DRASHH
Hujan lagi ....
Ia hanya bisa meletakkan payung basah miliknya di teras. Membiarkan rasa dingin dan tirai hujan memenuhi perasaannya.
Hujan hari ini sama seperti hujan yang biasanya.
Tanpa lelah ia terus memandangi hujan. Meski seribu kali ia menatap hujan, air yang jatuh akan tetap menjadi air. Bukan uang atau pun permata.
"Aku akan kaya tujuh turunan kalau beneran hujan uang," ucapannya sudah mulai melantur.
Namun pandangannya perlahan berubah menjadi nanar. Meski ia ingin berhenti menatap hujan, tetapi ia sangat menunggu hujan untuk turun.
Apakah ia harus menghentikan omong kosong ini?
Matanya menatap jalan lenggang yang ada di hadapannya. Semuanya terjadi beberapa tahun yang lalu, di sini dan di kala hujan mendera bumi. Penantian ini ...
"Aku masih menunggu hujan yang sama.
***
Ingatannya kembali pada masa itu ...
Saat itu hujan.
Yah, hanya hujan yang sama. Bukan hujan luar biasa seperti hujan bunga atau uang sekali pun.
Ia mengukur jalan dengan kaki, dan memilih jalan berputar untuk menghindari sampai pada tujuan. Entah tujuan itu masih bisa disebutnya sebagai rumah atau tidak.
Jelas dirinya bukan gelandangan. Namun sejak awal rumah yang dimaksud bukanlah rumah dalam artian yang biasa.
Terkadang kau perlu menggunakan metafora untuk melukiskan sesuatu. Rumah itu jelas tak bisa dikatakan sebagai rumah lagi.
Angin menderu dan membuatnya gemetar pelan. Apa dirinya harus segera pulang?
Namun hari ini adalah hari perceraian Papa dan Mama.
Sebenarnya perceraian mereka tidak membuatnya terkejut. Jujur saja dirinya tak akan menutupinya.
Mereka berdua hanyalah dua orang yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Hanya karena sebuah ikatan yang disebut sebagai bisnis, mereka berdua bersama. Memasang senyum dan gestur akrab seolah mereka saling mencintai.
Itu terjadi selama bertahun-tahun, dan dirinya tak terkejut jika mereka merasa lelah.
Namun mereka seharusnya tak meninggalkan jejak untuk hubungan mereka itu. Jejak itu adalah dirinya. Dan, seharusnya 'jejak' seperti dirinya tak pernah mereka hadirkan di dunia ini.
Kata orang, anak adalah buah cinta. Akan tetapi, jika mereka tak saling mencintai, apakah itu masih bisa disebut buah cinta?
Lucu sekali ....
Dirinya merasa kasihan pada mereka yang harus melihat luka mereka sendiri selama 13 tahun ini. Luka mereka adalah dirinya.
Nashira, atau mungkin kita bisa memanggilnya dengan Shira.
Sebagai luka, mereka jelas tak memandang Shira dengan cara orangtua pada biasanya.
Perceraian mereka diributkan oleh sidang terus-menerus mengenai hak asuh.
Bukan ....
Mereka tak memperebutkan hak Shira, tetapi mereka saling melempar hak asuh iyu. Dan, Shira sedikit pun tidak sedih tentang ini.
Ia terbiasa.
Dengan beralasan pergi ke rumah teman, Shira berhasil melarikan diri dari proses pindahnya Mama dari rumah. Padahal dirinya hanya berjalan-jalan di sekitar taman hingga malam datang.
Setidaknya Shira harus bergembira karena terbebas dari sinetron hariannya di rumah. Namun ada satu sisi dimana ia merasa lebih baik mereka terus berlakon. Ini semakin lama membuatnya menjadi plin-plan.
"Aku harus bersyukur atau tidak sih sekarang?" cetus Shira sambil melompat-lompat pada genangan air.
Ketika Shira sampai di depan rumahnya, ia lagi-lagi terpaku.
"Jadi malas masuk!"
Namun jika remaja sepertinya berkeliaran malam-malam, itu rasanya kurang pantas. Ini benar-benar menyebalkan. Rasa ingin berteriak kencang karena sebal.
"Temani aku malam ini, dan aku akan membayarmu."
Eh?
Shira harus melakukan olahraga kepala sebentar dengan cara menatap ke kiri dan kanan berkali-kali. Akan tetapi, Shira tak melihat sumber suara dingin itu.
Apa dirinya berhalusinasi?
"Ha.. ha.. ha..."
Mendadak Shira tertawa untuk menghilangkan aroma horor di sekitarnya. Tidak lucu kan jika ini berubah jadi cerita horor?
KREK
"HUWAA ...." teriakkan yang Shira bangga-banggakan akhirnya keluar.
BRUK
Dengan tidak elitnya Shira terjatuh ke genangan air tanpa bisa mengatur posisi yang baik. Beruntung Shira jarang menggunakan rok, sehingga dirinya tak perlu takut dalamannya terlihat.
Hari ini cukup sial ...
"Eh? Aku terjatuh tadi karena apa?" pikir Shira di dalam hati.
Matanya langsung melirik pada seonggok manusia yang tengkurap di antara genangan air. Dengan gemetar Shira tak bisa menahan telunjuknya untuk menuju ke arah onggokan itu. Mulut kecil Shira terbuka tanpa bisa mengatakan apa-apa.
"Apa aku akan jadi saksi pembunuhan? Bagaimana nanti jika aku yang menjadi tersangka?" Pikiran Shira yang mulai negatif menjadi lebih negatif.
Shira bersila untuk memberi penghormatan, "Semoga tenang jiwanya, Paman. Aku tak akan memindahkan tubuh Paman biar nantinya mudah ditemukan."
Setelah itu, Shira merangkak untuk menjauhi seonggok makhluk itu.
"Waahhh, sepertinya aku harus pulang. Ha ... ha... ha. Hariku cerah, matahari bersinar ..."
DRASHHH
Langit tidak mendukung lagunya.
GREP
"HUWAAA ..."
Lagi-lagi Shira menyumbang suara di tengah guyuran hujan. Payungnya sudah terlepas entah kemana, dan ia sudah basah kuyup.
Buruknya lagi, Shira sudah dihantui!!!
BUGH
"Akh ... Kepalaku."
Suara itu terdengar dengan rintihan kesakitan. Sepertinya tendangan bebas yang dilayangkan Shira berhasil mendarat dengan kecepatan rata-rata.
Namun ....
"Jangan hantui aku! Silakan mencari pembunuh Paman sendiri, dan aku akan mendukung Paman lahir dan batin," ucap Shira sambil menutup mata ketakutan.
"Ternyata hanya anak berisik!"
"Berisik katanya? Dasar eek!" omel Shira di dalam hati. Hantu ini ternyata menyebalkan juga!
Shira memberanikan diri untuk membuka mata, dan mayat tadi hidup kembali. Ia harus mendepak hantu ini, dan mengajarinya sopan santun.
Eh, bukan!
Maksudnya orang yang dikira mayat itu ternyata masih hidup. Pria itu perlahan bangkit dari genangan air, dan mata sekelam malam itu langsung menghujam Shira tajam.
Shira tercekat
"Bagaimana?" tanyanya lagi.
Apanya yang bagaimana? Kabur adalah prioritas!
Namun melihat pria itu, Shira menyadari dia masih SMA. Seragam SMA-nya tampak basah didera hujan, dan perlahan mencetak tubuhnya yang mulai bidang. Ditambah lagi dengan warna merah yang menghiasi di perut bawahnya .....
"Kau terluka!"
Shira tak bisa menahan suaranya saat menyadari bahwa pria ini tengah terluka parah. Tanpa sadar Shira menghampirinya, dan membantu pria itu untuk duduk dengan baik. Entah pergi kemana ketakutannya. Mungkin telah dimakan sapi.
"UGHH ..."
Sepertinya Shira harus bertambah lebih besar lagi agar bisa membantu orang ini. Tubuh pria ini cepat berkembang, padahal dia masih anak SMA. Sehingga Shira yang lambat bertubuh kembang, kesusahan mengangkatnya.
"Kau harusnya diet, Kakak!" ucap Shira sambil mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Namun Shira tak menyadari senyum tipis yang tercipta dari bibir pria itu. Meski ia terluka parah, sepertinya pria itu sudah lupa dengan lukanya sendiri.
"HUH."
Shira merangkul pria itu untuk membawanya ke teras rumahnya. Setidaknya luka itu harus diobati agar Kakak tampan ini tidak kehabisan darah.
Setelah membantu pria itu duduk dengan baik di lantai terasnya, Shira bangkit kembali untuk masuk ke dalam rumah. Ia harus mengambil kotak P3K dan mengobati pria ini segera.
SRET
"Kau tak mau membawaku ke dalam?" tanya pria itu sambil mengerutkan keningnya kesakitan. Entah benar atau tidak, hanya Tuhan yang tahu.
Shira memainkan telunjuknya di hadapan pria itu, "Kata Tante, jangan membawa orang aneh ke dalam rumah."
Pria itu tersenyum tipis ketika menyadari gadis kecil itu sudah berlari ke dalam rumah. Bahkan gadis itu tak perduli dengan pakaiannya yang basah.
"Tak buruk juga," bisik pria itu dalam lantunan desing hujan.
***
Shira masuk ke dalam rumah tanpa sempat mengawasi keadaan. Namun dari keheningan rumah, ia tahu bahwa tidak ada siapa-siapa di sana. Sepertinya Shira akan sendiri lagi malam ini.
Oh tidak, dia masih memiliki manusia di hadapan rumahnya. Shira jelas tak mau rumahnya dihantui karena pria tampan itu mati di sana.
Dengan cepat ia meraih sepasang handuk yang tak terpakai di lemari penyimpanan. Kemudian, ia mengambil kotak P3K di lemari sebelahnya. Dan, keluar dengan tangan yang dipenuhi barang.
Ketika ia sampai di luar, pria itu tengah bersandar di pilar besar di rumahnya. Apa Shira terlambat?
"Kakak, masih bernapas atau tidak?" tanya Shira untuk memastikan.
"Iya."
Shira segera menyimpulkan jika pria ini sangat pelit berbicara.
Tanpa berpikir panjang, Shira menghampiri pria itu. Tangannya terulur untuk meletakkan handuk ke kepala pria itu, dan hanya meletakkannya.
"Harusnya kau lebih romantis."
Shira tak memperdulikan ucapan pria itu, dan memilih untuk membuka baju pria itu.
"Wah anak zaman sekarang sudah berani ya," ucap pria itu dengan senyum menggodanya.
Wajah Shira berkerut sebal. Dengan geram ia menarik paksa kemeja putih pria itu hingga robek.
KRAK
Matanya segera terpaku pada luka yang ada di perut pria itu. Jujur saja, mungkin ia hanya pernah melihat luka seperti ini di film-film action saja.
Ia tak menyangka jika luka karena tembakan ini akan bersarang di perut pria ini. Siapa sebenarnya pria ini? Bukankah dia hanya anak SMA biasa yang kalah tawuran, atau bertengkar dengan temannya?
"Ini hanya serangan dari grup lain. Berikan aku kotaknya, aku bisa mengobatinya sendiri." Pria itu mengulurkan tangannya untuk meraih kotak P3K dari tangan Shira.
"Bukankah Kakak harus dibawa ke rumah sakit? Bagaimana jika pelurunya mengenai organ vital?" tanya Shira lemah.
Pria itu berdecak, "Kau tidak melihat aku seperti akan mati kan? Sini kotaknya!"
Shira menjauhkan kotak P3K dari jangkauan pria menyebalkan itu. Ia tak berniat untuk mencampuri urusannya, tetapi luka itu tidak remeh seperti kentut. Pasti pria ini sangat kesakitan, hingga tak bisa membawa dirinya sendiri menelusuri hujan lebat.
"Ini adalah kotak punyaku. Kau tidak boleh menyentuhnya. Kalau kau takut mati, tutup mulut! Nanti aku akan mengombatimu," ucap Shira keras kepala.
"Pelurunya harus dicabut dulu."
Pria itu terlihat menahan tawa saat Shira dengan gemetar meraih perban terlebih dahulu. Mungkin gadis ini berniat menggulung perutnya dengan gumpalan perban seperti mumi. Belum lagi dengan keringat dingin yang mengalir di dahi Shira.
"Aku cuma menyentuh perbannya. Jangan kira aku tak tahu! Tutup mulutmu."
Pria itu menganggukkan kepalanya, "Kau mau mencabut pelurunya dengan tanganmu?"
Mereka tak terlihat seperti tengah berada dalam situasi yang gawat. Keduanya terlihat seperti latihan penyelamatan darurat di sekolah, dan bukan benar-benar terluka.
Shira tak pernah tahu jika wajah pria itu semakin memucat, meski pria itu terus mengganggu pekerjaannya.
"Selesai!"
PLUK
Bahu Shira menegang ketika pria itu menyadarkan kepalanya ke bahu Shira. Ia sebenarnya merasa risih, tetapi ia tak berani melepaskan kepala pria itu dari bahunya. Itu semua karena takut jika dirinya akan membuat luka pria itu terbuka lagi.
"Aku mengisi daya dulu."
Shira memutar matanya, dan berseru dalam hati, "Kau pikir aku ini charger kah?"
Namun karena pria ini bukan sahabat satu sekte yang bisa ia bawa bercanda, Shira hanya bisa menahan bahunya yang sakit. Pria ini benar-benar tak berniat meringankan tubuhnya untuk memudahkan Shira. Bahu Shira seperti telah ditumpukki oleh batu bata.
"Dimana orangtua mu?" tanya pria itu sambil meraih pinggang Shira, dan merangkulnya erat.
PLAK
Pria ini diberi hati minta ampela! Bisa-bisanya dia merangkulnya dengan sok romantis seperti itu.
Shira memperhatikan di sekeliling rumahnya yang terlihat sepi. Hujan sangat deras di luar, dan orang akan enggan untuk keluar dari kediaman mereka. Sehingga mereka tak akan tahu adegan khas sinteron yang dilakukan pria ini pada Shira.
"Hey, aku tanya tadi!"
Shira mendorong kepala pria itu dari bahunya, "Kenapa kau tanya-tanya?"
"Aku mau melamarmu untuk bermalam di kamarku semalam saja!" ucap pria itu seenaknya.
Melamar apanya! Kau itu mau menyewa, bukannya melamar. Psikopat sinting ini!
Shira hanya bisa memaki di dalam hati saja. Ia mulai tahu identitas pria ini, dan pasti berhubungan dengan dunia gelap. Dunia yang Shira pikir hanya ada di dalam novel saja. Lagipula, pria ini bahkan baru SMA, dan ia sudah berhubungan dengan kriminal.
Dasar!
"Meski dadamu rata, tetapi aku bisa memberikan toleransi!"
BUGH
Shira yang sudah termakan sebal, langsung melayangkan pukulan ke pucuk kepala pria itu. Semakin dibiarkan ucapan pria ini bertambah kurang ajar.
Meski Shira memukulnya, pria itu tetap memeluk pinggang Shira dengan erat. Dan, mereka dengan anehnya terlarut dalam keheningan.
Mereka adalah dua orang yang baru bertemu beberapa menit yang lalu. Namun Shira tak merasa pria ini berniat jahat. Pria ini benar-benar misterius.
"Namamu ...."
Shira berdecak, "Untuk apa kau bertanya namaku?".
"Santet."
Psikopat gila!
"Aku serius bertanya. Dimana orangtuamu? Pasti tak sopan jika calon menantunya tak menyapa!"
"Melantur sana sini! Mereka pasti sibuk dengan pekerjaan mereka," jawab Shira yang sudah jengkel dengan ucapan pria ini.
"Kau ini pasti anak manja yang biasa diusap kepalanya sebelum tidur."
Mengapa pria ini semakin menyebalkan?
Belum sempat Shira berkata lebih lanjut, pria itu tiba-tiba mencium leher Shira lembut. Hanya mengecupnya tanpa meninggalkan bekas dan sebagainya.
Shira yang sangat sensitif di leher hanya bisa memerah. Kali ini dia benar-benar mendorong pria itu semakin menjauh darinya. Shira berdiri sambil menyentuh lehernya.
"Tidur di luar!" teriak Shira sambil menunjuk pria itu dengan sebal.
"Hey ..."
Shira menghentikan langkahnya saat pria itu tiba-tiba melemparkan sesuatu padanya. Dengan refleks Shira menangkap benda yang dilemparkan pria itu padanya.
TING
Namun refleks Shira tak sehebat pemain catcher baseball. Ia tak bisa menangkap benda itu, hingga terjatuh di lantai keramik.
Jam saku?
Ini sudah tahun ke berapa? Kenapa pria ini masih memiliki jam saku?
Apa ini bisa membuat Shira di kejar vampire karena menyalakan musik di jam sakunya? Mungkin Shira kebanyakan menonton film wark*p.
"Simpan itu! Jika aku sudah menyingkirkan parasit-parasit itu, aku akan mengambilnya. Jangan dijual!"
Pria itu menunjuk ke arah Shira dengan wajah yang menyebalkan.
"Hey ..."
Belum sempat Shira bertanya lagi, aroma aneh membuat kepalanya menjadi pusing. Ia tak bisa menahan tubuhnya lagi dan terbaring dengan menyedihkan di lantai yang dingin.
"Sudah aku putuskan, kau adalah milikku."
Setelah itu, sebuah bibir dingin menyentuh dahi Shira. Dan, ia terlelap dalam tidur panjangnya.
Jika begitu, apa kita akan bertemu lagi?
***
Kenangan itu sudah lama ingin Shira lupakan. Ini tidak seperti ia telah jatuh cinta. Shira hanya penasaran dengan identitas pria itu.
Kemana pria itu pergi setelah Shira pingsan?
Ia ingat bahwa dirinya sudah ada di kamarnya, dan digulung dengan selimut. Namun karena itu, Shira harus flu selama berhari-hari.
SRET
Shira mengeluarkan jam saku berwarna perak yang ada di tangannya. Dahulu Shira berpikir jika retakan yang ada di kaca jam ini karena Shira gagal menangkapnya.
Shira bahkan pergi ke ahli jam hanya untuk memperbaikinya. Kemudian, ia tahu bahwa jam ini memang sudah rusak lama. Bahkan tidak ada baterai di dalamnya. .
Jadi, untuk apa pria itu memberinya jam saku ini?
TEK
Shira yang iseng-iseng mengguncang jam saku itu mendadak terkejut ketika mendengar suara retakan baru. Jam ini mungkin sudah sampai pada ajalnya.
Eh?
"Rain? Kau adalah hujan yang berharga.".
Itu bukan kalimat yang Shira buat. Kalimat itu terukir rapi di dekat jarum jam. Tulisannya sangat kecil, nyaris Shira mengambil kaca pembesar untuk membacanya.
Apa maknanya?
"Tidur denganku malam ini, dan aku akan membayarmu."
Mengapa Si Psikopat ini terus menjadi kurang ajar?
Namun Shira tahu bahwa hujan kali ini berbeda dengan hujan lainnya.
Shira menoleh ke arah jalan yang kosong. Suasana yang sama, desing hujan yang sama, dan orang yang sama.
Namun pria sudah terlihat berbeda dari yang Shira ingat. Pria ini sudah tumbuh menjadi sosok dewasa berwajah dingin. Shira tak tahu apa yang dilaluinya hingga wajah itu tertera di wajahnya.
Akan tetapi, ....
"Aku datang untuk menepati janjiku.".
Shira tetap diam di tempatnya. Membiarkan pria itu berjalan ke arahnya, dan Shira tahu bahwa ia tak pernah bisa menebak hati orang lain.
"Kau milikku, dan sudah waktunya aku mengambilmu."
Shira tersenyum tipis, "Tutup mulutmu."
TEP
Pria itu menepuk kepala Shira dengan lembut. Shira menyadari bahwa pria ini sudah lebih tinggi dari sebelumnya. Ia tak tahu apa yang pria ini makan selama ini.
Bagaimana tingginya sangat memukau untuk di pandang. Bahkan Shira hanya setinggi bahunya saja, dan Shira harus mendongakkan kepalanya untuk menatap pria itu.
"Namamu?"
Shira menyerahkan jam itu kembali pada pria itu, "Nashira, dan kau?"
Ini benar-benar lucu. Bagaimana bisa mereka baru berkenalan sekarang?
Bibir tebal pria itu bergerak mengucapkan sesuatu, tetapi suara hujan nyaris menghilangkan suaranya. Namun Shira berada dalam jarak yang cukup dekat dengan pria itu.
"Senang berkenalan denganmu, ....."
Kau adalah hujan yang aku temui di saat yang aneh. Kali ini kita bertemu dengan hujan yang lebih aneh lagi.
Siapa yang tahu jika seseorang akan sangat mudah untuk jatuh cinta.
***
Terima kasih bagi yang membaca cerita ini. Silakan datang ke novel-novelku untuk bertemu karya yang lain.
Adhios~