Hampir Semua orang di desa Black Sword membenci Risa Ariz. Anak yatim piatu itu dijauhi, dianggap terkutuk, dan dipercaya menyimpan makhluk kegelapan di dalam dirinya.
Muak diperlakukan layaknya sampah, Ariz memutuskan untuk berbuat onar. Ia tidak melukai, tapi ia pastikan setiap orang di desa merasakan kehadiran dan penderitaannya: dengan menyoret tembok, mengganggu ketenangan, dan menghantui setiap sudut desa. Baginya, jika ia tidak bisa dicintai, ia harus ditakuti.
Sampai akhirnya, rahasia di dalam dirinya mulai meronta. Kekuatan yang ditakuti itu benar-benar nyata, dan kehadirannya menarik perhatian sosok-sosok yang lebih gelap dari desa itu sendiri.
Ariz kini harus memilih: terus menjadi pengganggu yang menyedihkan, atau menguasai kutukan itu sebelum ia menjadi monster yang diyakini semua orang.
"MINOTO NOVEL"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MINOTO-NOVEL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10. PERJALANAN MENUJU TEMPAT PELATIHAN "BLACK SWORD"
Desa Black Sword, sentra penempa pedang terbaik. Di sini, banyak sekali ahli pedang tajam dan kuat berkumpul. Selain itu, desa ini ramai dengan penjual dan memiliki pemandangan yang indah.
Reo berjalan santai di tengah keramaian, wajahnya tertutup topi jerami, kedua tangan tersembunyi di saku.
"Ayo semuanya! Roti bakar lezat!"
"Silakan dipilih buku-bukunya!"
"Surabi, surabi hangat! Ayo beli!"
"Aku mau pesan molennya lima!" teriak seorang pembeli.
Reo terus melangkah di antara hiruk-pikuk orang berjualan. Ia tetap tenang dan berjalan perlahan, meski banyaknya orang membuat pandangannya terhalang.
Desa ini benar-benar tidak berubah, ya? batin Reo, sambil terus menyusuri keramaian. "Aku harap tidak terlambat."
Setelah berjalan cukup lama, Reo akhirnya bertemu seseorang. Pria itu tampak sedikit kesal, seolah Reo sudah terlambat.
"Maaf aku terlambat," ucap Reo, menatap pria itu.
"Kau ini lambat sekali!" seru pria itu kesal, karena sudah menunggu terlalu lama.
"Aku tidak sempat berjalan cepat. Terlalu banyak kerumunan di desa ini," jawab Reo.
"Hah?! Apa kau tidak terbiasa dengan keramaian di sini? Atau jangan-jangan, Desa Astranova tidak seramai ini?" tanyanya, membayangkan Astranova tak seramai Black Sword.
"Tidak. Mungkin sebelas dua belas dengan desa Astranova," Reo mengangkat bahu. "Aku terlambat karena terlalu lama berdiam di rumah Ariz."
"Ahh, anak kecil yang matanya berwarna biru itu? Apa kau sudah bertemu dengannya?"
"Ya, begitulah." Reo menjawab santai, lalu tiba-tiba berjalan meninggalkan temannya.
"Eh, kita belum selesai bicara!" serunya, ikut melangkah di samping Reo.
"Kita tidak ada waktu untuk bicara di sini. Bram pasti sudah menunggu kita di tempat pelatihan," kata Reo tenang.
"Hah, kau benar..." Ia melipat kedua tangan di belakang kepala. "Hei, bagaimana keadaan anak itu? Kudengar banyak sekali orang yang membencinya." Dia bertanya tentang Ariz.
"Kau tidak perlu tahu," Reo menjawab singkat, pandangannya tetap lurus ke depan.
"Hah... Kau memang tidak asik diajak bicara, ya?!" keluhnya.
Setelah temannya berhenti berbicara, Reo teringat kembali kata-kata Ariz. Pria itu hanya memberiku uang bulanan saja, lalu dia pergi begitu saja. Mengingat itu, Reo tiba-tiba memanggil temannya.
"Kael."
"Hmm? Ada apa?" jawab Kael.
"Apa kau tahu di mana Key berada?" tanya Reo serius.
"Key? Hmm, aku tidak tahu. Memangnya kenapa?" Kael menatapnya penasaran.
"Tidak. Tidak apa-apa." Reo tak melanjutkan pembicaraan.
"Eugh, kau ini terlalu dingin, Reo, batin Kael."
Perjalanan mereka berdua cukup panjang. Perlu menaiki bukit tinggi di desa Black Sword. Setelah beberapa lama, mereka akhirnya tiba di Tempat Pelatihan Black Sword.
Sebuah papan besar menyambut mereka:
SELAMAT DATANG
PELATIHAN GENERASI MUDA
BLACK SWORD
Setelah perjalanan yang cukup panjang, Reo dan Kael akhirnya sampai di tempat pelatihan BLACK SWORD. Tempat itu memang sangat luas! Mereka melihat banyak anak-anak generasi muda sedang dilatih oleh para pelatih ahli. Anak-anak itu tampak fokus, berulang kali mengayunkan pedang kayu mereka, dengan seruan semangat: "SATU! DUA! TIGA!"
"Tampaknya, makin banyak anak-anak yang mengikuti pelatihan ini, ya?" ucap Kael, terlihat bangga, kedua matanya memicing mengamati setiap gerakan.
"Eum. Mereka nampak sangat bersemangat," sahut Reo, ikut mengangguk bangga.
Saat mereka berdua sedang asyik memperhatikan latihan, seseorang datang menghampiri mereka.
"Reo, Kael! Akhirnya kalian datang juga," seru orang itu dengan senyum lebar.
"Ah, Bram! Sudah lama kita tidak bertemu," balas Kael, meraih tangan Bram untuk bersalaman erat.
"Wah, kau tampak masih segar, Bram!" timpal Reo, menepuk bahu Bram.
"Ah, kau ini bisa saja kalau berbicara," Bram tertawa ringan. "Bagaimana misi kalian di desa Astranova dan desa Vendora? Apakah berjalan dengan lancar?"
"Ya... lancar tidak lancar," jawab Kael, mengangkat bahu.
"Hahaha, kau benar!" Reo terkekeh.
"Hahaha! Tapi syukurlah kalau misinya sudah selesai. Oh iya, mari kita bicara di dalam saja," ajak Bram, mengisyaratkan ke arah bangunan utama.
"Ya, baiklah. Seluruh badanku sakit semua," keluh Kael, memutar-mutarkan kedua tangannya seolah meregangkan otot.
"Ya, kau benar," timpal Reo, menyetujui.
Bram mengajak mereka berdua untuk mengobrol di dalam rumah. Tak lama, seorang pelayan datang membawa nampan berisi tiga cangkir teh.
"Silakan diminum tehnya," kata pelayan itu ramah.
"Wah, terima kasih, ya," ucap Bram.
"Sama-sama," balas pelayan itu sebelum berlalu meninggalkan mereka bertiga.
"Ayo, silakan diminum tehnya," Bram mempersilakan lagi.
"Wah, terima kasih, ya. Aku minum sekarang." Sruuup. Kael segera menyeruput tehnya dengan nikmat.
"Reo, ayo diminum tehnya," Bram mengingatkan.
"Ya, baiklah," Reo mengambil secangkir tehnya dan menyesapnya perlahan.
"Ngomong-ngomong. Apakah para generasi muda di berbagai desa semakin meningkat?" tanya Bram, memecah keheningan.
"Tentu saja! Aku tidak tahu seberapa banyak para generasi muda di sana. Hmm, mungkin sekitar seribu? Atau lebih…?" Kael berpikir keras, menerawang.
"Di tempatku, sudah banyak sekali anak-anak yang bisa menguasai beberapa elemen. Senang rasanya bisa melihat perkembangan dari zaman ke zaman, ya," ucap Reo, sambil kembali meminum tehnya.
"Hmm! Memang senang rasanya bisa melihat mereka berkembang. Walaupun ada beberapa orang yang menyebalkan, tetapi tetap saja," Kael mengangguk bangga, menikmati tehnya.
"Aku juga sangat senang bisa melihat mereka yang memiliki tekad seperti para pejuang-pejuang di masa lalu!" seru Bram, nadanya penuh semangat. Namun, setelah berkata seperti itu, nada suaranya merendah. "Hah... tapi sayang sekali. Banyak para generasi muda yang tidak bisa menciptakan kekuatan yang baru. Mereka hanya bisa menciptakan kekuatan yang sudah ada sebelumnya. Aku bukan bermaksud mengatakan kalau generasi muda zaman sekarang tidak memiliki tekad untuk menciptakan kekuatan baru. Hanya saja, tanpa terciptanya kekuatan baru, kita bisa saja menggunakan beberapa kekuatan baru itu untuk mengalahkan Azura. Kalian tahu sendiri, kan, bagaimana kejadian kelam di masa lalu...?" Bram mengakhiri kalimatnya dengan nada penuh kekhawatiran.
"Hmm. Tapi kalau dipikir-pikir kembali, Azura sudah tidak terlihat lagi semenjak kejadian kelam di masa lalu itu, kan?" Kael tampak bingung, mengernyitkan dahi.
"Azura memang sudah tidak terlihat lagi semenjak peperangan di masa lalu itu. Tetapi perlu diingat, Azura menang dalam pertarungan. Dan kita kalah! Sudah dipastikan, Azura akan datang kembali dengan kekuatan yang lebih kuat dari sebelumnya," ucap Reo, wajahnya berubah serius.
Kael dan Bram terdiam, mendengarkan perkataan Reo.
"Dan untuk kekuatan baru yang kau katakan tadi, sebenarnya kita tidak perlu banyak-banyak menciptakan kekuatan baru. Yang harus kita fokuskan adalah memperkuat, bukan menambah kekuatan itu. Jika ada para generasi yang tidak mampu, maka mampukan lah. Jika ada para generasi muda yang mampu, maka tingkatkan lagi pelatihan mereka. Maka dari itu, kita bisa menciptakan para generasi muda yang sangat kuat! Dan kita juga punya kesempatan kedua untuk mengalahkan Azura, beserta para bawahannya itu," jelas Reo, tegas dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Hah... sepertinya perkataanmu itu ada benarnya juga," Bram menghela napas, ia tidak berpikir sampai sana.
"Tapi... bagaimana dengan anak bermata biru itu?" Kael tiba-tiba berdiri dari kursi, matanya membelalak seolah teringat sesuatu. "Apa kalian lupa kalau anak itu mempunyai kekuatan yang istimewa?! Kita bisa memanfaatkannya untuk mengalahkan Azura!?"
"Maksudmu, Ariz?" Bram tiba-tiba berpikir. "Mungkin perkataan Kael ada benarnya juga. Apa benar, Reo?" Bram menatap Reo, menunggu persetujuan.
"Tidak. Aku tidak akan memberitahunya bahwa ada kekuatan tersembunyi dalam tubuhnya itu," jawab Reo serius, kedua tangannya tetap terlipat di dada. Ia jelas tidak setuju dengan pendapat Kael.
"Dan lagi, aku belum memenuhi semua kemauan dari, Ariza" tambah Reo seraya menyesap tehnya. "Jika kalian menganggap Ariz spesial, aku juga berpikir begitu. Namun, memberitahunya sekarang... tidak akan mengubah apa pun. Ia harus dilatih terlebih dahulu agar menjadi anak yang hebat!" ucap Reo dengan tegas.
"Ahh... seperti itu, ya?" ucap Kael mengangguk.
"Mungkin perkataan Reo ada benarnya juga. Memberitahunya sekarang bukanlah ide yang bagus." Setelah berkata begitu, Bram tiba-tiba pergi meninggalkan mereka berdua. Tak lama, Bram kembali dengan selembar foto di tangan dan menunjukkannya kepada Reo.
"Reo, apa kau kenal anak ini?" tanya Bram.
"Itu, kan...?" Kael belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Reo sudah lebih dulu menebak.
"Reza Zora." Reo memperhatikan foto anak itu dengan detail. "Apa anak ini ikut latihan di sini juga?" tanyanya.
"Tidak. Kebetulan saja aku memotretnya diam-diam saat ia sedang keluar," ucap Bram santai.
"Uhh...?" Kael menatap Bram dengan sinis.
"Karena dia tidak pernah keluar dari rumah. Saat ia keluar dan kebetulan aku lewat, jadi aku foto saja diam-diam," lanjut Bram dengan senyum di wajahnya. "Anak ini memiliki kekuatan yang spesial. Sama seperti, Risa Ariz."
"Ohh iya, aku kenal anak ini." Ucap kael.
Reo masih menatap foto anak itu. "Reza Zora, ya?" Sebuah ide tiba-tiba muncul di benaknya. "Bram, beritahu aku di mana rumah anak ini," pinta Reo.
"Ahh? Tidak jauh dari tempat pelatihan ini. Turun saja dari bukit ini, lalu kau akan menemukan rumah anak itu," jelas Bram.
"Memangnya, mau apa kau bertemu dengan anak itu?" tanya Kael, bingung.
"Ada deh..." ucap Reo, seolah rencananya akan berhasil.
"Uhh.. Kau ini, selalu saja buat orang penasaran." Ucap, kael.
bukan mencari kekuatan/bakat yang baru. sesuatu bakal bagus, kalau kita rajin👍