnya?”
“Kamu baik. Ramah. Tapi kayak nggak sepenuhnya ada di sini. Kayak sebagian dirimu masih ada di tempat lain.”
Aruna tidak bisa menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu meminta izin pulang lebih awal.
Malam itu ia tidak bisa tidur. Ia duduk di balkon apartemennya, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, memikirkan apa yang tak pernah ingin ia akui: bahwa sebagian dirinya memang selalu menunggu Adrian. Diam-diam. Dalam. Dan tak bisa dihapus.
---
Sementara itu, Adrian juga menjalani hidupnya. Ia tidak pernah menjalin hubungan serius. Pernah terlihat dengan seorang gadis dari jurusan hukum—Evelyn, yang cerdas dan ambisius. Tapi hanya sebentar. Lalu hilang begitu saja.
Aruna tidak pernah bertanya, dan Adrian tidak pernah bercerita. Tapi ketika mereka bertemu di koridor kampus, ada tatapan di mata Adrian yang membuat Aruna yakin: ia tahu. Ia tahu Aruna tahu.
Dan mereka berdua sama-sama pura-pura tidak tahu.
---
Hubungan mereka selalu seperti itu: saling mengerti tanpa perlu kata-kata. Tapi diam-diam, pengertian itu menyakitkan. Seperti luka yang disiram dengan air garam.
Satu malam, mereka pulang bersamaan dari acara seminar kampus. Hujan deras membuat mereka terjebak di bawah kanopi halte. Adrian mengeluarkan rokok, menyalakannya dengan tangan gemetar karena udara dingin.
“Kamu masih ngerokok?” tanya Aruna. Suaranya datar.
“Kadang,” jawab Adrian.
“Papa nggak suka kamu ngerokok.”
“Papa nggak benar-benar peduli,” balas Adrian, lalu meniup asap ke udara.
Aruna diam. Lalu berkata, “Kenapa kamu bisa sedekat ini sama keluargaku, tapi tetap ngerasa bukan bagian dari kami?”
Adrian memalingkan wajah. “Karena aku memang bukan bagian dari kalian.”
“Papa angkat kamu. Mama juga sayang.”
“Sayang seperti apa? Seperti memelihara kucing? Atau seperti… menambal kekosongan?”
Aruna menelan ludah. “Kamu tahu bukan itu maksudnya.”
Adrian mematikan rokoknya. “Kalau kamu jadi aku, kamu juga akan ngerasa sama.”
“Kamu tahu nggak, aku sering merasa… kamu bukan hanya bagian dari keluarga ini,” Aruna berbisik. “Tapi bagian dari aku.”
Adrian menoleh. Pandangannya menusuk. Hujan deras mengaburkan suara, tapi tatapan itu terlalu jelas untuk salah dimengerti.
“Kamu mabuk?” tanyanya, nyaris pelan.
“Enggak.”
“Lagi bingung?”
Aruna menggeleng.
“Lagi berani, mungkin,” tambahnya.
Adrian tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatapnya lama, sebelum akhirnya melangkah menjauh, memanggil taksi daring tanpa menoleh lagi.
Dan Aruna berdiri di sana, menggigil bukan karena hujan, tapi karena hatinya yang baru saja membuka satu pintu… dan tak tahu apakah itu akan disambut atau ditutup selamanya.
---
Beberapa minggu sebelum kelulusan Adrian, mereka tidak berbicara sama sekali. Bahkan saat bertemu di kampus, mereka hanya saling mengangguk kecil—saling sadar tapi tak saling sapa.
Namun malam sebelum wisuda, Adrian meninggalkan sesuatu di meja kerja Aruna di perpustakaan: sebuah buku tua, The Little Prince, dengan halaman yang ditandai.
Di sana tertulis:
“It is the time you have wasted for your rose that makes your rose so important.”
Dan di bawah kutipan itu, hanya ada inisial: —A
Aruna membaca kutipan itu berkali-kali, sampai hurufnya nyaris hapal di luar kepala.
Adrian tidak pernah menyatakan perasaannya. Tidak dengan kata-kata. Tapi mungkin, selama ini ia tidak perlu.
Dan Aruna… menyadari bahwa semua waktu yang ia habiskan bersama Adrian, semua yang tak pernah mereka ucapkan… telah membentuk ruang yang tak bisa diisi oleh siapa pun selain dia.
Mereka lulus. Adrian lebih dulu. Aruna menyusul dua tahun kemudian.
Di pagi hari saat Ia akan terbang ke London, Adrian mengantarnya ke bandara.
Aruna berdiri di gerbang masuk bandara, memberikan senyuman terbaiknya.
“Aku hanya punya satu pertanyaan." Akhirnya Aruna mengeluarkan suaranya.
"Apa?" tanya Adrian
"Kalau aku bukan adikmu, Adrian… kamu akan memilihku?”
Adrian hanya menatapnya. Lama. Lalu memeluknya dengan erat. Ia tak mengatakan apapun, mengusap pipinya dan memberi senyuman. "Hati-hati" Sahutnya setelah melepsakan pelukan hangat itu."
Dan itu cukup bagi Aruna untuk tahu… bahwa jawaban dari pertanyaannya adalah “ya”—jika dunia ini tidak sekejam itu.
Download MangaToon APP on App Store and Google Play