Nina.
-
-
Vina terdengar gemetar, suaranya dari seberang telepon menjadi tidak stabil.
"Nin, Please lah, kasih gue waktu, gue pasti lunasin semuanya."
"Mau lunasin kapan lagi? Lu pake tu duit tiga puluh juta udah mau setengah taun ya, lu pikir gue panti sosial apa?" Rasanya sudah cukuplah baik sama temen modelan kayak gini, datangnya cuman pas mau pinjem duit aja.
"Kasi gue waktu sebulan, Nin... Gw pasti bakal..."
Terlambat, aku sudah mematikan ponselku, aku paling tidak suka orang yang ngomongnya bertele-tele.
Memuakkan.
"Kamu kenapa sih, sayang? Kayaknya senewen amat." Bastian tertawa sambil mengecup bagian belakang leherku.
Aku tersenyum menggoda, saat mengalihkan pandanganku ke arahnya, mengeluh. "Biasa, nyebelin banget nih, pinjem duit udah berapa bulan susah banget balikinnya."
Lelaki itu membisikkan kata-kata penghiburan mesra di atas tempat tidur, membuai.
Membuatku tertawa bahagia.
Entah sudah keberapa kali dalam tiga bulan belakangan, aku bergonta-ganti pacar. Walau aku tahu mereka hanya menginginkan materi dan tubuhku, aku tidak peduli, aku perempuan yang paling tidak betah kalau sendirian.
Makanya kalau sedang jomblo, aku buru-buru cari pengganti.
Bastian adalah pegawai dealer mobil yang rutin kukunjungi. Ia tampan, menyenangkan, bertubuh bagus dan bisa menjadi lawan bicara yang asyik. Dia banyak maunya terutama dalam soal gaya-gayaan, tapi bagiku, itu bukan masalah, selama aku masih bisa memberikan semua kebutuhannya, bagiku yang seorang putri Yanuar Wijaya, uang sama sekali bukan masalah.
"Velg mobilku perlu diganti, nih," keluhnya, seraya menciumi punggungku, aku terkekeh pelan, sudah mengerti apa maksudnya.
"Kubelikan, ya?"
Tentu saja dia senang sekali, lagipula ini kan inti dari hubungan ini?
Dia membuatku senang, dan aku juga membuatnya senang.
Ayah selalu mengejek seleraku dalam memilih laki-laki yang katanya dangkal, aku tidak pernah segan-segan menghamburkan uang untuk para bajingan yang bisa memperlakukanku dengan benar.
Lagipula, bukankah harus begini dulu baru seru?
Dan diantara mereka pun, sebenarnya tidak ada yang benar-benar kusukai.
Seperti semua hubungan lainnya yang pernah kujalani, hanya sebatas itu saja.
-
-
-
"Ya kan gue sudah bilang, bayar jangan sampe telat!" dengan kesal aku mendorong Vina sampai terjerembab ke lantai.
Aku nggak habis pikir ya, kenapa orang tuh kalau soal minjem duit cepet, tapi bayarnya suka lama.
Vina juga sama saja.
Awalnya kupikir dia beda karena dia anak direktur, kami sering clubbing dan menghabiskan waktu bersama sejak masa SMA, tapi ternyata bokapnya bangkrut beberapa bulan lalu karena tersangkut kasus korupsi.
"Gue mohon, Nin! Sabar dulu!" tangis Vina pecah di kakiku. "Gue lagi nyari jalannya, utang keluarga gue banyak banget yang harus gue lunasin, gue janji sama lu, sebulan lagi aja..."
"Halah," sekali lagi, aku menepisnya, tanpa perlu susah payah memelankan suara sampai semua tetangga Vina yang berkumpul untuk melihat keributan itu mendengar semua yang terjadi.
Ibu dan adik-adik Vina segera memeluk Vina yang tergugu dalam tangis di atas tanah.
Membuatku kesal saja.
Dia bersikap seolah paling menderita sementara dia masih punya Ibu dan adik-adiknya?
Menyebalkan!
"Lu masih punya aset, kenapa lu nggak jual diri aja sekalian, buat bayar hutang-hutang bokap lu? Itu juga kalo laku." hinaku, membuat wajah Vina memerah seketika menahan tangis dan amarah.
"Nina, lu apa nggak keterlaluan? Kita udah temenan dari SMA, lu nggak liat keadaan gue sekarang lagi kayak gimana? Tega lu nambah-nambahin? Kalo gue mau lari, nggak bakal gue kasi tahu lu di mana tempat tinggal gue sekarang!" memang, ia tidak berbohong soal itu, tempat tinggalnya sekarang pun bukan lagi rumah mewah berlantai empat yang kuingat.
Melainkan gubuk, kontrakan kumuh sepetak di kampung pinggiran kota Jakarta.
Bahkan saat menuju ke mari pun, aku tidak bisa menahan jijikku mencium betapa bau dan joroknya lingkungan kelas bawah ini.
Tapi apakah aku peduli?
"Masalah keluarga lu bukan urusan gue! Kalo mau benci, benci aja bokap lu yang koruptor,"
"Lu jahat banget, Nina... Gue pikir selama ini kita temenan... Iya gue juga sadar kalo gue ada utang sama lu, tapi nggak begini juga caranya Nin!"
Dengan kebencian luar biasa, aku menendang tubuh Vina yang terseok sedih, semakin benci melihat betapa Ibunya mati-matian berusaha melerai kami dan melindunginya, "Lu masih bisa banyak omong di saat seperti ini? Apa? Lu mau bales mukul gue? Pukul! Gue pastiin gak cuman Bokap lu yang di penjara setelah ini! Sadar diri dong, elu tuh udah jatuh miskin!"
Vina terdiam, menyadari kebenaran kata-kataku, nyatanya, ia sendiri memang berada di pihak yang tidak bisa melakukan perlawanan untuk sekarang. "Gue harap lu nggak mengalami kayak apa yang gue alami yah Nin..." lirihnya dengan tangan mengepal, tertunduk.
"Oh tenang aja, Bokap gue nggak setolol Bokap lu." balasku sambil meludah.
Aku sendiri sebenarnya tidak begitu membutuhkan uang tiga puluh juta rupiah itu, bagiku uang tiga puluh juta hanya soal remeh, tapi sejujurnya, dalam hati, sudah sejak lama aku sangat membenci Vina, karena dia memiliki apa yang aku tidak miliki, yaitu keluarga yang hangat dan utuh.
Bahkan tanpa Ayahnya yang koruptor itu saja, dia masih memiliki Ibu yang perhatian dan adik-adik yang bisa menjadi kekuatan.
Aku hanya ingin mempermalukannya, membuatnya merasa buruk, seburuk-buruknya, seperti apa yang kurasakan selama bertahun-tahun kehidupanku.
Semua demi kesenanganku sendiri.
Inilah pertemanan kami. Hahaha.
Tidak ada yang sungguh-sungguh tulus di lingkaran sosialita kelas atas, meski membaur sesama anak pejabat dan kaum elit, jauh di dalam hati, sebenarnya kami saling membenci satu sama lain, dan bersabar menunggu kejatuhan masing-masing.
Bastian tetap di tempat, bersender pada mobil mewah yang kubelikan untuknya, menungguiku selesai meneriakkan semua caci maki, semua aib temanku dan membuatnya sekeluarga merasa malu. Melampiaskan semua stress dan rasa frustrasiku pada Vina dan keluarganya.
Ia menaikkan kacamata hitam yang ia kenakan, segera menyambut saat melihatku melangkah cepat menuju mobil.
"Udah selesai urusannya, cantik?" godanya, aku tidak menjawab. Hanya membetulkan posisi tas birkin di lenganku.
Bastian tidak bicara lagi, paham bahwa moodku juga sedang buruk, lalu membukakan pintu mobil seperti seorang gentleman.
"Bawa mobilnya yang jauh," ucapku, menyandarkan kepala pada sandaran empuk, "Sejauh, dan secepat mungkin."
****
Niko.
-
"Kamu memang anak lelaki itu, kamu mirip sekali dengannya,"
Suara Air.
Aku tidak bisa bernafas,
Dan suara Ibu tidak henti-hentinya mengutuk.
"Membuatku kesal saja..."
Sakit, Bu, aku tidak bisa bernafas... Berhenti, Sakit sekali, dadaku sesak, rasanya seolah terbakar...
"Niiiko,"
Aku tersentak dari lamunan, spontan menoleh ketika suara tinggi Abel berdenting memanggil namaku, diikuti senyuman ceria gadis berhijab itu.
"Hahaha, kenapa?"
Novita Bella Syahputri, biasa dipanggil Abel, nampak cemberut, dengan segera mengambil tempat di bangku kafetaria kampus yang kosong, tepat di sampingku, "Kamu nggak bales SMS aku kemaren?" ia melengos, kelihatan tidak puas.
Kami pertama kali bertemu pada masa orientasi maba, dan meskipun beda fakultas, aku mengambil Hukum, dan Abel memilih Kedokteran, kami berdua tetap berteman baik.
"Wah, soriii Bel, aku jarang SMS-an," jawabku, tertawa melihat kelucuannya merajuk.
Abel ini orang baik, dia seringkali membawakanku makanan dan bekal yang dibuatnya sendiri, aku menghargai itu. Bahkan di tengah kebisingan hiruk pikuk kafetaria ini pun, dia masih bisa menemukanku, "Kemarin malam aku langsung balik ke rumah abis siaran," aku jarang mengecek Hp, biasanya kalau Nina atau Ayah kami ada perlu, mereka akan langsung menelepon.
"Tahu kook, tapi kok kamu nggak On juga sih di RF? Sepi tahu nggak ada Antarez."
Aku tersenyum, 'Antarez' adalah username yang kupakai saat bermain game.
Abel tahu itu karena dia juga bermain game yang sama denganku.
"Tidur Bel, kan kebo," selorohku,
Yah, nggak mungkin juga kan aku kasih tahu Abel kalau aku sibuk merawat kakak perempuanku yang teler tadi malam.
Aku semalaman menemani Nina yang terus mengigau dan tetap di sampingnya, bangun pagi-pagi sekali untuk membuat sarapan lalu meninggalkannya di meja.
Nina pasti bangun setidaknya jam sebelas siang.
Jadi aku segera berangkat tanpa membangunkannya, atau dia akan marah sekali karena merasa tidurnya terganggu.
Abel memesan bakso yang sama denganku, lalu mulai makan, "Belakangan kamu ada masalah yah, Nik?"
Aku melirik kearah Abel yang sedang menambahkan saos banyak-banyak ke mangkoknya, pura-pura bodoh, "Masalah? Nggak ada tuh,"
"Soalnya belakangan suka ngelamun gitu,"
"Masa?"
"Masalah keluarga, yah?" Abel terdiam lagi, sesaat memasang ekspresi menyesal, lantas gadis itu menunduk, seakan-akan dia merasa bersalah sudah bertanya terlalu jauh.
Dia memang suka mencemaskan temannya, inilah sisi baik Abel.
"Terus?" Senyumku,
Dan cara ini bekerja, karena selanjutnya Abel sama sekali tidak bisa bertanya lebih jauh.
"Ah, enggak..."
Mengalihkan pandangan darinya, aku tetap santai, berusaha menghindari topik sensitif sambil tetap bersikap sopan pada temanku ini.
Aku menghargai teman, tapi menghargai dan menceritakan soal pribadiku pada mereka adalah dua hal berbeda.
"Niko, kamu tahu kan, kalau soal kamu, aku..."
Ucapan Abel terpotong karena Hp ku berdering, aku segera mengangkat panggilan masuk.
"Ya?"
"Saudara Niko Yanuar?"
"Ya, dengan saya sendiri..."
Temanku terkejut saat aku mendadak bangkit dan berdiri.
"Niko...?"
Berikutnya,
Setengah berlari, Abel mempercepat langkahnya hingga ketempat parkir, berusaha keras mengejar langkahku.
"Kamu kenapa? Mau kemana?" Ia bertanya dengan nada khawatir, aku hanya mengabaikannya sambil memasang helmku.
"Niko...!"
"Sori, Bel," Aku memberitahunya sambil menstarter sepeda motorku.
"Kakakku kecelakaan."
(To Be Continued...)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Ros Onjo
up lg
2024-05-09
1