NovelToon NovelToon

Keabadian

1.

Korintus 13:4-5

"Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu.

Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak senonoh dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak marah dan tidak menyimpan dendam atas kesalahan orang lain."

+++

Nina.

-

-

-

Seingatku, dulu sekali, rumah pernah menjadi tempat ternyaman, dulu sekali, pada saat Ayah dan Bunda masih bersama. Pada saat aku mendapatkan kasih sayang berlimpah...

Bunda seorang yang lembut, pandai bermain piano, keluargaku sangat sempurna, dengan ayah penyayang, akhir pekan adalah hari yang selalu kunantikan, karena kami akan pergi bersama, bermain di taman hiburan, menonton bioskop, makan bersama, kegiatan keluarga bahagia yang biasa dilihat di selebaran iklan surat kabar, semenyenangkan itu.

Tapi itu dulu...

Sekarang tempat ini membuatku sakit jiwa. Aku benci rumah, atau lebih tepatnya, aku tidak pernah merasa punya rumah...

-

[2007]

"Pergi lu!" teriakku mengamuk, seperti biasa, setelah menampar, menendang, membanting pintu.

Meninggalkan lelaki yang baru kucampakkan begitu saja diluar rumah. Sakitnya pasti hanya sesaat. Ini bukan pertama kalinya Aku mencampakkan seseorang, pasti, kalau hanya laki-laki sih... mudah bagiku untuk mendapatkan kembali, berapapun.

Membawa hati yang kesal, kuhentakkan kaki keras-keras, bermaksud kembali kedalam kamar.

Tapi baru saja membalikkan badan, pandanganku segera tertuju pada satu titik.

Niko berdiri tepat di lorong menuju pintu masuk, gelisah.

Suasananya absurd.

Aku balas menatap tajam, mau apa lagi sih bocah ini?

"Nggak apa-apa, Nin? Kamu nggak diapa-apain kan?" Ia memberanikan diri bertanya, nada suaranya prihatin, jelas banget kalau dia menyaksikan kejadian di teras barusan.

Ah, malesin banget, sih...

Aku berdecak nggak senang.

"Jadi sekarang ini kerjaan lu? Jadi cepu terus ngelaporin gerak-gerik gue ke ayah?"

"Haahh? Nggak gitu, Nina--" Niko cepat-cepat membantah,

"Minggir, gue mau istirahat." Aku mendorongnya, dengan sangat mudah, "Lu ganggu aja."

Goblok ah.

Bikin pusing aja, aku membanting pintu kamar di hadapannya, melempar diriku begitu saja di atas ranjang, mencoba melupakan semua yang terjadi, ini sudah keberapa kalinya coba?

Aku muak selalu gagal dalam percintaan.

Orang yang kukencani, kalau bukan pengangguran, benalu, ya tukang selingkuh.

Ah, bangsat, kenapa selalu begini...

Rasanya airmataku kering, saking seringnya patah hati.

Aku akan bersenang senang saja malam ini, aku mengambil ponsel lipatku dan mulai mengetik sms, menyebarkannya pada semua teman temanku.

'Kumpul'.

'Wah, serius nih?'

'Bos Nina nyuruh kumpul, pastinya bakal ada barang bagus'

Sudah jelas, kalau aku yang menyuruh, mereka semua harus dengar, mereka pikir siapa yang akan membayari semua minuman dan bill mereka selain aku?

'Udah deh nurut ajah,'

'Malam ini di tempat biasa yah,'

Aku tersenyum dan melipat ponselku.

Masa bodoh dengan mantan,

Malam ini aku akan bersenang-senang, dan, mungkin saja, mendapatkan cinta yang baru.

Pintu kamarku diketuk lagi, kali ini amat perlahan.

"Nin, nggak makan dulu?" Kepala Niko muncul dari balik pintu, aku mendelik kesal.

"Apaan sih? Siapa yang nyuruh lu masuk-masuk sini? Anak pungut aja belagu,"

Sekarang giliran ekspresi Niko terlihat kebingungan, sambil garuk-garuk kepala, ia menghela nafas.

"Aku udah masak, kamu nggak keluar-keluar dari tadi, makan malam udah siap,"

"Yang mau makan masakan lu siapa? Palingan lu masak nasi goreng lagi," ejekku, meremehkan, "Gini nih, siapa suruh, gara-gara lu, gue jadi nggak punya nyokap, gue jadi nggak bisa makan masakan Bunda lagi, elu tuh bawa sial tahu nggak? Semua gara-gara lu,"

Niko menatapku, bimbang, ini bukan pertama kalinya aku memarahinya tanpa sebab, menyalahkannya.

Dia cuma diam, seperti biasanya, lalu menghilang di balik pintu.

Meninggalkanku yang sedang memaki-maki kesal.

Sebentar kemudian, pintu kamarku diketuk lagi, Niko selalu begitu, saat aku berpikir dia sudah enyah, nyatanya ia kembali.

Kali ini juga sama, dia balik lagi, membawa nampan berisi makan malam.

"Bosen kan nasi goreng terus? Aku masaknya sayur sop." ia meletakkan nampannya di atas tempat tidurku, tersenyum ramah.

Aku langsung mengerucutkan bibir, cemberut, hah, pede banget si anjing.

Mentang-mentang kebetulan doang lagi nggak masak Nasgor.

Dengan enggan, aku meraih sendok dan menumpahkan sop ayam itu di atas nasi, mulai memakannya.

Kenapa tiap masakan yang dibuat si goblok ini rasanya enak sih? Kan jadi makin kesal...

"Udah kan? Dah dah dah, Minggat sana." kataku mengibaskan tangan dengan jijik, mengusirnya.

Niko kelihatan lega hanya dengan melihatku makan dengan lahap, ia tersenyum dan mengangguk, ih, freak banget.

Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi, ia langsung keluar dari kamar. Aku mendengus sambil lanjut makan.

Menyebalkan.

Gimana bisa, orang seperti Niko, selalu bagus pada saat melakukan sesuatu.

Pantaslah ayah lebih sayang dia daripada putri kandungnya sendiri.

Ponselku berdering lagi, kali ini dari teman-temanku, aku menerima sms itu dengan senang hati.

'Jadi dong malam ini?'

'Udah siap belum Nin?'

Aku tertawa, membalas satu persatu sms mereka sebelum akhirnya melanjutkan acara makan malamku.

'Jam 10 malam nanti, tungguin gue, kita kumpul di tempat biasa'

Aku tersenyum setelah mengirimkan sms bernada perintah itu.

Hidupku ada di pesta-pesta, dalam kegembiraan dan hingar bingar diskotik.

Kami akan berpesta malam ini, kehidupan malam yang kusukai, satu-satunya tempat di mana aku merasa hidup.

"Ini akan jadi sangat menyenangkan..."

(To be Continued...)

[Copyright 2024 by ARC]

2.

Niko.

-

-

Mereka bilang manusia adalah makhluk yang wajar apabila tergerus waktu, itu adalah hal yang lumrah ditemui sebagai individu sosial.

Tapi bagiku, orang-orang dewasa yang berada di sekitarku, semuanya sama.

Tidak pernah ada contoh yang tepat bagaimana harus bersikap.

Mereka semua hanya sebuah kegagalan yang mengiring satu sama lain.

Tidak ada konsistensi, kata-kata mereka juga tidak bisa dipegang, serta pengambilan keputusan mereka hanya berdasarkan faktor untung rugi.

Karenanya, aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri sejak dulu, melakukan segalanya sebaik mungkin, sebagus yang aku bisa.

Karena segalanya akan baik-baik saja selama aku berhasil memenuhi ekspektasi semua orang.

Sejak kecil, aku sudah paham posisiku sebagai orang asing di rumah ini, bahwa aku tidak akan pernah bisa menang dari Nina.

Tahu diri, adalah hal yang pertama kali kusadari saat menginjakkan kaki di rumah keluarga Yanuar.

Tadinya kupikir, adalah wajar kalau aku, sebagai saudara laki-laki, mengalah padanya meskipun dia lebih tua lima tahun dariku.

Karena aku laki-laki, laki-laki harus mengalah, laki-laki harus kuat, pikiran kanak-kanak membuatku jadi seperti itu, namun sepertinya, aku dulu juga terlalu naif.

Jujur saja saat pertama kali Ayah membawaku ke rumah ini, aku sangat senang, dia memberitahuku bahwa aku akan punya saudari perempuan yang harus kujaga, bahwa aku adalah anak laki-laki di keluarga ini.

Memikirkannya saja sudah membuatku merasa mendapatkan suntikan kekuatan untuk sementara waktu, bagiku yang hanyalah anak kecil kurus kering, sakit-sakitan, ketika datang ke rumah ini. Punya seseorang yang harus kulindungi adalah sesuatu yang baru.

'Benteng', adalah kesan kuat yang kudapatkan saat aku pertama kali menginjakkan kaki pada halaman depannya.

Bangunan megah, mewah, besar, yang biasa hanya kulihat di acara sinetron prime time di  televisi milik tetanggaku.

Usiaku delapan tahun saat itu, jantungku juga lemah karena kelainan bawaan yang kuderita sejak lahir, sementara itu, Kakakku Nina sudah memasuki tahun pertamanya di SMP.

Ayah angkatku, Yanuar Wijaya adalah seorang Pengacara terhormat yang namanya sudah sangat terkenal di kalangan Pejabat maupun Pengusaha.

Ia jarang berada di rumah, kebanyakan waktunya dihabiskan di luar negeri, mengurus banyak hal dengan jadwal yang padat, hingga jika bisa bertemu dengannya lebih dari tiga kali dalam setahun, kami sebagai keluarga boleh dikatakan sangat beruntung.

Sementara istrinya, wanita yang dipanggil Nina dengan sebutan 'Bunda', adalah Ibu rumah tangga yang welas asih walau dia hanya baik pada anaknya saja, yaitu Nina.

Sejak awal, penerimaan Bunda terhadapku juga sama sekali tidak bisa dibilang baik, ia sinis, tatapannya selalu dingin mengarah padaku, seakan menilai. Kebencian yang aku tidak tahu bagaimana awalnya itu bisa terjadi.

Namun, ada banyak sekali alasan yang membuatku bertahan di tempat ini, lebih dari yang kusadari.

Rumah ini, tidak peduli betapa menyakitkannya, jauh lebih baik daripada rumah lamaku.

Masalah yang kuhadapi di sini paling-paling hanya lauk yang di bedakan oleh Bunda, terkadang, makian, lalu ada juga larangan duduk satu meja makan dengan mereka saat ayah sedang tidak ada di rumah.

Aku tidak masalah makan di lantai seperti hewan peliharaan, diperlakukan seperti virus, hantu tak kasat mata, kotoran menjijikkan, selama masih dikasih makan.

Setidaknya di tempat ini, aku hanya harus menahan perlakuan buruk Nina dan Bundanya, tidak perlu was-was bertanya-tanya akan hari esok, bisa tidur tanpa berpikir keras bagaimana cara agar tetap bertahan hidup.

Membayangkan kembali ke kehidupan lamaku cukup untuk membuatku gemetar karena ngeri.

Aku selalu takut untuk melihat ke belakang.

Ibu kandungku adalah pecandu narkoba dan alkoholik, dia yang selalu bermain dengan laki-laki, meninggalkanku yang masih kecil sendirian di rumah susun sempit yang kami tinggali dan tanpa rasa tanggung jawab membiarkanku hidup tak terurus, hanya berbekal remah-remah mie instan kering dan air keran. Lalu pulang setelah dua atau tiga hari. Lingkungan tempatku dibesarkan olehnya adalah tempat kumuh, dan banyak dari tetangga kami memiliki profesi yang sama dengan ibuku, seorang wanita penghibur yang menawarkan kehangatan tubuhnya pada banyak lelaki.

Aku terbiasa menutup mulut  dan tidak mengeluh, karena jika aku mengeluh, mendiang ibu kandungku akan marah lalu memukuliku dengan kejam, atau membenamkan kepalaku ke dalam bak mandi dan kembali memukuliku tanpa ampun, kemudian, untuk memberiku pelajaran, ia sengaja tidak pulang berhari-hari sampai aku lemas, nyaris mati karena kelaparan.

Kalau hanya seperti ini, perlakuan kejam seperti apapun masih bisa kutahan, semua protes akan kutelan sendiri.

Karena itulah, sesampainya di rumah keluarga Yanuar Wijaya, 'tidak bertanya' menjadi aturan bertahan hidup pertama yang kupelajari.

Entah mengapa bunda dan ayah selalu saja bertengkar, aku tidak tahu apakah sebelum aku datang sudah seperti itu, yang jelas setiap hari tidak pernah terasa baik-baik saja.

Rumah selalu dihiasi teriakan teriakan, selama satu tahun aku dan Nina hidup seperti itu, mendengarkan dari balik dinding.

Ayah bukanlah tipe suami yang pandai membujuk istri, biasanya ia akan pergi begitu saja, untuk kemudian kembali berbulan-bulan setelahnya, saat keadaan dirasa reda.

Memiliki suami acuh yang cenderung selalu menghindar dan melarikan diri dari masalah rumah tangga, amat ironis jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi serba berkecukupan, bahkan berlimpah tanpa pernah kekurangan.

Begitulah biduk pernikahan Ayah dan Bunda, sesuatu yang rumit, sesuatu yang baik aku ataupun Nina, tidak pernah memahaminya.

Lalu pada suatu hari, Bunda menggunakan pistol untuk menembak kepalanya sendiri, pergi begitu saja.

Tanpa kami pernah tahu alasannya.

Aku yang saat itu masih terlalu kecil, tidak mengerti mengapa dan bagaimana seseorang bisa memutuskan semudah itu untuk mati.

Tetapi kakakku sebaliknya.

Nina selalu berkata bahwa semuanya adalah salahku.

Bahwa aku adalah pembawa sial yang telah menghancurkan keluarganya, bahwa aku tidak seharusnya datang ke keluarga ini sejak awal.

Ayah membantahnya, walaupun ayah tidak pernah memberitahu kami apapun, dia hanya berkata bahwa situasinya tidak bekerja di antara dia dan bunda, bahwa bunda menderita depresi parah, dan memperingatkan kalau kami berdua tidak seharusnya mencampuri urusan orang dewasa.

Dan sejak saat itu, Nina berubah.

Dia semakin sering melawan ayah kami.

Melakukan hal-hal yang dilarang, bertengkar, semakin hari ayah semakin jarang pulang ke rumah, dan situasi menjadi semakin tidak terkendali dengan Nina yang tidak lagi memiliki pembatas antara baik dan buruk.

Kakakku tumbuh menjadi perempuan berwatak jelek, keras kepala dan pemberontak, tidak ada satu pun aturan di dunia ini yang mampu mengendalikan dia.

Nina mampu melakukan apapun, bahkan menyakiti orang lain atau melakukan tindak kekerasan, saat emosinya sedang tidak stabil.

Lalu, puncaknya adalah saat Nina drop out dari kampusnya.

Sejak saat itu, kehidupan kakak perempuanku menjadi benar-benar tidak terkontrol.

Gaya hidupnya hanya berfoya-foya, mabuk mabukan dan clubbing bersama kawan-kawannya, kadang aku juga melihatnya pesta narkoba bersama mereka.

Hal-hal yang -bagaimanapun- tidak akan pernah kusentuh karena berlawanan dengan prinsipku.

Ayah juga sepertinya sudah amat lelah mencoba memperbaiki Nina.

Jadi dia hanya dibiarkan begitu saja.

Hanya saja, satu hal yang ayah belum tahu, bahwa ayah mungkin sudah menyerah tentang Nina, tapi aku belum. Terkadang aku kagum dengan batasan toleransiku sendiri, mungkin juga karena aku terbiasa 'menerima' segalanya sejak usia kanak-kanak.

Bagiku, Nina adalah keluargaku, betapapun problematiknya ia sebagai individu, aku tetap memaafkannya, aku selalu memaafkannya.

Aku juga tidak mengerti diriku sendiri, tapi seiring bertambahnya usia, bagiku, hidup akan terasa lebih mudah jika aku berbesar hati.

"Ok, 98,7 DBS fm, Radio nya kawula muda, selamat malam, masih bersama Niko disini, di bursa musik Indonesia, Oh yah, sobat DBS, malam-malam begini enaknya bikin apa nih? Bikin mie rebus sambil ditemenin lagu-lagu enak dari DBS fm dan Niko, pastinya, hahaha,"

Aku memilih-milih lagu mana yang akan kuputarkan sebagai pembuka, pilihanku jatuh pada Jikustik-seribu tahun.

"Jalur SMS udah Niko buka yah Sobat DBS, yang mau request udah boleh, mau kirim salam juga boleh, nanti kita bacain bareng-bareng disini, sekarang kita nikmati aja dulu lagu pembukanya, I'll be right back, stay tune,"

"Hey Nik, wih ngomongin Mie rebus nih, nggak makan?" Operator kami, Bang Sofyan tiba-tiba saja menawarkan mie rebus di tangannya, aku hanya tersenyum ramah sambil menggeleng pelan.

Walau kelihatannya enak, tapi aku tidak makan Mie instan, sudah sejak SMA aku berusaha mati-matian membentuk tubuh ini, karena penyakit membuat tubuhku lemah sedari kecil.

Segera setelah pemulihan pasca menjalani operasi jantung, aku mencoba berolahraga lebih banyak dan mengurangi makan makanan yang tidak sehat.

Hasilnya, sekarang tubuhku menjadi lebih kuat, sehat, juga terbentuk. Dan selama aku menjaga pola hidupku, rutin meminum obat, aku tidak ada bedanya dengan orang sehat.

"Nggak deh, Bang, udah makan tadi di rumah,"

"Enak kali yah punya sodara cewek, tiap hari pasti dimasakin."

Aku tertawa garing, seandainya aja Bang Sofyan tahu, Nina tidak mungkin memasak.

Nina hampir tidak pernah menyentuh peralatan dapur satu kali pun seumur hidupnya. Dia itu tipe yang kalau lapar, berteriak-teriak minta diambilkan makanan, dan kalau makanannya tidak sesuai selera, dia akan melemparkannya ke wajah orang yang memasak.

Yah, tapi aku lebih memilih menyimpan cerita itu untuk diriku sendiri.

Lampu notifikasi SMS berkedip, pertanda pesan-pesan dari pendengar setia kami sudah diterima, aku bergegas kembali ke posisi on Air.

"98,7 DBS fm, Radio nya kawula muda, hai-hai, masih sama Niko nih disini, kayaknya udah mulai banyak nih yang kirim-kirim SMS ke kita, Ok Niko bakal bacain nih satu-satu, SMS pertama..." kedua alisku bertaut keheranan membaca sederet nomer telepon yang agaknya kukenali, "Abel dari UI," dan benar saja, "Wah, temen kuliah, nih." aku membacakan SMS dari Abel sambil tersenyum-senyum sendiri, "Salamnya buat Niko ajah, semangat ya siarannya, waduh, makasih Abel hahaha, sampe ketemu di kampus."

Dengan penuh kegembiraan, aku segera memasang lagu yang di Request oleh Abel,

"Dan lagu pilihannya adalah...

Jrocks - kau curi lagi,

selamat menikmati, sobat DBS 98,7 fm Radio, stay tune with Niko, have a beautiful night."

***

Nina.

-

-

'Bunda jangan pergi..., Bunda mau kemana, jangan tinggalin Nina...!'

'Bunda ingin bebas, Nina... Maaf belum bisa ajak Nina, maafin Bunda, rasanya terlalu sakit, Nina, melihat wajah anak itu setiap hari di bawah atap rumah ini...'

Suara letusan senjata api terdengar. Kemudian hening, hanya aku, Bunda, dan darahnya yang terciprat ke seluruh ruangan, membasahi bajuku, mewarnai segalanya dengan warna merah.

"Eh, Nin, Bukannya ini adek lu, yah?"

Tersadar dari lamunan, aku yang sedari tadi memperhatikan kelap kelip lampu kota Jakarta dari balik kaca mobil segera menoleh kearah Siska yang sedang sibuk menyetir sambil berceloteh.

"Hah?"

Siska menertawakanku, "Yaelah, parah amat sakaw-nya, Nin! Itu sampai nggak nyadar adek sendiri lagi siaran," telunjuknya mengarah pada monitor kecil di dalam mobil kami, radio DBS fm sedang memutar lagu dari grup band J-Rocks, diikuti suara lembut dan dalam dari Niko yang tengah membawakan siaran malam.

"DBS Radio kan? Kalau DBS ya bener," aku mengangguk cuek.

Yah, itu memang dia.

Sedikit banyaknya aku tahu.

"Gila, yah, dia masih rajin kerja jam segini, padahal punya bokap tajir mampus, beda banget sama kakaknya nih," goda Siska, disambut dengan riuhnya gelak tawa kawan-kawanku yang lain,

"Adeknya anak baik, alim, rajin ke Gereja pula, hari minggu kemaren gue sama keluarga ketemu dia tau di kebaktian, beda banget sama Kakaknya nih, maksiat terus," yang lain menimpali, "Nggak heran bokapnya lebih sayang sama si Niko daripada boss kita," mereka bersenda gurau meledekku, "Sekali kali ajakin dugem dong adeknya, Nin, kan ganteng gitu, sayang banget disembunyiin."

"Dia punya pacar nggak sih? Udah nggak perjaka ya, kayaknya."

Aku membentak mereka, kesal, menghentikan segala macam omong kosong itu. "Apaan sih goblok!"

Yaiyalah rajin, anak pungut gitu, coba kalo males, mana ada yang mau kasih makan?

Beberapa orang memang sudah sewajarnya berusaha lebih keras dari yang lain, aku bisa menikmati hidup karena itu adalah sebuah keistimewaan yang kumiliki sebagai putri kandung Ayah.

Aku terlahir sebagai manusia yang diberkahi nasib baik dan beruntung.

Sedangkan Niko, adalah anak yang tidak jelas asal usulnya.

Tapi mau tidak mau, telingaku panas mendengarkan kata-kata mereka yang terkesan membandingkan.

Memang kalau soal roda kehidupan, aku dan Niko terlahir dalam keadaan bagai langit dan bumi.

Sayangnya, hal tersebut tidak serta merta berlaku dalam soal prestasi dan pencapaian

Bocah itu, ayah saja sangat bangga padanya, nilai-nilainya di sekolah selalu bagus.

Dia juga tidak pernah membantah dan cenderung penurut, sebagai bocah, dia tidak sulit diurus. Dan setelah dia memasuki bangku sekolah menengah, secara natural dialah yang mengurus segalanya di rumah itu.

Setiap hari rajin kayak pembantu demi bertahan hidup, coba nggak tahu diri, sudah kuusir pasti.

Ini nggak seperti aku peduli sih, lagian, salahnya juga kenapa Bunda sampai meninggal.

Sekarang semua jadi tanggung jawab dia menggantikan peran Bunda di rumah itu.

Ini kenapa aku jadi mikirin si jongos sih?

Dan sekarang teman-temanku ikut-ikutan pula, heboh ngomongin betapa gantengnya bocah itu.

Bikin mood orang lain kacau aja.

Kurentangkan tanganku kearah Siska, merengut. "Bawa barangnya nggak?"

Temanku hanya tertawa sambil menyerahkan plastik kecil berisi dua butir pil berwarna putih.

"Belum nyampe tujuan, udah nggak sabar aja Nin?"

Aku mendelik, halah, persetan dengan semua, langsung menenggak kedua obat itu sekaligus.

"Banyak bacot."

Teman-temanku tertawa lantang.

Malam itu aku menghabiskan seluruh waktuku untuk bersenang-senang, berpesta dan menemukan kembali gairah masa mudaku.

(To Be Continued...)

3.

Niko.

-

-

Terburu-buru, aku menutup windows RF online, menyingkirkan Headphones yang kupakai dan bergegas lari ke arah pintu depan.

Nina mabuk lagi, kali ini sepertinya agak parah, sempoyongan menabrak meja kecil di dekat pintu, membuat vas bunga hias yang terpajang rapi di atas meja itu jatuh berkeping keping dan hancur.

Dan suara itulah yang tadi kudengar.

"Nina--"

Kakakku berontak ketika aku mencoba membopongnya, segala macam caci maki keluar dari bibirnya, dan itu semua ditujukan padaku,

"Jangan sentuh gue, dasar lu jongos pembawa sial!" Nina menceracau, mencoba melepaskan diri, bau alkohol menyengat tercium dari nafasnya, "Lu pikir lu siapa? Seenaknya masuk ke rumah gue... kalo gue jadi lu, gue lebih baik membusuk di panti asuhan daripada bikin kacau rumah tangga orang lain..."

"Iya, iya, maaf ya,"

"Kenapa lu harus datang-- Brengsek..." Ah, dia cegukan lagi, aku jadi agak cemas, masih mencoba menariknya, tapi dia malah tiba-tiba muntah.

Tapi aku belum menyerah, tanganku melingkari pinggangnya, mencoba menariknya supaya tidak terkapar di lantai.

Akhirnya, setelah usaha keras selama belasan menit aku berhasil membawanya ke lantai atas, kamar tidurnya.

Nina terlelap seperti seonggok tubuh tak berjiwa.

Jujur saja kadang aku merasa cukup frustrasi, apalagi menghadapi dia yang seperti ini, seperti kehabisan akal tentang apa yang harus kulakukan.

Membersihkan rumah di jam empat pagi saja sudah merupakan kegiatan yang tidak biasa untuk dilakukan.

Kami tidak punya asisten rumah tangga sama sekali, terakhir kali Ayah menggaji orang lain sebagai asisten, sikap kasar Nina yang tempramental membuat kepala asisten itu bocor terkena lemparan asbak.

Sejak saat itu, Ayah berpikir seribu kali mempekerjakan asisten rumah tangga untuk mengurus kami.

Dia tahu betapa gila putrinya, dan tidak pernah ada orang yang tahan berada di dekat-dekat Nina hanya untuk beberapa hari saja.

Kecuali mungkin aku.

Aku tidak pernah protes, Nina boleh membuat kepalaku bocor atau melakukan apa saja sesuka dia, terserah dia saja.

Tapi Nina tidak bisa melakukan itu padaku, dia cukup pintar untuk tidak menyebabkan cidera yang kelihatan jelas.

Karena dia sendiri tahu meski aku tidak pernah mengadu, Ayah kami pasti akan segera menyadari apa yang ia lakukan jika ia kurang bijaksana dalam bertindak.

Karena itulah ia hanya bisa melampiaskan kekesalannya pada orang lain.

Selesai mengepel bekas muntahan Nina di ruang tengah, aku bergegas naik ke lantai atas, membawa baskom kecil berisi air hangat dan kain lap baru.

Membersihkan tubuh kakakku lalu menggantikan bajunya, Nina terbangun beberapa kali, berlari ke kamar mandi dengan hanya mengenakan pakaian dalamnya saja, memuntahkan lagi isi perutnya lebih banyak.

Aku menarik selembar baju tidur dari dalam lemari kakakku saat ia akhirnya kembali dan menghempaskan tubuhnya begitu saja, di atas tempat tidur.

Nina sudah terlalu lelah untuk bertengkar, Ia hanya mendengus tidak senang saat aku membantu memakaikannya baju tidur.

Aku menghela nafas,

Benar, sudah selesai, sekarang aku bisa beristirahat.

"Bunda..."

Suara sekarat Nina membuatku menoleh.

Dan di sinilah dia, meringkuk, memanggil-manggil ibunya tanpa sadar, berbanding terbalik dengan sikap kasar dan keras yang biasa ia tunjukkan, ia yang sedang tertidur saat ini nampak begitu damai seolah tanpa dosa.

Kutukanku.

"Jangan pergi... Bunda."

Sisi rapuh dan lemah yang terlihat membuatku mengurungkan niat untuk meninggalkannya sendirian.

Segera setelah menarik selimut, aku hanya bisa berbaring, di sisinya yang saat ini sedang terlelap.

Aku tidak perlu diberitahu bahwa hubungan kekeluargaan ini sudah mengarah pada sesuatu yang sangat toxic dan tidak sehat, Ayah berkali-kali menawarkan padaku agar hidup sendiri, entah kost atau menyewa apartemen terpisah, karena aku sendiri sudah cukup dewasa untuk hidup seorang diri, tapi aku menolaknya.

Aku tidak bisa meninggalkan Nina, mengingat hubungannya dan Ayah yang teramat buruk, kakakku tidak bakal punya siapa-siapa lagi di rumah ini untuk merawatnya.

'Biarkan saja dia, Ayah sudah lama tidak menganggap anak itu ada, dia hanya akan mati overdosis atau jatuh miskin di tangan laki-laki begajulan.'

kata-kata ayah terngiang di telingaku, menghantui.

Ya, aku paham, dengan sikap Nina sekarang, siapapun dapat meramalkan hal yang sama, ia tidak peduli pada siapapun, bahkan dirinya sendiri.

Ia membenciku.

Sudah jelas.

Karena keberadaanku mencabik-cabik hal yang paling berharga baginya.

Meski begitu, aku tetap tidak bisa beranjak dari rumah ini walau hanya sesaat.

Tidak apa-apa walaupun ia tidak akan pernah menerimaku sebagai keluarga, aku tidak akan memaksanya untuk melakukan itu.

Tentu saja ia boleh membenciku, sebanyak yang ia mau, selama ia ingin, aku bisa hidup dengan menanggung semuanya.

Tapi apa yang membuatku tidak bisa melangkah maju ke depan, meninggalkannya, adalah, karena aku tahu, aku tahu bahwa perlahan, ia sedang menghancurkan dirinya sendiri, dan setiap kali aku memikirkannya, aku tidak bisa menahan diriku dari serangan rasa bersalah maupun penyesalan.

Aku peduli padanya.

"Maaf... Nina, maaf..." aku hanya bisa membisikkan kata-kata berulang seperti mantera.

Maaf karena sudah terlahir.

Maaf karena keberadaanku jadi membuatmu merasa sendirian.

Maaf, gara-gara aku, segalanya menjadi seperti ini.

(To Be Continued...)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!