Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang?
Malam itu udara terasa berat. Setelah semua tamu pergi, rumah kembali sunyi, hanya langkah Fandi yang terdengar di koridor panjang menuju kamar tempat Epi beristirahat.
Ia membuka kunci, masuk perlahan. Lampu kamar temaram, Epi sudah sadar tapi masih tampak lemah, duduk bersandar di ranjang.
Fandi berdiri menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya bicara.
“Kau sudah sadar rupanya,” ucapnya datar.
Epi menoleh cepat, suaranya serak, “Aku… di mana ini?”
“Di rumahku,” jawab Fandi singkat. “Kau beruntung masih hidup.”
Epi terdiam. “Aku… kenapa bisa di sini?”
“Kau dikejar, hampir mati,” Fandi menarik kursi dan duduk di depannya. “Aku ingin tahu kenapa.”
Epi menggigit bibir. Matanya menatap lantai, bingung, takut.
“Aku cuma… aku cuma lewat waktu itu…”
Fandi mendengus pelan, “Jangan mulai dengan kebohongan. Aku sudah lihat rekaman CCTV sekitar lokasi.”
Epi langsung menatapnya kaget. “Kau… lihat?”
“Ya,” Fandi bersandar ke kursi. “Kau bukan lewat. Kau ada di sana saat paman Hans ditembak.”
Wajah Epi langsung pucat. Tangannya gemetar. “Aku—aku nggak sengaja lihat! Aku cuma mau pulang dari toko! Aku dengar orang teriak, aku lari… terus aku lihat dia jatuh…”
“Dan pelakunya?” tanya Fandi cepat, nadanya tajam.
Epi menelan ludah. “Aku nggak tahu namanya, tapi aku lihat wajahnya jelas. Laki-laki, pakai jas abu, ada cincin besar di jarinya. Dia bilang sesuatu… tentang ‘bereskan sebelum Dirgantara tahu.’”
Fandi terdiam sesaat, lalu matanya menyipit.
“Kau yakin dengan kalimat itu?”
Epi mengangguk. “Ya. Setelah itu dia lihat aku. Aku lari, tapi dia kejar. Mereka tembak aku, aku sempat kena serpihan peluru di bahu. Aku terus lari sampai jalan besar… lalu ada mobil yang nabrak.”
Fandi menunduk sebentar, berpikir.
“Mobil hitam, pelatnya hilang?”
“Ya…” jawab Epi pelan. “Kau tahu?”
“Karena itu mobil Mahawira,” ucap Fandi akhirnya, suaranya dalam.
Epi menatapnya tak percaya. “Jadi… dia benar-benar ingin membunuh aku?”
“Tidak cuma kau,” jawab Fandi datar. “Siapa pun yang tahu tentang kematian Hans, akan dibungkam.”
Epi memejamkan mata, napasnya cepat. “Kenapa mereka bunuh dia? Bukankah… dia orang baik?”
“Orang baik di dunia ini mati duluan,” kata Fandi dingin. “Dan paman Hans tahu sesuatu tentang proyek pemerintahan yang seharusnya tidak bocor. Mahawira hanya eksekutor.”
Epi perlahan menatapnya, air mata mulai jatuh. “Lalu… sekarang apa yang akan kau lakukan padaku?”
Fandi menatapnya tajam. “Untuk sekarang? Aku pastikan kau tetap hidup. Tapi jika kau berbohong satu kata saja…”
Epi memotong cepat, “Aku nggak bohong! Aku sumpah! Aku cuma pengen selamat!”
Fandi bangkit, berjalan ke jendela, melihat keluar.
“Kalau begitu buktikan dengan tetap hidup. Aku butuh saksi, bukan mayat.”
Epi menatapnya takut tapi juga lega mendengar kata itu.
“Aku bisa bantu,” katanya pelan. “Aku masih ingat wajah orang itu, juga satu lagi… yang ada di mobil. Dia… dia panggil si pembunuh itu ‘Mahawira’.”
Fandi menoleh cepat. “Kau dengar jelas?”
“Ya.”
Ia terdiam lama, lalu melangkah mendekat. “Kalau begitu, Epi… kau baru saja membuat dirimu jadi kunci perang besar.”
Epi menatapnya bingung. “Perang?”
Fandi hanya tersenyum tipis, tapi senyum itu dingin. “Dirgantara tidak akan diam. Aku akan pastikan darah dibayar dengan darah.”
Suasana kamar sunyi lagi. Fandi menatap gadis itu sesaat sebelum meninggalkan ruangan.
“Simpan tenaga. Mulai besok, aku akan tanya semuanya lagi dengan detail. Dan jangan coba kabur. Di luar sana, musuh lebih cepat daripada peluru.”
Epi menggigil, menunduk. Begitu pintu tertutup, ia menangis pelan—sementara dari balik pintu, Fandi berdiri diam beberapa detik, wajahnya menegang.
“Mahawira,” gumamnya pelan. “Kau pikir bisa menyentuh keluarga Dirgantara dan hidup tenang?”