Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9 - Bocah Itu
Sore itu angin berhembus lembut melewati lorong sekolah yang mulai kosong. Langit yang tadinya cerah perlahan berubah jingga, menandakan matahari sebentar lagi tenggelam. Dari arah tangga dekat toilet lantai satu, suara percikan air masih terdengar samar sisa dari kejadian konyol yang barusan terjadi antara Arum dan Alaska.
Tubuh Arum dan Alaska sama-sama basah kuyup, baju menempel di kulit, rambut meneteskan air seperti habis disiram hujan. Dari kejauhan, langkah sepatu kulit satpam sekolah terdengar tergesa-gesa, membuat keduanya refleks menoleh.
“Pak Alaska! Neng Arum kalian ngapain?!” kaget pak satpam dengan mata terbelalak.
Seketika Alaska dan Arum membeku. Posisi mereka benar-benar mencurigakan: Alaska memeluk Arum dari belakang, karena sedetik sebelumnya ia berniat menggendong gadis itu untuk menyeretnya kembali ke aliran air sebagai balasan. Mereka berdua menoleh bersamaan, ekspresi terkejut sama persis seperti dua anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue.
Alaska, yang baru sadar betapa aneh posisi mereka, langsung mendorong Arum cukup kuat hingga gadis itu jatuh terduduk di lantai. Arum meringis sambil menggosok pinggulnya yang terasa nyeri akibat benturan.
“Pak, untung Anda datang. Ini selangnya bocor,” ujar Alaska cepat-cepat sambil mengusap wajahnya yang basah, mencoba menutupi rasa malunya.
Dengan sigap, satpam itu membantu mereka mematikan aliran air. Setelah beberapa menit penuh rempong, mereka akhirnya berhasil menutup tangki air yang tadi sempat disabotase Arum. Karena tidak mungkin diam di lorong dengan pakaian basah, Alaska dan Arum akhirnya dibawa ke pos satpam untuk mengeringkan diri sementara.
Pos satpam sore itu sepi. Semua murid sudah pulang, para guru pun hanya beberapa yang masih beraktivitas, namun sebagian besar sudah meninggalkan sekolah. Angin sore masuk melalui jendela pos, membuat Arum yang basah mengigil sambil merapatkan jaket olahraga tipisnya.
Masih mending Arum, pikir satpam itu. Tapi Alaska? Pria itu baru muncul setelah sempat pergi ke mobil untuk mengganti baju. Kini ia mengenakan celana panjang santai warna krem, kaos oblong putih yang sedikit kebesaran di tubuh tegapnya, serta kacamata yang membuatnya tampak lebih dewasa dan rapi. Rambutnya masih sedikit basah, beberapa helai menempel di dahinya.
Pakaian kasual itu anehnya membuatnya terlihat jauh lebih tampan dari sebelumnya. Arum sempat melirik diam-diam, lalu buru-buru memalingkan wajah sebelum ketahuan.
“Pak Aska, untung tadi yang lihat saya bukan guru atau murid lain. Kalian kalau dilihat orang lain pasti sudah dikira aneh-aneh,” gumam satpam itu sambil mencopot topinya. “Astaga, saya ini yakin kerjaan Neng Arum kan.”
“Ma-ma-mana ada, Pak…” Arum cepat-cepat menggeleng dan membuang wajah, pura-pura sibuk melihat lantai.
“Neng Arum jangan begitu. Kasihan Pak Aska. Dia di sini cuma enam bulan gantiin Bu Zainab. Malah Neng bikin nggak betah,” ucap satpam itu menggeleng pelan dengan nada khawatir.
“Salah dia sendiri lah gangguin saya duluan,” gumam Arum sambil melirik Alaska yang menatapnya datar begitu datar sampai gadis itu ingin melempar sendal.
Alaska menghela napas panjang. Pria itu sudah dua kali dikerjai hari ini. Dan wajah tenangnya kini menyembunyikan letih, kesal, dan sedikit… pasrah.
“Saya sebagai guru tentu wajib melaporkan tingkah bodohmu, agar generasi muda tidak hanya bermain-main saja. Itu akan merusak masa depan. Kau tidak akan mendapatkan kehidupan yang baik,” ucap Alaska datar tanpa sedikit pun emosi.
“Hah?! Bapak nyumpahin saya? Sampai bilang hidup saya suram?! Bapak aja semoga ketemu orang yang bikin hidup bapak suram!” teriak Arum spontan, emosinya meledak.
Satpam itu sampai menutup wajahnya sendiri. “Astaga… ini anak…”
“Bocah sekarang memang tidak bisa diberitahu,” desah Alaska. “Sudahlah, ini sudah hampir gelap. Saya akan kembali. Pak satpam, terima kasih.”
“SIALAN LU YA PAK! GUA SUMPAHIN LU KARIRNYA JELEK! UDAH NYUMPAHIN MASA DEPAN GUA SURAM!” balas Arum sambil berdiri dari kursinya.
Alaska berhenti. Perlahan ia berbalik. Tatapannya menusuk seperti ingin membaca isi kepala Arum. Namun Arum, alih-alih takut, justru berdiri tegak menghadapi pria itu. Tinggi Alaska jauh di atasnya, membuat Arum harus mendongak untuk membalas tatapan tegas itu.
Satpam itu memegangi kepalanya sendiri. “Aduh… aduh…”
“Saya mengatakannya demi kebaikanmu,” ujar Alaska pelan namun tajam. “Tapi kamu mengatakan hal demi keburukan saya. Tidak ada pria yang mau dengan gadis bodoh. Masa depan harus ditata. Bagaimana kau mendapatkan uang kalau otakmu tidak kamu gunakan?”
“Tidak perlu pintar, independen, atau masa depan yang kau bilang!” bentak Arum. “Aku akan mencari suami kaya raya biar aku cuma tidur dan makan saja! Puas?!”
“Pftt. Siapa yang akan mau? Semua itu harus setara,” tawa Alaska meremehkan.
“BODOAMAD!” teriak Arum semakin geram.
“Sudahlah. Hari ini saya maafkan. Jangan lakukan lagi,” ucap Alaska dan ia benar-benar berniat pergi.
Arum mengerucutkan bibir, wajahnya memerah karena dingin dan amarah. Begitu Alaska berjalan keluar pos satpam, Arum tiba-tiba mengambil sebuah permen karet dari kantong baju olahraganya entah sejak kapan ia menyimpan itu dan melemparkannya tepat mengenai rambut Alaska.
“KENA!” seru Arum puas sebelum berlari keluar pos satpam dengan kecepatan cahaya.
Alaska menahan diri untuk tidak mengumpat. Permen karet itu menempel di helai rambutnya yang masih basah. Belum sempat ia mengejar, Arum sudah melewati gerbang sekolah seperti atlet lari maraton.
Satpam menghela napas panjang. “Maafkan Neng Arum ya, Pak Aska… Dia begitu karena cari perhatian saja. Di rumah tinggal sama ibu tiri. Nggak ada yang memperhatikan. Kalau dihukum guru, bukannya disayang, malah dijahili.”
Ia melanjutkan dengan nada lebih dalam, “Bahkan sudah ada tiga guru pindah gara-gara dia. Besok saya akan laporkan ke kepala sekolah biar ibu tirinya dipanggil.”
“Sudah, Pak. Tidak masalah,” ucap Alaska sambil menatap gerbang tempat Arum hilang. “Saya kembali.”
Pria itu berjalan menuju mobilnya. Udara dingin sore membuatnya menggosok lengan. Saat hendak masuk kursi pengemudi, pandangannya tertarik pada sesuatu.
Ban mobilnya.
Kempes.
Benar-benar kempes sampai hampir menyentuh tanah.
Kening Alaska berdenyut. Rahangnya mengeras. Nafasnya naik turun.
“ARUMMMMMM!!” teriaknya frustasi hingga menggema.
Sementara itu…
Arum yang baru setengah perjalanan menuju rumah tiba-tiba merinding. Gadis itu berhenti sejenak, memeluk tubuhnya sendiri.
“Duh… merinding. Jangan-jangan Pak Aska marah banget,” gumamnya lalu tertawa seperti setan kecil. “Hehe… pantes.”
Sesampainya di rumah, Bayu langsung memandang kakaknya dari kepala hingga kaki.
“Kakak kok baru balik? Kenapa bajunya basah? Cepat masuk kak, ibu belum pulang nanti dimarahin!”
“Serius, De?! Untung ibu belum pulang!” Arum langsung panik dan berlari ke kamar mandi.
Di waktu yang sama, di sekolah…
Dengan bantuan satpam, Alaska sedang mendongkrak mobil untuk mengganti ban. Keringat turun di pelipisnya meski angin sore cukup dingin. Ia tidak pernah melakukan pekerjaan seperti ini sebelumnya. Punggungnya terasa pegal, tangannya pegal, dan pikirannya kacau.
Setelah selesai, satpam itu pamit. “Hati-hati ya, Pak. Saya cek sekolah dulu sebelum pulang.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Alaska sambil menarik napas kuat.
Ia menutup bagasi, menatap langit yang semakin gelap, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
“Sialan… ini semua gara-gara bocah itu. Jika bukan karena suatu hal, aku tidak akan bertahan di sini…”
...----------------...
Author senang sekali kalau kalian tinggalkan jejak seperti komentar, vote, atau like. Itu membuat author makin semangat!